Kampung Lapar (dimuat di REPUBLIKA, 27 Juni 2010)


Oleh Mashdar Zainal

SETELAH mendengarkan sebuah cerita, Mahisa tak jenak lagi memejamkan kedua matanya, apalagi makan dengan tenang. Semua pasti sepakat bahwa cerita itu memang benar-benar keramat. Ya, cerita tentang masa, bahwa suatu saat nanti matahari akan tergelincir dari ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala manusia.

Sebongkah bara raksasa akan menjerang manusia hidup-hidup dalam tungku yang terbangun dari batu-batu hati yang keras. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut mengendus keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang sampai mata kaki, lutut, dada, dan akhirnya meneggelamkan kepala mereka.

***

Mahisa tercenung di depan meja makan yang megah. Meja makan berbentuk lingkaran yang terbuat dari batu marmer. Meja makan otomatis yang bisa berputar sendiri, mempersilakan menu-menu istimewa untuk tuannya. Mata Mahisa menilik satu per satu piring, mangkuk, dan cawan berkaki yang semuanya berisi.

Seorang khadimah mendekatinya, “Mengapa Tuan tak bersegera makan? Bunda Nonya pasti akan memarahi saya jika Tuan tidak jenak makan, hanya karena menu masakan yang saya sajikan kurang menarik.”

“Bukan. Bukan itu, Bi. Emm .… Bi, bibi pernah kelaparan.” Mahisa balas bertanya.

“Mengapa Tuan menanyakan itu?”

“Karena saya belum pernah. Bibi pernah?”

“Syukur alhamdulillah, sejak Bunda Nyonya kecil, bibi sudah ikut keluarga ini. Dan bibi maupun keluarga bibi belum pernah mengalami yang namanya kelaparan. Ya, na’udzubillah, Tuan!”

“Kok na’udzubillah? Memangnya rasa lapar itu sangat menakutkan ya, Bi?”

“Rasa lapar itu lebih mengerikan dari apa pun. Rasa lapar datang dari perut. Dan perut adalah ibu dari segala kelaliman.”

Mahisa tercenung. Tak sedikit pun hidangan yang tersedia di hadapannya disentuhnya. Ia membayangkan matahari mengapung beberapa senti dari kepalanya. Ia bergidik ngeri. Beberapa detik kemudian ia berlari ke kamarnya.

“Tuan, Tuan kenapa? Mau ke mana? Tuan?” bibi mengejarnya.

Mahisa mengambil kaus jaketnya dan berlalu, “Maaf, Bi. Saya ingin jalan-jalan. Nanti kalo Bunda telepon dan menanyakan apa saya sudah makan atau belum. Bibi bilang saja kalau saya sedang puasa.”

“Tuan puasa?” bibi mematung.

Mahisa tersenyum dan berbalik.

“Lalu Tuan mau ke mana?” bibi membuntutinya.

“Jalan-jalan.”

“Iya, jalan-jalannya ke mana?”

“Ke kampung lapar.”

“Kampung lapar?” bibi tercengang, mencerna sesuatu.

“Iya, Bi. Kampung yang membuat saya penasaran.”

Bibi terus mengintil, “Lalu Tuan pulang jam berapa?”

“Entahlah, Bi.”

“Kok entahlah?”

“Ya, saya akan pulang setelah saya benar-benar kenyang dengan rasa lapar.”

Bibi mematung di depan pintu. Mulutnya menganga. Alisnya bertaut. Dahinya berkerut.

***

Mahisa bergegas meninggalkan bibi yang masih mematung di depan pintu. Ia sengaja meninggalkan kunci mobilnya di kamar. Ia hanya ingin berjalan. Benar-benar berjalan dengan dua kakinya yang telanjang. Beriring langkahnya yang kukuh dan terus berayun, sesuatu yang ada dalam kepalanya meletup-letup. Ia telah hidup puluhan tahun, dan bagaimana mungkin ia tak pernah merasakan lapar.

Hari-hari Mahisa terperangkap oleh perhatian bundanya. Maklumlah ia putra semata wayang. Sejak kecil, Mahisa telah menjadi sebongkah emas bagi keluarganya. Jangankan kelaparan, digigit nyamuk pun bunda tak akan membiarkannya, bunda akan segera mengolesi bentolnya dengan minyak tawon. Meski bunda seorang wanita karier, ia tak pernah lepas perhatian kepada putra satu-satunya. Siapa lagi yang akan memperhatikannya. Pun papa tak mesti seminggu sekali ada, papa adalah seorang duta negara yang sibuk, yang selalu melakukan perjalanan jauh dengan pesawat terbang.

Ketika bunda nyonya berangkat kerja, semua keperluan Mahisa telah dipasrahkan kepada bibi, orang kepercayaan keluarga. Tak lupa, tiga sampai lima jam sekali, bunda nyonya menelepon dari kantornya. Menanyakan apakah Mahisa sudah makan dan minum vitamin, atau dia pergi ke mana dan dengan siapa, lalu ngapain saja, pulang jam berapa. Begitulah rentetan pertanyaan bunda untuk Mahisa. Terkadang Mahisa mulai merasa jenuh. Bukan, bukan jenuh. Mahisa hanya merasa kurang nyaman dengan perhatian bunda yang berlebihan. Ia bukan lagi bocah belasan tahun. Tapi, apa pun keputusan bunda, Mahisa selalu menghormatinya.

***

Mahisa menoleh ke belakang, rumahnya yang menjulang masih tampak dari kejauhan. Ia terus melangkah. Kaki putihnya mencengkram gili-gili. Setapak demi setapak. Sengatan matahari mulai menjilat tengkuknya. Ia menengadahkan wajah ke langit. Silau. Kakinya terus berayun, dari trotoar, sesekali meloncat ke jalan beraspal yang membara seperti panggangan steak. Detik-detik menggeliat kepanasan. Menit dan jam berlalu menjadi bulirbulir keringat. Seperti asap yang terjebak dalam tungku.

***

Jauh sudah ayun langkah Mahisa. Sama sekali ia tak tahu-menahu di mana sekarang ia berada. Baru saja ia melewati perbatasan kota kedua. Meski acap kali alisnya bertaut, tapi ia tak pernah khawatir tersesat, karena ia benar-benar tahu arti tersesat. Yaitu, ketika arah tak jangkau pandang dan matahari berguling-guling beberapa senti di atas kepala. Itulah tersesat.

“Perutku.” Mahisa mengusap perutnya. “Sebentar lagi aku akan sampai di kampung lapar. Aku tak boleh beku langkah.”

Kaki Mahisa kini berayun dengan runtun, bagai langkah paskibra. Ia memicingkan mata ketika tiba-tiba asap tebal menghalangi pandangannya. Ia mencium bau plastik entah rambut terbakar. Ia tak peduli, ia hanya sedikit memperlambat langkahnya. Ketika asap itu perlahan pudar, Mahisa menghentikan hentak langkahnya. Matanya nanar menatap sebuah kampung yang beratap seng dan kardus-kardus bekas. Dari tempatnya berdiri, Mahisa bisa mengucup aroma kumuh. Kumuh yang aneh.

Mahisa kembali menggerakkan kakinya, ia melewati gundukan sampah yang menggunung di dekat pintu masuk kampung. Ia melewati rumah-rumah ringkih yang menjerit dalam diam. Sunyi. Air kotor menggenang di mana-mana. Lalat dan nyamuk sampah menguing. Tanah-tanah becek menguapkan bau lumut yang terkontaminasi keserakahan. Sesekali Mahisa mendengar jeritan parau dari dalam rumah-rumah yang pintunya tertutup oleh kain-kain kumal. Mahisa melihat dua anak kecil yang menggelosor di bawah kursi sambil menjilati ingusnya. Berikutnya, ia menyaksikan ibu-ibu tua yang menyuapi anaknya yang busung lapar dengan makanan yang dikerubuti lalat. Mahisa tak menghentikan langkahnya. Matanya nyalang seperti kamera yang menjepret apa saja.

Langkah berikutnya, Mahisa melihat dua orang pemuda yang mencengkram kaki binatang yang meronta-ronta. Perempuan baya di sebelahnya menggenggam parang yang berkilat. Seorang anak kecil yang tak berbaju, bergelendotan di kaki perempuan itu. Mahisa mendekat.

“Apa yang akan kalian lakukan.” Tanya Mahisa mengagetkan mereka.

“Kami akan menyembelih binatang ini.” Salah seorang pemuda menjawab.

“Hei, itu bukan kambing, kan? Itu anjing, kan?”

“Oh, ini bapak kami. Beliau berubah menjadi anjing. Beliau sendiri yang meminta kami menyembelihnya. Beliau hanya tak ingin melihat kami kelaparan.”

Mahisa terhenyak dan nyaris muntah. Ia bergegas meninggalkan gerombolan itu dengan kaki mulai gemetar. Beberapa kali perutnya berkeriuk, berkabar tentang rasa lapar yang sebenarnya. Mahisa mempercepat langkah kakinya. Tergesa. Ia terhenyak, serta merta menghentikan langkah, ketika kakinya menyandung sesuatu. Sebuah kardus. Kardus yang tertutup kain tipis seperti taplak meja. Ada yang menggeliat dalam kardus itu. Mahisa bertanya-tanya. Disingkapnya kain penutup itu perlahan. Seonggok bayi merah menggeliat menendang-nendang dinding kardus. Mahisa miris melihatnya. Dadanya sesak. Ketika telunjuknya mendekat, hendak menyentuh tangan bayi itu. Mahisa benar-benar tak percaya. Bayi itu bisa bicara. Bayi itu mengaku, sengaja dibuang ibunya karena tak punya cukup biaya untuk membeli susu atau sekadar pisang.

Dada Mahisa masih bertalu dalam rasa sesal dan pertanyaan-pertanyaan. Ketika matanya menengadah ke langit, ia merasakan, bahwa matahari yang berpijar di petala langit tampak lebih besar dari yang seharusnya, lebih dekat. Mahisa menunduk, mengabaikan silau yang menikam pupilnya. Mahisa menjerit sekeras-kerasnya ketika kardus berisi bayi di hadapannya lenyap dibawa lari seekor anjing. Mahisa tak kuasa mengejarnya. Ia panik, berlari pontang-panting tak yakin arah. Setelah beberapa meter, di bawah sebuah pohon yang rindang, ia berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Kali ini perutnya terasa menciut, ususnya mengering melilit lambung dan tulang. Ia yakin sekali, itu yang disebut lapar.

Mahisa melempar paku pandangnya jauh. Sejauh hasta pandang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan pulang, dan sama sekal ia tak berhasil. Ia benar-benar ingin pulang. Bukan untuk memenuhi perutnya dengan makanan. Mahisa hanya ingin membawakan makanan yang melimpah di rumahnya kepada orang-orang itu, orang-orang yang dihantui rasa lapar dan kematian.

Sekarang Mahisa tahu, apa itu lapar. Pantas saja, dalam cerita itu, orang-orang yang tak peduli dengan saudaranya sesama manusia—yang kelaparan—kelak tak akan dapat naungan ketika Matahari benar-benar didekatkan sampai beberapa senti di atas kepala mereka. Ya, Mahisa tak ingin mencicipi matahari memberangus kepalanya, selebihnya Mahisa hanya ingin berbagi. Tapi bagaimana? Ia benar-benar tak ingat jalan pulang.

***

Mahisa terheran-heran, perjalanannya sudah terasa sangat lama. Tapi langit tak juga remang. Matahari semakin nanar dengan pijarnya. Mahisa memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanannya, ke mana saja, yang penting ia bergerak. Mahisa memutar haluan sampai ia menemukan kembali perbatasan kota. Di sebuah gerbang tugu, ia membaca tulisan ‘Selamat Datang di Kota Kenyang’. Ya, itulah kota tempat ia tinggal selama ini. Ia senang bukan kepalang, berkali-kali ia menggumam hamdalah. Anehnya, setelah memasuki perbatasan, Mahisa tak menemukan satu rumah pun, tak juga pepohonan, atau jalan-jalan beraspal. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan pasir. Serupa gurun.

Mahisa mengayun langkahnya penuh keragu-raguan. Ia bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan kota ini. Apa ini sebuah mimpi? Mahisa menjambak rambutnya sendiri. Sakit. Tapi ini sangat aneh, belum genap satu hari ia pergi, dan semuanya berubah. Tukang sulap mana yang bisa menyulap kota menjadi padang gersang. Mahisa mengerjapkan matanya. Hawa panas kembali menyengat tengkuknya. Mahisa sendiri merasakan, dulu kota tempat ia tinggal tak pernah sepanas ini. Apa karena padang pasir ini? Di mana pula penduduk kota? Ia tak melihat seorang pun di sana. Sepi yang menyala-nyala.

Setapak demi setapak, Mahisa menggerakkan langkahnya. Ia sangat khawatir dan takut. Ia menegadahkan kepalanya ke langit. Silau. Matahari tampak lebih besar dari biasanya. Lebih dekat. Ia kembali memutar cerita itu dalam kepalanya, cerita tentang masa, bahwa suatu saat nanti matahari akan tergelincir dari ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala manusia. Sebongkah bara raksasa akan berputar-putar di atas kepala manusia. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang sampai mata kaki, lutut, dada, dan akhirnya menenggelamkan kepala mereka. (*)

Malang, April 2010

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Novelnya yang sudah terbit: Zalzalah (Semesta, Pro-U Media Jogja, 2009). Puisinya juga termaktub dalam antologi puisi: Doa ‘Akasyah (Beranda, Intrans, Malang, 2009). Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Lembah Ibarat dan FLP Malang.

Di Kolong Langit Jeddah yang Pucat (dimuat di Surabaya Post 6 Juni 2010)
















Cerpen Mashdar Z.

Kau rasakan layar kecemasan mengembang di wajahmu yang kuning pucat. Seperti siluet senja yang melesat di antara punggung Gunung Radwa dan Abha yang kelabu. Kau teringat nenekmu yang sebatang kara di negeri seberang. Kau teringat wajahnya yang cekung, atau punggungnya yang membungkuk karena saban hari merangkak mengambah alas[1] Watu Gilang untuk memunguti ranting-ranting kering, atau geguguran daunan jati. Nenekmu hanya seorang buruh tani yang ketika menunggu musim panen sama halnya dengan menunggu lebaran tiba. Bila musim tanam selesai, nenekmu selalu merangkak menyisiri hutan-hutan di kaki Gunung Wilis, untuk segendong kayu bakar atau segepok daun jati yang nantinya akan ia tukarkan dengan beras dan minyak curah. Ah, kau benar-benar merindukannya.

Beberapa tahun lalu, sebelum kau melesat terbang untuk meraih serpihan rizqi di bawah langit kota Jeddah yang jauh, kau tak pernah bisa lepas dari nenekmu. Kau hidup berdua saja dengannya. Ibumu keracunan ketuban saat melahirkanmu, biaya persalinan yang pas-pasan tidak memungkinkanya untuk memperoleh tindakan cepat, maka setiap nenekmu bercerita perihal kelahiranmu, kau seperti menyayat luka yang terpatri di wajahmu. Tak cuma itu, berselang satu setengah tahun terpaut usiamu, ayahmu mangkat karena sengatan paru-paru basah yang sama sekali tak tersentuh tangan medis, selain kehendak Tuhan tentu saja karena alasan klasik yang klise: biaya. Itulah mengapa kau begitu benci dengan kemiskinan. Kemiskinan telah merenggut orang-orang yang kau cinta sebelum kau sempat mematri raut wajah mereka dalam benakmu.

Kau tahu, nenekmu begitu menyayangimu. Kau layaknya manik permata yang selalu di elu-elukannya. Wajahmu cantik, gerak lakumu jujur dan lugu. Ia tak mau jika kau menjadi lekang dan rapuh hanya karena pengaruh pergaulan di kampungmu yang mulai menyisihkan nilai-nilai ketimuran seorang gadis. Tentu kau masih ingat dengan Eli, teman sekelasmu yang mati bunuh diri gara-gara tak kuasa menanggung aib yang menggembung di perutnya.

Maka, seusai menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas, nenekmu menyarankanmu untuk bertebaran ke negeri jauh, menjemput berkah yang telah disebar Gusti Allah di muka bumi. Awalnya kau bersikeras untuk tetap tinggal menemani nenekmu, agar tetap bisa menjagainya di usia senja. Namun air mata tua nenekmu telah meluluhkan keras kepalamu. Akhirnya kau pun berangkat.

Ketika itulah, kau rasakan pertama kali betapa birunya warna perpisahan. Pikiranmu bergejolak. Di usiamu yang baru belasan tahun itu, tak pernah kau bayangkan kau akan melayarkan bahtera seorang diri, jauh ke tengah samudera kehidupan yang luas tak beranah tepi.

“Jika perahu telah kukayuh ke tengah, pantang bagiku membalik arah, biarpun besar gelombang, kemudi patah, layar robek, itu lebih baik daripada memutar haluan pulang.” Bisikmu.

***



Asing sekali ketika kakimu menapak negeri bertanah gurun itu. Di sebuah rumah yang megahnya seperti masjid itu kau bekerja. Merawat perempuan pikun dan balita. Dengan gaji tujuh ratus real yang tak pernah sampai ke tanganmu. Tahun pertama kau bekerja, kau hidup seperti budak tawanan perang. Sayyidah[2] Fatat yang bermata lebar dan bercelak tebal itu selalu mengawasi gerak-gerikmu. Barangkali ia tak mau melihatmu bermalas-malasan. Melihatmu duduk tanpa melakukan sesuatu, baginya adalah sama halnya membuang dirham[3].

Jaddah[4] Raisyah, perempuan renta yang melata di kursi roda itu pun selalu menyusahkanmu. Kau merawat perempuan pikun itu seperti merawat cicitnya. Menyuapinya saat makan, menyeka tubuhnya yang lemir, mengelap air liurnya, atau kalau lebih buruk lagi menimpal bekas kotorannya. Awalnya kau merasa jijik dan hendak muntah, tapi lama semakin lama kau menjadi sangat terbiasa. Kau bayangkan wanita tua itu nenekmu dan semuanya menjadi lebih mudah kau lakukan.

Tahun berganti tahun kau jalani, dapat kau rasakan lembaran demi lembaran hidupmu yang datar dan buram tanpa warna. Kebosanan yang merestan di kepalamu kini telah lumat oleh ketidakberdayaan. Dekat sekali kau rasakan campur tangan Tuhan atas skenario yang kau perankan sekarang ini. Maka kau bisa apa? Bahkan ketika Sayyid[5] Junaid, suami Sayyidah, mulai berani mencolek-colek pinggulmu, kau pun tak bisa berbuat apa-apa.

Sampai datanglah suatu ketika yang celaka. Sayyidah menggelar sebuah pesta besar-besaran di rumahnya. Seluruh tenagamu dikurasnya. Kakimu gemetar melihat keramaian yang begitu mencekam. Dari balik gorden dapur kau lihat para tamu yang mengagungkan pesta dan kesenangan. Orang-orang berhidung panjang dan bercambang tebal, orang-orang berkulit hitam dan berambut kriting, mereka berkumpul melebur dalam tahniah[6] dan tari-tarian. Mereka menyatap kambing guling dan ikan sadil ‘arab seperti serigala lapar. Nasi samin yang kau tanak semalam suntuk, tandas oleh perut mereka.

Seusai pesta, dan tamu-tamu pulang. Kau merangkak membereskan sisa-sisa pesta yang berantakan. Sayyidah pergi mengantarkan saudara jauhnya dan mungkin kembali esok lusa. Tinggalah kau seorang, bersama nenek pikun dan Sayyid Junaid yang tatapan matanya seperti hendak menerkam.

Malam itulah, ketika tiba-tiba Sayyid Junaid memintamu ke kamarnya untuk memijtnya, kau juga tak bisa menolak. Malam itu bisa kau rasakan, kau seperti ayam kecil yang terperangkap dalam liang musang. Benarlah, Sayyid Junaid mulai merayumu. Kau menolaknya, akibatnya kau pun mendapat satu tamparan keras di pipi kananmu. Kau berontak, hendak berlari darinya, dengan cekatan pula lelaki arab bernafsu kuda itu merengkuhmu, melumatmu dalam tarian-tarian menyeramkan. Semenjak itu, malam-malam tua telah menjadi seteru yang menyematkan luka abadi dalam lubuk dadamu. Seperti lolongan rase gunung, setiap malam kau memperpanjang tangismu sambil mencakar wajahmu sendiri. Ngilu.

“Telah tersemat ribuan jarum dalam ketubanku. Aku musafir asing yang kehilangan kaki. Lantas musti bagaimana aku meneruskan mimpi. Luka ini terlampau mendarah daging, rasanya waktu pun tak akan mampu menyembuhkannya. Ini memang tak lebih sakit dari mati, tapi ini lebih buruk dari mati.” Cercaumu, pilu.

***



Petang itu, ketika rumah Sayyidah sepi kau berjingkat meninggalkan perempuan tua yang tergolek di kasur bersama kotorannya sendiri itu. Kau benar-benar sudah tak tahan. Kau berjingkat membawa beberapa helai pakaian yang kau bungkus dalam kain jarit milik nenekmu. Kau cek setiap penjuru pintu. Semua terkunci rapat. Kau berpikir, mereka memang sengaja memasungmu. Kau pun tak pendek akal. Kau turun lewat balkon samping dengan beberapa utas kain yang kau kaitkan jadi temali. Kau sudah seperti buronan yang hendak kabur dari bui. Tak kau pikirkan, kau tak membawa bekal atau uang sepeserpun. Ah, barangkali gejolak badai di batinmu mengalahkan rasa lapar.

Lihatlah! Di tanah gharib[7] itu kau jadi gelandangan. Ayunan langkahmu selalu gontai musabab lututmu yang selalu gemetar menahan beratnya beban yang kau pikul seorang diri. Perutmu juga terasa melilit dan panas. Kepalamu berat bukan main. Kau mulai suka terbatuk-batuk. Sempurna sudah apa kau cemaskan sejak pertama kali menginjak tanah terik berdebu itu.

Kau melanglang serupa orang terusir. Berteman baik dengan trotoar-trotoar dan rasa lapar. Hingga sampailah langkahmu pada bangunan kardus di bawah jembatan Waladhaek yang gagah itu. Di sana kau bertemu dengan Suryani, gadis 17 tahun asal Jombang, yang bernasib sama denganmu atau barangkali lebih buruk. Bisa kau tilik bekas luka memar di jidadnya, juga bekas luka bakar yang menghitam di lengan kirinya. Kabarnya ia kabur karena tak tahan oleh siksaan majikannya. Tak hanya Suryani yang jadi penghuni kolong jembatan angkuh itu. Di sana juga ada Nunung asal Tasikmalaya yang sengaja dibuang majikannya karena memiliki penyakit kulit menjijikkan yang konon menular. Ada juga Dwi, Fauziah, dan Jumiati. Semua memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Ah, bagimana dengan kisahmu sendiri? Sama mirisnya dengan kisah mereka.

“Mengapa manusia harus lahir ke muka bumi, jika ia tak memiliki hak untuk hidup selayaknya manusia. Dunia memang angkuh.” Bisikmu lembut seperti kabut yang menguapkan aroma racun yang kental.

Begitulah. Di kolong jembatan itu kau hidup bersama mereka seperti keluarga. Saling bertukar kata dan saling menghibur. Apa yang mereka makan, itulah yang kau makan. Tapi, selalu saja, ada yang pahit yang membaur bersama hari-harimu, hari-hari kalian. Lihat saja Nunung, tampaknya dia yang paling rapuh menahan beban. Sepanjang siang dan malam yang dilakukanya hanya termenung dan menangis. Badanya kurus karena tak pernah mau makan. Pucat masih tampak di wajahnya meski hampir seluruh kulitnya dipenuhi bintil-bintil merah yang berminyak dan mengelupas. Beberapa kali ia menyalahkan Tuhan yang telah sempurna menyengsarakan hidupnya. Beberapa kali Nunung tampak mengeluhkan rasa perih di ulu hati dan sekujur tubuhnya. Ia menangis tak henti-henti, ingin bertemu dengan ibu-bapak dan sanak keluarganya di kampung halaman. Tapi apa boleh buat. Setelah menangis panjang itu, Nunung tak tampak lagi sampai kau menemukanya terjuntai kaku di tiang rangka jembatan dengan lilitan tambang di lehernya. Ah, haruskah semua ini berakhir memar.

Kau terisak menahan bongkah cadas di dadamu. Kau usap perutmu yang kian hari kian menggembung. Ini salah siapa? Tak ada yang salah. Demi memikirkan semua itu, nyeri di kepalamu kambuh. Badanmu terasa semakin ringkih dan kedinginan.

“Tuhan… kalau memang aku harus mati waktu dekat ini. Jangan biarkan aku mati dalam keterasingan. Izinkan aku mati di pangkuan nenekku, di kampung halamanku.” Kau terus terisak sampai suaramu serak dan habis, sampai rasa kantuk yang indah menjemputmu untuk singgah ke alam bawah sadar. Alam di mana mimpi buruk menjadi hal yang lebih indah. Ah, semua mengalir saja seperti air. Kehidupan selalu begitu. Dunia selalu begitu.

***



Kau gagap terbangun di akhir sepertiga malam, kau rasakan badanmu menggigil bukan main, perutmu terasa sangat mual, begitu pula kepalamu terasa sangat nyeri dan berat. Kau beranjak dari rumah beratap jembatan itu. Kau semakin menggigil. Kedua gigimu bergemeletak menahan dingin. Kau tatap rembulan pucat yang berlayar ke utara menghindari arakan mendung gelap. Sepi. Teman-temanmu masih pada terlelap, terpasung gelap. Sekali lagi kau tengadahkan wajah ke langit lepas. Kau berusaha mengingat seperti apa warna langit di kampung halamanmu. Sama kah? Di kampungmu, pada detik itu, kau akan mendengar alunan tarhim seperti eufoni[8] kramat yang melengking dari petala langit. Kemudian nenekmu akan membangunkanmu untuk mengambil air wudhu.

Entah mengapa, tiba-tiba dadamu penuh sesak, perasaanmu tidak enak. Mungkin kau terlalu merindukan nenekmu, kampung halamanmu. Rasanya kau ingin tertidur lagi, dan tiba-tiba nenekmu datang dan membenarkan letak selimutmu. Ah, tapi perutmu sangat mual, tenggorokanmu sangat perih dan sesak bagai tercekik, bahkan kau terbatuk-batuk dalam. Ada apa lagi dengan tubuh rapuh ini? Beberapa jenak, kau terbatuk-batuk lagi, semakin dalam. Perlahan kau merasa ada yang meleleh dari lubang hidungmu. Kau menyentuhnya. Kau mendapati cairan kental, warnanya merah pekat. Tak kau pedulikan. Kau merebahkan tubuhmu di atas hamparan rumput kering yang mengembun. Matamu menyimpan cermin yang dapat mengundang kupu-kupu yang terpasung rembulan di atas sana. Kau tersenyum menyapa bintang-gemintang yang kesepian. Tiba-tiba kau merasa seperti tertidur di pangkuan nenekmu.*


*Malang, 5 September 2009