Seperti Ibu-Bapak kita, suatu ketika kita pun akan beranjak renta…




Tadi gak sngaja lihat liputan di TV: Sebuah panti jompo. Aku gak tega nontonnya, pedih, kasihan, jengkel, geram. Dari pada meledak, maka segera kubuka lap top, kuputar lagu Ummi (Haddad alwi-Sulis) dan aku pun mulai menulis:
Puluhan perempuan dan laki-laki renta menari di sana… Menggeliatkan tubuh mereka yang rapuh termakan usia. Mereka menyanyikan lagu ‘bengawan solo’ karya Gesang dengan suara parau kering. Scercah senyum memantul dari bibir mereka yang keriput. Ketika sebuah lagu diputar mereka menari dengan tarian alakadarnya. Setelah sedikit hiburan selesai mereka diminta menyampaikan salam pada pemirsa (yang mungkin termasuk keluarga mereka). Ketika mereka diminta berkirim salam, wajah mereka redup. Seorang nenek yang giginya dapat dihitung jari bersalam sambil terkekeh, “Saya titip salam sama Mas Helmi Yahya…”.
Seorang nenek yan lain tak dapat berkata sepatah apapun ketika mereka diminta berkirim salam, tapi tiba-tiba matanya mengkilat. Setelah agak lama ia terisak lirih sambil bertutur, “pingin ketemu anak-anak dan cucu di Palembang…. ”
Tiba-tiba otakku tersentil untuk menulis sebuah perjalanan tentang perasaan mereka yang entah, tak bisa kubayangkan.
Siapapun yang membaca ini, katakana padaku: Apa alas an yang paling tepat untuk mengasingkan (halusnya: menitipkan) seorang ibu atau bapak yang lanjut usia ke panti jompo?
Tidakkah mereka berpikir, ‘manusia renta’pun, mereka tetap hidup, dan punya hati, dan bisa merasakan pedih, dan bias terluka, dan bisa menangis… dan mereka… mereka adalah ibu atau bapak mereka sendiri, bukan orang yang lain.
Benarkah keberadaan ibu atau bapak (ketika usia mereka merangkak senja) menjadi sebuah beban bagi ketentraman keluarga, hingga mreka harus kita asingkan di sudut kesendirian mereka, haruskah mereka kita pisahkan dari cucu-cucu mereka? Barangkali kita tak bisa menebak bahwa harapan puncak seorang manusia renta tak lain adalah hidup tenang di sela kasih sayang anak-cucunya… atau barangkali Tuhan harus mempercepat usia kita, supaya kita bias merasakan bagaimana menjadi tua dan diasingkan…
Sekali lagi… benarkah masuk logika jika kehadiran ibu atau ayah menjadi semacam disturbia…? Benarkah jasad rapuh mereka merusak pandangan kita? Benarkah suara renta mereka memekakkan gendang telinga kita? Benarkah langkah tertatih mereka menjegal langkah kita? Benarkah segala kerentaan ibu-bapak kita menjadi penghalang napas kita? Benarkah? Benarkah?
Ibu-bapak… Tak ingatkah kita. Merekalah yang menuntun, mengajarkan kita bagaimana caranya berjalan, merekalah yang memngajarkan kita membedakan warna cahaya, merekalah yang mengajarkan kita bagaimana menyendok nasi yang benar, merekalah yang yang mengusap kening kita ketika badan kita panas, merekalah yang mengajarkan kita menghapal garis lurus A, lengkung liuk Ba dan titik tiga Tsa… Lantas kemana semua itu….?
Jika seorang ibu mau mengacungkan jarinnya untuk kita jadikan sandaran belajar berjalan, mengapa seorang anak tak bias menyiapkan sebilah tongkat ketika dua kaki ibu mulai gemetar? Jika seorang ibu tak pernah jijik menyeka kotoran kita di waktu kita kecil, mengapa seorang anak merasa jijik setengah mati untuk sekedar mengelap liar ibunya? Jika seorang ibu rela menghentikan detak jantungnya demi degup napas sang anak, mengapa seorang anak terasa berat melapangkan sedikit kursinya untuk diduduki sang ibu?
Seiring rentanya zaman, seolah menjadi sebuah trend: Rumah, keluarga harus terbebas dari sesuatu yang namanya ‘manusia pikun’. Panti jompo di sana-sini semakin penuh, panti social manula semakin laris. Dengan beberapa peser uang, dengan bangga mereka menitipkan bapak-ibu mereka ke panti social… bahkan (Sebuah berita di tv) ada yang sudah melepaskan hati dengan meninggalkan ibu mereka yang pikun di tepian jalan, dengan beberapa lembar ratusan ribu dan beberapa helai baju.
Sebuah fenomena yang miris… Suatu ketika aku ingin menulis sebuah novel atau cerita pendek, atau sekurang-kurangnya sebuah puisi, tentang ketika kita beranjak menjadi tua bersama kesendirian… Kawan…, Kita tak pernah bisa ingkar, bahwa suatu ketika nanti, kitapun akan menjadi tua dan renta…. seperti ibu-bapak kita…
Kawan…, semoga ihwal demikian tak sampai terbesit ke benak kita, sekedear terpikirkan pun jangan… Yah, semoga kita menjadi seorang anak yang layak untuk menyelusup kesebuah tempat istimewa yang disimpan ibu kita di telapak kakinya… Kalaupun tuhan mengizinkan manusia menyembah selain-Nya… yang paling layak kita sembah adalah ibu…
Ummy… ya lahnan a’syaqahu, Wa nasyidan dauman ansyuduhu
Fikulli makanin adzkuruhu, Wa adhallu-adhallu uraddiduhu
Ummy… ya ruhi wa hayati, Ya bahjatan nafsi wa munati
Unsi fil hadiri wal ati
Allahu ta’ala aushoni, Fi sirri walau fil I’laani
Bil birri laki wal-ihsaani
Ismuki manqusyun fi qalbi, Hubbuki yahdini fi darby
Wa du’aiy yahfadhuki rabby
Ibu… lagu yang palin kugemari,
Irama yang selalu kudendangkan,
Dimanapun dan kapanpun akan selalu ku ingat…
Ibu… jiwaku dan hidupku
Penghibah kebahagiaan pemberi harapan
Detik ini, sampai waktu yang panjang…
Tuhan telah menitahkanku
Dalam kesendirian ataupun kebisingan
Aku harus selalu berkasih saying dan berihsan padamu…
Ibu… namamu terpahat di hatiku
Cintaku padamu membawaku ke jalan yang tepat
Do’aku… semoga Allah senantiasa menjagamu…

Rabbighfirliy… dzunubiy wa liwalidayya warhamhuma kamaa rabbayaaniy shaghira….