Di Sini, Hujan Turun Deras Sekali... (Suara Merdeka, Minggu 20 Maret 2011)

HUJAN turun deras sekali. Namun, seperti apa pun cuacanya, kau selalu datang tepat waktu. Kini, kubayangkan, kau sedang duduk gelisah di kafe itu, seorang diri. Menatap layar HP yang sinyalnya nyala-mati, sambil menyeruput jus alpokat susu kesukaanmu. Dan kini, mungkin jus alpokatmu sudah tandas. Sudah satu jam lebih dari waktu yang kita sepakati. Dan aku masih meringkuk di kamarku. Sudah tiga kali kau menelepon, tapi selalu putus. Sinyalnya pasti sedang buruk oleh cuaca.

Dari balik jendela kamarku, aku hanya membeku, menatap ruahan air langit yang seperti ditumpahkan dari bejana raksasa. Jalan-jalan tertutup genangan. Rumput-rumput terendam. Daun-daun kering mengambang terbawa arus. Bunga-bunga di halaman, dahannya bergoyang-goyang, seolah tak kuasa menahan tikaman air yang begitu runcing. Jendela kaca di mukaku sedikit buram, berembun. Beberapa kali aku menyekanya. Dan wajahmu yang gelisah seperti terbayang di sana.

Karena itu harus kukatakan: maaf, petang ini aku tak bisa menepati janji—untuk bertemu denganmu. Aku yakin kau maklum. Di sini, hujan turun deras sekali. Aku tak mungkin menerobosnya. Demamku baru enyah beberapa hari lalu. Tak mungkin aku mengundangnya lagi. Tubuhku masih terlalu rapuh untuk melawan dingin. Jadi maaf, aku tak bisa memetik seikat pertemuan yang telah kujanjikan untukmu. Sekali lagi, maaf.

***

KAFE sepi. Beberapa meja paling tepi tampak basah oleh embun hujan. Aku duduk menggigil di meja paling tengah. Ada empat kursi, dua kosong, satu kuisi dengan tas dan kado yang ingin kuberikan untukmu. Tapi kau belum datang. Apa pun cuacanya, kau memang jarang tepat waktu. Tapi itu yang aku suka darimu. Kau selalu membuatku gelisah, gelisah yang sangat mengasyikkan. Karena meskipun kau terlambat, kau tak pernah lupa pada janji.

Hujan terus mericis. Satu gelas jus alpokat susu tanpa es sudah karam di lambungku. Dua potong pisang keju, tinggal separuh. Aku memang sedikit gelisah. Gelisah yang mengasyikkan. Sudah satu jam lebih aku menunggumu. Dan kau belum muncul.

Di sini, hujan turun deras sekali. Barangkali di tempatmu juga. Mungkin sebab itu kau tak bisa (atau belum) datang. Beberapa kali kukirim sms, tapi tidak terkirim. Kutelpon juga putus-putus terus. Hujan begini sinyalnya pasti buruk. Tapi tak apa. Aku akan menunggumu hingga hujan reda. Pun jika hari ini kau tak bisa datang juga tidak apa-apa. Beberapa hari lalu kau baru diizinkan pulang dari rumah sakit. Dan tentu fisikmu belum pulih sempurna. Salahku juga, memintamu bertemu pada musim hujan begini. Ini benar-benar bukan masalah. Tak apa. Aku hanya merindukanmu. Sudah sekitar tiga minggu kita tidak bertemu. Dan tenggang waktu itu cukup membuatku berdebar-debar menahan rindu. Apa kau juga merasakan?

***

MEMANG (rasanya) cukup lama kita tidak bertemu. Terakhir kali kita bertatap muka ialah saat aku terbaring di rumah sakit tiga minggu lalu. Selepas menjengukku dengan separcel buah, kita sempat ngobrol-ngobrol sebentar, setelah saling terdiam agak lama.

“Sudah berapa hari kau opname?” tanyamu lembut.

“Tiga hari.”

“Kata dokter, apa sakitmu?”

“Katanya gejala tipus.”

“Itulah. Pasti makanmu sembarangan dan tidak teratur. Sudah kubilang, jaga kesehatan. Jaga makan.”

Aku hanya terdiam mendengar petuahmu yang lebih terdengar sebagai petuah ibu-ibu.

“Maaf, aku tak bisa berlama-lama. Aku harus kembali ke kantor. Kalau keadaanmu membaik. Tolong SMS aku.”

Aku tersenyum dan berterima kasih, sebelum kau pergi dan mengusap tanganku.

Entahlah! Hubungan kita memang aneh. Barangkali itu karena perbedaan usia di antara kita. Kau perempuan, dan kau tujuh tahun lebih tua dariku. Dan mungkin karena itu pula, terkadang aku merasa, bahwa hubungan kita bukan seperti hubungan sepasang kekasih, melainkan hubungan antara ibu dan anak.

Dalam dirimu selalu terselip jiwa-jiwa keibuan: selalu perhatian, ingin melindungi, mengalah. Dan aku sebaliknya: ceroboh, sesuka hati, manja, dan sifat-sifat kekakanak-kanakan lain. Kau selalu pandai bersikap dewasa, sehingga aku merasa nyaman untuk terus bersikap kekanak-kanakan. Tapi masalahnya, aku seorang lelaki dan kau seorang perempuan. Terasa janggal jika seorang lelaki merengek di bahu kekasihnya, berceloteh manja, meminta ini-itu. Tapi ini sudah seperti diatur. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain satu: mencintaimu dengan caraku—yang mungkin membuatmu nyaman.

***

HUJAN belum juga reda. Dari gelapnya, sepertinya langit telah menyiapkan debit air yang cukup banyak untuk memenggal pertemuan kita. Ini benar-benar seperti tangisan gadis patah hati, terus merinai, tak usai-usai. Suasana beginilah yang acap membuatku melamunkanmu. Melamunkan hubungan kita yang terus mengalir, lancar, tapi bagai tak bermuara.

Kata cinta telah tunai kau ucapkan, namun, tampaknya tanganmu masih gemetar untuk memasangkan selingkar cincin di jariku. Kau masih tampak kanak-kanak untuk melantunkan ikrar sakral itu. Sedangkan usiaku terus merangkak bagai sesosok hantu yang terus menerorkan ancaman.

Hubungan kita pun masih rahasia. Setahu orang tuamu, aku hanya seorang kakak bagimu. Kakak perempuan yang penuh perhatian. Tak lebih. Jadi mereka tak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang kita. Entahlah, bagaimana cerita ini nanti akan berakhir. Seolah-olah, sebuah alamat buruk jika seorang perawan tua jatuh hati pada pemuda kencur. Ah, tidak juga. Sebenarnya kau pun bisa bersikap dewasa. Kau sudah hampir 25. Banyak juga pemuda seusiamu yang sudah menimang momongan. Dan mereka baik-baik saja. Barangkali masalahnya, hanya, aku jauh lebih tua.

***

HUJAN masih berdebaman. Apa kau masih di sana? Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah padamu. Aku tahu, selama ini, diam-diam kau tersiksa. Selalu kau yang mengalah. Selalu kau yang berkata iya. Lambat laun kusadari juga. Ini tidak sepantasnya. Umurku sudah hampir 25. Aku sudah—sangat—bukan anak-anak. Aku tertawa sendiri menahan malu mengingat sikapku selama ini padamu. Dan satu hal lagi. Hal yang sebenarnya juga mengganggu pikiranku. Ya, tentang muara hubungan kita.

Kau tak akan mungkin bertanya, “Kapan kita menikah?” atau “Kapan kau nikahi aku?” Tapi aku benar-benar tahu, selama ini kau menunggu. Menunggu kata manis itu menyembul dari bibirku. Aku benar-benar tahu itu. Dan lagi-lagi, apa boleh buat, aku pun tak bisa membayangkan bagaimana reaksi bapak-ibuku jika aku berkabar pada mereka, “Pak, Bu, aku ingin menikah.”

Meski usiaku sudah mendekati 25, tapi aku masih pemuda yang belum layak untuk disebut dewasa. Pemuda yang belum bisa memakai kakinya sendiri untuk berdiri, pemuda yang masih “meminta gendhong” orang tua. Semua kebutuhanku mulai dari biaya kuliah, kebutuhan sehari-hari, makan, hiburan… semua masih murni, dari orang tua. Tak sedikit pun ada pautnya dengan keringatku. Maka bagaimana mungkin aku mengucapkan ikrar itu padamu. Begini-begini, aku juga tahu apa kewajiban suami terhadap istri. Karena itulah alasan mengapa aku menunda. Sekali lagi maaf.

***

LAMBAT laun, hujan ini terasa seperti tangisan. Ngilu dan panjang. Apa mungkin kau akan datang, sedangkan hujan sederas ini? Ah, kau. Selalu aku bertanya begini: bagaimana bisa aku jatuh hati padamu? Jujur, terkadang aku merasa sangat bersalah padamu. Aku bagai belati yang sesuka hati memenggal masa mudamu. Kau lelaki, masih muda. Belum habis waktumu menikmati kebebasan sebagai seorang lelaki, pemuda. Tapi tiba-tiba aku menuntutmu untuk turut memperhitungkan kebahagiaanku. Meski tidak secara langsung, aku tahu, itu mengganggu pikiranmu.

Apa boleh buat. Ini masalah perasaan. Apa iya, aku harus melepasmu. Sedangkan hatiku sudah benar-benar matang dalam genggamanmu. Tak apa, sungguh tak apa. Kenapa pula aku harus takut pada usia. Kau menikahiku pada usiamu yang ke tiga puluh pun aku tak apa-apa. Aku terima, asal kau sanggup mempertahankanku. Bagaimana pun aku perempuan—meski kini usiaku lebih matang. Jadi, aku juga punya perasaan ingin dilindungi, didekap, dimanja, seperti layaknya perempuan. Dan rasanya, hanya kau seorang dari sekian banyak lelaki, yang mampu memberikan itu, meski mungkin dalam bentuk berbeda.

***

HUJAN ini seolah tak akan berhenti. Entah sampai kapan. Barangkali, sericis inilah perasaanku padamu, hanya saja, aku tak pandai melukiskannya. Apa pun yang akan terjadi, sepertinya perasaan yang kupikul ini takkan mungkin goyah. Jadi mana mungkin aku melepaskanmu hanya karena masalah usia. Dalam kamus percintaan, tak pernah mencantumkan usia sebagai syaratnya. Jadi semua sah-sah saja. Jikalau pun kau benar-benar memaksaku untuk menikahimu sekarang juga, aku akan melakukannya. Tapi aku senang, kau tidak menuntut itu. Kau memang perempuan paling pengertian setelah ibuku. Tapi apa imbalku?

Selama perjalanan kita, rasanya semua berjalan lancar. Kita tak pernah ada masalah dengan keputusan. Setiap kali aku memutuskan sesuatu kau selalu berkata iya, entah bagaimana hatimu, apa berkata iya juga, aku tak tahu. Lagi-lagi, itu sebuah bukti nyata bahwa aku belum pantas untuk disebut sebagai lelaki. Mengapa begitu? Tentu saja. Lelaki yang selalu ingin menang sendiri dan segala arahnya dituruti, ia bukan lelaki. Karena ia lemah. Dan yang kurasakan selama ini, itulah aku. Karena itu, sesungguhnya aku perlu sesuatu yang baru untuk menyegarkan hubungan kita yang selama ini baik-baik saja (sebenarnya lebih layak untuk disebut datar-datar saja). Bagaimana jika tiba-tiba aku memberikan kejutan untukmu?

***

HUJAN ini sebuah kejutan bagi kemarau panjang. Hei, aku berpikir tentang kejutan. Selama ini, kau tak pernah menciptakan sebuah kejutan pun untukku. Kado ulang tahun? Itu bukan kejutan yang kumaksud. Entahlah, tiba-tiba aku membayangkan jika dirimu menjadi lelaki yang lebih dewasa, lelaki yang sebenar-benarnya lelaki. Meski selama ini aku cukup nyaman dengan perangaimu yang kekanak-kanakan itu, tapi jujur, sebenarnya, sesekali, aku juga ingin merengek padamu. Bersandar di bahumu dan merajuk ini-itu. Seperti yang kukatakkan, aku masih seperti kebanyakan perempuan, yang sebenarnya lebih suka dicumbu-manja, daripada memanjakan.

Kau tahu, kenapa selama ini aku selalu menjadi ekormu? Karena aku tak mau kehilanganmu. Usiamu adalah usia labil, dan aku harus mengimbangi itu, meski diam-diam terkadang aku harus berkorban perasaan. Karena itu, sekali lagi, jujur, aku benar-benar tak mau kehilanganmu. Apa kau juga begitu?

***

SEDERAS apa pun, nanti, hujan ini pasti akan berhenti. Meski seolah tak bisa berhenti. Bicara soal henti-berhenti, aku yakin, aku pun bisa berhenti dari citra lelaki cemeng, yang selama ini kubangun sendiri. Ya, kenapa tidak? Aku lelaki murni, yang seharusnya memiliki sikap-sikap sebagai lelaki murni: tegas, melindungi, perhatian, mengalah… dan sifat-sifat lelaki lain. Benarkah, hanya karena berhadapan dengan perempuan dewasa lantas aku menjelma menjadi anak-anak? Tidak. Akan kubuktikan itu padamu.

Ahai, hujan deras begini membuat darah lelakiku mengalir lancar. Hujan deras ini menjadikan pikiran-pikiran yang selama ini tersumbat menjadi plong, menjadi lebih jernih. Baik, baik, setelah hujan yang deras ini. Aku harus menemuimu dalam keadaan yang sudah berbeda. Tunggu, tunggu, mengapa harus menunggu hujan berhenti?

“Ah, ini hanya hujan!” gumamku, seperti baru tersadar dari sebuah percakapan. Aku berdiri, mengambil jaket kulit yang tergantung di belakang pintu. Semoga kau masih menungguku di sana.

***

LANGIT sudah gelap dan hujan masih mendendam. Menambah langit semakin gelap. Aku menjadi bingung, sebenarnya aku menunggumu datang atau menunggu hujan berhenti. Rasanya tak mungkin kau datang. Jadi? Aku menunggu hujan berhenti? Aih, ini hanya hujan. Mengapa aku tidak pulang saja. Ya, sebaiknya aku pulang saja. Tapi, bagaimana kalau nanti kau datang. Karena, selama ini kau tak pernah melupakan janji, seberapa pun kau terlambat, kau selalu datang. Aduh, kenapa aku jadi gamang begini?

Di sini, hujan turun deras sekali. Kau pun baru pulih dari perawatan. Jadi tak mungkin kau datang. Aku pun tak mengizinkanmu datang kalau tahu hujan begini. Ya, ya, sebaiknya aku pulang saja.

“Huft…!” aku berdiri, menghela napas panjang, seperti baru saja usai dari perbincangan panjang. Aku bergegas menuju kasir. Membayar bon.

“Hujannya masih deras lho, Mbak. Nggak nunggu reda dulu.” Perempuan yang berdiri di depan mesin kasir mengingatkanku. Aku hanya tersenyum, lalu melenggang.

***

HUJAN sedikit lebih jinak. Kukenakan jas hujan ala kadarnya, aku jalan berjingkat menuju teras rumah supaya tidak ketahuan ibu. Dengan degup memburu aku mulai melajukan sepeda motorku. Hujan ini tak seburuk yang kukira, meski hawa dingin mulai menjalar ke kuduk dan pori-pori. Sepanjang jalan aku terus berdoa, semoga kau masih di sana.

Hujan kembali menjadi gerimis ketika aku sampai di depan kafe itu. Bahkan nyaris reda. Namun, kini, detak jantungku yang menderas. Aku menggigil. Gemetar. Apa karena dingin? Bukan. Tapi lihatlah, kafe tampak sepi. Sepi sekali. Tak seorang pun tampak di sana kecuali para pelayan—dengan seragamnya—yang sibuk mengelap meja. Aku lumat dalam sekelumit kekecewaan. Apa kau sudah pulang?

“Aku tahu kau akan datang. Jadi, aku masih menunggumu di sini.” Tiba-tiba suaramu mendekam di telingaku.

Kau sudah berdiri di belakangku. Tersenyum. Kau benar-benar seperti sebuah kejutan. Aku tak bisa berkata lagi. Aku hanya ingin melafaskan sepatah maaf. Tapi bress, tiba-tiba hujan kembali mendendam. Kita berlarian. Kembali ke kafe itu. Kita duduk dan sama-sama terdiam. Agak lama. Seperti tengah sibuk, memilah kata-kata yang ingin kita ucapkan.

“Di sini, hujan turun deras sekali…,” celetuk kita hampir bersamaan. Kita saling tatap sebelum akhirnya tertawa panjang. (*)


Malang, 23 Oktober 2010

Dongeng Pendek tentang Kota Kota dalam Kepala (Jawa Pos 13 Maret 2011)

Kota Tungku

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dahaga yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya….

Di kota itu matahari memang tampak lebih besar dari yang seharusnya. Di kota itu, sungai-sungai dan perigi menganga bagai mangkuk tanpa isi. Satu per satu pepohonan mati, terberangus pelan-pelan tanpa seorangpun menyadarinya. Mereka hanya tahu, tiba-tiba pohon itu kering. Dan tak ada lagi tempat berteduh. Trotoar-trotoar berselimut debu dan asap yang warnanya kelabu. Di kota itu, matahari hampir tak tidur. Siang hari terasa lebih lama, lima kali lipat dari seharusnya. Di kota itu, di mana-mana akan terdengar orang mengeluhkan cuaca dan air. Bahkan AC pun tak bisa berfungsi di kota itu. Air minum, mandi, dan mencuci, semuanya menghangat oleh cuaca. Setiap hendak mandi, orang-orang harus mencari es batu untuk mendinginkan air.

Orang-orang di kota itu selalu berkeringat dan lengket. Setiap jam mereka mandi dan meneguk air es. Namun tetap saja, mereka berkeringat dan lengket.

“Kok panas begini, ya?”

“Bukannya dari dulu memang begini?”

“Kata nenekku, sewaktu ia kecil, kota ini adem.”

“Itu kan dulu, sekarang mana ada kota adem.”

“Menurutmu, kira-kira apa yang membuat bumi ini begini panas.”

“Klasik sekali pertanyaanmu. Lihat saja, pohon besar di kota ini bisa dihitung jari.”

“Barangkali itu, ya, yang bikin kota kita seperti tungku.”

“Cerobong-cerobong asap itu juga, kentut-kentut mobil itu juga, mesin-mesin itu juga.”

“Kau pernah dengar yang namanya global warming?”

“Ya sekarang ini global warming, Goblok!”

“Kayaknya dunia mau kiamat. Makin hari makin panas. Tidak Cuma cuacanya, tapi juga manusianya….”



Kota Sampah

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami rasa jijik yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Satu hal yang sangat jelas. Di kota itu, sampah menggunduk di mana-mana seperti bukit-bukit kecil. Di dalam rumah, di jalan-jalan, di pasar-pasar, di mall-mall, bahkan di tempat peribadatan. Lalat berpesta di mana-mana, berebut sisa makanan dengan manusia. Konon, sampah itu didatangkan oleh segerombolan makhluk asing dari planet yang berbeda. Planet yang penuh dengan rumah-rumah mengkilap, dinding-dinding kaca, dan kulkas-kulkas besar yang berisi makanan dan minuman segala rupa. Planet yang penuh dengan mainan dan barang-barang aneh yang setia melayani tuannya. Konon, dari sanalah sampah-sampah itu datang dan dituangkan.

Penduduk kota sampah tak pernah sabar menunggu sampah baru datang. Mereka menunggu dengan sabar bersama lalat-lalat yang terus melagu.

“Kok lama, ya, truk sampahnya gak datang-datang?”

“Sudah. Tunggu saja. Sebentar lagi juga datang.”

“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak jijik dengan sampah-sampah itu?”

“Busyiiit! Jijik katamu. Itu kan yang kita makan setiap hari.”

“Hihihi, makan sampah.”

“Di kota ini memang cuma ada sampah yang bisa dimakan.”

“Apa kota ini memang begini sejak dulu?”

“Kok tanya padaku?”

“Kau kan yang lebih tua.”

“Tanya saja nenekmu.”

“Nenekku kan sudah mati tertimpa gundukan sampah waktu dia berebut makanan di sini, sebulan lalu.”

“Sudah! Jangan banyak tanya. Itu, Truk sampahnya datang.”

“Cihuuuiiii!!!”

“Kau mau mati seperti nenekmu? Tunggu sebentar. Sabar. Jangan buru-buru. Biarkan sampahnya ditumpahkan dulu.”

Setelah truk sampah pergi, mereka berlari beramai-ramai, mereka berlomba-lomba mengais. Ada yang membawa tongkat kecil seperti celurit, ada yang hanya menggunakan ranting, ada juga yang mengais-ngais dengan tangan telanjang.

“Hei, aku menemukan kepala.”

“Kepala? Ayam atau bebek?”

“Manusia!”



Kota Lumpur

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami kotor yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Semua penduduk di kota itu berbaju lumpur. Lumpur yang masih meleleh dan akan terus meleleh. Bukan hanya itu, rumah-rumah, pohon-pohon, bahkan atap langit, semua utuh berbalur lumpur. Pekat dan terus meleleh seperti es krim cokelat yang mencair. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur lumpur. Tak seorangpun tahu dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, lumpur itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan yang muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan.

“Berarti penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!?”

“Cuma nabi dan bayi, manusia yang tak punya dosa.”

“Rumah-rumah, jalan-jalan, masjid, gereja… mereka tak punya dosa. Tapi kenapa mereka penuh lumpur?”

“Kau tak tahu, ya? Dosa itu menjulur bagai lidah, menjilati apa saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di mana kita melakukan dosa, di situ lumpur juga akan ikut meleleh.”

“Lumpur ini benar-benar menghalangi kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari mulut kita akan ikut menyembur.”

“Kita juga tak bisa makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur.”

“Kita juga tak bisa tidur dengan pulas. Semua lembab dan gatal.”

“Bahkan kita tak bisa bercinta dengan nyaman. Huft….!”

“Lalu, menurutmu, bagaimana cara menghentikannya? ”

“Menghentikan apa?”

“Ya lumpur ini!”

“Hahaha, kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendirilah!”



Kota Perempuan

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dilema yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Benar adanya, di kota itu, lelaki menjadi makhluk yang sangat mahal. Mereka di pajang di kamar-kamar mengkilap, dengan harga bervariasi. Semakin lelaki, semakin mahal. Di kota itu, lelaki takkan berani keluar sembarangan. Karena, ia bisa diperkosa beramai-ramai oleh perempuan-perempuan liar di pinggir jalan. Kebanyakan dari perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang tidak pernah memiliki cukup uang untuk membeli lelaki, sehingga mereka lebih suka mencari mangsa di jalan-jalan. Perempuan-perempuan itu tak pernah mengenakan pakaian. Mereka selalu berdiri gelisah di pinggir-pinggir jalan dengan birahi yang sangat dahaga.

“Kita takkan pernah menjadi ibu.”

“Memang kenapa?”

“Kita tak mampu beli sperma.”

“Beli lelaki maksudmu?”

“Sama saja!”

“Memangnya harus beli?”

“Kau bodoh atau lupa? Di kota ini kan lelaki sudah bosan bercinta dengan perempuan. Sekarang mereka lebih suka bercinta dengan sesamanya, kecuali kalau kita membelinya.”

“Jadi?”

“Jadi, kalau kita mau hamil kita harus kaya!”

“Susah…, mau hamil saja harus kaya dulu.”

“Di kota ini memang begitu aturannya.”

“Lelaki bercinta dengan lelaki, apakah termasuk aturan di kota ini?”

“Sepertinya begitu, lelaki di kota ini sudah bosan dengan jumlah perempuan yang over populated.”

“Kalau mereka bisa bercinta dengan sesamanya, kenapa kita tidak?”

“Aku hanya… menyayangkan sperma mereka yang terbuang sia-sia.”



Kota Lapar

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami lapar yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Penduduk kota itu selalu merasa lapar. Setiap hari mereka memakan apa saja. Mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, besi, tanah, dan bahkan bangkai. Di kota itu, rasa lapar terus melata dan mendatangi siapa saja, mereka menyebarkan virus-virus lapar ke dalam ceruk lambung melewati angin yang dihirup manusia. Setiap hari, kota itu selalu ramai oleh musik perut. Ada suara keroncongan, ada suara kokok ayam, ada pula siut seperti kentut. Perut-perut itu akan terus berbunyi hingga sesuatu mengisinya. Semakin lama garing, gaung perut itu akan semakin nyaring.

Setiap jam, penduduk kota lapar selalu berlomba-lomba mengais apa saja yang bisa mereka masukkan ke dalam perut mereka. Hal apapun yang mereka lakukan, tujuannya hanya untuk satu: perut.

“Hari ini kau dapat apa?”

“Maksudmu, yang sudah aku telan?”

“Ya.”

“Serongsok rangka kursi, semangkuk bulu ayam, dan seekor buaya rawa. Kalau kamu?”

“Setumpuk koran bekas dan kasur bekas. Tapi jujur, aku masih sangat lapar.”

“Sama.”

“Kenapa, ya, kita kok selalu kelaparan. Padahal perut kita sudah begini buncit oleh apa-apa yang kita telan.”

“Manusia kan memang diciptakan untuk lapar.”

“Kau pernah menahan lapar?”

“Lebih baik mati daripada menahan lapar.”

“Kok begitu?”

“Kalo kita kelaparan gara-gara menahan lapar, kan ujungnya mati juga.”

“Puasa maksudku. Jadi kita bukan tidak makan sama sekali, tapi kita kurangi porsinya, kita tahan.”

“Ah, sudah lama sekali di kota ini tak ada puasa-puasa… bapak-ibu kita juga tak pernah mengajarkan kita puasa. Yang mereka ajarkan adalah bagaimana caranya mencari makan, mengisi perut. Sudah! Kebanyakan ngobrol tambah bikin lapar. Ayo kita cari makan lagi!”

“Di kota ini sudah tidak ada apa-apa lagi, kita mau cari makan di mana lagi?”

“Ya pokoknya kita cari.”

“Kalau begitu kau makan aku saja.”

“Kau gila! Apa isi otakmu?”

“Aku hanya berpikir, barangkali, setelah mati rasa lapar ini akan reda.”



Kota Katastrofa

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami ketakutan yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Di kota itu, kejadian-kejadian miris telah diagendakan. Setiap hari, di kota itu akan terjadi kematian massal. Penyebabnya bisa apa saja dan tak pernah terduga. Penduduk kota itu, setiap hari selalu berpikir, memutar otak, bagaimana supaya agenda-agenda miris itu dapat dihentikan.

Namun mereka tak pernah berhasil. Mereka tak pernah bisa menemukan di mana list-list kejadian itu disimpan. Anehnya, penduduk kota itu setiap hari berpesta pora. Mereka memestakan apa saja yang bisa dipestakan. Seolah mereka lupa, bahwa kematian massal bisa saja mendatangi mereka.

Anehnya pula, dalam pesta itu mereka sempat membicarakan dan menduga-duga agenda miris apa yang akan menyongsong mereka.

“Disiram air baskom sudah. Bahkan sampai rumah-rumah rata dengan tanah.”

“Dan yang mati ratusan ribu itu.”

“Tanah gulung tikar juga sudah, bahkan sampai menganga setengah meter tanahnya.”

“Berapa kemarin korbannya?”

“Belasan ribu atau berapa gitu… aku lupa.”

“Baru-baru ini gunung kentut.”

“Oh, yang korbannya pada gosong itu, ya?”

“He’em. Bahkan kampung itu sekarang jadi kuburan.”

“Kira-kira, apalagi, ya, agenda ke depan?”

“Menurut dugaanku, matahari akan tergelincir, menggelundung menimpa kota kita. Atau kalau tidak, barangkali atap langit bakal rubuh.”

“Ih, sereeem!”

“Makannya, tobat!”

“Iya, deh! Tapi, kita selesaikan dulu, ya, pestanya!?” (*)





Malang, 2011

Di Kolong Langit Jeddah yang Pucat (Malang Post 6 Maret 2011)

Kau rasakan layar kecemasan mengembang di wajahmu yang kuning pucat. Seperti siluet senja yang melesat di antara punggung Gunung Radwa dan Abha yang kelabu. Kau teringat nenekmu yang sebatang kara di negeri seberang. Kau teringat wajahnya yang cekung, atau punggungnya yang membungkuk karna saban hari merangkak mengambah alas Watu Gilang untuk memunguti ranting-ranting kering, atau geguguran daunan jati. Nenekmu hanya seorang buruh tani yang ketika menunggu musim panen sama halnya dengan menunggu lebaran tiba. Bila musim tanam selesai, nenekmu selalu merangkak menyisiri hutan-hutan di kaki Gunung Wilis, untuk segendong kayu bakar atau segepok daun jati yang nantinya akan ia tukarkan dengan beras dan minyak curah. Ah, kau benar-benar merindukannya.
Beberapa tahun lalu, sebelum kau melesat terbang untuk meraih serpihan rizqi di bawah langit kota Jeddah yang jauh, kau tak pernah bisa lepas dari nenekmu. Kau hidup berdua saja denganya. Ibumu keracunan ketuban saat melahirkanmu, biaya persalinan yang pas-pasan tidak memungkinkanya untuk memperoleh tindakan cepat, maka setiap nenekmu bercerita perihal kelahiranmu, kau seperti menyayat luka yang terpatri di wajahmu. Tak cuma itu, berselang satu setengah tahun terpaut usiamu, ayahmu mangkat karena sengatan paru-paru basah yang sama sekali tak tersentuh tangan medis, selain kehendak Tuhan tentu saja karena alasan klasik yang klise: biaya. Itulah mengapa kau begitu benci dengan kemiskinan. Kemiskinan telah merenggut orang-orang yang kau cinta sebelum kau sempat mematri raut wajah mereka dalam benakmu.
Kau tahu, nenekmu begitu menyayangimu. Kau layaknya manik permata yang selalu di elu-elukannya. Wajahmu cantik, gerak lakumu jujur dan lugu. Ia tak mau jika kau menjadi lekang dan rapuh hanya karena pengaruh pergaulan di kampungmu yang mulai menyisihkan nilai-nilai ketimuran seorang gadis. Tentu kau masih ingat dengan Eli, teman sekelasmu yang mati bunuh diri gara-gara tak kuasa menanggung aib yang mengembung di perutnya.
Maka, seusai menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas, nenekmu menyarankanmu untuk bertebaran ke negeri jauh, menjemput berkah yang telah di sebar Gusti Allah di muka bumi. Awalnya kau bersikeras untuk tetap tinggal menemani nenekmu, agar tetap bisa menjagainya di usia senja. Namun air mata tua nenekmu telah meluluhkan keras kepalamu. Akhirnya kau pun berangkat.
Ketika itulah, kau rasakan pertama kali betapa birunya warna perpisahan. Pikiranmu bergejolak. Di usiamu yang baru belasan tahun itu, tak pernah kau bayangkan kau akan melayarkan bahtera seorang diri, jauh ke tengah samudera kehidupan yang luas tak beranah tepi.
“Jika perahu telah kukayuh ke tengah, pantang bagiku membalik arah, biarpun besar gelombang, kemudi patah, layar robek, itu lebih baik dari pada memutar haluan pulang.” Bisikmu.
***

Asing sekali ketika kakimu menapak negeri bertanah gurun itu. Di sebuah rumah yang megahnya seperti masjid itu kau bekerja. Merawat perempuan pikun dan balita. Dengan gaji tujuh ratus real yang tak pernah sampai ke tanganmu. Tahun pertama kau bekerja, kau hidup seperti budak tawanan perang. Sayyidah Fatat yang bermata lebar dan bercelak tebal itu selalu mengawasi gerak-gerikmu. Barangkali ia tak mau melihatmu bermalas-malasan. Melihatmu duduk tanpa melakukan sesuatu, baginya adalah sama halnya membuang dirham .
Jaddah Raisyah, perempuan renta yang melata di kursi roda itu pun selalu menyusahkanmu. Kau merawat perempuan pikun itu seperti merawat cicitnya. Menyuapinya saat makan, menyeka tubuhnya yang lemir, mengelap air liurnya, atau kalau lebih buruk lagi menimpal bekas kotorannya. Awalnya kau merasa jijik dan hendak muntah, tapi lama semakin lama kau menjadi sangat terbiasa. Kau bayangkan wanita tua itu nenekmu dan semuanya menjadi lebih mudah kau lakukan.
Tahun berganti tahun kau jalani, dapat kau rasakan lembaran demi lembaran hidupmu yang datar dan buram tanpa warna. Kebosanan yang merestan di kepalamu kini telah lumat oleh ketidakberdayaan. Dekat sekali kau rasakan campur tangan Tuhan atas skenario yang kau perankan sekarang ini. Maka kau bisa apa? Bahkan ketika Sayyid Junaid, suami Sayyidah, mulai berani mencolek-colek pinggulmu, kau pun tak bisa berbuat apa-apa.
Sampai datanglah suatu ketika yang celaka. Sayyidah menggelar sebuah pesta besar-besaran di rumahnya. Seluruh tenagamu dikurasnya. Kakimu gemetar melihat keramaian yang begitu mencekam. Dari balik gorden dapur kau lihat para tamu yang mengagungkan pesta dan kesenangan. Orang-orang berhidung panjang dan bercambang tebal, orang-orang berkulit hitam dan berambut kriting, mereka berkumpul melebur dalam tahniah dan tari-tarian. Mereka menyatap kambing guling dan ikan sadil ‘arab seperti srigala lapar. Nasi samin yang kau tanak semalam suntuk, tandas oleh perut mereka.
Seusai pesta, dan tamu-tamu pulang. Kau merangkak membereskan sisa-sisa pesta yang berantakan. Sayyidah pergi mengantarkan saudara jauhnya dan mungkin kembali esok lusa. Tinggalah kau seorang, bersama nenek pikun dan Sayyid Junaid yang tatapan matanya seperti hendak menerkam.
Malam itulah, ketika tiba-tiba Sayyid Junaid memintamu ke kamarnya untuk memijtnya, kau juga tak bisa menolak. Malam itu bisa kau rasakan, kau seperti ayam kecil yang terperangkap dalam liang musang. Benarlah, Sayyid Junaid mulai merayumu. Kau menolaknya, akibatnya kau pun mendapat satu tamparan keras di pipi kananmu. Kau berontak, hendak berlari darinya, dengan cekatan pula lelaki arab bernafsu kuda itu merengkuhmu, melumatmu dalam tarian-tarian menyeramkan. Semenjak itu, malam-malam tua telah menjadi seteru yang menyematkan luka abadi dalam lubuk dadamu. Seperti lolongan rase gunung, setiap malam kau memperpanjang tangismu sambil mencakar wajahmu sendiri. Ngilu.
“Telah tersemat ribuan jarum dalam ketubanku. Aku musafir asing yang kehilangan kaki. Lantas musti bagaimana aku meneruskan mimpi. Luka ini terlampau mendarah daging, rasanya waktu pun tak akan mampu menyembuhkannya. Ini memang tak lebih sakit dari mati, tapi ini lebih buruk dari mati.” Cercaumu, pilu.
***

Petang itu, ketika rumah Sayyidah sepi kau berjingkat meninggalkan perempuan tua yang tergolek di kasur bersama kotorannya sendiri itu. Kau benar-benar sudah tak tahan. Kau berjingkat membawa beberapa helai pakaian yang kau bungkus dalam kain jarit milik nenekmu. Kau cek setiap penjuru pintu. Semua terkunci rapat. Kau berpikir, mereka memang sengaja memasungmu. Kau pun tak pendek akal. Kau turun lewat balkon samping dengan beberapa utas kain yang kau kaitkan jadi temali. Kau sudah seperti buronan yang hendak kabur dari bui. Tak kau pikirkan, kau tak membawa bekal atau uang sepeserpun. Ah, barangkali gejolak badai di bathinmu mengalahkan rasa lapar.
Lihatlah! Di tanah gharib itu kau jadi gelandangan. Ayunan langkahmu selalu gontai musabab lututmu yang selalu gemetar menahan beratnya beban yang kau pikul seorang diri. Perutmu juga terasa melilit dan panas. Kepalamu berat bukan main. Kau mulai suka terbatuk-batuk. Sempurna sudah apa kau cemaskan sejak pertama kali menginjak tanah terik berdebu itu. Kau melanglang serupa orang terusir. Berteman baik dengan trotoar-trotoar dan rasa lapar. Hingga sampailah langkahmu pada bangunan kardus di bawah jembatan Waladhaek yang gagah itu. Di sana kau bertemu dengan Suryani, gadis 17 tahun asal Jombang, yang bernasib sama denganmu atau barangkali lebih buruk. Bisa kau tilik bekas luka memar di jidadnya, juga bekas luka bakar yang menghitam di lengan kirinya. Kabarnya ia kabur karena tak tahan oleh siksaan majikannya. Tak hanya Suryani yang jadi penghuni kolong jembatan angkuh itu. Di sana juga ada Nunung asal Tasikmalaya yang sengaja dibuang majikannya karena memiliki penyakit kulit menjijikan yang konon menular. Ada juga Dwi, Fauziah, dan Jumiati. Semua meiliki kisahnya sendiri-sendiri. Ah, bagimana dengan kisahmu sendiri? Sama mirisnya dengan kisah mereka.
“Mengapa manusia harus lahir ke muka bumi, jika ia tak memiliki hak untuk hidup selayaknya manusia. Dunia memang angkuh.” Bisikmu lembut seperti kabut yang menguapkan aroma racun yang kental.
Begitulah, di kolong jembatan itu kau hidup bersama mereka seperti keluarga. Saling bertukar kata dan saling menghibur. Apa yang mereka makan, itulah yang kau makan. Tapi, selalu saja, ada yang pahit yang membaur bersama hari-harimu, hari-hari kalian. Lihat saja Nunung, tampaknya dia yang paling rapuh menahan beban. Sepanjang siang dan malam yang dilakukanya hanya termenung dan menangis. Badanya kurus karena tak pernah mau makan. Pucat masih tampak di wajahnya meski hampir seluruh kulitnya dipenuhi bintil-bintil merah yang berminyak dan mengelupas. Beberapa kali ia menyalahkan Tuhan yang telah sempurna menyengsarakan hidupnya. Beberapa kali Nunung tampak mengeluhkan rasa perih di ulu hati dan sekujur tubuhnya. Ia menangis tak henti-henti, ingin bertemu dengan ibu-bapak dan sanak keluarganya di kampung halaman. Tapi apa boleh buat. Setelah menangis panjang itu, Nunung tak tampak lagi sampai kau menemukanya terjuntai kaku di tiang rangka jembatan dengan lilitan tambang di lehernya. Ah, haruskah semua ini berakhir memar.
Kau terisak menahan bongkah cadas di dadamu. Kau usap perutmu yang kian hari kian mengembung. Ini salah siapa? Tak ada yang salah. Demi memikirkan semua itu, nyeri di kepalamu kambuh. Badanmu terasa semakin ringkih dan kedinginan.
“Tuhan… kalau memang aku harus mati waktu dekat ini. Jangan biarkan aku mati dalam keterasingan. Izinkan aku mati di pangkuan nenekku, di kampung halamanku.” kau terus terisak sampai suaramu serak dan habis, sampai rasa kantuk yang indah menjemputmu untuk singgah ke alam bawah sadar. Alam di mana mimpi buruk menjadi hal yang lebih indah. Ah, semua mengalir saja seperti air. Kehidupan selalu begitu. Dunia selalu begitu.
***

Kau gagap terbangun di akhir sepertiga malam, kau rasakan badanmu menggigil bukan main, perutmu terasa sangat mual, begitu pula, kepalamu terasa sangat nyeri dan berat. Kau beranjak dari rumah beratap jembatan itu. Kau semakin menggigil. Kedua gigimu bergemeletak menahan dingin. Kau tatap rembulan pucat yang berlayar ke utara menghindari arakan mendung gelap. Sepi. Teman-temanmu masih pada terlelap, terpasung gelap. Sekali lagi kau tengadahkan wajah ke langit lepas. Kau berusaha mengingat seperti apa warna langit di kampung halamanmu. Sama kah? Di kampungmu, pada detik itu, kau akan mendengar alunan tarhim seperti eufoni kramat yang menlengking dari petala langit. Kemudian nenekmu akan membangunkanmu untuk mengambil air wudhu.
Entah mengapa, tiba-tiba dadamu penuh sesak, perasaanmu tidak enak. Mungkin kau terlalu merindukan nenekmu, kampung halamanmu. Rasanya kau ingin tertidur lagi, dan tiba-tiba nenekmu datang dan membenarkan letak selimutmu. Ah, tapi perutmu sangat mual, tenggorokanmu sangat perih dan sesak bagai tercekik, bahkan kau terbatuk-batuk dalam. Ada apa lagi dengan tubuh rapuh ini? Beberapa jenak, kau terbatuk-batuk lagi, semakin dalam. Perlahan kau merasa ada yang meleleh dari lubang hidungmu. Kau menyentuhnya. Kau mendapati cairan kental, warnanya merah pekat. Tak kau pedulikan. Kau merebahkan tubuhmu di atas hamparan rumput kering yang mengembun. Matamu menyimpan cermin yang dapat mengundang kupu-kupu yang terpasung rembulan di atas sana. Kau tersenyum menyapa bintang-gemintang yang kesepian. Tiba-tiba kau merasa seperti tertidur di pangkuan nenekmu.]*

*Malang, 2009-2010

L A R O N (dimuat di KOMPAS 6 Maret 2011)

Sedari pagi hujan terus mericis. Hingga menjelang magrib baru liris, menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika langit mulai gelap, dan lampu-lampu rumah dinyalakan, hujan sudah sempurna reda. Satu dua laron mulai muncul dan berputar-putar mengitari lampu di teras rumah. Semakin lama semakin banyak. Bahkan, beberapa sudah mulai menghambur ke dalam rumah, melewati ventilasi dan celah-celah pintu jendela.

Tanpa sepengetahuan bapak, aku membuka pintu depan, sedikit, supaya laron-laron itu bisa masuk ke dalam rumah, dan bisa kuajak bermain dan berbincang-bincang. Tak kurang dari satu menit, laron-laron itu sudah memenuhi ruang tamu, dapur, dan kamar-kamar. Berputar-putar berebut cahaya. Sayap-sayap kecil mereka bertebaran di mana-mana bagai potongan-potongan kertas yang sengaja disemburatkan di pesta ulang tahun atau perayaan-perayaan.

Aku berteriak girang sambil meniupi sayap-sayap laron yang luruh ke lantai. Indah sekali. Aku membayangkan saat itu sedang hujan sayap, sayap peri. Tapi, tiba-tiba bapak muncul dari kamarnya dan berteriak-teriak. Aku mengkerut.

”Dasar bocah gak punya otak, pintunya kok malah dibuka. Laronnya masuk semua, Goblok!” teriak bapak sambil menutup pintu depan yang tadi kubuka sedikit. Ia menutupnya dengan setengah membanting.

”Sayapnya itu sulit disapu. Kamu mau nyapu?” kata bapak lagi sambil mendorong kepalaku dengan kasar.

Dengan sangat cepat, bapak mematikan semua lampu di dalam rumah. Seketika itu semua gelap. Dan aku berteriak ketakutan, memanggil-manggil ibu.

”Ada apa tho ini?” terdengar suara ibu, dan klik, ibu kembali menyalakan lampu.

Dari dalam kamar, bapak berteriak lagi, ”Jangan dinyalakan lampunya! Laronnya biar keluar dulu!”

Ibu tidak menyahut. Ibu segera menggandengku dan membawaku masuk ke dalam kamar. Dari dalam kamarku, aku mendengar bapak mengumpat lagi.

”Kampreeet!! Dibilangin suruh matikan kok….” Dan klik, ruang depan kembali gelap. Hanya lampu kamarku yang menyala. Ibu menutup pintu kamarku rapat-rapat.

”Ditutup, ya, biar laronnya gak masuk,” kata ibu lembut. Aku mengangguk karena di kamarku sudah ada beberapa laron yang beterbangan mengitari lampu, sebagian hinggap di gorden jendela, dan beberapa—yang sayapnya tinggal dua—berpusing-pusing di lantai. Aku tertawa geli melihatnya. Tapi, mendadak aku jadi ingat ketika bapak memusing-musingkan kepalaku dan mengguyuriku dengan air, beberapa waktu lalu, ketika aku asyik bermain keran dan kemudian mematahkannya. Maka, kembali aku bertanya dengan bahasa mata kepada ibu.

”Mengapa bapak suka memarahiku, Bu?”

Ibu tersenyum, diusapnya liur yang hampir menetes dari bibirku yang lebar. Ibu mentapku, ”Bapak tidak marah padamu, bapak cuma tak suka kalau rumah kita ini kotor. Sayap-sayap laron itu bikin kotor. Susah disapu.”

Aku mencerna perkataan ibu, dan memanyunkan bibir sebagai pemakluman. Namun, pemakluman itu masih terasa belum tunai, mengingat perlakuan bapak selama ini padaku. Hati kecilku selalu mengatakan bahwa bapak memang tak pernah suka padaku. Lamat-lamat aku teringat pada sebuah malam, di mana bapak dan ibu bertengkar gara-gara aku tidak menghabiskan makan malam. Malam itu bapak sendiri yang mengambilkan porsiku karena waktu itu ibu belum pulang dari pengajian. Bapak mengambilkan porsiku dua kali lebih banyak dari biasanya—yang diambilkan ibu. Malam itu, bapak terus mengawasiku. Padahal sudah hampir setengah jam aku mendiamkan makananku.

”Habiskan nasinya!” gertakan bapak saat itu membuatku gemetar. Saat itu aku menyesalkan ibu yang tidak pulang-pulang.

”Sekarang beras mahal!” Bapak terus memelototiku sambil sesekali menggebrak meja. Maka, dengan sangat terpaksa nasi itu kumasukkan ke dalam mulutku. Beberapa kali aku ber-”hoek”, hendak muntah.

Bapak semakin geram. Ia mendekatiku dan menjejalkan nasi itu ke mulutku hingga berceceran di lantai. Aku menangis tanpa suara. Saat itulah tiba-tiba ibu datang dan menampik tangan bapak.

”Apa-apaan ini, Pak!?”

Ibu membersihkan nasi yang tumpah di bajuku dan segera membawaku masuk ke dalam kamar. Di luar kudengar bapak berteriak-teriak, ganti memarahi ibu. Agak lirih suara ibu, menuntaskan pembelaan. Namun suara bapak semakin menggelegar, ia mengeluarkan sumpah serapah yang tak kupahami artinya.

”Sudah kubilang, dari dulu, bocah cacat itu dititipkan ke panti asuhan saja. Biar tidak merepotkan kita.” Suara bapak terdengar jelas dari kamarku, disusul suara ibu yang terdengar seperti menangis.

”Gusti Allah menitipkan dia buat kita, Pak! Dia anak kita! Satu-satunya!”

Selanjutnya kudengar bapak meneriakkan namaku dengan sebutan bocah idiot, autis, bisu, gagu, dan seterusnya… yang direnteti ungkapan penyesalan seperti dendam.

Beberapa kali terdengar suara ibu menyela dan meninggi, meminta bapak beristigfar. Kudengar juga ibu mengumpat bapak dengan sebutan ”seperti orang tak tahu agama”. Maka terdengar suara plak, kulit beradu kulit, dan setelah itu sepi.

***

Ibu mengusap rambutku ke belakang. Kemudian ibu bercerita panjang tentang bapak. Kata ibu, sebenarnya bapak sangat sayang padaku. Hanya saja, bapak tak suka bila aku berbuat nakal.

”Maka dari itu, kamu tak boleh nakal lagi, yang nurut sama bapak,” kata ibu kemudian.

Aku jadi sangsi pada perkataan ibu, bukankah selama ini aku selalu menuruti perkataan bapak. Bahkan, ketika bapak memintaku mengambil makanan yang telah kubuang di tempat sampah dan memakannya kembali, aku menurutinya. Tentu waktu itu ibu tidak tahu.

”Janji, ya!” kata ibu lagi. Aku mengangguk saja hingga ibu mengecup keningku dan beringsut meninggalkan kamarku.

Di dalam kamar, aku sudah tidak lagi memikirkan perkataan ibu ataupun perangai bapak padaku. Yang kupikirkan adalah laron-laron itu. Sebenarnya aku berniat membuka jendela kamarku supaya laron-laron di luar bisa turut masuk ke kamarku. Tapi hal itu kuurungkan. Aku takut, kalau membuka jendela kamar termasuk perbuatan nakal yang tidak disukai bapak. Maka aku bermain dengan laron-laron yang ada di kamarku saja. Sebagian besar dari mereka sudah gundul, tanpa sayap. Mereka berjalan beriringan di sudut-sudut lantai. Yang berputar-putar seperti gasing juga masih ada.

Aku mendekati laron-laron itu dan mengajaknya bermain. Tapi, ketika jari telunjukku menyentuh laron-laron itu, mendadak laron-laron itu berhenti bergerak. Kemudian, laron-laron itu mengeluarkan suara.

”Kami sudah gundul, pesta kami sudah usai. Ternyata pesta kami sangat singkat,” katanya.

”Sekarang kalian mau ke mana?” tanyaku.

”Menemui ajal,” jawab mereka.

”Jika kami tahu, pesta kami sangat singkat, dan sayap-sayap kami sangat rapuh, kami akan memilih untuk tetap menjadi rayap,” kata laron yang lainnya.

”Mengapa?” tanyaku lagi.

”Kami tak pernah merasa cukup menjadi rayap tanah, kami ingin punya sayap dan terbang bebas menikmati cahaya. Dan inilah yang terjadi….”

”Apa yang terjadi?”

”Kamu lihat sendiri. Kami hanya berputar-putar menunggu mati. Hidup kami akan berakhir di perut katak atau cicak. Kalau lebih buruk lagi, kami akan mati terinjak-injak manusia, tak bersisa, dan tak pernah berarti apa-apa. Semoga kamu tidak menjadi seperti kami.”

”Menjadi laron?”

”Bukan!”

”Menjadi apa?”

”Menjadi makhluk yang tidak pernah puas menerima pemberian Tuhan, anugerah Tuhan.”

Tiba-tiba aku teringat bapak.

”Sudah! Biarkan kami pergi,” kata laron itu lagi.

”Pergi ke mana?”

”Maut. Kami harus menemui takdir kami.”

”Kalau begitu kalian kupelihara saja.”

”Jangan! Kami sangat bau. Nanti kamu dimarahi bapakmu lagi.”

”Kalian kusembunyikan saja di kamarku.”

***

Diam-diam, aku membuka pintu kamar. Berjingkat ke dapur, mengambil rantang plastik di rak piring. Jika bapak atau ibu memergokiku, aku akan bilang kebelet pipis. Tapi bapak ataupun ibu tak memergokiku. Aku berhasil kembali ke kamarku dengan selamat. Kukunci pintu kamarku rapat-rapat. Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, seperti orang lupa. Saat laron-laron dari luar berhamburan ke dalam kamarku, sama sekali aku lupa soal bapak. Yang kutahu hanya bahwa detik itu—saat laron-laron beterbangan menuju kamarku—adalah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Kubayangkan kamarku penuh oleh peri-peri kecil yang berkerik lirih dan merdu.

***

Aku senang sekali, malam itu, bapak ataupun ibu tidak kembali ke kamarku. Pasti mereka mengira aku sudah tidur. Padahal, malam itu aku begadang sampai larut malam. Memunguti laron-laron itu dan memasukannya ke dalam rantang plastik. Sayap-sayap yang berceceran di lantai kubersihkan dengan kertas basah yang kulumuri ludah. Kutempelkan kertas basah itu perlahan ke sayap-sayap yang berceceran. Ternyata mudah sekali membersihkan sayap laron. Setelah kamarku bersih. Aku membuang kertas-kertas basah yang penuh sayap itu keluar jendela. Kututup kembali jendela kamarku pelan-pelan. Kututup pula rantang plastik yang penuh laron itu dengan sebuah buku tulis tebal sebelum akhirnya kudorong ke bawah ranjang dan kutinggal tidur.

***

Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkanku. ”Kenapa pintunya kok dikunci?” tanya ibu. Aku menatap ibu sambil mengibaskan tangan. Ibu paham yang kumaksudkan supaya laronnya tidak masuk. Hatiku agak tidak enak membohongi ibu. Tapi aku juga kasihan pada laron-laron itu. Ibu menyuruhku segera mandi. Detik itu aku berdoa semoga ibu tidak menggeledah kamarku. Apalagi bapak. Tapi doaku muspra, tak terwujud. Karena tiba-tiba bapak datang dan mengendus bau kamarku.

”Kamar ini kok bau laron busuk, ya?” tukasnya. Hidungnya mengendus seperti tikus.

Hatiku sudah tidak enak. Ibu mengingatkanku kembali untuk lekas-lekas mandi. Aku berjalan ke kamar mandi dengan hati cemas. Aku pun mandi ala kadarnya. Kalau tidak dimandikan ibu, aku memang tak pernah mau mandi memakai sabun. Apalagi gosok gigi. Dan tampaknya, pagi itu ibu masih sibuk membersihkan sayap laron di dapur, kamarnya, dan ruang tamu. Selepas mandi, aku buru-buru ke kamar. Kutengok kolong ranjangku, dan rantang plastik berisi laron yang kututupi dengan buku tulis sudah raib, tak ada di sana. Aku tersentak dan hampir terpeleset ketika tiba-tiba bapak menyeret telingaku dan membawaku ke muka ibu.

”Lihat ini!” bapak melemparkan rantang plastik berisi laron itu ke depan ibu. Laron-laron itu tumpah dan merayap ke mana-mana. Secepat kilat ibu merapikannya dan membawanya ke dapur. Bapak menyusul ibu ke dapur.

”Semalam dia tak tidur; kau lihat pula sana, di bawah jendela kamarnya!” kata bapak lagi. Telingaku terasa nyeri, tapi tangan bapak masih utuh di sana.

”Kau membohongi ibu?” tutur ibu berkabut.

Aku mulai menangis. Air mataku mulai meleleh. Tapi tak seulas suara pun keluar dari mulutku. Ibu meninggalkanku dengan tatapan kecewa, ia berjalan menuju kamarku. Bapak masih menyeret telingaku, menyusul ibu. Di kamar ibu menengok keluar jendela dan menggelengkan kepala beberapa kali. Lantas ibu pergi begitu saja. Tapi matanya merah, seperti mau menangis. Sementara ibu pergi, bapak menghujani pipiku dengan tamparan. Dijambaknya rambutku sebelum akhirnya aku dilempar ke ranjang.

Di dalam kamar, aku sesenggukan menahan nyeri. Hingga akhirnya ibu datang dengan membawa salep dan sapu tangan. Setelah mengusap wajahku. Ibu menidurkan aku di pangkuannya.

***

Aku masih belum berani keluar kamar dan bertemu bapak, hingga akhirnya ibu menuntunku ke ruang tengah untuk makan malam. Di sana kulirik bapak dengan wajahnya yang dingin seperti batu. Ibu mengambilkan aku nasi dan sayur. Perlahan kutilik satu demi satu lauk-pauk yang terhidang di meja. Hingga mataku mendarat pada sebuah toples berisi rempeyek dengan bintik-bintik hitam. Semula, aku mengira rempeyek yang dibuat ibu adalah rempeyek kedelai hitam. Namun, mendadak bapak berkomentar.

”Rempeyek laronnya gurih sekali.”

Aku mengangkat wajah. Memerhatikan bapak yang tengah lahap mengganyang rempeyek laron. Tak henti-henti bapak mengudapnya. Habis satu, ia ambil lagi dari dalam toples hingga rempeyek dalam toples tinggal separuh. Saksama kuperhatikan mulut bapak yang terus bergerak mengunyah rempeyek laron itu. Kuperhatikan mulut itu, bibir itu, gigi itu, lidah itu. Sungguh sangat menjijikkan. Dalam penglihatanku, bapak sudah menjelma menjadi seekor katak raksasa yang mengunyah serangga sampai sayap-sayapnya.

Tanpa sadar, kulemparkan piring berisi nasi dan lauk-pauk ke arah katak raksasa yang sedang mengunyah serangga itu. Dan lemparanku tepat mengenai kepalanya. Nasi berceceran di atas meja. Piring jatuh ke lantai, berdentang serak dan pecah menjadi beberapa keping. Tiba-tiba kulihat bapak memegangi kepalanya yang berdarah-darah. Matanya mendelik ke arahku. Mata yang berkilau dan tajam, seperti hendak menikamku.***

Malang, Desember 2010