40 Cerita Kiriman Dajjal

Oleh: Mashdar Zainal

Penjual Daging
Aku, sebagai pelanggan setiamu merasa sedikit kecewa. Sudah sebulan ini kau tidak lagi berjualan daging seperti biasanya. Padahal daging yang kau jajakan terkenal murah dan segar. Maka iseng-iseng aku main ke rumahmu. Kata istrimu, sudah genap tiga minggu kau meringkuk di sel tahanan, karena kasus pembunuhan. Kata istrimu juga, kau sudah membunuh beberapa pelanggan setiamu.
“Dia memutilasi korbannya, dan menjual dagingnya.” Lirih istrimu. Mendengar kata mutilasi, aku jadi ingat bahwa sampai sekarang kepala dan paha kiriku belum ditemukan.

Boneka
Karena cemburu, ia membakar boneka hadiah ulang tahun dari kekasihnya. Esoknya ia mendapat kabar kekasihnya tewas terbakar.

Orang Miskin yang Menjual Apa Saja
Untuk sesuap nasi, ia telah menjual apa saja. Mulai dari rumahnya, anaknya, lalu istrinya, bahkan dirinya sendiri. Setelah semuanya ludes terjual, ia mulai mencari-cari sesuatu yang masih ia miliki, yang bisa ia jual.
“Apa, ya?” ia menggaruk kepala.
“Oh ya, aku masih punya Tuhan.” ungkapnya girang.

Hari Ulang Tahun
Pada hari ulang tahunnya yang ke seribu lima ratus, ia meminta hadiah kafan dan peti mati yang baru.

Bayi Pemberani
Seorang bayi yang berumur belum genap satu hari, merangkak mendatangi pos polisi, ia melaporkan ibunya yang telah membunganya ke tempat sampah.


Guru Pelajaran Biologi
Setelah selesai menjelaskan panjang lebar tentang teori alat reproduksi pada manusia. Pak guru mengajak murid-muridnya untuk praktek bersama.

Dukun Beranak
Dukun beranak itu beranak dukun.

Kapur barus
Ia teringat wangi terakhir yang ia endus dari mayat ayahnya, wangi kapur barus. Diam-diam ia menggeledah lemari baju. “Aku rindu pada ayah,” gumamnya, sebelum menelan tiga butir kapur barus.

Gelar
Ia sempat memprotes ketika gelarnya tidak ditulis dengan lengkap di atas batu nisannya.

Yaasiin
“Ayo, ajari aku membaca Yaasiin, supaya aku bisa berkirim do’a,” desakmu.
“Iya, sabarlah sedikit, paling tidak tunggu sampai jenazahmu dimakamkan.” jawabku.

Al-Fatiihah
Kami semua tahu, kalau kau sudah sangat fasih mengaji. Bahkan ketika seorang pelayat salah melafalkan surah Al-Fathihah, kau buru-buru menegurnya. Padahal kau baru dimandikan, belum dikafani.

Setrika
Ketika ibu menyetrika baju, nenek selalu duduk termangu di sebelahnya. Memperhatikan setrika yang mondar-mandir di tangan ibu. Setelah ibu selesai, nenek menjawil ibu sambil menunjuk-nunjuk setrikaan dan mukanya sendiri yang kisut penuh keriput.



Cermin Sang Koruptor
Ia menyisir rambutnya di depan cermin.Tiba-tiba, ia melihat seeokor tikus buduk di hadapannya. Ia mengambil pentungan dan menghajar tikus itu sampai klenger. Pentungan itu ia lempar begitu saja ketika tikus di hadapannya sudah tidak berdaya. Ia kembali bercermin. Ia terbelalak melihat wajahnya sendiri babak belur seperti habis dihujani pukulan.

Buku Cerita
Sejak ia lahir ia sudah mulai membaca buku cerita itu. Buku cerita tebal yang baru ia selesaikan beberapa detik sebelum Izrail menggamit jemarinya.

Ending Cerita
Sebenarnya ia sudah lama menjadi cerpenis. Haya saja ia tak pernah bisa membuat ending dari cerita-cerita yang ia tulis. Ia menulis kisah ibunya yang suka pergi ke diskotik. Ia juga menulis kisah bapaknya yang kawin dengan anjing betina. Tak ketinggalan pula, ia menulis kisah kekasihnya yang berulang kali berselingkuh.
“Aku harus membuat ending dari cerita-ceritaku,” gumamnya, sambil menimang-nimang sebilah parang.

Pemahat Patung Lilin
Patung lilin pahatannya sudah sangat masyhur di kalangan pejabat. Ia sangat piawai meniru bentuk wajah dan lekuk tubuh. Suatu saat, seorang menteri mengunjunginya untuk memesan sebuah patung sekaligus memberi penghargaan.
“Aku ingin kau memahatkan patung istriku, kau bisa?” Tanya pak menteri.
“Ya.”Ia mengangguk mantap.
Setelah patung itu jadi, pak menteri memajangnya di ruang tamu. Herannya, semenjak itu istri pak menteri dikabarkan hilang, dan tak pernah ditemukan.

Karyawan Bom Bunuh Diri
Bom yang melilit tubuhnya sudah ia rangkai sedemikian rapi. Beberapa detik sebelum bom itu meledak, mendadak ia ingat bahwa sisa gajinya belum dibayarkan.

Anak Pembatu
Anak itu terus berdiri di depan cermin. Ia menekuni wajahnya sendiri. Setelah yakin dengan sesuatu, ia berlari kepada ibunya dan bertanya, “Bu, mengapa wajahku lebih mirip wajah Tuan, daripada wajah ayah?”

Penjual Lontong
Orang-orang yang menjadi pelangganya selalu bertanya-tanya, mengapa lontong buatannya sangat sempurna. Sempurna seperti seonggok pocong.

Tuyul 1
Lepas tengah malam, calon korban belum juga terlelap. Sang tuyul terus menunggu, sampai rambutnya gondrong.

Tuyul 2
Sebelum memasuki pusat berbelanjaan tuyul itu mengenakan wig supaya orang-orang tidak curiga padanya.

Pelajaran Menggambar
“Ayo anak-anak. Gambarlah sesuatu yang paling indah yang pernah kau lihat.” Jelas Bu Guru.
Anak-anak pun mulai menggambar. Ada yang menggambar pemandangan, bunga, kupu-kupu, pantai, ada juga yang menggambar segelundung kepala yang berlumuran darah.

Selingkuh
Setelah jasadnya dikuburkan, malamnya ia memergoki suaminya berselingkuh dengan mayatnya.

Tukang Tambal Ban Tengah Malam
Seorang perempuan menghentikan sepeda motornya di depan kios tambal ban. “Pak, tolong tambalkan ini, ya? Lubangnya besar sekali.” pintanya, seraya berbalik menunjukkan punggungnya yang merah menganga.

Kembar siam
Sang ibu tak tahan melihat anak kembarnya terus berdebat. Yang satu ingin ke kamar mandi, dan satu ingin menonton tivi.
“Sini, Nak! Biar ibu yang putuskan.” Sang ibu datang dengan sebilah parang.

Unta yang Lepas
Setiap hari Jum’at, ia selalu datang paling awal. Duduk di shof paling depan. Ia tersenyum lebar, seekor unta akan ia dapatkan. Begitu sholat Jum’at selesai, ia mengutuki dirinya sendiri, menyesalkan untanya yang selalu lepas ketika ia teridur mendengarkan khotbah.

Bermain Ayunan
Karena stres tak mendapatkan pekerjaan, setahun yang lalu kau nekat gantung diri di ruang tengah. Bahkan sampai sekarang balitamu masih suka melihatmu berayun-ayun di situ, mengajaknya bercanda. Balitamu selalu tertawa cekikikan ketika melihat matamu melotot dan lidahmu menjulur.

Lelaki Pelupa
Minggu yang lalu, kau meminjam mobilku untuk mengunjungi saudaramu di luar kota. Aku kaget ketika melihatmu pulang naik bus.
“Mobilnya?” tanyaku.
Sambil menepuk kepala kau bilang, “Masya Allah! Aku lupa!”
Beberapa hari berikutnya, kau dan istrimu berkunjung ke rumahku. Waktu kau pulang, kau meninggalkan istrimu di rumahku. Kukira kau lupa lagi. Dan barangkali kau juga lupa bahwa aku masih lajang dan tinggal seorang diri.

Suap
Sebelum memasuki liang lahad, istrinya membawakannya bekal berupa segepok kertas cek .
“Ini buat apa?” ia bertannya.
“Yah, seperti biasa, seperti para jaksa dan pejabat negara, nanti kalau ada dua malaikat menanyaimu yang macam-macam, suruh saja dia menyebutkankan berapa nominalnya!”

Bahan Pengawet
Ia membaringkanmu di kamar yang sepi. Ia mendandanimu layaknya seorang putri. Disaputnya bibirmu dengan gincu menyala. Dihiasinya kedua matamu dengan eye shadow termahal. Ia tak perlu memberimu bedak pemutih. Karena wajahmu sudah sempurna putih. Ya kau tak butuh suatu apapun, kecuali pengawet mayat.

Ancaman Bunuh Diri
Ketika kekasihmu tak mau menuruti kemauanmu, kau mengancam, “Kalau kau tak mau lakukan itu, lebih baik aku mati.” Lalu kekasihmu menuruti kemauanmu.
Ketika kekasihmu jalan berduaan dengan teman akrabnya, kau pun mengancam, “Kalau kau selingkuh, aku akan bunuh diri.” Lalu kekasihmu menjadi seorang penyendiri.
Terakhir, ketika kekasihmu berniat memutuskanmu, kau pun berkata, “Daripada kita putus, lebih baik aku mati saja.”
“Aku akan membantumu!” kata kekasihmu sambil mengecupkan moncong pistol ke lambungmu.

Rahim Ibu
Setelah beranjak dewasa anak lelaki itu meminta izin pada ibunya untuk masuk kembali ke rahimnya seperti kala ia bayi.

Binatang Khas Negara-negara
“Anak-anak, siapa tahu apa binatang khas dari Australia?” Bu guru menyebutkan soal.
“Saya, Bu.” Seorang bocah mengangkat tangan.
“Ya?”
“Kanguru!”
“Ya, bagus. Kalau china?”
“Panda!”
“Oke. Arab?”
“Unta dong!”
“Nah, kalau Indonesia?”
“Tak salah lagi. Pasti tikus berdasi!”

Audisi Film Horor
Setelah keluargamu memandikan dan mengkafanimu. Kau meminta izin pada ibumu untuk mengikuti audisi bintang film pocong.

Kamar Ayah
Semenjak ibu meninggal setengah tahun lalu. Ayah melarangku masuk ke dalam kamarnya. Karena rasa penasaran, pada suatu malam ketika ayah tidak ada di rumah, diam-diam aku mengintip kamar ayah dari atap. Di ranjang ayah aku melihat ibu terbaring tanpa pakaian.

Mesin Cuci Bayi
Karena tak bisa memandikan bayinya, ia meminta mesin cuci untuk melakukannya.

Bapak Kakek
Ketika ditanya perihal silsilah keluarga, ia menyebutkan, bahwa bapak dan kakeknya ialah satu orang yang sama.

Burung gagak
Kau terheran-heran, sudah beberapa hari ini burung gagak itu bertengger di atap rumahmu. Berkoak seperti menunggu mangsa.
“Kata orang-orang tua, kalau ada burung gagak di atas atap rumah berarti salah satu dari keluarga itu ada yang akan …”
“Walah… kamu ini ngomong apa. Burung gagak itu yang akan mati.” Lantas kau keluar menenteng senapan angin. Kau bidik kepala burung gagak itu. Dan… Dooorr!!! Peluru nyasar bersarang dalam kepalamu.



Contekan Nama Tuhan
Karena dia seorang pelupa, ketika memasuki liang lahad anaknya menyelipkan sebuah kertas contekan yang berisi nama Tuhan. Tentu saja anaknya lupa, bahwa dia tak bisa membaca.

Sebutir Gundu
Ketika gundu itu disentilnya. Tanah berguncang dan rekah. Pepohonan tumbang tercabut dari akarnya. Air laut meruah melabrak apa saja. Gunung-gunung beterbangan dan penyok saling tabrak.
Lalu, seperti seorang pelayan restoran, dengan menu di dua tangannya ia bertanya, “kau pilih manis atau pahit?”
Dan kebanyakan manusia memilih yang manis. (*)

* Malang, April 2010

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Saat ini bergiat di Komunitas sastra Lembah Ibarat.

Lelaki yang Tampak Anggun oleh Air Mata (dimuat di koran Jurnal Nasional 26 September 2010)

Oleh Mashdar Z

RUANG ini seperti hutan berkabut di malam-malam tua. Lengang. Hanya aku dan dia. Aku menatapnya seperti bocah kecil yang menatap patung peri yang hendak terbang, mataku berkristal. Kami bersitatap. Ada nuansa puncak dari warna merah jambu yang ganjil, yang selama ini melecutku pada pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab. Aku asing. Serupa pengembara yang tak pernah menemukan sentuhan-sentuhan lembut. Aku tersisih. Serupa bayi yang menggeliat di gundukan sampah. Miris, kotor dan menjijikan. Dan yang mungkin kusesali, sampai detik ini aku masih bernapas...

***

Kembali ia meronta, kursi ringkih yang didudukinya berderak-derak. Ia tersengal-sengal, menghela napas berat, lalu hening. Matanya mengilat menatapku, di sana kutemukan rasa muak yang tak pernah bisa kuukur. Sudah hampir seharian aku duduk di hadapannya. Menatap lekat wajahnya yang menyimpan kesumat dan kebencian yang mendadak meledak seperti gumpalan mendung hitam di tengah kemarau panjang. Matanya terus menatapku, seperti sebilah belati yang tak henti-henti menguliti perasaanku. Apa pun dan bagaimanapun, aku tak peduli. Aku benar-benar sudah tak peduli.

Semalam, waktu ia menyusulkan undangan terakhir untukku, aku menuangkan serbuk tidur ke dalam minumannya. Membopong tubuhnya yang berat ke kamar kosong ini. Mendudukannya di sebuah kursi kayu. Memplester mulutnya rapat-rapat. Lalu mengekang tubuhnya dengan lilitan tambang. Sudah hampir seharian ia terkungkung di ruang congek ini. Mataku yang sembab menghujamnya tanpa jeda. Aku ingin ia tahu, aku tak main-main. Sudah selayaknya utas persahabatan ini lepas menjadi cambuk berduri yang memecutku dari waktu ke waktu. Dan kini, kepedihan telah melumat sisi kemanusiaanku.

Sejak detik pertama mengenalnya, aku telah merasakan keganjilan ini. Tutur sikapnya yang lembut dan senyumnya yang seperti bulan sabit, telah dengan mudah menyihirku, menjadikanku sinting.

"Maafkan aku Al... " aku menatap matanya dalam-dalam. Perlahan. Ia balas menatapku. Tatapan jijik. Tapi dadaku berdesir.

Al..., apa kau tahu? Sungguh aku tak pernah memikirkan sebelumnya, kalau aku bisa melakukan ini padamu. Memang, aku sudah menduga bagaimana nanti akhirnya. Kau akan menemuinya, mengucapkan cinta, menikahinya, memadu kasih dan saling berserah kehangatan dengan perempuan itu. Sedangkan aku? aku seperti orang terkutuk yang tak layak untuk memanen kebahagiaan. Apa ini adil?

Althaf, nama itu memiliki kekuatan luar biasa untuk memporak-porandadakan detak jantungku. Setiap kali mendengar nama itu darahku selalu berdenyar lebih cepat seperti sengatan arus listrik.

Dan kini... dia telah ada di hadapanku. Aku bisa melakukan apa saja padanya. Aku bisa memandang keelokannya sepuas hatiku. Menggenggam tangannya, mengusap wajahnya, memeluk tubuhnya, mengendus wangi keringat kelelakiannya yang serupa wangi sabun....

Tapi tetap saja, ada perih yang tak bisa kujangkau dengan sayatan belati sekalipun. Upaya apa pun yang kulakukan, takkan pernah bisa membuat hatinya condong kepadaku. Aku takkan pernah bisa memilikinya secara utuh, bahkan sampai nanti rambutku pun memutih atau nyawa meregang dengan raga sekalipun. Sungguh perih di ujung perih. Demi memikirkannya, dadaku selalu sesak dan tubuhku menggigil.

***

AKU mendekatinya, dengan gerak perlahan kubuka plester yang menyumpal bibirnya yang kering dan merah. Ia terlihat sangat lemas, tak bertenaga. Sudah hampir seharian ia tak mau makan. Beberapa kali aku membujuknya. Ia mau membuka mulutnya, namun sesuap nasi yang masuk ke mulutnya ia semburkan lagi ke wajahku. Sama sekali aku tak marah. Kesabaranku tak pernah habis untuk membujuknya.

"Makanlah. Aku akan menyuapimu," kataku.

"Pufh...." dia meludahi wajahku. Untuk kesekian kali kurasakan cairan hangat itu meleleh di wajahku. Kunikmati perih itu.

"Aku tahu, kau sudah kelewat muak padaku. Tapi aku tak peduli... aku hanya ingin kau tetap bersamaku." Aku duduk menyandarkan kepalaku pada lututnya yang gemetaran. Ia meronta, mengguncangkan pahanya, seolah sangat jijik denganku.

Aku mengangkat kepalaku, "Kalau kau tak mau makan, aku juga tak akan makan. Biarkan kita mati lemas. Setidaknya aku bisa mati bersamamu."

"Lepaskan aku, anjing...! Kau psiko...!" gertaknya lirih, ia benar-benar kehabisan tenaga.

"Drrttz...." handphone di saku celanaku bergetar. Aku lekatkan kembali plaster untuk menutup mulutnya. Untuk yang kedua kali keluarganya menghubungiku. Aku mengangkatnya dengan tenang.

"Bil..., bagaimana ini Bil....?" Suara di seberang sana, panik, "Kami belum menemukan Althaf."

Althaf meronta-ronta mengetahui aku sedang berbicara dengan ibunya. Sempat kulihat otot menyembul dari lenganya yang putih. Aku menjauh darinya.

"Tante tenang, barangkali ia sedang berkunjung ke rumah temannya yang lain. Bukankah Althaf memiliki banyak teman."

"Iya. Tapi kenapa sejak kemarin HP-nya tidak aktif. Ia juga sama sekali tidak memberi kabar. Hiks...hiks...," kudengar Ibu Althaf terisak pelan.

"Baik, Tante. Tante sabar dulu. Saya akan coba hubungi beberapa teman Althaf, nanti kalau ada kabar, saya akan hubungi Tante."

"Bagaimana saya bisa sabar, Bil. Nanti malam pernikahannya akan dilangsungkan, sedangkan sekarang Tante tak tahu dia berada di mana."

Mendengar kata pernikahan, sesak di dadaku kambuh, perih di jantungku lumat, panas di wajahku membara. Benar, malam nanti Althaf akan menikah. Menjadi milik orang lain. Bagaimana mungkin aku membiarkan itu. Althaf harus jadi milikku seorang atau tak menjadi milik siapa pun.

"Baik, Bil... terima kasih kamu mau membantu Tante. Tante tak tau harus bagaimana. Undangan telah menyebar. Calon istrinya menangis seharian. Dan kalau malam ini Althaf.... "

"Klek." kutekan tombol off, lalu... "Prak!!" kubanting telepon genggam itu sampai berkeping-keping.

Pernikahan, undangan, calon istri.... Persetan dengan semuanya. Semuanya memusuhiku. Aku tak kan tinggal diam. Kepedihan telah melumat kewarasanku. Aku melangkah pelan, mendekati Althaf.

Kuremas rambutnya yang hitam mengilat. Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Dekat sekali. Hidung kami hampir bersentuhan. Aku mendesis, "Malam ini kau tak kan menikah dengan siapa pun. Kau akan tetap di sini, bersamaku."

Ia tak menjawab, bibirnya hanya bergetar. Ia menahan geram dengan memejamkan matanya. Dapat kurasakan hembusan napasnya yang runtun. Dadaku berdesir, bersikejar dengan sesak dan getir yang terus-menerus mencibirku. Kurasakan lagi lelehan hangat merambat dari sudut mataku. Kutatap Althaf dalam-dalam.

Lihatlah Al... pertemuan kita berbuah fatal, bukan? Mengapa kau harus tertarik pada makhluk lain. Tidakkah aku cukup bagimu. Aku juga bisa merapikan tempat tidurmu seperti biasanya, aku juga bisa memasakkan nasi goreng untukmu, aku bisa mencucikan pakaianmu, bahkan dengan senang hati aku akan memijit pundakmu bila kau lelah setelah seharian bekerja. Lalu mengapa kau memilih perempuan itu? Jika saja kau tahu, aku memiliki cinta yang murni, yang tak dimiliki siapa pun atau perempuan mana pun. Kalau memang kau tidak mencintaiku, setidaknya kasihanilah aku. Hh... Bagaimana aku akan membiarkanmu begitu saja, setelah kau berhasil membuatku sinting, Althaf.

***

SENJA benar-benar matang ditingkahi adzan magrib yang sayup dan terasa sangat panjang. Kurasakan nuansa yang begitu kental dengan warna biru. Aku teringat masa kecilku. Banyak sekali nuansa biru. Aku teringat ketika ayah dan perempuan itu menitipkan aku dan ibu pada alam yang telantar. Sejak itu aku hidup bersama ibu seorang, bertahun-tahun sampai aku beranjak remaja, sampai ibu menitipkan aku ke saudara jauhnya, sampai ia berpamitan bekerja keluar negeri dan tak pernah kembali. Rasa dahagaku akan sentuhan seorang ayah telah berubah menjadi bentuk yang lain. Sungguh, aku tak pernah menyalahkan siapa pun, ayah, apalagi ibu. Aku juga tak pernah menyesali hidup, barangkali aku hanya menangisinya.

Aku masih duduk bersimpuh di sisi Althaf. Mataku terasa lengket oleh air mata yang kental dan hampir mengering. Sesekali kutengadahkan wajah. Kulirik Althaf yang selalu gemetar. Jelas sekali matanya pun berair. Baru kali ini kulihat ia menangis. Aku sendiri tak tahu, alasan apa yang bisa memancing air matanya. Barangkali rasa benci, atau mungkin ia takut tidak bisa menikahi perempuan itu malam ini. Atau mungkin ia kasihan padaku, sahabatnya yang mungkin sudah dianggapnya tidak waras. Entahlah... yang jelas wajah Althaf tampak anggun dan biru oleh air matanya. Adakah ia melihatku seperti itu dengan lelehan dari dua sudut mataku?

Al... kau menangis? Dalam keadaan menangis pun pesonamu tak akan pernah luntur. Teruslah menangis, agar kau tampak anggun sepertiku. Tak ada larangan menangis bagi laki-laki seperti katamu tempo itu. Buktinya kau kini menangis.

Hh... Benarkah rasa muakmu padaku bisa membuatmu menangis. Atau jangan-jangan kau menangis hanya karena takut kehilangan perempuan itu. Hh... kau takut kehilangannya, apakah rasa takutmu seperti rasa takutku akan kehilanganmu? Ya, kau pasti menyesal. Seharusnya malam ini kau mengelus tangan perempuan itu dan menyematkan selingkar cincin di jari manisnya. Seharusnya malam ini kau mengucap ikrarrmu untuk membuka lembaran baru hidupmu yang berseri. Seharusnya malam ini kau bersanding memoles kebahagiaan dengan orang-orang tercintamu. Ha... ha... tapi lihatlah, Tuhan pun tak bisa memisahkanmu dariku. Hu... hu... hidup macam apa ini? Cinta macam apa ini? Ha... ha... lucu sekali.

Sekali lagi, aku menyandarkan kepalaku pada lututnya yang masih gemetar. Basah di mataku merembes dan mengembang pada celananya yang polos. Kali ini ia tak bergeming. Aku meliriknya, sekilas. Ia menatapku. Aku hampir tak percaya, tatapan itu sangat lembut, lunak. Seolah ia ingin mengatakan: maafkan aku, kawan. Ini semua salahku.

Ya, itu semua salahmu. Sikap dan tuturmu kelewat lembut untuk seseorang yang butuh kasih sayang sepertiku. Pesona lelakimu terlalu kuat untuk merangkul jati diriku yang terlampau lemah. Dan parasmu itu, begitu jernih dan sejuk bagi dahagaku. Dengan itu semua,bagaimana mungkin jiwaku yang rawan tidak tertawan.

Aku menatapnya, "Sekali lagi maafkan aku, Al..." aku buka lekatan plester yang membungkam mulutnya, "Bicaralah kalau kau ingin bicara."

"Maafkan aku. Seharusnya semua ini tidak seperti ini," tuturnya pelan.

Aku rangkul kakinya, semakin kutenggelamkan kepalaku di pangkuannya. Ia diam saja. Kami larut dalam diam beberapa saat, sampai ia mengangkat kembali suaranya.

"Semua masih bisa diperbaiki, Bil. Bagaimanapun, kau sahabatku. Jangan kau pikir aku tak peduli padamu. Sekarang, aku mohon, lepaskan aku! Dan kita akan selesaikan semuannya dengan baik. Kau belum terlambat untuk kembali. Jalanmu masih panjang," ucapnya tanpa jeda.

"Tapi aku sakit, Al.... "

"Kau harus berpikir waras, Bil. Kau bisa melawan perasaan itu."

Aku balas terdiam. Mudah sekali kau mengatakannya, Al... kau memang tidak merasakannya.

Kami hanyut dalam diam yang panjang. Kurasakan kenyamanan yang getir di pangkuannya. Entahlah, apa yang kini sedang dirasakannya. Detik-detik ini telah sampai. Pada detik inilah seharusnya ia meronta mengerahkan segenap kekuatan lelakinya untuk melepaskan diri dan berlari menemui mempelainya. Tapi entahlah, ia hanya diam dan tenang. Tidak bergerak atau berbicara apa pun. Barangkali ia lelah dengan usaha dan bujuknya yang sia-sia. Atau mungkin ini puncak kepedihannya sehingga mulutnya tercekat tak bisa berkata-kata. Entahlah....

Dalam diam itu, tiba-tiba kudengar pintu depan digedor-gedor. Aku dan Althaf tergelak kaget, sebelum ia berteriak kembali kusumpal mulutnya dengan plester. Ia meronta, kursi yang didudukinya berderak-derak.

"Kami polisi...! Buka pintunya, atau kami dobrak...!!!" bunyi teriakan dari luar sana.

Aku tergagap, hampir tak percaya. Benarkah semua ini akan segera berakhir? Aku tak bergeming. Kurangkul tubuh Altaf erat-erat. Rasa nyaman, panik, takut, sedih, semua melebur memblender dadaku yang sesak. Wajah Althaf memerah, kedua matnya tampak tegang.

"Dug... duggg. Brakk!!!" suara pintu depan roboh.

Kudengar serangkaian langkah mendekati kamar pengap yang terkunci dari dalam ini. Pintu itu terguncang-guncang karena gedoran dari luar. Keringat dingin terasa mengembun di kening dan seluruh tubuhku. Dan....

"Brak!!!" cahaya dari luar menyilaukan kami berdua yang terpuruk dalam kamar gelap ini.

"Althaf...." teriak ibunya, histeris. Polisi memberinya isyarat untuk tetap tenang.

"Biadab, kau Nabil...!!!" umpat wanita itu. Umpat dan kutuklah aku sesukamu, ibu, karena kau tak kan pernah paham masalahku.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Tanpa berpikir lebih, ku ambil sebilah belati di saku celanaku dan kutadahkan di leher Althaf.

"Jangan ada yang mendekat!" sentakku gamang dan gemetar.

Ibu Althaf menangis tak karuan.

"Sebaiknya Anda buang senjata itu. Menyerahlah!" Kata salah seorang polisi. Polisi itu nekat mendekat dengan acungan pistol di tanganya.

"Jangan mendekat...!!!" tegasku. Polisi itu berhenti dari langkah kecilnya. Semakin lekat belati itu menempel pada leher Althaf. Leher putih itu tersayat. Sedikit darah kuaraskan di jemariku. Althaf menahan perih tanpa suara. Aku tak percaya bisa melakukan ini. Aku menangis. Aku tak mungkin melakukan ini.

Benakku kalut, aku lengah dan... "Dor...!" aku tersentak. Belati di tanganku terlempar ke lantai. Kurasakan kaki kiriku nyeri bukan main. Aku tersungkur. Kulihat darah merembes dari sepatuku yang putih. Ketika aku hendak berdiri dan meraih belati yang rebah di sebelahku, tembakan itu terulang pada pundak kananku. Aku menggelinjang menahan sakit dan panas yang tak terkilas.

Beberapa orang tampak berlari mendekati Althaf dan melepaskan tambang yang mengikat tubuhnya. Ibunya merangkulnya sambil menangis. Dua orang polisi masih mengguling-gulingkan tubuhku dengan satu kakinya. Orang-orang itu memicingkan mata, menatapku seperti hendak meludahiku. Namun, kurasakan pandanganku tiba-tiba saja semakin buram.

Entah bayang entah ngiang, kurasakan Althaf mendekatiku, merangkulku sambil menangis. Ia seperti berkata-kata. Namun, aku tak mendengar apa pun. Ia mengguncang-guncang tubuhku. Merangkulku. Membopongku entah ke mana. Ke sebuah mobil putih? Ah, bukan, barangkali ke kursi pelaminan. Hh..., itu tak mungkin. Entahlah, tapi rasanya ada yang salah. Karena ibu melahirkan aku sebagai lelaki.

* Malang, 30 Agustus 2009

ALAMAT E-MAIL CERPEN



















Kawan-kawan, ini adalah alamat email media yang saya kletahui... mari berkarya, mari menulis... kirim dan kirim, dimuat tak dimuat urusan belakangan... yang jelas tak pernah ada usaha yang sia-sia. Mari kita buktikan, smoga posting bermanfaat...

1. opini@kompas.co.id // opini@kompas.co.id [Bre Redana, Kompas, Jakarta]
2. sekretariat@republika.co.id [Ali Ridho, Republika, Jakarta]
3. editor@jawapos.co.id [Arief Santoso, Jawa Pos, Surabaya]
4. ktminggu@tempo.co.id [Nirwan Dewanto, Koran Tempo, Jakarta]
5. triwikromo@yahoo.com (Suara Merdeka)
6. koransp@suarapembaruan.com (Suara Pembaruan)
7. redaksilampost@yahoo.com (Lampung Post)
8. redaksi@surabayapost.info/ /Surabaya_news@yahoo.com (Surabaya Post)
9. redaksi@seputar-indonesia.com// donatus@seputar-indonesia.com (SINDO)
10. redaksi@jurnalbogor.com (jurnal bogor)
11. amiherman@yahoo.com [Suara Karya, Jakarta]
12. ahda05@yahoo.com [Ahda Imran, Pikiran Rakyat, Bandung]
13. tamba@jurnas.com [Arie MP Tamba, Jurnas, Jakarta]
14. redaksi@batampos.co.id [Hasan Aspahani, Batam Pos, Batam]
15. donyph@jurnas.com [Dony PH, Jurnal Bogor, Bogor]
16. tejapurnama@yahoo.com [Teja Purnama, Global, Medan]
17. budaya_ripos@yahoo.com [Riau Pos, Riau]
18. post_azh@yahoo.co.id [Azhari, Sumatra Ekspres, Palembang]
19. yusrizal_kw@yahoo.com [Yusrizal KW, Padang Ekspres, Padang]
20. huberitapagi@yahoo.com [Berita Pagi, Palembang]
21. elkasabili@yahoo.co.id [Sabili]
22. nova@gramedia-majalah.com (Tabloid Nova)

Yang Bersarang dalam Kenangan...



















: Fahlia Ambar
Ada kota-kota kecil dalam kenangan
tempatmu berdiam menyusu waktu
ada jalan-jalan becek dalam kenangan
setapak berkelok yang penuh gema dan nama-nama
ada gedung-gedung kosong dalam kenangan
seruang lenggang yang penuh oleh aroma parfummu
ada pagar-pagar runcing yang ditumbuhi puisi, dalam kenangan
tempat dimana kau selalu sangsi untuk memilih menjadi buta atau bisu
ada gang-gang buntu dalam kenangan
serupa cerita-cerita fiksimu yang tak pernah selesai
ada sebilik kamar dalam kenangan
di mana puisi menghayati keperawanan dan keperjakaan
ada sepetak dapur berantakan dalam kenangan
di situlah kau meracik rindu yang tak pernah matang
ada penghujung sampah dalam kenangan
yang bekas bibirmu selalu menjelma kulit apel merah yang berserkan
ada yang tak mampu diubah dalam kenangan
serupa garis simpul mati Tuhan

Malang, Juni 2010

SAYEMBARA CIPTA PUISI REMAJA PUSAT BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

1. Latar Belakang

Naskah cipta puisi merupakan karya sastra padat, terpusat, dengan acuan sedikit bicara banyak makna. Cabang seni sastra ini bagi kebanyakan orang agak rumit dan sulit. Bahasa puisi berbeda dengan bahasa prosa yang memiliki satu arti sesuai dengan yang tersurat. Untuk membaca karya puisi, diperlukan sikap terbuka yang kreatif. Orang tidak dapat serta-merta menangkap makna puisi seperti halnya orang membaca karya prosa. Barangkali, orang bisa langsung menangkap apa yang diceritakan dalam puisi. Namun, untuk memahami isi ceritanya, masih diperlukan renungan dan pembacaan kembali yang lebih cermat. Puisi tidak hanya mempersoalkan arti atau makna, tetapi juga bagaimana arti atau makna itu disampaikan oleh penyairnya. Soal penyampaian ini menyangkut bentuk ungkapan puisi.



Sebagai suatu bentuk ungkapan sastra, puisi memiliki beberapa unsur di dalamnya. Unsur-unsur itu, antara lain imaji, tema, metafora, simbol, dan irama. Seperti halnya, jenis karyakarya sastra atau seni yang lain, puisi merupakan ungkapan rasa dan pikir seorang penyair dengan cara atau metode memberikan imaji yang terpadu utuh dalam satu kesatuan maksud. Maksud atau tujuan puisi dapat berupa: menceritakan sesuatu, melukiskan sebuah karakter manusia, impresi atau kesan dan tanggapan terhadap sesuatu, ungkapan atau ekspresi rasa dan pikir, dan ungkapan ide atau sikap seseorang.



Remaja mengenal puisi lewat bangku sekolah atau pembacaan puisi yang tersebar di panggung kesenian setempat. Patut disayangkan

bahwa pada saat ini kreativitas remaja dalam bersastra, khususnya cipta puisi jarang dilakukan. Kelompok remaja sekarang lebih cenderung

menggemari bentuk-bentuk kreativitas yang kurang mengandung nilai pendidikan. Potensi bakat dan minat remaja terhadap puisi tentu akan berkembang dengan baik apabila didukung dengan pelatihan dan kesempatan berkreasi. Salah satu upaya untuk dapat menarik

minat remaja dalam cipta karya sastra, khususnya cipta puisi. Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka Bulan Bahasa

dan Sastra 2010, dengan tema “Pembentukan Karakter Bangsa melalui Peningkatan Kualitas Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah”

menyelenggarakan Sayembara Cipta Puisi Remaja.



2. Tujuan

Sayembara cipta puisi remaja ini bertujuan untuk

a. meningkatkan minat remaja terhadap sastra, khususnya puisi;

b. meningkatkan daya cipta dan kreativitas remaja terhadap puisi;

c. menumbuhkan sikap positif dan cinta sastra bagi remaja.



3. Peserta

Peserta sayembara ini adalah masyarakat umum (bukan warga dan keluarga Pusat Bahasa, atau Balai/Kantor Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional) kelompok remaja berusia 13—20 tahun di seluruh Indonesia. Usia dibuktikan melalui kartu tanda penduduk, dan surat keterangan yang sah.



4. Persyaratan

a. Tema Sayembara Cipta Puisi ini disesuaikan dengan tema Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2010, tidak mengandung pornografi, dan tidak berpotensi menimbulkan konflik yang berkaitan dengan SARA.

b. Naskah puisi ini harus asli (bukan saduran, terjemahan, jiplakan), belum pernah dipublikasikan atau diterbitkan, dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara sejenis.

c. Naskah puisi disertai dengan surat pernyataan bahwa puisi tersebut adalah karya sendiri.

d. Naskah puisi ditulis dalam bahasa Indonesia, diketik rapi dengan jarak 1,5 spasi, dan dicetak di kertas HVS kuarto.

e. Setiap peserta hanya diperbolehkan mengirimkan satu puisi (rangkap tiga), dengan dilapirkan biodata, alamat lengkap, dan fotokopi identitas diri.

f. Naskah puisi dikirim ke Pusat Bahasa, paling lambat 9 Oktober 2010 (stempel pos).

g. Naskah puisi yang telah masuk menjadi milik Pusat Bahasa.

h. Naskah puisi yang dinilai layak akan terbit dalam buku antologi puisi diterbitkan oleh Pusat Bahasa.



5. Penilaian

a Penilaian naskah dan penentuan pemenang akan dilakukan oleh tim juri yang terdiri atas pakar puisi.

b Penilaian mencakup aspek isi, daya puitik, penyajian, dan bahasa Indonesia.

c Putusan tim juri tidak dapat diganggu gugat.

d Hasil penilaian diumumkan pada tanggal 22 Oktober 2010.



6. Hadiah

Pemenang akan mendapatkan piagam, terbitan

Pusat Bahasa yang relevan, dan uang tunai

(dipotong PPh sebesar 20%).

Pemenang I : Rp5.000.000,00

Pemenang II : Rp4.000.000,00

Pemenang III : Rp3.000.000,00

Pemenang Harapn I : Rp2.500.000,00

Pemenang Harapan II : Rp2.000.000,00

Pemenang Harapan III: Rp1.500.000,00



7. Alamat Panitia

Pusat Bahasa

Panitia Sayembara Cipta Puisi Remaja

Kementerian Pendidikan Nasional

Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun

Jakarta 13220

Telepon (021) 4706287, 4706288 Pesawat 127

HP: 08121368882



Catatan: Mohon disebarkan ke teman-teman yang lain. Trimakasih deela.

Komentari ·SukaTidak Suka · Bagikan

SAYEMBARA CIPTA PUISI REMAJA

PUSAT BAHASA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL



1. Latar Belakang

Naskah cipta puisi merupakan karya sastra padat, terpusat, dengan acuan sedikit bicara banyak makna. Cabang seni sastra ini bagi kebanyakan orang agak rumit dan sulit. Bahasa puisi berbeda dengan bahasa prosa yang memiliki satu arti sesuai dengan yang tersurat. Untuk membaca karya puisi, diperlukan sikap terbuka yang kreatif. Orang tidak dapat serta-merta menangkap makna puisi seperti halnya orang membaca karya prosa. Barangkali, orang bisa langsung menangkap apa yang diceritakan dalam puisi. Namun, untuk memahami isi ceritanya, masih diperlukan renungan dan pembacaan kembali yang lebih cermat. Puisi tidak hanya mempersoalkan arti atau makna, tetapi juga bagaimana arti atau makna itu disampaikan oleh penyairnya. Soal penyampaian ini menyangkut bentuk ungkapan puisi.



Sebagai suatu bentuk ungkapan sastra, puisi memiliki beberapa unsur di dalamnya. Unsur-unsur itu, antara lain imaji, tema, metafora, simbol, dan irama. Seperti halnya, jenis karyakarya sastra atau seni yang lain, puisi merupakan ungkapan rasa dan pikir seorang penyair dengan cara atau metode memberikan imaji yang terpadu utuh dalam satu kesatuan maksud. Maksud atau tujuan puisi dapat berupa: menceritakan sesuatu, melukiskan sebuah karakter manusia, impresi atau kesan dan tanggapan terhadap sesuatu, ungkapan atau ekspresi rasa dan pikir, dan ungkapan ide atau sikap seseorang.



Remaja mengenal puisi lewat bangku sekolah atau pembacaan puisi yang tersebar di panggung kesenian setempat. Patut disayangkan

bahwa pada saat ini kreativitas remaja dalam bersastra, khususnya cipta puisi jarang dilakukan. Kelompok remaja sekarang lebih cenderung

menggemari bentuk-bentuk kreativitas yang kurang mengandung nilai pendidikan. Potensi bakat dan minat remaja terhadap puisi tentu akan berkembang dengan baik apabila didukung dengan pelatihan dan kesempatan berkreasi. Salah satu upaya untuk dapat menarik

minat remaja dalam cipta karya sastra, khususnya cipta puisi. Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka Bulan Bahasa

dan Sastra 2010, dengan tema “Pembentukan Karakter Bangsa melalui Peningkatan Kualitas Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah”

menyelenggarakan Sayembara Cipta Puisi Remaja.



2. Tujuan

Sayembara cipta puisi remaja ini bertujuan untuk

a. meningkatkan minat remaja terhadap sastra, khususnya puisi;

b. meningkatkan daya cipta dan kreativitas remaja terhadap puisi;

c. menumbuhkan sikap positif dan cinta sastra bagi remaja.



3. Peserta

Peserta sayembara ini adalah masyarakat umum (bukan warga dan keluarga Pusat Bahasa, atau Balai/Kantor Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional) kelompok remaja berusia 13—20 tahun di seluruh Indonesia. Usia dibuktikan melalui kartu tanda penduduk, dan surat keterangan yang sah.



4. Persyaratan

a. Tema Sayembara Cipta Puisi ini disesuaikan dengan tema Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2010, tidak mengandung pornografi, dan tidak berpotensi menimbulkan konflik yang berkaitan dengan SARA.

b. Naskah puisi ini harus asli (bukan saduran, terjemahan, jiplakan), belum pernah dipublikasikan atau diterbitkan, dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara sejenis.

c. Naskah puisi disertai dengan surat pernyataan bahwa puisi tersebut adalah karya sendiri.

d. Naskah puisi ditulis dalam bahasa Indonesia, diketik rapi dengan jarak 1,5 spasi, dan dicetak di kertas HVS kuarto.

e. Setiap peserta hanya diperbolehkan mengirimkan satu puisi (rangkap tiga), dengan dilapirkan biodata, alamat lengkap, dan fotokopi identitas diri.

f. Naskah puisi dikirim ke Pusat Bahasa, paling lambat 9 Oktober 2010 (stempel pos).

g. Naskah puisi yang telah masuk menjadi milik Pusat Bahasa.

h. Naskah puisi yang dinilai layak akan terbit dalam buku antologi puisi diterbitkan oleh Pusat Bahasa.



5. Penilaian

a Penilaian naskah dan penentuan pemenang akan dilakukan oleh tim juri yang terdiri atas pakar puisi.

b Penilaian mencakup aspek isi, daya puitik, penyajian, dan bahasa Indonesia.

c Putusan tim juri tidak dapat diganggu gugat.

d Hasil penilaian diumumkan pada tanggal 22 Oktober 2010.



6. Hadiah

Pemenang akan mendapatkan piagam, terbitan

Pusat Bahasa yang relevan, dan uang tunai

(dipotong PPh sebesar 20%).

Pemenang I : Rp5.000.000,00

Pemenang II : Rp4.000.000,00

Pemenang III : Rp3.000.000,00

Pemenang Harapn I : Rp2.500.000,00

Pemenang Harapan II : Rp2.000.000,00

Pemenang Harapan III: Rp1.500.000,00



7. Alamat Panitia

Pusat Bahasa

Panitia Sayembara Cipta Puisi Remaja

Kementerian Pendidikan Nasional

Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun

Jakarta 13220

Telepon (021) 4706287, 4706288 Pesawat 127

HP: 08121368882

Ku-mu: Dua Karib yang Memenggal Masa Lalu (dimuat di Jurnas, Jakarta, Minggu 1 Agustus 2010)



















Cerpen Mashdar Z.

SEBENARNYA aku bisa bilang ‘Jika kau ingin apa yang kuingini, maka ambillah', daripada kau mengambil milikku diam-diam dari belakang. Itu benar-benar lebih menyakitkan dari mati. Dan bagimu, mungkin ini cukup rumit. Ya, ini memang cukup rumit. Maka untuk mendinginkan semua ini, sudah seharusnya kita mengingat-ingat bagaimana awal mula kita dipertemukan.


Bagaimana kita dipertemukan? Tentu saja, kita tidak pernah ada janji untuk bertemu di rumah kos penuh kecoak itu. Tapi, di situlah pertama kali kita dipertemukan-hanya karena kamar kos kita bersebelahan. Dan di kamar kosmu yang kacau itu pertama kali kau mempersilahkan aku duduk. Kau mengajakku berkenalan, menawariku segelas kopi dingin dan sebatang rokok yang hampir patah. Sambil melepuskan asap rokokmu kau berceloteh tentang rumah kos seperti apa yang cocok untuk pemuda sepertimu. Aku hanya sesekali mengangguk dan berkata ‘oh' demi mengimbangi keramahanmu.


Kau bercerita, kalau kau adalah seorang karyawan sebuah pabrik kertas yang buruh-buruhnya tak pernah suka berdemo menuntut kenaikan gaji. Kau juga menjelaskan bahwa kau adalah anak seorang petani sawit di Padang, Sumatera Barat. Orang tuamu mengirimmu ke tanah Jawa ini tak lain supaya kau meneruskan kuliah. Tapi, nyatanya kau tak betah menjadi mahasiswa. Kau malah iseng menjadi buruh pabrik. Tentu saja orang tuamu di kampung kecewa. Tapi, dari caramu bercerita sepertinya kau cukup bangga dengan keputusanmu sekarang.


"Manusia hidup harus berdikari, bukan?" tuturmu terdengar bijak. Tapi, jujur, aku merasa tersindir. Karena, aku masih pemuda kencur yang tak bisa berdiri dengan kaki sendiri.


Waktu merangkak dan menyulam banyak hal yang tiba-tiba mengakrabkan kita. Seperti ketika menjemur pakaian, aku suka meminjam hanger-mu, sebagaimana kau suka meminjam buku sajakku untuk kau salin dan kau berikan pada teman-wanita-kerjamu. Kelakuanmu memang benar-benar lelaki-selalu malas untuk membersihkan kamar atau menyisir rambut. Seprai ranjangmu penuh lubang sulutan rokok. Abu rokok tercecer di mana-mana. Di pojok kamarmu, di belakang pintu, teronggok gelas-gelas besar bekas kopi-yang entah kapan, yang mungkin akan kau cuci seminggu sekali. Itu sedikit gambaran tentang kelakuanmu.



Jika kita berbicara tentang kelakuan kita masing-masing, kita seperti tengah terlibat dalam debat kusir. Kau ke Sabang, aku ke Merauke. Kau nge-rock, aku dangdutan. Kau ke ceruk pantai, aku mendaki gunung. Yah, begitulah. Selalu punggung kita yang bersitatap. Tapi, entah mengapa, perbedaan itu terasa sangat manis. Seolah kita harus menyerah pada sebuah pepatah bahwa perbedaan itu ada untuk saling melengkapi. Ya. Itu benar. Buktinya aku tak pernah mempermasalahkan ketika kau menumpahkan segelas kopi di atas Karpet turki-ku. Kau juga tidak pernah marah ketika aku menyebutmu kecoak gudang.


Persahabatan kita memang begitu manis. Kita acap makan satu daun berdua, minum dengan gelas plastik yang sama. Kita membaca buku dan bermain kartu, bermain kata dan saling mengingatkan ketika bulu mata kita masing-masing tanggal oleh celak yang kita pakai menjelang shalat Jumat. Kita tak ubahnya sepasang pertemuan dan perpisahkan yang tak akan terpenggal oleh apa pun, kecuali oleh perpisahan itu sendiri. Kita selalu meloloskan apa yang terlintas di benak kita, di hati kita.


"Milikku milikmu. Benar kan?" bisikku.

"Bantalku bantalmu. Sandalku sandalmu. Kausku kausmu. Nasimu nasiku. Rokokku rokokmu. Aqua-ku aqua-mu. Dompetku dompetmu. Dan kelak...."

"Istriku istrimu."

"Ha... ha... ha...." Kita tergelak.

"Yang itu lain, kawan. Barangkali yang benar begini, istriku ya istriku, tapi tak apalah... istrimu istriku. Ha-Ha Bagaimana?"

Ha... ha... ha....

"Aku punya sebuah teori. Ya. Setiap orang memiliki sebuah pintu terlarang, yang tak boleh dibuka oleh siapa pun. Kalau tak begitu, kita telanjang di mana-mana, dong!"

"Benarkah? Memangnya apa yang tak kutahu darimu?"

"Seperti yang tak kutahu darimu."

"Seperti misalnya... diam-diam kau suka menempelkan upilmu di bawah meja?"

Ha... ha... ha... Kita terbahak.

"Tidak lucu." Tukas kita bersamaan.

Ha... ha... ha... Kita terbahak lagi.

"Aku takut." Celetukmu tiba-tiba.

"Takut? Takut kenapa?"

"Takut jika suatu nanti kita akan bermusuhan."

"Tunggu, tunggu. Kedengarannya sangat menyenangkan bisa bermusuhan denganmu. Tapi, tenanglah, bukankah kita bisa berembug untuk memutuskan siapa yang harus mengalah?"

"Dan yang muda harus menghormati keputusan yang tua."

"Dan tentu saja, yang tua sudah seharusnya mengalah."

"Jadi?"



Jadi, semua berjalan baik-baik saja, bahkan ketika kita dipertemukan dengan gadis manis penunggu kedai mi ayam di ujung gang. Semuanya tetap baik-baik saja. Kita pernah saling ngotot perihal nama gadis itu. Seingatku gadis yang selalu berjilbab itu bernama Maryam, sedang katamu dia memperkenalkan dirinya dengan nama Mery. Entah siapa yang benar. Itu sama-sama tidak penting.



Sepulang kerja kau selalu malas untuk menyalakan kompor, begitu pula denganku. Maka selepas magrib kita selalu datang (bersamaan) ke kedai itu untuk ritual makan malam. Ya, sesore itu kita menyebutnya makan malam. Di sana kita selalu memesan dua mangkuk mi ayam dan dua gelas es teh manis. Aku selalu mengajakmu berlama-lama di kedai itu. Alasanku banyak sekali, menghabiskan waktu-lah, bersantai-lah, daripada di kamar bengong-lah... dan lambat laun kau tahu juga, bahwa diam-diam aku menyukai gadis berjilbab itu.



Atas saranmu, akhirnya aku mendekati gadis itu-mendekati yang sekadarnya. Berbulan-bulan aku memelihara warna merah jambu itu. Berbulan-bulan aku bertapa dalam keasyikan yang tak pernah lafas dari lidahku. Kian waktu kita kian akrab saja dengan Maryam. Bahkan kita mulai suka bantu-bantu di warungnya. Satu hal yang kudapati dari kedekatan kita (aku, kau, dan Maryam) adalah bahwa ternyata Maryam lebih tertarik padamu dari padaku. Aku dapat melihat itu dari gaya bicaranya padamu, dari cara dia mencubit lenganmu, ataupun dari paku matanya saat menatapmu. Dan aku tahu betul, aku cemburu.


Sekuat-kuat hati kubenamkan alamat buruk itu, dan mulai terasa nada bicara kita mulai goyah. Apalagi ditambah kesibukan kita masing-masing yang tiba-tiba mulai terasa menggunung, memperlebar jarak antara kita. Maka, diam-diam aku suka pergi ke kedai mi ayam itu seorang diri, begitu pula denganmu. Dan entah kenapa, hal semacam itu terasa sangat menyakitkan. Tentu saja aku tak bisa menyalahkanmu. Aku benar-benar merasa berdiri dalam posisi yang sulit. Warna demi warna berangsur-angsur mengental dalam hatiku. Kekecewaan yang memerah pekat. Kecemburuan yang menderu biru.


Sebenarnya aku tak juga paham. Apa aku takut Maryam jatuh ke tanganmu, atau aku takut kau yang jatuh ke tangan Maryam. Apa pun itu, pada akhirnya aku akan jatuh pada ceruk lembah yang bernama kehilangan. Dalam romansa yang demikian pelik, akhirnya kau mendekatiku juga. Kau meminta maaf. Aku pun meminta maaf. Kita kembali ke pedang permasalahan-Maryam. Kau bercerita panjang lebar tentang Maryam yang kau kenal. Aku pun mengurai cerita-warta tentang Maryam yang kukenal. Kita bercerita seolah-olah saling menunjukan satu sama lain, siapa yang lebih mengenal Maryam. Meskipun kita sudah bersi-maaf, rupanya kita tak juga lelah untuk saling menjatuhkan. Dan hanya karena kita telah akrab sebelumnya, ini semua terasa lebih menyakitkan dari yang seharusnya.



"Kau ada perasaan padanya?" Akhirnya kata-kata itu terlontar dari mulutku.

"Kau yang lebih dulu meliriknya, jadi aku tak berhak," jawabmu ringan.

"Tapi aku tahu, dia lebih suka melihatmu daripada melihatku."

"Kita sudah sama-sama dewasa. Aku harap ini tak jadi sinetron. Sudah terlalu klise, dua orang karib bermusuhan karena seorang gadis."

Aku mengerjapkan mata menangkap kebenaran dalam kata-katamu. Mengakui kedewasaan cara berpikirmu.

"Jadi?"

"Kita cari kedai mi ayam yang lain!" ujarmu mantap.

Aku menatap senyum sinismu, kau pun sengaja menjulurkan lidahmu. Kurasakan sesuatu mulai mencair, "Milikku milikmu. Kau ingat?"

Ha... ha... ha...



Seperti sebuah keputusan mutlak, setelah percakapan itu kita benar-benar tak lagi mampir ke kedai mi ayam Maryam. Berjalan di depannya pun kita harus menunduk dan bercepat-cepat. Kalaupun terpaksa menyapa, kita akan melemparkan sapaan ala kadarnya. Tampak wajah murung Maryam ketika kita melewati depan kedai mi ayamnya, dan kita hanya berlalu begitu saja. Demi mengingat-ingat wajah Maryam yang murung, aku selalu dihinggapi perasaan menyesal dan bersalah. Tentu saja, bagi Maryam, ini akan menimbulkan sebuah tanda tanya yang mengusik hatinya. Tapi, mau tidak mau, kita harus mengambil keputusan. Aku pun yakin waktu akan menjadikan semua baik-baik saja. Biarlah kisah kedai mi ayam Maryam berlalu menjadi kenangan ringan kita pada masa tua.

***

Bagaimanapun lekatnya sebuah pertemuan, perpisahan selalu mengintai di sana. Pertengahan tahun ke-lima, setelah wisuda, kau pun melepasku untuk kembali ke kampung halaman.

"Kau harus melanjutkan hidup, boy!" pesanmu.

"Bagaimana denganmu?"

"Aku? Aku pelancong bebas. Kau ingat? Aku punya sayap dan aku bisa terbang ke mana saja aku mau. "

"Kau akan bertahan di kamar penuh kecoak ini? Sampai kapan?"

"Sampai aku menemukan diriku yang baru."

"Kau harus merias usiamu. Kau tak boleh terus membiarkannya berantakan."

"Maksudmu?"

"Yah, nanti setelah kau terjebak dalam kesendirian baru kau paham bahwa kau butuh seseorang untuk menemukan dirimu yang baru."

"Maksudmu?"

"Aduh, sulit sekali berbicara bahasa kiasan padamu. Pokoknya kau harus cepat-cepat cari istri, karena kau sudah tua. Karena kau butuh seseorang yang mau mencuci gelas kopimu dan membuang abu rokokmu. Itu."

"Ha...ha... kau seperti bapak-bapak yang menasehati bujangnya."

"Jiaaahhh!!"

***

Bulan Tahun berlalu. Sesekali kita saling berkirim kabar lewat surat, atau telepon rumah. Aku bekerja di sebuah surat kabar harian, menjadi seorang wartawan tetap. Kau pun kabarnya sudah kembali ke tanah darahmu, itu pun karena terpaksa. Dari suratmu yang kali terakhir, kau mengabarkan bahwa Bapakmu sempat opname beberapa minggu di rumah sakit-gara-gara serangan jantung. Tentu saja, tanpa topan tanpa badai tiba-tiba kau memberi kabar ke keluargamu bahwa kau harus menikah. Kau sudah menghamili anak orang. Aku pun tercengang. Tak habis pikir, bagaimana orang sepertimu bisa menghamili anak orang. Gadis macam apa pula yang mau dihamili olehmu. Ada-ada saja.

Akhirnya, kau pun pulang membawa calon mempelaimu. Kau menikah di tanah kelahiranmu. Hari-hari kau mengurus ladang sawit milik Bapakmu. Diam-diam aku ikut bahagia, karena kau sudah menemukan bentukmu. Bahkan, sekarang kau sudah menimang seorang putri yang berumur tujuh bulan. Sedang aku, sampai sekarang masih melajang. Aku benar-benar penasaran dengan dirimu yang sekarang. Tapi, semenjak suratmu yang terakhir itu-sekitar setahun yang lalu, kau tak lagi berkirim kabar. Menelpon juga tidak. Jangan-jangan kau sudah lupa padaku?!

Akhirnya kuinsyafi juga, sebagai seorang muda sudah selayaknya aku yang menyimpul kembali silaturrahim ini. Kebetulan, akhir bulan, aku ada tugas dari kantor untuk mewakili seminar jurnalistik nasional, ke Sumatera tepatnya ke Padang. Itulah, Tuhan memang selalu mempermudah jalan untuk sebuah itikad baik. Aku pun berangkat dengan bekal sehelai sampul surat-yang di sana tercantum alamat lengkapmu. Aku tak perlu meneleponmu atau apa. Pasti ini akan menjadi sebuah kejutan yang besar.

Hari itu datang juga. Usai seminar, aku sengaja keluyuran mencari kenalan orang Padang. Pada mereka, aku bertanya perihal alamatmu yang tertera di sampul surat. Rupanya bukan hal yang sulit menemukan alamatmu. Bahkan, seorang kenalan, ada yang mengaku kenal dengan Bapakmu yang petani sawit. Dengan suka rela pula ia mengantarkan aku ke alamatmu. Dan sekali lagi, aku menyebut ini dengan: Tuhan selalu mempermudah jalan seseorang yang memiliki niatan baik.

Tepat petang aku sampai di halaman rumahmu nan gadang. Aku hampir tak percaya, aku melihatmu duduk di tangga muka rumah, dengan wajah segar. Tampaknya kau lepas mandi sore. Kau tampak asyik menikati sisa-sisa koran pagi.


"Salam, Boy!" aku terburu-buru mendekatimu.

Kau tergelak menatapku, terbelalak tak percaya.

"Ini aku. Kau ingat?" desakku lagi.

Kau masih terbengong-bengong. Perlahan tangan kita berjabatan.

"Ini aku!!!" aku mengeratkan jabatan tanganku, menekankan kata-kataku. Kau masih terdiam. Wajahmu datar. Tidak tersenyum, tidak pula masam.

"Siapa, Bang?" Seorang wanita yang menggendong balitanya muncul dari balik pintu. Dia mentapku dengan segelas kopi yang berguncang di tangannya.

"Maryam!!!" seruku.

Kita bertiga bersitatap. Sementara kau berpikir bagaimana cara menjamuku dengan baik. Aku pun mulai berpikir, bagaimana cara berpamitan yang baik.

***

Malang, 30 Maret 2010.

LOMBA MENULIS CERPEN REMAJA (LMCR) ROHTO












* Berhadiah Total Rp 85 Juta + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Peserta Siswa SLTP (Kategori A), Siswa SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C)

Syarat-syarat Lomba:

1. Lomba ini terbuka untuk pelajar tingkat SLTP (Kategori A), SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C) dari seluruh Indonesia maupun yang studi/bekerja di luar negeri. Kecuali keluarga besar PT ROHTO Laboratories Indonesia dan Panitia/Dewan Juri LMCR 2010
2. Lomba dibuka 21 April 2010 dan ditutup 15 September 2010 (Stempel Pos)
3. Tema Cerita: Dunia remaja dan segala aspek kehidupannya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, harapan, kegagalan, cita-cita, derita dan kekecewaan)
4. Judul bebas tetapi harus mengacu tema Butir 3
5. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul
6. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia literer (indah, menarik, mengalir) dan komunikatif. Bahasa gaul dan bahasa daerah/asing boleh digunakan untuk segmen dialog para tokohnya – jika itu diperlukan dan sesuai dengan tema
7. Naskah yang dilombakan harus asli (bukan jiplakan) dan belum pernah dipublikasi
8. Ketentuan Khusus:

1. Naskah ditulis di kertas ukuran kuarto, ditik berjarak 1,5 spasi, font 12, huruf Times New Roman, margin justified 2 Cm, panjang naskah antara 6 – 10 halaman, dikirim ke panitia dalam bentuk printout 3 (tiga) rangkap/copy disertai file dalam bentuk CD.
2. b. Cantumkan sinopsis maksimal 1 (satu) halaman, mini-biodata pengarang, foto 4R, fotocopy KTP atau SIM/Paspor/Student Card
3. Setiap judul cerpen yang dilombakan wajib dilampiri kemasan LIP ICE (bagian kartonnya) atau segel SELSUN Shampo jenis apa saja
4. d. Naskah cerpen yang dilombakan beserta persyaratannya dimasukkan ke dalam satu amplop (boleh berisi beberapa judul), cantumkan tulisan PESERTA LMCR-2010 dan Kategori-nya di atas amplop kanan atas dan dikirim ke: Panitia LMCR-2010 LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD – Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau, Sentul City Bogor 16810
5. Hasil lomba diumumkan tanggal 15 Oktober 2010 melalui www.rayakulturanet dan www.rohto.co.id

1. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
2. Hasil Lomba:

Masing-masing kategori: Pemenang I, II, II dan 5 (lima) Pemenang Harapan Utama, 10 (sepuluh) Pemenang Harapan dan Pemenang Karya Favorit untuk Kategori A: 20 Pemenang, Kategori B: 60 Pemenang dan Kategori C: 100 Pemenang.

Hadiah Untuk Pemenang:

Kategori A (Pelajar SLTP)

* Pemenang I – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 20 (dua puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan II berhak mendapat 1 (satu) unit TV

Kategori B (Pelajar SLTA)

* Pemenang I – Uang Tunai Rp 5.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 60 (enam puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan III berhak mendapat 1 (satu) unit TV

Kategori C (Mahasiswa/Guru/Umum)

* Pemenang I – Uang Tunai Rp 7.500.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 100 (seratus) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010

1. Naskah cerpen yang dilombakan jadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarangnya. Informasi lebih lanjut e-mail ke rayakultura@gmail.com

Jakarta, 10 April 2010

Ketua Panitia LMCR-2010

Dra. Naning Pranoto, MA

sumber http://www.rayakultura.net/blog/2010/04/lomba-menulis-cerpen-remaja-lmcr-2010/

Kampung Lapar (dimuat di REPUBLIKA, 27 Juni 2010)


Oleh Mashdar Zainal

SETELAH mendengarkan sebuah cerita, Mahisa tak jenak lagi memejamkan kedua matanya, apalagi makan dengan tenang. Semua pasti sepakat bahwa cerita itu memang benar-benar keramat. Ya, cerita tentang masa, bahwa suatu saat nanti matahari akan tergelincir dari ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala manusia.

Sebongkah bara raksasa akan menjerang manusia hidup-hidup dalam tungku yang terbangun dari batu-batu hati yang keras. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut mengendus keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang sampai mata kaki, lutut, dada, dan akhirnya meneggelamkan kepala mereka.

***

Mahisa tercenung di depan meja makan yang megah. Meja makan berbentuk lingkaran yang terbuat dari batu marmer. Meja makan otomatis yang bisa berputar sendiri, mempersilakan menu-menu istimewa untuk tuannya. Mata Mahisa menilik satu per satu piring, mangkuk, dan cawan berkaki yang semuanya berisi.

Seorang khadimah mendekatinya, “Mengapa Tuan tak bersegera makan? Bunda Nonya pasti akan memarahi saya jika Tuan tidak jenak makan, hanya karena menu masakan yang saya sajikan kurang menarik.”

“Bukan. Bukan itu, Bi. Emm .… Bi, bibi pernah kelaparan.” Mahisa balas bertanya.

“Mengapa Tuan menanyakan itu?”

“Karena saya belum pernah. Bibi pernah?”

“Syukur alhamdulillah, sejak Bunda Nyonya kecil, bibi sudah ikut keluarga ini. Dan bibi maupun keluarga bibi belum pernah mengalami yang namanya kelaparan. Ya, na’udzubillah, Tuan!”

“Kok na’udzubillah? Memangnya rasa lapar itu sangat menakutkan ya, Bi?”

“Rasa lapar itu lebih mengerikan dari apa pun. Rasa lapar datang dari perut. Dan perut adalah ibu dari segala kelaliman.”

Mahisa tercenung. Tak sedikit pun hidangan yang tersedia di hadapannya disentuhnya. Ia membayangkan matahari mengapung beberapa senti dari kepalanya. Ia bergidik ngeri. Beberapa detik kemudian ia berlari ke kamarnya.

“Tuan, Tuan kenapa? Mau ke mana? Tuan?” bibi mengejarnya.

Mahisa mengambil kaus jaketnya dan berlalu, “Maaf, Bi. Saya ingin jalan-jalan. Nanti kalo Bunda telepon dan menanyakan apa saya sudah makan atau belum. Bibi bilang saja kalau saya sedang puasa.”

“Tuan puasa?” bibi mematung.

Mahisa tersenyum dan berbalik.

“Lalu Tuan mau ke mana?” bibi membuntutinya.

“Jalan-jalan.”

“Iya, jalan-jalannya ke mana?”

“Ke kampung lapar.”

“Kampung lapar?” bibi tercengang, mencerna sesuatu.

“Iya, Bi. Kampung yang membuat saya penasaran.”

Bibi terus mengintil, “Lalu Tuan pulang jam berapa?”

“Entahlah, Bi.”

“Kok entahlah?”

“Ya, saya akan pulang setelah saya benar-benar kenyang dengan rasa lapar.”

Bibi mematung di depan pintu. Mulutnya menganga. Alisnya bertaut. Dahinya berkerut.

***

Mahisa bergegas meninggalkan bibi yang masih mematung di depan pintu. Ia sengaja meninggalkan kunci mobilnya di kamar. Ia hanya ingin berjalan. Benar-benar berjalan dengan dua kakinya yang telanjang. Beriring langkahnya yang kukuh dan terus berayun, sesuatu yang ada dalam kepalanya meletup-letup. Ia telah hidup puluhan tahun, dan bagaimana mungkin ia tak pernah merasakan lapar.

Hari-hari Mahisa terperangkap oleh perhatian bundanya. Maklumlah ia putra semata wayang. Sejak kecil, Mahisa telah menjadi sebongkah emas bagi keluarganya. Jangankan kelaparan, digigit nyamuk pun bunda tak akan membiarkannya, bunda akan segera mengolesi bentolnya dengan minyak tawon. Meski bunda seorang wanita karier, ia tak pernah lepas perhatian kepada putra satu-satunya. Siapa lagi yang akan memperhatikannya. Pun papa tak mesti seminggu sekali ada, papa adalah seorang duta negara yang sibuk, yang selalu melakukan perjalanan jauh dengan pesawat terbang.

Ketika bunda nyonya berangkat kerja, semua keperluan Mahisa telah dipasrahkan kepada bibi, orang kepercayaan keluarga. Tak lupa, tiga sampai lima jam sekali, bunda nyonya menelepon dari kantornya. Menanyakan apakah Mahisa sudah makan dan minum vitamin, atau dia pergi ke mana dan dengan siapa, lalu ngapain saja, pulang jam berapa. Begitulah rentetan pertanyaan bunda untuk Mahisa. Terkadang Mahisa mulai merasa jenuh. Bukan, bukan jenuh. Mahisa hanya merasa kurang nyaman dengan perhatian bunda yang berlebihan. Ia bukan lagi bocah belasan tahun. Tapi, apa pun keputusan bunda, Mahisa selalu menghormatinya.

***

Mahisa menoleh ke belakang, rumahnya yang menjulang masih tampak dari kejauhan. Ia terus melangkah. Kaki putihnya mencengkram gili-gili. Setapak demi setapak. Sengatan matahari mulai menjilat tengkuknya. Ia menengadahkan wajah ke langit. Silau. Kakinya terus berayun, dari trotoar, sesekali meloncat ke jalan beraspal yang membara seperti panggangan steak. Detik-detik menggeliat kepanasan. Menit dan jam berlalu menjadi bulirbulir keringat. Seperti asap yang terjebak dalam tungku.

***

Jauh sudah ayun langkah Mahisa. Sama sekali ia tak tahu-menahu di mana sekarang ia berada. Baru saja ia melewati perbatasan kota kedua. Meski acap kali alisnya bertaut, tapi ia tak pernah khawatir tersesat, karena ia benar-benar tahu arti tersesat. Yaitu, ketika arah tak jangkau pandang dan matahari berguling-guling beberapa senti di atas kepala. Itulah tersesat.

“Perutku.” Mahisa mengusap perutnya. “Sebentar lagi aku akan sampai di kampung lapar. Aku tak boleh beku langkah.”

Kaki Mahisa kini berayun dengan runtun, bagai langkah paskibra. Ia memicingkan mata ketika tiba-tiba asap tebal menghalangi pandangannya. Ia mencium bau plastik entah rambut terbakar. Ia tak peduli, ia hanya sedikit memperlambat langkahnya. Ketika asap itu perlahan pudar, Mahisa menghentikan hentak langkahnya. Matanya nanar menatap sebuah kampung yang beratap seng dan kardus-kardus bekas. Dari tempatnya berdiri, Mahisa bisa mengucup aroma kumuh. Kumuh yang aneh.

Mahisa kembali menggerakkan kakinya, ia melewati gundukan sampah yang menggunung di dekat pintu masuk kampung. Ia melewati rumah-rumah ringkih yang menjerit dalam diam. Sunyi. Air kotor menggenang di mana-mana. Lalat dan nyamuk sampah menguing. Tanah-tanah becek menguapkan bau lumut yang terkontaminasi keserakahan. Sesekali Mahisa mendengar jeritan parau dari dalam rumah-rumah yang pintunya tertutup oleh kain-kain kumal. Mahisa melihat dua anak kecil yang menggelosor di bawah kursi sambil menjilati ingusnya. Berikutnya, ia menyaksikan ibu-ibu tua yang menyuapi anaknya yang busung lapar dengan makanan yang dikerubuti lalat. Mahisa tak menghentikan langkahnya. Matanya nyalang seperti kamera yang menjepret apa saja.

Langkah berikutnya, Mahisa melihat dua orang pemuda yang mencengkram kaki binatang yang meronta-ronta. Perempuan baya di sebelahnya menggenggam parang yang berkilat. Seorang anak kecil yang tak berbaju, bergelendotan di kaki perempuan itu. Mahisa mendekat.

“Apa yang akan kalian lakukan.” Tanya Mahisa mengagetkan mereka.

“Kami akan menyembelih binatang ini.” Salah seorang pemuda menjawab.

“Hei, itu bukan kambing, kan? Itu anjing, kan?”

“Oh, ini bapak kami. Beliau berubah menjadi anjing. Beliau sendiri yang meminta kami menyembelihnya. Beliau hanya tak ingin melihat kami kelaparan.”

Mahisa terhenyak dan nyaris muntah. Ia bergegas meninggalkan gerombolan itu dengan kaki mulai gemetar. Beberapa kali perutnya berkeriuk, berkabar tentang rasa lapar yang sebenarnya. Mahisa mempercepat langkah kakinya. Tergesa. Ia terhenyak, serta merta menghentikan langkah, ketika kakinya menyandung sesuatu. Sebuah kardus. Kardus yang tertutup kain tipis seperti taplak meja. Ada yang menggeliat dalam kardus itu. Mahisa bertanya-tanya. Disingkapnya kain penutup itu perlahan. Seonggok bayi merah menggeliat menendang-nendang dinding kardus. Mahisa miris melihatnya. Dadanya sesak. Ketika telunjuknya mendekat, hendak menyentuh tangan bayi itu. Mahisa benar-benar tak percaya. Bayi itu bisa bicara. Bayi itu mengaku, sengaja dibuang ibunya karena tak punya cukup biaya untuk membeli susu atau sekadar pisang.

Dada Mahisa masih bertalu dalam rasa sesal dan pertanyaan-pertanyaan. Ketika matanya menengadah ke langit, ia merasakan, bahwa matahari yang berpijar di petala langit tampak lebih besar dari yang seharusnya, lebih dekat. Mahisa menunduk, mengabaikan silau yang menikam pupilnya. Mahisa menjerit sekeras-kerasnya ketika kardus berisi bayi di hadapannya lenyap dibawa lari seekor anjing. Mahisa tak kuasa mengejarnya. Ia panik, berlari pontang-panting tak yakin arah. Setelah beberapa meter, di bawah sebuah pohon yang rindang, ia berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Kali ini perutnya terasa menciut, ususnya mengering melilit lambung dan tulang. Ia yakin sekali, itu yang disebut lapar.

Mahisa melempar paku pandangnya jauh. Sejauh hasta pandang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan pulang, dan sama sekal ia tak berhasil. Ia benar-benar ingin pulang. Bukan untuk memenuhi perutnya dengan makanan. Mahisa hanya ingin membawakan makanan yang melimpah di rumahnya kepada orang-orang itu, orang-orang yang dihantui rasa lapar dan kematian.

Sekarang Mahisa tahu, apa itu lapar. Pantas saja, dalam cerita itu, orang-orang yang tak peduli dengan saudaranya sesama manusia—yang kelaparan—kelak tak akan dapat naungan ketika Matahari benar-benar didekatkan sampai beberapa senti di atas kepala mereka. Ya, Mahisa tak ingin mencicipi matahari memberangus kepalanya, selebihnya Mahisa hanya ingin berbagi. Tapi bagaimana? Ia benar-benar tak ingat jalan pulang.

***

Mahisa terheran-heran, perjalanannya sudah terasa sangat lama. Tapi langit tak juga remang. Matahari semakin nanar dengan pijarnya. Mahisa memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanannya, ke mana saja, yang penting ia bergerak. Mahisa memutar haluan sampai ia menemukan kembali perbatasan kota. Di sebuah gerbang tugu, ia membaca tulisan ‘Selamat Datang di Kota Kenyang’. Ya, itulah kota tempat ia tinggal selama ini. Ia senang bukan kepalang, berkali-kali ia menggumam hamdalah. Anehnya, setelah memasuki perbatasan, Mahisa tak menemukan satu rumah pun, tak juga pepohonan, atau jalan-jalan beraspal. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan pasir. Serupa gurun.

Mahisa mengayun langkahnya penuh keragu-raguan. Ia bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan kota ini. Apa ini sebuah mimpi? Mahisa menjambak rambutnya sendiri. Sakit. Tapi ini sangat aneh, belum genap satu hari ia pergi, dan semuanya berubah. Tukang sulap mana yang bisa menyulap kota menjadi padang gersang. Mahisa mengerjapkan matanya. Hawa panas kembali menyengat tengkuknya. Mahisa sendiri merasakan, dulu kota tempat ia tinggal tak pernah sepanas ini. Apa karena padang pasir ini? Di mana pula penduduk kota? Ia tak melihat seorang pun di sana. Sepi yang menyala-nyala.

Setapak demi setapak, Mahisa menggerakkan langkahnya. Ia sangat khawatir dan takut. Ia menegadahkan kepalanya ke langit. Silau. Matahari tampak lebih besar dari biasanya. Lebih dekat. Ia kembali memutar cerita itu dalam kepalanya, cerita tentang masa, bahwa suatu saat nanti matahari akan tergelincir dari ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala manusia. Sebongkah bara raksasa akan berputar-putar di atas kepala manusia. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang sampai mata kaki, lutut, dada, dan akhirnya menenggelamkan kepala mereka. (*)

Malang, April 2010

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Novelnya yang sudah terbit: Zalzalah (Semesta, Pro-U Media Jogja, 2009). Puisinya juga termaktub dalam antologi puisi: Doa ‘Akasyah (Beranda, Intrans, Malang, 2009). Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Lembah Ibarat dan FLP Malang.

Di Kolong Langit Jeddah yang Pucat (dimuat di Surabaya Post 6 Juni 2010)
















Cerpen Mashdar Z.

Kau rasakan layar kecemasan mengembang di wajahmu yang kuning pucat. Seperti siluet senja yang melesat di antara punggung Gunung Radwa dan Abha yang kelabu. Kau teringat nenekmu yang sebatang kara di negeri seberang. Kau teringat wajahnya yang cekung, atau punggungnya yang membungkuk karena saban hari merangkak mengambah alas[1] Watu Gilang untuk memunguti ranting-ranting kering, atau geguguran daunan jati. Nenekmu hanya seorang buruh tani yang ketika menunggu musim panen sama halnya dengan menunggu lebaran tiba. Bila musim tanam selesai, nenekmu selalu merangkak menyisiri hutan-hutan di kaki Gunung Wilis, untuk segendong kayu bakar atau segepok daun jati yang nantinya akan ia tukarkan dengan beras dan minyak curah. Ah, kau benar-benar merindukannya.

Beberapa tahun lalu, sebelum kau melesat terbang untuk meraih serpihan rizqi di bawah langit kota Jeddah yang jauh, kau tak pernah bisa lepas dari nenekmu. Kau hidup berdua saja dengannya. Ibumu keracunan ketuban saat melahirkanmu, biaya persalinan yang pas-pasan tidak memungkinkanya untuk memperoleh tindakan cepat, maka setiap nenekmu bercerita perihal kelahiranmu, kau seperti menyayat luka yang terpatri di wajahmu. Tak cuma itu, berselang satu setengah tahun terpaut usiamu, ayahmu mangkat karena sengatan paru-paru basah yang sama sekali tak tersentuh tangan medis, selain kehendak Tuhan tentu saja karena alasan klasik yang klise: biaya. Itulah mengapa kau begitu benci dengan kemiskinan. Kemiskinan telah merenggut orang-orang yang kau cinta sebelum kau sempat mematri raut wajah mereka dalam benakmu.

Kau tahu, nenekmu begitu menyayangimu. Kau layaknya manik permata yang selalu di elu-elukannya. Wajahmu cantik, gerak lakumu jujur dan lugu. Ia tak mau jika kau menjadi lekang dan rapuh hanya karena pengaruh pergaulan di kampungmu yang mulai menyisihkan nilai-nilai ketimuran seorang gadis. Tentu kau masih ingat dengan Eli, teman sekelasmu yang mati bunuh diri gara-gara tak kuasa menanggung aib yang menggembung di perutnya.

Maka, seusai menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas, nenekmu menyarankanmu untuk bertebaran ke negeri jauh, menjemput berkah yang telah disebar Gusti Allah di muka bumi. Awalnya kau bersikeras untuk tetap tinggal menemani nenekmu, agar tetap bisa menjagainya di usia senja. Namun air mata tua nenekmu telah meluluhkan keras kepalamu. Akhirnya kau pun berangkat.

Ketika itulah, kau rasakan pertama kali betapa birunya warna perpisahan. Pikiranmu bergejolak. Di usiamu yang baru belasan tahun itu, tak pernah kau bayangkan kau akan melayarkan bahtera seorang diri, jauh ke tengah samudera kehidupan yang luas tak beranah tepi.

“Jika perahu telah kukayuh ke tengah, pantang bagiku membalik arah, biarpun besar gelombang, kemudi patah, layar robek, itu lebih baik daripada memutar haluan pulang.” Bisikmu.

***



Asing sekali ketika kakimu menapak negeri bertanah gurun itu. Di sebuah rumah yang megahnya seperti masjid itu kau bekerja. Merawat perempuan pikun dan balita. Dengan gaji tujuh ratus real yang tak pernah sampai ke tanganmu. Tahun pertama kau bekerja, kau hidup seperti budak tawanan perang. Sayyidah[2] Fatat yang bermata lebar dan bercelak tebal itu selalu mengawasi gerak-gerikmu. Barangkali ia tak mau melihatmu bermalas-malasan. Melihatmu duduk tanpa melakukan sesuatu, baginya adalah sama halnya membuang dirham[3].

Jaddah[4] Raisyah, perempuan renta yang melata di kursi roda itu pun selalu menyusahkanmu. Kau merawat perempuan pikun itu seperti merawat cicitnya. Menyuapinya saat makan, menyeka tubuhnya yang lemir, mengelap air liurnya, atau kalau lebih buruk lagi menimpal bekas kotorannya. Awalnya kau merasa jijik dan hendak muntah, tapi lama semakin lama kau menjadi sangat terbiasa. Kau bayangkan wanita tua itu nenekmu dan semuanya menjadi lebih mudah kau lakukan.

Tahun berganti tahun kau jalani, dapat kau rasakan lembaran demi lembaran hidupmu yang datar dan buram tanpa warna. Kebosanan yang merestan di kepalamu kini telah lumat oleh ketidakberdayaan. Dekat sekali kau rasakan campur tangan Tuhan atas skenario yang kau perankan sekarang ini. Maka kau bisa apa? Bahkan ketika Sayyid[5] Junaid, suami Sayyidah, mulai berani mencolek-colek pinggulmu, kau pun tak bisa berbuat apa-apa.

Sampai datanglah suatu ketika yang celaka. Sayyidah menggelar sebuah pesta besar-besaran di rumahnya. Seluruh tenagamu dikurasnya. Kakimu gemetar melihat keramaian yang begitu mencekam. Dari balik gorden dapur kau lihat para tamu yang mengagungkan pesta dan kesenangan. Orang-orang berhidung panjang dan bercambang tebal, orang-orang berkulit hitam dan berambut kriting, mereka berkumpul melebur dalam tahniah[6] dan tari-tarian. Mereka menyatap kambing guling dan ikan sadil ‘arab seperti serigala lapar. Nasi samin yang kau tanak semalam suntuk, tandas oleh perut mereka.

Seusai pesta, dan tamu-tamu pulang. Kau merangkak membereskan sisa-sisa pesta yang berantakan. Sayyidah pergi mengantarkan saudara jauhnya dan mungkin kembali esok lusa. Tinggalah kau seorang, bersama nenek pikun dan Sayyid Junaid yang tatapan matanya seperti hendak menerkam.

Malam itulah, ketika tiba-tiba Sayyid Junaid memintamu ke kamarnya untuk memijtnya, kau juga tak bisa menolak. Malam itu bisa kau rasakan, kau seperti ayam kecil yang terperangkap dalam liang musang. Benarlah, Sayyid Junaid mulai merayumu. Kau menolaknya, akibatnya kau pun mendapat satu tamparan keras di pipi kananmu. Kau berontak, hendak berlari darinya, dengan cekatan pula lelaki arab bernafsu kuda itu merengkuhmu, melumatmu dalam tarian-tarian menyeramkan. Semenjak itu, malam-malam tua telah menjadi seteru yang menyematkan luka abadi dalam lubuk dadamu. Seperti lolongan rase gunung, setiap malam kau memperpanjang tangismu sambil mencakar wajahmu sendiri. Ngilu.

“Telah tersemat ribuan jarum dalam ketubanku. Aku musafir asing yang kehilangan kaki. Lantas musti bagaimana aku meneruskan mimpi. Luka ini terlampau mendarah daging, rasanya waktu pun tak akan mampu menyembuhkannya. Ini memang tak lebih sakit dari mati, tapi ini lebih buruk dari mati.” Cercaumu, pilu.

***



Petang itu, ketika rumah Sayyidah sepi kau berjingkat meninggalkan perempuan tua yang tergolek di kasur bersama kotorannya sendiri itu. Kau benar-benar sudah tak tahan. Kau berjingkat membawa beberapa helai pakaian yang kau bungkus dalam kain jarit milik nenekmu. Kau cek setiap penjuru pintu. Semua terkunci rapat. Kau berpikir, mereka memang sengaja memasungmu. Kau pun tak pendek akal. Kau turun lewat balkon samping dengan beberapa utas kain yang kau kaitkan jadi temali. Kau sudah seperti buronan yang hendak kabur dari bui. Tak kau pikirkan, kau tak membawa bekal atau uang sepeserpun. Ah, barangkali gejolak badai di batinmu mengalahkan rasa lapar.

Lihatlah! Di tanah gharib[7] itu kau jadi gelandangan. Ayunan langkahmu selalu gontai musabab lututmu yang selalu gemetar menahan beratnya beban yang kau pikul seorang diri. Perutmu juga terasa melilit dan panas. Kepalamu berat bukan main. Kau mulai suka terbatuk-batuk. Sempurna sudah apa kau cemaskan sejak pertama kali menginjak tanah terik berdebu itu.

Kau melanglang serupa orang terusir. Berteman baik dengan trotoar-trotoar dan rasa lapar. Hingga sampailah langkahmu pada bangunan kardus di bawah jembatan Waladhaek yang gagah itu. Di sana kau bertemu dengan Suryani, gadis 17 tahun asal Jombang, yang bernasib sama denganmu atau barangkali lebih buruk. Bisa kau tilik bekas luka memar di jidadnya, juga bekas luka bakar yang menghitam di lengan kirinya. Kabarnya ia kabur karena tak tahan oleh siksaan majikannya. Tak hanya Suryani yang jadi penghuni kolong jembatan angkuh itu. Di sana juga ada Nunung asal Tasikmalaya yang sengaja dibuang majikannya karena memiliki penyakit kulit menjijikkan yang konon menular. Ada juga Dwi, Fauziah, dan Jumiati. Semua memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Ah, bagimana dengan kisahmu sendiri? Sama mirisnya dengan kisah mereka.

“Mengapa manusia harus lahir ke muka bumi, jika ia tak memiliki hak untuk hidup selayaknya manusia. Dunia memang angkuh.” Bisikmu lembut seperti kabut yang menguapkan aroma racun yang kental.

Begitulah. Di kolong jembatan itu kau hidup bersama mereka seperti keluarga. Saling bertukar kata dan saling menghibur. Apa yang mereka makan, itulah yang kau makan. Tapi, selalu saja, ada yang pahit yang membaur bersama hari-harimu, hari-hari kalian. Lihat saja Nunung, tampaknya dia yang paling rapuh menahan beban. Sepanjang siang dan malam yang dilakukanya hanya termenung dan menangis. Badanya kurus karena tak pernah mau makan. Pucat masih tampak di wajahnya meski hampir seluruh kulitnya dipenuhi bintil-bintil merah yang berminyak dan mengelupas. Beberapa kali ia menyalahkan Tuhan yang telah sempurna menyengsarakan hidupnya. Beberapa kali Nunung tampak mengeluhkan rasa perih di ulu hati dan sekujur tubuhnya. Ia menangis tak henti-henti, ingin bertemu dengan ibu-bapak dan sanak keluarganya di kampung halaman. Tapi apa boleh buat. Setelah menangis panjang itu, Nunung tak tampak lagi sampai kau menemukanya terjuntai kaku di tiang rangka jembatan dengan lilitan tambang di lehernya. Ah, haruskah semua ini berakhir memar.

Kau terisak menahan bongkah cadas di dadamu. Kau usap perutmu yang kian hari kian menggembung. Ini salah siapa? Tak ada yang salah. Demi memikirkan semua itu, nyeri di kepalamu kambuh. Badanmu terasa semakin ringkih dan kedinginan.

“Tuhan… kalau memang aku harus mati waktu dekat ini. Jangan biarkan aku mati dalam keterasingan. Izinkan aku mati di pangkuan nenekku, di kampung halamanku.” Kau terus terisak sampai suaramu serak dan habis, sampai rasa kantuk yang indah menjemputmu untuk singgah ke alam bawah sadar. Alam di mana mimpi buruk menjadi hal yang lebih indah. Ah, semua mengalir saja seperti air. Kehidupan selalu begitu. Dunia selalu begitu.

***



Kau gagap terbangun di akhir sepertiga malam, kau rasakan badanmu menggigil bukan main, perutmu terasa sangat mual, begitu pula kepalamu terasa sangat nyeri dan berat. Kau beranjak dari rumah beratap jembatan itu. Kau semakin menggigil. Kedua gigimu bergemeletak menahan dingin. Kau tatap rembulan pucat yang berlayar ke utara menghindari arakan mendung gelap. Sepi. Teman-temanmu masih pada terlelap, terpasung gelap. Sekali lagi kau tengadahkan wajah ke langit lepas. Kau berusaha mengingat seperti apa warna langit di kampung halamanmu. Sama kah? Di kampungmu, pada detik itu, kau akan mendengar alunan tarhim seperti eufoni[8] kramat yang melengking dari petala langit. Kemudian nenekmu akan membangunkanmu untuk mengambil air wudhu.

Entah mengapa, tiba-tiba dadamu penuh sesak, perasaanmu tidak enak. Mungkin kau terlalu merindukan nenekmu, kampung halamanmu. Rasanya kau ingin tertidur lagi, dan tiba-tiba nenekmu datang dan membenarkan letak selimutmu. Ah, tapi perutmu sangat mual, tenggorokanmu sangat perih dan sesak bagai tercekik, bahkan kau terbatuk-batuk dalam. Ada apa lagi dengan tubuh rapuh ini? Beberapa jenak, kau terbatuk-batuk lagi, semakin dalam. Perlahan kau merasa ada yang meleleh dari lubang hidungmu. Kau menyentuhnya. Kau mendapati cairan kental, warnanya merah pekat. Tak kau pedulikan. Kau merebahkan tubuhmu di atas hamparan rumput kering yang mengembun. Matamu menyimpan cermin yang dapat mengundang kupu-kupu yang terpasung rembulan di atas sana. Kau tersenyum menyapa bintang-gemintang yang kesepian. Tiba-tiba kau merasa seperti tertidur di pangkuan nenekmu.*


*Malang, 5 September 2009

Seperti Ibu-Bapak kita, suatu ketika kita pun akan beranjak renta…




Tadi gak sngaja lihat liputan di TV: Sebuah panti jompo. Aku gak tega nontonnya, pedih, kasihan, jengkel, geram. Dari pada meledak, maka segera kubuka lap top, kuputar lagu Ummi (Haddad alwi-Sulis) dan aku pun mulai menulis:
Puluhan perempuan dan laki-laki renta menari di sana… Menggeliatkan tubuh mereka yang rapuh termakan usia. Mereka menyanyikan lagu ‘bengawan solo’ karya Gesang dengan suara parau kering. Scercah senyum memantul dari bibir mereka yang keriput. Ketika sebuah lagu diputar mereka menari dengan tarian alakadarnya. Setelah sedikit hiburan selesai mereka diminta menyampaikan salam pada pemirsa (yang mungkin termasuk keluarga mereka). Ketika mereka diminta berkirim salam, wajah mereka redup. Seorang nenek yang giginya dapat dihitung jari bersalam sambil terkekeh, “Saya titip salam sama Mas Helmi Yahya…”.
Seorang nenek yan lain tak dapat berkata sepatah apapun ketika mereka diminta berkirim salam, tapi tiba-tiba matanya mengkilat. Setelah agak lama ia terisak lirih sambil bertutur, “pingin ketemu anak-anak dan cucu di Palembang…. ”
Tiba-tiba otakku tersentil untuk menulis sebuah perjalanan tentang perasaan mereka yang entah, tak bisa kubayangkan.
Siapapun yang membaca ini, katakana padaku: Apa alas an yang paling tepat untuk mengasingkan (halusnya: menitipkan) seorang ibu atau bapak yang lanjut usia ke panti jompo?
Tidakkah mereka berpikir, ‘manusia renta’pun, mereka tetap hidup, dan punya hati, dan bisa merasakan pedih, dan bias terluka, dan bisa menangis… dan mereka… mereka adalah ibu atau bapak mereka sendiri, bukan orang yang lain.
Benarkah keberadaan ibu atau bapak (ketika usia mereka merangkak senja) menjadi sebuah beban bagi ketentraman keluarga, hingga mreka harus kita asingkan di sudut kesendirian mereka, haruskah mereka kita pisahkan dari cucu-cucu mereka? Barangkali kita tak bisa menebak bahwa harapan puncak seorang manusia renta tak lain adalah hidup tenang di sela kasih sayang anak-cucunya… atau barangkali Tuhan harus mempercepat usia kita, supaya kita bias merasakan bagaimana menjadi tua dan diasingkan…
Sekali lagi… benarkah masuk logika jika kehadiran ibu atau ayah menjadi semacam disturbia…? Benarkah jasad rapuh mereka merusak pandangan kita? Benarkah suara renta mereka memekakkan gendang telinga kita? Benarkah langkah tertatih mereka menjegal langkah kita? Benarkah segala kerentaan ibu-bapak kita menjadi penghalang napas kita? Benarkah? Benarkah?
Ibu-bapak… Tak ingatkah kita. Merekalah yang menuntun, mengajarkan kita bagaimana caranya berjalan, merekalah yang memngajarkan kita membedakan warna cahaya, merekalah yang mengajarkan kita bagaimana menyendok nasi yang benar, merekalah yang yang mengusap kening kita ketika badan kita panas, merekalah yang mengajarkan kita menghapal garis lurus A, lengkung liuk Ba dan titik tiga Tsa… Lantas kemana semua itu….?
Jika seorang ibu mau mengacungkan jarinnya untuk kita jadikan sandaran belajar berjalan, mengapa seorang anak tak bias menyiapkan sebilah tongkat ketika dua kaki ibu mulai gemetar? Jika seorang ibu tak pernah jijik menyeka kotoran kita di waktu kita kecil, mengapa seorang anak merasa jijik setengah mati untuk sekedar mengelap liar ibunya? Jika seorang ibu rela menghentikan detak jantungnya demi degup napas sang anak, mengapa seorang anak terasa berat melapangkan sedikit kursinya untuk diduduki sang ibu?
Seiring rentanya zaman, seolah menjadi sebuah trend: Rumah, keluarga harus terbebas dari sesuatu yang namanya ‘manusia pikun’. Panti jompo di sana-sini semakin penuh, panti social manula semakin laris. Dengan beberapa peser uang, dengan bangga mereka menitipkan bapak-ibu mereka ke panti social… bahkan (Sebuah berita di tv) ada yang sudah melepaskan hati dengan meninggalkan ibu mereka yang pikun di tepian jalan, dengan beberapa lembar ratusan ribu dan beberapa helai baju.
Sebuah fenomena yang miris… Suatu ketika aku ingin menulis sebuah novel atau cerita pendek, atau sekurang-kurangnya sebuah puisi, tentang ketika kita beranjak menjadi tua bersama kesendirian… Kawan…, Kita tak pernah bisa ingkar, bahwa suatu ketika nanti, kitapun akan menjadi tua dan renta…. seperti ibu-bapak kita…
Kawan…, semoga ihwal demikian tak sampai terbesit ke benak kita, sekedear terpikirkan pun jangan… Yah, semoga kita menjadi seorang anak yang layak untuk menyelusup kesebuah tempat istimewa yang disimpan ibu kita di telapak kakinya… Kalaupun tuhan mengizinkan manusia menyembah selain-Nya… yang paling layak kita sembah adalah ibu…
Ummy… ya lahnan a’syaqahu, Wa nasyidan dauman ansyuduhu
Fikulli makanin adzkuruhu, Wa adhallu-adhallu uraddiduhu
Ummy… ya ruhi wa hayati, Ya bahjatan nafsi wa munati
Unsi fil hadiri wal ati
Allahu ta’ala aushoni, Fi sirri walau fil I’laani
Bil birri laki wal-ihsaani
Ismuki manqusyun fi qalbi, Hubbuki yahdini fi darby
Wa du’aiy yahfadhuki rabby
Ibu… lagu yang palin kugemari,
Irama yang selalu kudendangkan,
Dimanapun dan kapanpun akan selalu ku ingat…
Ibu… jiwaku dan hidupku
Penghibah kebahagiaan pemberi harapan
Detik ini, sampai waktu yang panjang…
Tuhan telah menitahkanku
Dalam kesendirian ataupun kebisingan
Aku harus selalu berkasih saying dan berihsan padamu…
Ibu… namamu terpahat di hatiku
Cintaku padamu membawaku ke jalan yang tepat
Do’aku… semoga Allah senantiasa menjagamu…

Rabbighfirliy… dzunubiy wa liwalidayya warhamhuma kamaa rabbayaaniy shaghira….