Ibu: Sosok Tuhan dalam diri manusia.




Jika kau ingin melihat bagaimana
sosok Tuhan dengan segala asma' kearifan dan kelembutan-Nya, maka sentuhlah kaki
ibumu.... bacalah tanda-tanda yang mengaur dari rambutnya yang mulai memutih,
simaklah nada-nada dari kerutan yang berdenting di dahinya.... Ketika kau
dapati tubuhmu gemetar da...n matamu membasah, berarti kau telah menemukan sosok Tuhan dalam diri manusia.....

Pengumuman 5 Karya Terbaik Pantun Lumpur Lapindo















Submitted by firdaus on Tue, 12/15/2009 - 16:05.
Penulis:
Firdaus cahyadi

Akhirnya tim juri memilih lima karya terbaik pantun lumpur Lapindo. Sedianya pengumuman ini dipublikasikan pada tanggal 10 Desember 2009, bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia. Namun karena sesuatu hal, pengumuman itu diundur hari ini (15/12).

Berikut lima karya terbaik itu.

Dari mana datangnya ubur-ubur
dari laut dalam sekali
Darimana datangnya lumpur
dari lapindo itu yang pasti
(Karya Iwan Kurniawan, HP : 085723038xxx,: Kp. Pangadegan Hilir Rt 03 Rw 04 Depan PLN Pagelaran Kec. Pagelaran. Kab. Cianjur Selatan 43266 Jawa Barat, email :gauss_xxx@yahoo.co.id)

Ada makhluk namanya Buto Ijo
Matanya belo mirip lalat Ijo
Hidup kami sekarang menjadi loyo
Akibat kena lumpur lapindo
(Karya Fadly Kurniawan, Hp : 0856178xxxx,Green_bxxx@yahoo.com)

Lumpur lapindo cermin diri
untuk pelajaran pemimpin kini
Indonesia bukan negeri kompromi
Kesalahan manusia dibilang takdir ILAHI
(Karya zul fahmi, email fahmi.zxxx@gmail.com)

Semur balado, sayur lodeh..
Lumpur lapindo? Cape deh..
(Karya Yudha Prasetia, Email, yudha_praxxxxx@yahoo.com, Hp: 0838122xxxx)

Tanam bunga dirusak ternak
Tanam padi dimakan unggas
Bagaimana tidak teriak
Rumah kami hilang tak bekas
(Karya Darwanto, Jl. Gajayana Gg.I, No.717 Dinoyo Lowokwaru Malang, HP : 085237561xxx, email:mashdar.zaxxx@yahoo.co.id)

Bagi para pemenang lomba pantun yang berada di Jakarta, hadiah dapat diambil pada jam kerja di Kantor Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Jl.Mampang Prapatan II Nomor 30, Jakarta Selatan -12790 Telp. 021-791 81 683 mulai hari Selasa, 22 Desember 2009. Bagi pemenang yang berada di luar kota, bingkisan hadiah akan dikirim.

Atas nama panitia, Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo (GMKKL) mengucapkan banyak terimakasih bagi para peserta lomba pantun lumpur Lapindo. Tak lupa pula GMKKL mengucapkan selamat bagi lima pemenang lomba pantun lumpur Lapindo.

Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur (GMKKL)
Jatam, Kontras, Kiara, Walhi, Satu Dunia, LBH Masyarakat, GMLL, UPC, Imparsial, YLBHI, ICEL, UPLINK, Institut Hijau Indonesia, KAU, Lapis Budaya, SAKSI, Solidaritas Perempuan, HRWG

Resensi Novel ZALZALAH






Judul Buku : Zalzalah (Biarkan Cinta Sampai pada Akhirnya)
Penulis : Masdhar Z
Penerbit : Semesta, PRO-U Media
Tahun Terbit : 2009
Tebal : 325 halaman
Peresensi : Rialita Fithra Asmara









Segala yang fana wajiblah musnah, hanya Tuhan yang Mahabaka yang akan tetap kekal. Segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada akhirnya. Mungkin juga cinta. Untaian kalimat yang cukup indah untuk mengakhiri novel perdana garapan Masdhar ini. Sebuah novel yang mampu menghantarkan kita pada kesimpulan bahwa sang penulis mampu menjelmakan dirinya menjadi seorang perempuan yang begitu paham dunia jiwa sang perempuan. Begitu lembut, begitu menyentuh.

Sesuai dengan judulnya, Zalzalah yang berarti goncangan maka alur novel ini juga penuh goncangan dengan akhir yang tak terduga. Selain itu, peristiwa gempa yang terjadi di Yogyakarta juga menjadi salah satu latar di dalam novel ini. Kehadiran latar tersebut seolah-olah semakin mengukuhkan novel ini untuk layak diberi judul Zalzalah.

Novel ini berkisah tentang kehidupan tokoh Milati, Misas, dan Hurin. Pergolakan konflik berkutat di antara mereka bertiga. Konflik masih berkutat tentang cinta diantara ketiganya, pemahaman masing-masing tokoh tentang ajaran agama membuat mereka mempunyai persepsi sendiri tentang cinta.

Jika Anda membaca novel ini dengan seksama, Anda tak hanya disuguhkan kisah cinta yang dramatis tetapi juga selaksa nilai hikmah kehidupan. Satu lagi, Anda akan menemukan betapa mahir penulis meramu dan menghasilkan kata-kata yang terkadang tak lazim digunakan. Netra raya siang sudah lelah dan hampir terpejam di balik kelopak ufuk barat (halaman 8). Kata-kata itu tak hanya dirangkai dalam sebuah kalimat yang memikat tapi dipilih dengan penuh perhitungan.

Cerita bermula dari gadis panti di sore hari bernama Milati, seorang anak yatim piatu yang dititipkan di panti asuhan. Panti asuhan yang sekaligus juga pesantren. Di sanalah Milati belajar tentang kehidupan. Ia berteman akrab dengan Syaqib. Seorang pemuda yang senasib dengannya dan diam-diam mencintai Milati. Namun, Milati tak kunjung merasa bahkan ketika Syaqib dikejar-kejar oleh gadis. Gadis itu telah terpesona dengan kebaikan hati Syaqib tetapi hati Syaqib sama sekali tak terikat dengan gadis itu. “Karena hatiku sudah untuk oaring lain” (halaman 32) begitu kata Syaqib.

Konflik mulai muncul ketika tumbuh benih-benih cinta antara Milati dan Misas. Misas adalah mahasiswa S2 lulusan Yaman. Namun, karena Misas telah dijodohkan dengan Hurin, cinta mereka tak bisa bersatu. Sebenarnya cinta mereka bisa diperjuangkan. Sayang, Milati membohongi kata hatinya dengan mempertimbangkan banyak hal.

Konflik semakin mencuat ketika Misas dan Hurin menikah dan Milati harus hidup serumah dengan suami istri itu. Hal ini dikarenakan Hurin adalah seorang gadis buta, dan Milati adalah orang kepercayaan yang dipercaya bisa menjaga Hurin.
Pernikahan Misas dan Hurin bukan malah memupus rasa cinta Misas kepada Milati atau sebaliknya. Bahkan Milati begitu dicekam rasa cemburu dan ia selalu ingat akan rasa cintanya kepada Misas seperti yang terlihat dalam puisi yang ditulis oleh Milati di bawah ini.

Kenangan-kenangan selalu terawang
Meskipun lepas ia terbuang
Kenangan tak pernah pelit
Meskipun ia pahit berbelit-belit

Kini kemana kan kubagi duka
Jika kenangan selalu saja murka
Cukuplah aku bermuram durja

Bukankah semua kan mengalir saja (hlm. 209—210)

Sebuah akhir cerita yang yang sudah bisa diduga tersaji menjadi ending yang kurang begitu apik. Sebuah ending yang sering kita jumpai pada cerita-cerita kebanyakan. Namun apa pun itu, novel besutan anggota FLP (Forum Lingkar Pena) Malang ini mampu memberikan nasihat berharga dalam menyikapi cinta. Utarakan atau pendam dan membawa timbunan luka yang mungkin entah kapan bisa disembuhkan. Sebuah pilihan yang sulit dan pilihan mana yang terbaik, Anda bisa menemukan jawabannya di dalam novel ini. Selamat membaca dan digoncangkan!

? Peresensi adalah alumnus Sastra Indonesia UM dan guru Bahasa Indonesia SMAN 3 Malang

Aku jatuh cinta pada hujan







Aku jatuh cinta pada hujan.....
semenjak menelanjangi pesonanya dari balik jendela
kaca yang berdebu .......
embun hujan memeluk kaca dan di sana,
jariku bergerak menggurit sebentuk cinta.....
Hujan mengingatkan aku pada banyak hal....
kejernihan, keteduhan, kehangatan.....
Tataplah wajah hujan
dari balik jendela kacamu,
maka ia akan menyentuh hatimu....
dan kau akan jatuh cinta padanya....











Aku napi no. 786 bila melihat keluar terali penjara.….
Aku melihat bulan, tahun, berganti abad
Harum ladang ayahku tercium dari negeri ini
Panas matahari di sini mengingatkanku pada redup pangkuan ibuku
Hujan di sini membawa musim semi negeriku
Dan musim dingin di sini bersatu dengan hangatnya lodi negeriku
Dan kata dia ini bukan negerimu, tapi kenapa dia nampak seperti negeriku?
Katanya aku bukan seperti dia, lalu kenapa dia mirip aku?
Aku melihat malaikat kecil yang turun dari langit, dia berkata……
Namanya Samiya, dia memanggilku Veer
Dia bagai orang asing, tapi dia bersikap seperti kerabat buatku
Mendengar kata-katanya yang benar
Aku ingin hidup kembali dengan sumpah dan janji2nya
Kata mereka aku bukan seperti dia, lalu kenapa dunia melawan, dia membelaku?
Aku melihat sebuah Zaara baru yang bersatu dengan warna-warni desaku
Dia lupakan impianya demi wujudkan impianku
Kata mereka aku bukan seperti dia, lalu kenapa dia nampak seperti aku?
Dia berbakti pada kerabat-kerabatku
Dan tinggalkan kerabat-kerabatnya
Kini aku ingin membahagiakan dia, aku ingin hidup lagi demi dia
Kata mereka negeriku bukan negeri dia, lau kenapa dia tinggal di rumahku?
Kata mereka aku bukan seperti dia, lalu kenapa dia namapak seperti aku?
Itulah kata-kata napi no. 786 bila melihat keluar dari terali besi penjara…..

Fiksi Mini FavoritQ


Cerpen
[ Jawa Pos ; Minggu, 01 November 2009 ]
35 Cerita buat Seorang Wanita
Oleh : Agus Noor

Anjing

Ia berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.

Teka-teki Laki-laki yang Tak Kembali

Terkantuk-kantuk perempuan itu menunggu suaminya pulang. Terdengar kunci pintu dibuka pelan. Sejak itu suaminya tak pernah muncul.

Bayi

Tengah malam, bayi yang lapar itu terus menangis menjerit-jerit. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya, lengan dan kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.

Jangan Membunuh Ular di Hari Minggu

Kau bermimpi, seekor ular menyelusup masuk telinga ibumu. Kau menjerit, dan cepat-cepat menghantamnya. Saat terbangun, kau mendapati ibumu mati terkapar bersimbah darah. Kepalanya pecah.

Misteri Mutilasi

Ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan membuangnya ke kali. Polisi masih sibuk mencari pembunuhnya, sampai kini.

Api Sinta

Sinta berdiri di tepi api penyucian yang berkobar. ''Masuklah...,'' ujar Rama. ''Bila kau belum terjamah Rahwana, api itu akan menyelamatkanmu.''

Sinta menatap pangeran tampan itu dengan mata berkaca-kaca, sebelum akhirnya terjun dalam kobaran api. Semua yang hadir begitu lega ketika menyaksikan api itu perlahan padam: tubuh Sinta tak terbakar.

Hanya kedua payudaranya yang gosong.

Pengantin

Tak pernah ia bertemu perempuan secantik itu. Mengingatkannya pada Putri Tidur jelita. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama dan meminangnya. Tak ada yang tahu ketika ia membawa mayat itu ke kamarnya.

Kisah Seorang Psikopat

Sebelum polisi tiba ia bergegas mengemas koper yang berisi potongan tubuhnya sendiri.

TKI yang Pulang Kampung

Ia dikabarkan mati. Saat ia kembali, keluarganya sedih. Tengah malam ia pun menggantung diri.

Ambulans yang Lewat Tengah Malam

Ambulans yang membawa jenazahmu berkali-kali oleng karena sopirnya ngantuk. ''Aku tak mau mati kecelakaan lagi,'' katamu. ''Sini, biar saya setir.'' Pak Sopir pun gantian istirahat di peti mati.

Kulihat ambulans itu melintas pelan menuju rumahmu.

Ulat dalam Kepala

Bocah itu begitu iba pada adiknya yang bertahun-tahun terbaring sakit dengan kepala yang makin membengkak. ''Seperti ada ribuan ulat di otakku,'' keluh adiknya selalu. Suatu hari bocah itu melihat ibunya membelah apel, dan ada ulat di dalamnya. Tengah malam, diam-diam, ia mengambil pisau. Kini ia tahu bagaimana menolong adiknya.

Mayat di Pinggir Kali

Mayat itu ditemukan telanjang di pinggir kali. Ia kemudian dilaporkan ke polisi dan dihukum lima tahun penjara karena dituduh melanggar Undang-undang Pornografi.

Sumur Tua di Belakang Rumah

Ada sumur tua di belakang rumahku. Setiap purnama air sumur itu memerah.

''Dulu,'' cerita Nenek, ''puluhan orang dibantai, dan dibuang ke dalamnya.'' Sejak itu, siapa pun dilarang mendekat.

Tapi diam-diam aku suka ke sana. Menyaksikan bangkai mayatku mengapung di dasar sumur itu.

Matinya Seorang Pelawak

Tak ada yang tersenyum menyaksikannya di panggung. Ketika ia mati, semua orang tertawa.

Sarapan Pagi

Potongan daging busuk penuh belatung berceceran di lantai. Bau busuk meruap kamar gelap itu. Sumanto menikmati sarapan paginya dengan tenang.

Salju

Matahari begitu terik. Sebutir salju melayang jatuh di telapak tangan. Ia berteriak gembira. Sejak itu orang-orang menganggapnya gila.

Saat Paling Indah dalam Hidup Sepasang Suami Istri

Keduanya duduk di beranda, menikmati teh hangat, memandang senja yang bagai usia perkawinan mereka. ''Ceritakan kisah paling lucu dalam hidupmu,'' kata si istri.

''Ialah ketika aku membunuhmu,'' jawab si suami.

Mereka pun tertawa.

Mudik Lebaran

Aneh sekali. Stasiun lengang dan sepi. Cuma ia sendiri. Sesekali terdengar lengking peluit. Tapi kereta itu tak juga muncul. Padahal ia sudah menunggu sejak Lebaran bertahun lalu.

Berita dari Koran Pagi

Ayahmu menggampar ibumu sampai mati karena ia telah menggorok kamu yang dengan sadis membacok ayahmu hingga tewas hanya karena tak membelikanmu mainan.

Tamasya Keluaga Seorang Kerani

Liburan sekolah ini ia ingin mengajak anak-anaknya tamasya. ''Meski miskin, sesekali perlu juga kita rekreasi,'' katanya. Anak-anak bersorak gembira. Menyisihkan sedikit uang gaji, digoncengnya anak-anak ke Kebun Binatang. Ia tersenyum menyaksikan mereka berlarian, main prosotan.

Mendadak ponselnya berbunyi. Dari istrinya, ''Katanya mau ngajak liburan. Anak-anak nunggu di rumah nih!''

Buru-buru ia ngebut pulang. Tapi di tikungan sepeda motornya terguling dan truk yang melaju kencang langsung menyambarnya. Sedetik sebelum nyawanya melayang, ia tiba-tiba teringat kalau istrinya sudah meninggal setahun lalu.

Hiroko

Ia tak terbangun ketika bom atom itu meledak di sampingnya.

Reinkarnasi

Setelah mati di masa depan, aku terlahir kembali di masa silam sebagai diriku yang sekarang.

Pohon Hayat

Ketika kanak, kau mendengar kisah pohon rimbun di alun-alun kotamu. Setiap selembar daunnya luruh, seseorang akan mati. Pernah sebagian besar daunnya rontok ketika terjadi pembantaian.

Saat ini kau gemetar memandangi satu-satunya daun yang tersisa di pohon itu.

Ibu yang Menunggu

Anaknya hilang saat kerusuhan. ''Mungkin diculik. Mungkin terpanggang api yang membakar pertokoan,'' kata orang-orang. Sejak itu ia selalu duduk termangu di beranda, hingga larut.

Bertahun-tahun kemudian para peronda masih sering melihatnya duduk di situ, meski ia telah lama mati dan rumah itu sepi.

Halte

Terkantuk-kantuk kau duduk di halte menunggu angkot yang akan membawamu pulang. Begitulah, setiap hari, kau selalu pulang kerja selarut ini.

Angkot datang. Kau segera masuk. Ketika angkot itu kembali melaju, kau menegok ke jalanan sepi di belakangmu. Kau melihat dirimu yang tengah terkantuk-kantuk menunggu di halte itu.

Ramalan

Suatu kali seorang peramal mendatangi. ''Kau akan mati ketabrak kereta api,'' katanya. Padahal ia tak pernah dilahirkan.

Kasus Salah Tangkap

Kau tak pernah bisa mengerti, kenapa polisi menangkapmu. Mereka terus menginterogasi. Menggertak dan memukulmu berkali-kali. Memaksamu agar mengaku. Kau dituduh membunuh kekasihmu. Padahal kekasihmu masih hidup. Kaulah yang mati.

Lelucon Seorang Badut

Ia suka menghibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.

Tabrak Lari

Saat terburu berangkat kantor kau menabrak pejalan kaki. Tubuhnya terpelanting dan tergilas. Kau terus tancap gas.

Malam harinya, istrimu begitu sedih saat mendapat kabar kalau kau mati tertabrak lari ketika pulang kerja sore tadi.

Kau menangis menceritakan kisah itu padaku yang tadi pagi mati karena tabrak lari.

Seusai Pemakaman

Seusai dikuburkan, ia pun kembali ke rumah. ''Ayah pulang! Ayah pulang!'' Anak-anaknya berlarian riang. Di pintu, mata istrinya berlinang.

Di Kafe

Sembari menunggu ia bercakap-cakap dengan tamunya yang tak pernah datang. Sampai kafe tutup. Dan ia pulang. Tapi pelayan kafe masih melihatnya terus duduk di kursi itu.

Alibi

Kau merasa senang karena akhirnya kau dibebaskan dari tuduhan. Polisi tak bisa mendakwamu, karena ketika kau terbunuh dan mayatmu ditemukan malam itu, kau memang tak ada di tempat kejadian.

Perempuan yang Mati Membakar Diri

Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.

Pada Sebuah Kuburan

Orang-orang bilang kuburan itu berhantu. Bila pulang malam-malam, kau pasti merinding setiap melewatinya. Seperti ada suara yang terus melolong. Kau sedih setiap kali mendengar lolong itu. Lolong itu selalu mengingatkanmu pada kejadian bertahun lalu, ketika kau dulu mati dipotong-potong dan dibuang ke kuburan itu.

Sebutir Debu

Tepat, ketika sebutir debu itu jatuh menyentuh tanah, semesta ini pun meledak.

---

Jakarta-Jogjakarta, 2008-2009 (Untuk Jenny Ang)

*) Agus Noor, cerpenis dan penulis naskah teater, tinggal di Jogja

Galerry cerpen(Q)












Di Kolong Langit Jeddah yang Pucat
Cerpen Mashdar Z.

Kau rasakan layar kecemasan mengembang di wajahmu yang kuning pucat. Seperti siluet senja yang melesat di antara punggung Gunung Radwa dan Abha yang kelabu. Kau teringat nenekmu yang sebatang kara di negeri seberang. Kau teringat wajahnya yang cekung, atau punggungnya yang membungkuk karna saban hari merangkak mengambah alas Watu Gilang untuk memunguti ranting-ranting kering, atau geguguran dedaunan jati. Nenekmu hanya seorang buruh tani yang ketika menunggu musim panen sama halnya dengan menunggu lebaran tiba. Bila musim tanam selesai, nenekmu selalu merangkak menyisiri hutan-hutan di kaki Gunung Wilis, untuk segendong kayu bakar atau segepok daun jati yang nantinya akan ia tukarkan dengan beras dan minyak curah. Ah, kau benar-benar merindukannya.
Beberapa tahun lalu, sebelum kau melesat terbang untuk meraih serpihan rizqi di bawah langit kota Jeddah yang jauh, kau tak pernah bisa lepas dari nenekmu. Kau hidup berdua saja denganya. Ibumu keracunan ketuban saat melahirkanmu, biaya persalinan yang pas-pasan tidak memungkinkanya untuk memperoleh tindakan cepat, maka setiap nenekmu bercerita perihal kelahiranmu, kau seperti menyayat luka yang terpatri di wajahmu. Tak cuma itu, berselang satu setengah tahun terpaut usiamu, ayahmu mangkat karena sengatan paru-paru basah yang sama sekali tak tersentuh tangan medis, selain kehendak Tuhan tentu saja karena alasan klasik yang klise: biaya. Itulah mengapa kau begitu benci dengan kemiskinan. Kemiskinan telah merenggut orang-orang yang kau cinta sebelum kau sempat mematri raut wajah mereka dalam benakmu.
Kau tahu, nenekmu begitu menyayangimu. Kau layaknya manik permata yang selalu di elu-elukannya. Wajahmu cantik, gerak lakumu jujur dan lugu. Ia tak mau jika kau menjadi lekang dan rapuh hanya karena pengaruh pergaulan di kampungmu yang mulai menyisihkan nilai-nilai ketimuran seorang gadis. Tentu kau masih ingat dengan Eli, teman sekelasmu yang mati bunuh diri gara-gara tak kuasa menanggung aib yang mengembung di perutnya.
Maka, seusai menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas, nenekmu menyarankanmu untuk bertebaran ke negeri jauh, menjemput berkah yang telah di sebar Gusti Allah di muka bumi. Awalnya kau bersikeras untuk tetap tinggal menemani nenekmu, agar tetap bisa menjagainya di usia senja. Namun air mata tua nenekmu telah meluluhkan keras kepalamu. Akhirnya kau pun berangkat.
Ketika itulah, kau rasakan pertama kali betapa birunya warna perpisahan. Pikiranmu bergejolak. Di usiamu yang baru belasan tahun itu, tak pernah kau bayangkan kau akan melayarkan bahtera seorang diri, jauh ke tengah samudera kehidupan yang luas tak beranah tepi.
“Jika perahu telah kukayuh ke tengah, pantang bagiku membalik arah, biarpun besar gelombang, kemudi patah, layar robek, itu lebih baik dari pada memutar haluan pulang.” Bisikmu.
***

Asing sekali ketika kakimu menapak negeri bertanah gurun itu. Di sebuah rumah yang megahnya seperti masjid itu kau bekerja. Merawat perempuan pikun dan balita. Dengan gaji tujuh ratus real yang tak pernah sampai ke tanganmu. Tahun pertama kau bekerja, kau hidup seperti budak tawanan perang. Sayyidah Fatat yang bermata lebar dan bercelak tebal itu selalu mengawasi gerak-gerikmu. Barangkali ia tak mau melihatmu bermalas-malasan. Melihatmu duduk tanpa melakukan sesuatu, baginya adalah sama halnya membuang dirham .
Jaddah Raisyah, perempuan renta yang melata di kursi roda itu pun selalu menyusahkanmu. Kau merawat perempuan pikun itu seperti merawat cicitnya. Menyuapinya saat makan, menyeka tubuhnya yang lemir, mengelap air liurnya, atau kalau lebih buruk lagi menimpal bekas kotorannya. Awalnya kau merasa jijik dan hendak muntah, tapi lama semakin lama kau menjadi sangat terbiasa. Kau bayangkan wanita tua itu nenekmu dan semuanya menjadi lebih mudah kau lakukan.
Tahun berganti tahun kau jalani, dapat kau rasakan lembaran demi lembaran hidupmu yang datar dan buram tanpa warna. Kebosanan yang merestan di kepalamu kini telah lumat oleh ketidakberdayaan. Dekat sekali kau rasakan campur tangan Tuhan atas skenario yang kau perankan sekarang ini. Maka kau bisa apa? Bahkan ketika Sayyid Junaid, suami Sayyidah, mulai berani mencolek-colek pinggulmu, kau pun tak bisa berbuat apa-apa.
Sampai datanglah suatu ketika yang celaka. Sayyidah menggelar sebuah pesta besar-besaran di rumahnya. Seluruh tenagamu dikurasnya. Kakimu gemetar melihat keramaian yang begitu mencekam. Dari balik gorden dapur kau lihat para tamu yang mengangungkan pesta dan kesenangan. Orang-orang berhidung panjang dan bercambang tebal, orang-orang berkulit hitam dan berambut kriting, mereka berkumpul melebur dalam tahniah dan tari-tarian. Mereka menyatap kambing guling dan ikan sadil ‘arab seperti srigala lapar. Nasi samin yang kau tanak semalam suntuk, tandas oleh perut mereka.
Seusai pesta, dan tamu-tamu pulang. Kau merangkak membereskan sisa-sisa pesta yang berantakan. Sayyidah pergi mengantarkan saudara jauhnya dan mungkin kembali esok lusa. Tinggalah kau seorang, bersama nenek pikun dan Sayyid Junaid yang tatapan matanya seperti hendak menerkam.
Malam itulah, ketika tiba-tiba Sayyid Junaid memintamu ke kamarnya untuk memijtnya, kau juga tak bisa menolak. Malam itu bisa kau rasakan, kau seperti ayam kecil yang terperangkap dalam liang musang. Benarlah, Sayyid Junaid mulai merayumu. Kau menolaknya, akibatnya kau pun mendapat satu tamparan keras di pipi kananmu. Kau berontak, hendak berlari dari darinya, dengan cekatan pula lelaki arab bernafsu kuda itu merengkuhmu, melumatmu dalam tarian-tarian menyeramkan. Semenjak itu, malam-malam tua telah menjadi seteru yang menyematkan luka abadi dalam lubuk dadamu. Seperti lolongan rase gunung, setiap malam kau memperpanjang tangismu sambil mencakar wajahmu sendiri. Ngilu.
“Telah tersemat ribuan jarum dalam ketubanku. Aku musafir asing yang kehilangan kaki. Lantas musti bagaimana aku meneruskan mimpi. Luka ini terlampau mendarah daging, rasanya waktu pun tak akan mampu menyembuhkannya. Ini memang tak lebih sakit dari mati, tapi ini lebih buruk dari mati.” Cercaumu, pilu.
***

Petang itu, ketika rumah Sayyidah sepi kau berjingkat meninggalkan perempuan tua yang tergolek di kasur bersama kotorannya sendiri itu. Kau benar-benar sudah tak tahan. Kau berjingkat membawa beberapa helai pakaian yang kau bungkus dalam kain jarit milik nenekmu. Kau cek setiap penjuru pintu. Semua terkunci rapat. Kau berpikir, mereka memang sengaja memasungmu. Kau pun tak pendek akal. Kau turun lewat balkon samping dengan beberapa utas kain yang kau kaitkan jadi temali. Kau sudah seperti buronan yang hendak kabur dari bui. Tak kau pikirkan, kau tak membawa bekal atau uang sepeserpun. Ah, barangkali gejolak badai di bathinmu mengalahkan rasa lapar.
Lihatlah! Di tanah gharib itu kau jadi gelandangan. Ayunan langkahmu selalu gontai musabab lututmu yang selalu gemetar menahan beratnya beban yang kau pikul seorang diri. Perutmu juga terasa melilit dan panas. Kepalamu berat bukan main. Kau mulai suka terbatuk-batuk. Sempurna sudah apa kau cemaskan sejak pertama kali menginjak tanah terik berdebu itu. Kau melanglang serupa orang terusir. Berteman baik dengan trotoar-trotoar dan rasa lapar. Hingga sampailah langkahmu pada bangunan kardus di bawah jembatan Waladhaek yang gagah itu. Di sana kau bertemu dengan Suryani, gadis 17 tahun asal Jombang, yang bernasib sama denganmu atau barangkali lebih buruk. Bisa kau tilik bekas luka memar di jidadnya, juga bekas luka bakar yang menghitam di lengan kirinya. Kabarnya ia kabur karena tak tahan oleh siksaan majikannya. Tak hanya Suryani yang jadi penghuni kolong jembatan angkuh itu. Di sana juga ada Nunung asal Tasikmalaya yang sengaja dibuang majikannya karena memiliki penyakit kulit menjijikan yang konon menular. Ada juga Dwi, Fauziah, dan Jumiati. Semua meiliki kisahnya sendiri-sendiri. Ah, bagimana dengan kisahmu sendiri? Sama mirisnya dengan kisah mereka.
“Mengapa manusia harus lahir ke muka bumi, jika ia tak memiliki hak untuk hidup selayaknya manusia. Dunia memang angkuh.” Bisikmu lembut seperti kabut yang menguapkan aroma racun yang kental.
Begitulah, di kolong jembatan itu kau hidup bersama mereka seperti keluarga. Saling bertukar kata dan saling menghibur. Apa yang mereka makan, itulah yang kau makan. Tapi, selalu saja, ada yang pahit yang membaur bersama hari-harimu, hari-hari kalian. Lihat saja Nunung, tampaknya dia yang paling rapuh menahan beban. Sepanjang siang dan malam yang dilakukanya hanya termenung dan menangis. Badanya kurus karena tak pernah mau makan. Pucat masih tampak di wajahnya meski hampir seluruh kulitnya dipenuhi bintil-bintil merah yang berminyak dan mengelupas. Beberapa kali ia menyalahkan Tuhan yang telah sempurna menyengsarakan hidupnya. Beberapa kali Nunung tampak mengeluhkan rasa perih di ulu hati dan sekujur tubuhnya. Ia menangis tak henti-henti, ingin bertemu dengan ibu-bapak dan sanak keluarganya di kampung halaman. Tapi apa boleh buat. Setelah menangis panjang itu, Nunung tak tampak lagi sampai kau menemukanya terjuntai kaku di tiang rangka jembatan dengan lilitan tambang di lehernya. Ah, haruskah semua ini berakhir memar.
Kau terisak menahan bongkah cadas di dadamu. Kau usap perutmu yang kian hari kian mengembung. Ini salah siapa? Tak ada yang salah. Demi memikirkan semua itu, nyeri di kepalamu kambuh. Badanmu terasa semakin ringkih dan kedinginan.
“Tuhan… kalau memang aku harus mati waktu dekat ini. Jangan biarkan aku mati dalam keterasingan. Izinkan aku mati di pangkuan nenekku, di kampung halamanku.” kau terus terisak sampai suaramu serak dan habis, sampai rasa kantuk yang indah menjemputmu untuk singgah ke alam bawah sadar. Alam di mana mimpi buruk menjadi hal yang lebih indah. Ah, semua mengalir saja seperti air. Kehidupan selalu begitu. Dunia selalu begitu.
***

Kau gagap terbangun di akhir sepertiga malam, kau rasakan badanmu menggigil bukan main, perutmu terasa sangat mual, begitu pula, kepalamu terasa sangat nyeri dan berat. Kau beranjak dari rumah beratap jembatan itu. Kau semakin menggigil. Kedua gigimu bergemeletak menahan dingin. Kau tatap rembulan pucat yang berlayar ke utara menghindari arakan mendung gelap. Sepi. Teman-temanmu masih pada terlelap, terpasung gelap. Sekali lagi kau tengadahkan wajah ke langit lepas. Kau berusaha mengingat seperti apa warna langit di kampung halamanmu. Sama kah? Di kampungmu, pada detik itu, kau akan mendengar alunan tarhim seperti eufoni kramat yang menlengking dari petala langit. Kemudian nenekmu akan membangunkanmu untuk mengambil air wudhu.
Entah mengapa, tiba-tiba dadamu penuh sesak, perasaanmu tidak enak. Mungkin kau terlalu merindukan nenekmu, kampung halamanmu. Rasanya kau ingin tertidur lagi, dan tiba-tiba nenekmu datang dan membenarkan letak selimutmu. Ah, tapi perutmu sangat mual, tenggorokanmu sangat perih dan sesak bagai tercekik, bahkan kau terbatuk-batuk dalam. Ada apa lagi dengan tubuh rapuh ini? Beberapa jenak, kau terbatuk-batuk lagi, semakin dalam. Perlahan kau merasa ada yang meleleh dari lubang hidungmu. Kau menyentuhnya. Kau mendapati cairan kental, warnanya merah pekat. Tak kau pedulikan. Kau merebahkan tubuhmu di atas hamparan rumput kering yang mengembun. Matamu menyimpan cermin yang dapat mengundang kupu-kupu yang terpasung rembulan di atas sana. Kau tersenyum menyapa bintang-gemintang yang kesepian. Tiba-tiba kau merasa seperti tertidur di pangkuan nenekmu.]*

*Malang, 5 September 2009

* Cerpen ini terilhami dari sebuah berita di media yang mengabarkan tentang seorang TKW muda asal Indonesia yang meninggal di bawah kolong jembatan Jeddah, yang diusir majikanya karena mengidap sebuah penyakit. Sampai ajal menjemputnya, permintaannya yang terakhir belum juga terwujud: bertemu ibu bapaknya di kampung halaman.

Zalzalah



Milati masih membisu. Ia tak menentang mata Bu Nyai yang menghunjamnya meminta jawaban, tak juga menunduk. Sebelum ia mendobrak hatinya dan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya, ia haruslah tenang. Karena ia tengah mempertarungkan pikirannya. Haruskah ia mengatakan apa yang sesungguhnya? Apa yang kemudian diputuskan Abah dan Bu Nyai jika ia mengatakan kebenaran hatinya? Sungguh jauh dari bayang benaknya. Betapa banyak mudharat mengintai bila ia mengatakan kebenaran itu. Kebenaran hatinya sebenarnya bukanlah kebenaran yang pahit baginya. Akan tetapi bila ia utarakan juga, maka alangkah banyak orang yang akan terimbas bisanya. Pertunangan antara Misas dan Hurin tentulah sudah matang direncanakan oleh Abah, Bu Nyai tentu juga dari pihak Kyai Syafi’.

Milati tak mau melihat kedua ayah ibu asuhnya itu didera aib yang akan tertinggal di mata kyai dari Pare itu. Meskipun ia seorang kyai, Kyai Syafi’ tetaplah manusia yang dapat merasa perih bila dikecewakan dan menanggung luka bila nadi batinnya diiris-iris. Demi kebahagiaan diri, haruskah ia memenggal hubungan baik antara dua keluarga yang terjalin sejak lama? Belum lagi perasaan seorang gadis salehah yang harus ia rebus hidup-hidup di dalam bejana egonya. Bukankah seseorang yang berkorban itu selalu lebih mulia dibandingkan dengan orang yang mengorbankan orang lain? Akan tetapi, mampukah ia menjinakkan zalzalah di dalam hatinya dan merelakan Misas menjadi milik orang lain?

Milati yang sejak kecil hidup dan mengabdi di panti, kini mengambil jalannya sendiri, dan bersama zalzalah ia pergi.

Aku, Mentari Dan Bulan

Jika malam merayap, aku berbisik:
Surya… surya…
Begitu besarmu kalau malam lenyap pula
Tentu yang menelanmu lebih raya
Atau mungkin terlalu kecilnya aku
Sehingga malam tiba aku tak menjangkaumu
Sudah, biarlah, ada nikmat saat kau sembunyi
Ni'mat menabur benih lelap agar berbunga
Nikmat menghadang berkah agar tak kering
Semua berlalu dengan edarnya
Kalau siang menerang, kukan berdesis lagi :
Bulan… bulan…
Begitu nyaman redup anggunmu
Kalau siang beringsut juga
Tentu ada yang merindumu di seberang sana
Atau mungkin aku saja yang terlampau lemah
Hingga tak kuasa mengejarmu
Sudah, biarlah, ada hajat saat kau pamit
Kalau tidak, semua akan lena saja olehmu
Dan itu bukanlah pilihan jitu
Dalam istirahatmu orang takkan enggan berpeluh
Membangun rumah-rumah di relung cerahnya
Semua memang ada edarnya
Kau dan surya takan berjalan seiring
Seperti aku kini-sepi.

Galerry cerpenQ


Bocah Pasir Brantas


Bila luapan air mulai susut, tepian bengawan itu selalu dipenuhi kerikil dan endapan-endapan pasir basah, yang bila mengering akan tampak menggunduk seperti bukit-bukit kecil di padang gurun. Ia hapal betul, kapan air akan meluap dan surut. Dari rumahnya ia dapat mendengar kemerosak suara air pasang. Sesekian waktu bila ia rasa air telah susut, ia akan menaiki tanggul tepian sungai itu sambil membawa serok dan ciduk pasir yang dibuatnya dari bekas kaleng kotak biskuit.

Ia tinggal di tepian bengawan itu bersama ibu dan kedua adiknya. Ayahnya hilang ditelan bah besar lima tahun lalu, jasadnya juga tak pernah ditemukan. Tak ada yang tahu, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Rumah bambu itulah satu-satunya warisan nenek moyangnya yang turun temurun hidup sebagai penggali pasir. Bengawan dan rumah rapuh itu hanya terpisah oleh tanggul tinggi yang tampak kokoh, yang mungkin telah ada sebelum kakek buyutnya lahir. Tanggul itulah yang setiap hari ia naik-turuni. Dari seberang tanggul itulah ia membantu ibunya yang pincang untuk menghidupi kedua adik perempuannya.

Orang-orang biasa memanggilnya Thekhel. Badanya kecil tapi tegap dan berisi. Kulitnya hitam mengkilat oleh sengatan matahari dan debu-debu pasir. Rambutnya cepak, merah dan kering. Usianya belum genap lima belas tahun. Setamat SMP ia sengaja tidak melanjutkan sekolah. Ia tahu, ibunya tidak mungkin bekerja lebih untuk membiayai sekolahnya. Maka ia putuskan untuk terjun berjibaku dengan pasir dan kerikil, meneruskan pekerjaan warisan moyangnya.

Satu adiknya berumur sepuluh tahun, dan satunya lagi baru masuk SD. Dengan kakinya yang pincang sebelah, ibunya hanya bisa bekerja sebagai buruh cuci dan kadang-kadang sebagai tukang ikat bawang di rumah juragan Warsi. Bila tak ada pekerjaan, sementara dua adiknya masih sekolah, ibunya selalu menyusulnya turun ke sungai untuk sekedar membawakan air putih atau makanan kecil yang bisa ia santap saat beristirahat dari galian pasirnya.

Berapapun hasil yang ia dapat dari menggali pasir, selalu ia serahkan pada ibunnya. Ibunya pun tak pernah banyak bicara keculai mengucapkan terima kasih. Di antara teman-temannya sesama penggali pasir, hanya ia yang tidak berani macam-macam. Sebenarnya bisa saja ia menyimpan sendiri uang hasil jerih payahnya untuk ditukarkannya dengan rokok atau minuman berbotol yang menyengat itu. Setiap kali teman-temanya mengajak pesta kecil-kecilan ia selalu memiliki alasan yang tepat untuk menolaknya. Itu ia lakukan semata karena ia sangat mencintai ibu dan adik-adiknya.

Lamat-lamat ia masih bisa mengingat kata-kata ayahnya lima tahun lalu, kini ia baru bisa betul-betul mencerna kata-kata itu, “Fakir itu dekat sekali dengan kufur, le…, hanya ada dua pilihan bagi orang miskin seperti kita, syukur atau kufur. Kalau kita bersyukur maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orang-orang kaya yang pandai bersyukur. Tapi kalau kita kufur…. Derajat kita akan lebih rendah dari pada orang kaya yang kufur…. ”

***

Di usianya yang masih hijau ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman biru. Hidup serba sederhana, sebagai penggali pasir tak pernah membuatnya mengeluh. Hari melaju dari minggu ke bulan dan tahun. Hari-harinya tak ada yang baru. Pagi-pagi buta sebelum dunia terbangun ia telah bangun. Usai ke surau ia akan cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan dengan kaos oblong panjang yang warnanya sudah tak jelas. Pagi-pagi itu ia akan menaiki tanggul dan turun ke tepian bengawan untuk menepuk-nepuk endapan pasir dengan kakinya. Ia bisa mengira-ngira, mana pasir yang bagus dan mana pasir yang kurang bagus. Bila terdengar suara ‘bug…’ maka bisa ia pastikan, pasir itu bagus dan tidak banyak bercampur kerikil. Setelah itu ia akan mulai membuat tanda galian di situ.

Para tengkulak dan juragan truk pasir selalu tepat waktu mengangkut pasir-pasirnya. Bila pasir yang ia kumpulkan bagus, maka satu baknya bisa dihargai 60 sampai 75 ribu. Namun bila pasir yang ia dapat bercampur lumpur dan kerikil, biasanya para tengkulak hanya akan menghargainya 40 ribu atau terkadang 50 ribu.

Selepas musim penghujan, menjelang kemarau. Ia akan mengumpulkan banyak uang. Sebab, setelah air sungai susut, sepanjang tepian sungai Brantas akan dipenuhi endapan pasir. Para penduduk akan berbondong-bondong, berebut menandai galian. Sebab bila telah ada satu galian, pantang bagi orang lain untuk meneruskan galian di tempat tersebut.

Bila musim hujan kembali, ia akan banyak menganggur. Sebab luapan sungai yang deras tak memungkinkannya untuk membuat galian. Bilam musim hujan tiba, ia akan menghabiskan banyak waktunya di rumah. Menjagai kedua adiknya, ketika ibunya pergi ke desa seberang untuk mengambil dan mengantar cucian.

***

Hujan berinai malam itu. Ia bisa mendengar gemuruh air bah datang. Ia teringat, sedikit pasir yang ia kumpulkan susah payah tadi pagi akan hilang tak bersisa diseret luapan air. Kedua adiknya sudah tertidur pulas di atas gelaran tikar. Ia dan ibunya duduk di bangku panjang sambil mengudap kerupuk layu yang di goreng ibu kemarin sore. Percikan hujan dari luar bisa menerobos celah-celah atap rumah yang tidak rapat itu. Dingin. Ia duduk sambil membuntal tubuhnya dengan kain sarung.

,“Sepertinya, Ramdahan tahun ini kau harus beristirahat dari galian pasirmu. Musim hujan tampaknya akan berlanjut sampai habis lebaran qurban.” Ungkap ibunya.

Iya, bu. Sepertinya begitu.” Balasnya lesu.

Yah, kau tak perlu murung. Rizki sudah ada yang mengatur. Seperti tahun-tahun lalu, meski musim hujan berkepanjangan, kita juga masih bisa makan.”

Iya, berbulan-bulan cuma makan thiwul dengan lauk ikan asin.”

Hush…! kau tak boleh bicara begitu. Apapaun itu, kita harus tetap bersyukur. Toh, setiap bulan Ramadhan tiba, berkah dari Gusti Allah banyak bertebaran.”

Ia tidak menyahut hanya bergeming merapatkan buntalan sarung yang membungkus rapat tubuhnya.

Oh, ya Khel… besok ada santunan di Rumah Haji Syakur. Ibu sudah dapat kuponnya, besok tinggal ambil.” Ibunya coba menghibur.

Alhamdulillah….” kata itu saja yang keluar dari mulutnya.

Yah, sudah. Malam ini kita harus cepat-cepat tidur. Besok, ibu harus berangkat pagi-pagi untuk mengantri. Kau tahu sendiri kan… antrian yang mengambil santunan itu jumlahnya ratusan orang, bahkan bisa ribuan. Ibu harus berangkat pagi supaya dapat urutan lebih awal, supaya bisa pulang lebih cepat.”

Atau biar saya saja yang mengambilnya ke sana.” Tawarnya.

Ah, tak usah. Biar ibu saja. Kamu di rumah saja, jagai adik-adikmu. Tak usah masak. Buat buka, biar nanti ibu beli saja di warung. Ya, semoga ibu bisa pulang sebelum bedug.” jelas ibunya yang kemudian beringsut merebahkan diri di gelaran tikar, di sebelah adik-adiknya terbaring.

Sampai benar-benar malam ia belum juga dapat memejamkan matanya. Ia pandangi ibu dan kedua adiknya yang terbaring pulas. Senyum getir mengembang di antara dua bibirnya. Ricis hujan tak juga reda, seperti nyanyian panjang pengantar tidur. Perutnya terasa keroncongan. Ia beranjak ke dapur, mencari-cari makanan namun tak menemukan apapun. Ia kembali duduk menyandarkan kedua tanganya di punggung meja. Sampai tertidur.

Pagi-pagi buta, sebelum adzan subuh melesat memecah kesepian langit, ia terbangun. Dilihatnya sang ibu telah sibuk menyiapkan tas anyaman dan jarit gendong yang biasa dipakainya untuk mengambil dan mengantar cucian.

Ibu mau berangkat sekarang?” tanyanya dengan suara serak mengantuk.

Iya, setelah shalat ibu langsung berangkat. Kamu jaga adik-adikmu. Kalau butuh apa-apa, ibu tinggalin duit sepuluh ribu, ada di dalam lemari di selempitan sarung bapakmu.” Jawab ibunya.

Ia menguap lalu mengangguk dengan suara tak jelas. Adzan subuh menggelegar. Dalam keadaan masih mengantuk, ia beranjak untuk cuci muka. Ia lihat ibunya telah mengenakan mukena dan menggelar sajadah. Beberapa jenak, ibunya berteriak memanggilnya.

Khel…, ibu berangkat dulu, ya.”

Ya…” sahutnya dari dalam kamar mandi.

Ia menggigil keluar dari kamar mandi. Dingin yang tidak biasanya. Dilihatnya rumah sudah sepi. Kedua adiknya masih lelap meski sesekali menggeliat. Perasaannya terasa ganjil. Entah mengapa, ia ingin berlari menyusul ibunya. Ia berharap-harap supaya ibunya bisa mendapat antrian paling depan dan pulang lebih awal.

***

Sepanjang pagi sampai siang, ia tak keluar rumah. Rupanya udara beku tadi pagi mengendap di sekujur tubuhnya. Ia menggigil. Kepalanya terasa agak berat. Beberapa kali ia mengingatkan kedua adiknya untuk tidak main jauh-jauh apalagi ke sungai. Ia terbaring di atas dipan bambu di ruang tengah, tepat di bawah jendela. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke layar jendela untuk memastikan bahwa kedua adiknya masih bermain di halaman. Dari jendela itu, ia pun bisa mengawasi belokan di ujung gang. Beberapa kali ia melirik ke belokan ujung gang itu, berharap-harap melihat ibunya yang membawa bingkisan sambil jalan bergoyang-goyang karena kakinya panjang sebelah.

Selepas ashar, meriang di badanya mulai terasa. Ibunya belum juga datang. Sudah lima kali kedua adiknya menanyakan kapan ibunya pulang. Ia hanya bisa menjawab nanti dan nanti sambil menghibur kedua adiknya, bahwa ibunya akan datang dengan membawa makanan dan biskuit. Setelah itu, kedua adiknya akan berteriak kegirangan.

“Kalau capek main sebaiknya kalian istirahat dulu. Nanti kalau ibu datang, kalian akan kakak bangunkan.” Katanya pada kedua adiknya yang tampak bosan.

Kedua adiknya mengangguk lalu rebah di gelaran tikar sambil saling jawil dan sesekali cekikikan. Ia tersenyum melihat adik-adiknya. Tak terasa, payah tubuhnya mengantarkannya pada lelap begitu saja. Ia terbangun gagap ketika mendengar bedug maghrib ditalu beberapa kali lalu disusul adzan maghrib. Ia terkejut, tak mendapati kedua adiknya. Ia meloncat dari dipan sambil teriak-teriak memanggil nama kedua adiknya. Ditengoknya kamar yang cuma satu-satunya itu, adiknya tidak ada di sana. Ruang dapur juga ditiliknya, namun sepi. Sama sekali ia tak mendapati tanda-tanda bahwa ibunya sudah datang. Ia bertanya-bertanya. Rasa takut dan cemas menari-nari di benaknya. Ia berlari keluar rumah, tak pula ia melihat dua gadis kecil itu. Langit mulai remang. Dadanya bergejolak ketika didengarnya gemuruh luapan air balik tanggul. Ia berlari menaiki tanggul sungai, air melup-luap. Ia tercekat melihat dua pasang sandal di atas tanggul itu. Dua pasang sandal adiknya.

Ia meraih dua pasang sandal itu sambil menagis menuruni tanggul. Ia tak mau percaya dengan kecemasannya. Sampai di rumah, ibunya belum juga kembali. Ia semakin cemas. Sama sekali ia tak merasakan lapar ataupun haus, meski sedari sahur tak seteguk airpun masuk ke dalam tubuhnya. Ia datangi rumah-rumah tetangga untuk menanyakan, apakah meraka tahu dimana adiknya. Namun ia tak mendapat kabar apapun kecuali kabar tentang terjadinya insiden di tempat pembagian zakat di rumah Haji Syakur. Kabarnya 21 orang tewas terinjak-injak gelombang antrian yang jumlahnya ratusan, atau bahkan ribuan. Ia tak bisa lagi berkata-kata. Pingsan pun tak bisa. Mulunta hanya komat-kamit menyebut nama Tuhan.]*

* Malang 13 Ramadhan 1930 H

* Cerita ini diilhami dari insiden zakat yang terjadi di Pasuruan yang menewaskan 21 orang, pada Ramadhan tahun lalu. Semoga kejadian serupa tidak terulang.




.



Veer Zaara


Tentang Romantika. Film india selalu menduduki nomor wahid (setidaknya bagiku). Ceritanya, saya lagi kena efek film india berjudul Ver-Zara, Subhanallah filmnya bagus banget. Mulai dari aktornya, alur ceritanya sampai sinematografinya. Wah… aku tak sempat melihat cela dalam film ini. Mungkin Cuma air mataku yang pancingnya sampai kering (berlebihan). Ver-Zara, film ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang pecinta demi nama baik kekasihnya. Ia rela dipenjara yang bukan karena kesalahannya. Selama dua puluh dua tahun ia menghabiskan waktunya dalam kesepian yang berkepanjangan. Yah…. Pokoknya ceritanya sangat menarik hanya saja saya tak bisa menceritakannya….. intinya film ini adalah kesetiaan, dan kebahagiaan yang muncul di waktu senja.

Lomba Menulis Cerpen Remaja 2009

PT ROHTO LABORATORIES INDONESIA
Kembali menyelenggarakan:
LOMBA MENULIS CERPEN REMAJA (LMCR-2009) Memperebutkan:
LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
Total Hadiah Senilai Rp 80 Juta

•Peserta:
Terdiri dari 3 (tiga) kategori : Pelajar SLTP, SLTA dan Mahasiswa/Guru/Umum

Syarat-Syarat Lomba:
1.Lomba terbuka untuk Pelajar SLTP (Kategori A), Pelajar SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C) dari seluruh Indonesia atau yang sedang studi/dinas di luar negeri
2.Lomba dibuka tanggal 10 Mei 2009 dan ditutup tanggal 3 Oktober 2009
3.Tema cerita: Dunia remaja dan segala aspeknya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, harapan, kegagalan, cita-cita, penderitaan, maupun kekecewaan)
4.Judul bebas, tetapi mengacu pada Butir 3
5.Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 (satu) judul
6.Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang benar, indah (literer) dan komunikatif serta bukan jiplakan dan belum pernah dipublikasi

7.Ketentuan naskah:
a.Ditulis di atas kertas ukuran kuarto (A-4), ditik berjarak 1,5 spasi, font 12 (huruf Times New Roman), margin kiri kanan rata (justified) maksimal 5Cm
b.Panjang naskah antara 6 – 10 halaman, disertai: sinopsis, biodata dan foto pengarang, foto copy indentitas (pilih salah satu: KTP/Paspor/SIM/Kartu Pelajar/Kartu Mahasiswa) yang masih berlaku
c.Naskah yang dilombakan dicetak/diprint-out masing-masing judul 3 (tiga) rangkap disertai file dalam bentuk CD
d.Naskah yang dilombakan per judul dilampiri 1 (satu) kemasan LIP ICE jenis apa saja atau 1 (satu) segel pengaman SELSUN.
e.Naskah yang dilombakan beserta lampirannya (perhatikan ketentuian Butir 7b, 7c dan 7d) dimasukkan ke dalam amplop tertutup/dilem, cantumkan Kategori Peserta pada kanan atas permukaan amplop dan dikirimkan ke Panitia LMCR-2009 LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD – Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau Sentul City, Bogor 16810 – Jawa Barat

8.Hasil lomba diumumkan 31 Oktober 2009 melalui website www.rayakultura.net dan www.rohto.co.id
9.Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
10.Naskah yang dilombakan menjadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarang

Hasil Lomba
Masing-masing kategori: Pemenang I, II, III, 5 (Lima)
Pemenang Harapan Utama, 10 (Sepuluh) Pemenang
Harapan, dan Pemenang Karya Favorit jumlahnya ditentukan kemudian (jika ada/layak)

Hadiah Untuk Pemenang
Kategori A (Pelajar SLTP)
•Pemenang I: Uang Tunai Rp 4.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III: Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Untuk 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Bagi 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN dan Bingkisan
•Hadiah untuk sekolah Pemenang I, II dan III masing-masing memperoleh satu unit televisi

Kategori B (Pelajar SLTA)
•Pemenang I: Uang Tunai Rp 5.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III: Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Bagi 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN dan 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat hadiah Piagam LIP ICE-SELSUN dan Bingkisan
•Hadiah untuk sekolah Pemenang I, II dan III masing-masing memperoleh satu unit televisi

Kategori C (Mahasiswa/Guru/Umum)
•Pemenang I: Uang Tunai Rp 7.500.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III:Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Bagi 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN dan 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN dan Bingkisan.

Catatan:
•Hadiah untuk Pemenang Karya Favorit (jika ada) memperoleh Piagam LIP ICE-SELSUN
•Semua pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang LMCR-2009
•Pajak hadiah para pemenang ditanggung oleh PT ROHTO LABORATORIES INDONESIA
•Informasi lebih lanjut e-mail ke: lmcr.2009@gmail.com

Ketua Panitia LMCR-2009
Dra. Naning Pranoto, MA

Indonesiaku yang lelah.....

Berkerjap kerjap di atas sana terbatuk-batuk dimain asap

Puisi Yang Maha Sastra

Hai, kawan.... coba sesajak berikut ini, kau akan terbang oleh keindahannya.....

'Adiyat...

Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah,

dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),

dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,

maka ia menerbangkan debu,

dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,

sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya,

dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,

dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.

Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,

dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,

sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
QS. al-'Adiyat 1 - 11

EDUMUSLIM MENYELENGGARAKAN LOMBA MENULIS ESAI ala CHICKEN SOUP
Dengan Tema “DUNIA BELUM BERAKHIR!”


“Ujian” Bukan hal yang asing. Mengandung berjuta makna yang di dalamnya ada kerja keras, usaha, kejujuran, dan keikhlasan. Jika baik hasilnya, maka kita menjadi pemenang. Tapi jika gagal melaluinya, apakah kita menjadi pecundang?? banyak orang memaknainya sebagai kegagalan. Malah ada yang bilang, nasib buruk. Dunia seakan sudah kiamat. Nggak ada lagi harapan. Fyuuuh, sebegitunyakah kita memaknai ujian? TENTU TIDAK! Gagal di Ujian Nasional (UN) bukan berarti selesai, Dunia belum Berakhir!

Buat kamu yang lulus ujian, pasti dunia begitu indah terasa. Tapi, bagi kamu yang ngga lulus, dunia serasa kiamat. Sedih, lemas, marah, atau bahkan putus asa! Well.. well, sebaiknya kamu tinggalkan sikap seperti itu, come on guys, ngga lulus ujian bukan berarti hilang harapan! Dunia Belum berakhir!

Nah, khusus buat kamu yang ngga lulus, kamu bisa berbagi dengan menuliskan pengalamanmu yang pahit itu dalam lomba bertajuk “DUNIA BELUM BERAKHIR”, sebuah lomba penulisan essay tentang kisah-kisah siswa yang tidak lulus Ujian Nasional.

Eitt, lomba ini bukan untuk membuka luka lama loh, sekedar untuk berbagi dan memberi semangat buat yang lain, yang mungkin juga bernasib sama. So, yuk menulis!

PERSYARATAN LOMBA :

1. Peserta adalah Masyarakat Umum yang punya pengalaman tidak lulus UN atau yang anaknya tidak lulus, atau siswa/siswi SMU/SMK yang tidak lulus UN. Atau temanmu, adikmu, saudaramu, muridmu yang tidak lulus dan kamu yang menceritakan atas seizin mereka.
2. Tema tulisan adalah : Bagaimana menerima dan menghadapi kenyataan pahit tidak lulus ujian, dan bangkit dari keterpurukan.
3. Ditulis dalam bentuk ESSAY / Chicken Soup, Format Word.doc, berjumlah 4-6 halaman, kertas kwarto (A4), Font Times New Roman 12, Spasi 1,5
4. Peserta boleh mengirimkan maksimal 2 (dua) naskah.
5. Peserta lomba menyertakan identitas penulis: nama, alamat, email, alamat blog, dan nomor telp/hp yang dapat dihubungi. (ditulis diakhir naskah, tidak dipisah)
6. Memasang Banner Edumuslim bagi peserta yang memiliki web/blog. (bisa didownload di : www.edumuslim. org
7. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baik, benar, indah (literer) dan komunikatif
8. Naskah harus asli (bukan jiplakan) dan belum pernah dipublikasikan serta tidak sedang diikutsertakan dalam lomba apapun.
9. Naskah dikirimkan ke lombamenulis@ edumuslim. org dengan menuliskan label "Dunia Belum Berakhir" pada subject email.
10. Naskah yang masuk menjadi hak panitia. Jika naskah diterbitkan, maka setiap penulis yang naskahnya masuk akan mendapatkan satu bukti terbit. Royalti dan honor yang didapatkan dari penerbitan buku tersebut menjadi hak milik penyelenggara lomba.

BATAS PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dapat dikirimkan mulai tanggal 25 Juni 2009 sampai 25 Agustus 2009.

PENGUMUMAN PEMENANG

Pemenang lomba menulis "Dunia Belum Berakhir" akan diumumkan pada tanggal 10 September 2009.

HADIAH BAGI PARA PEMENANG

Pemenang I: Rp. 300.000,- + paket sponsor
Pemenang II: Rp 200.000,- + paket sponsor
Pemenang III: Rp 100.000,- + paket sponsor
3 Pemenang Harapan : paket hiburan

* Tidak diadakan korespondensi dalam bentuk apapun selama lomba berlangsung

Support By:

Edumuslim.org
KaosTabletSpirit. com

Dani Ardiansyah
www.sekolah- kehidupan. com
www.catatankecil. multiply. com

LoRonG













Pagi kok hening berbaring

Lorong berkelok kutelusuri

Ini lorong. Mana ujung

Aku lelah jiwa raga

Kubertanya :salah siapa?

Tiada yang salah

Kata pembuat lorong :

Tak ada lorong yang tak ada ujung

Kataku: bohong…

Benar…

Kubertanya: kapan aku sampai?

Nanti…

Aku bingung dengan kata-kata "nanti"

Aku lelah jiwa raga

Jalan kok begini. Aneh…

Alhamdulillah.... Ana ngincer beasiswa S2, eh... dapetnya beasiswa menulis.....

Pengumuman Beasiswa Menulis Karya Terobosan PDF Print E-mail
Friday, 15 May 2009 23:39

Pecinta buku, Alhamdulillah, setelah melalui seleksi ketat, diskusi panjang, dan melibatkan tujuh juri yang terdiri dari penulis nasional, pemerhati perbukuan, dan editor nasional, terpilih 15 nama peserta seleksi “Beasiswa Menulis Karya Terobosan” yang terselenggara atas kerjasama Salam Book House dan Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat. Ke-15 nama berpotensi besar ini tersaring dari ratusan peserta yang mengirimkan karyanya melalui FLP Jabar dan Salam Book House, Bandung.

Semua nama yang lolos seleksi ini berhak mendapatkan beasiswa senilai Rp3 juta, berupa pelatihan menulis selama tiga hari full di Salam Learning Centre, Bandung dan pendampingan selama tiga bulan. Pelaksanaan kelas beasiswa akan digelar pada bulan Juni 2009. Kepada peserta yang namanya terdaftar di bawah ini, mohon untuk mendaftar ulang ke panitia melalui no telepon (022) 5222052, cp Nunung Nurchasanah, atau datang langsung ke Salam Book House, Jalan Pasirwangi No. 1, Bandung 40254.

Berikut nama-nama peserta beasiswa yang telah lolos seleksi:

  1. Radinal Mukhtar Harahap dengan judul "Catatan Mimpi Ibrahim"
  2. Firman Jufrie dengan judul "Buku-buku Jemari"
  3. Elen Oktafia dengan judul "Buku..Jendela Dunia Yang Terlupakan"
  4. Sucipto Jamuhur dengan judul "Anak Itu Secarik Koran"
  5. Adhy M. Nuur dengan judul "Warisan Dari Bapak"
  6. Winati Aisyah dengan judul "Persahabatan Dalton dan Newton"
  7. Firma Sari dengan "Seribu Puisi Buat Ditta"
  8. Haris/Muhammad Wahid Hasyim dengan judul "Tulisan Terakhir Mama"
  9. Sally Rosalina Wahyudin dengan judul "Cinta Pertama Dalam Kamar Buku"
  10. Darwanto dengan judul "Perjalanan Huruf-huruf yang Lahir dari Rahim yang Langut"
  11. Jahar dengan judul "Membaca: Menggenggam Dunia"
  12. Rahmiati Mayang Sari dengan judul "Aku Memilih Buku harian Mu, Menjadi Maharku"
  13. Diery Abdullah/Hadi Subari dengan judul ""Opera Keluarga", "My Out of The Ordiary Days"
  14. Ugit Rifai dengan judul "Hitam Diatas Putih"
  15. Rosinta dengan judul "Hikayat Buku Dongeng"

Bandung, 15 Mei 2009
Panitia “Beasiswa Menulis Karya Terobosan”
Tasaro GK

Bayang.... Ngiang.....








Kelamku larut yang malam

Ketika hati berdesir membayang rupa

Sepiku kidung yang tak bertepi

Ketika hati berdegup menyimak bunyi

Gerakku laku yang berontak

Ketika hati berdebar mengingat sosok

Apa gerangan rupa di balik kelam

Kalau bukan cinta, tolong terangkan

Apa gerangan bunyi di bilik sepi

Kalau bukan cinta, tolong bisikkan

Apa gerangan sosok di kelebat gerak

Kalau bukan cinta, tolong tampakkan

Kini kusendiri paham meskipun kelam

Kini kusendiri meratapi meskipun sepi

Kini kusendiri diam meskipun gerak

Karena sebuah sua telah membuah fatal

Cikampek 15-04-08


Alamat E-MAIL MEDIA SAK-INDONESIA ( Insya Allah...)

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.