Hikayat dalam Saku Celana (Sumatra Ekspres, Minggu 24 Juni 2012)


Pertama kalinya, secara tak sengaja, ketika aku hendak mencuci celana kotormu, aku menemukan sebuah koin berkerak di saku celanamu.  Untuk sebuah koin karatan seperti itu, tentu saja aku tak perlu meminta izinmu untuk mengalihkan hak kepemilikannya. Itu hanya koin yang mungkin hendak kau berikan pada pengemis lalu kau lupa (atau barangkali, malah kau yang mengemis koin itu dari seseorang?). Maka kualihkan saja tempat koin itu, dari saku celanamu ke saku dasterku. Lumayan, buat kerokan.
Beberapa hari berikutnya, secara tak sengaja pula, aku menemukan sebuah cincin besi yang akhirnya kau jelaskan bahwa cincin itu kau temukan di sebuah kamar mandi di toilet umum, di terminal, tempatmu bekerja sebagai sopir angkot. Aku heran juga, untuk apa cincin sampah semacam itu kau pungut. Untukku, katamu. Untuk ganti cincin kawin kita yang ludes kita jual buat kebutuhan dapur. Ah, ada-ada saja. Siapa yang sudi memakai cincin besi hitam semacam itu. Seperti cincinnya nenek-nenek sihir.
Pada kesempatan berikutnya—waktu itu aku memang sengaja meraba-raba—sebelum aku merendam celanamu dengan air sabun, dan di sana, di saku celanamu, aku temukan lagi, kali ini selembar puisi. Awalnya, aku mengira bahwa benda itu adalah selembar uang kertas yang terlupa, eh, ternyata selembar  puisi. Puisi cinta. Di atas selembar kertas berwarna merah muda. Aku hapal betul itu bukan tulisanmu. Seingatku tulisanmu tak meleset jauh dari tulisan anak kelas satu SD, mencang-mencong. Sedangkan tulisan itu sangat rapi, seperti tulisan seorang perempuan. Tiba-tiba pikiranku melayang. Menebak-nebak sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan selembar puisi cinta itu.
Detik itu, aku benar-benar direbus cemburu. Seumur-umur kau tak pernah menulis puisi. Aduh, jangan-jangan kau selingkuh. Pasti ada seorang perempuan—mungkin penumpang angkotmu, atau siapa—yang  kesengsem padamu, mengingat senyummu masih sangat manis untuk ukuran laki-laki paruh baya. Pasti perempuan itu duduk di jok paling depan sebelah sopir, sebelahmu. Lalu kalian bercerita banyak hal yang menjadikan kalian semakin akrab. Lalu apa lagi? Pasti perempuan itu memberimu sebuah puisi. Puisi itu. Kalau tak begitu, lalu bagaimana kronologisnya sampai ada puisi romantis dalam saku celanamu?
 “Kau bisa menjelaskan ini!?” Kataku ketus, sambil melemparkan selembar puisi itu ke arahmu. Kau hanya terkekeh.
“Cemburu?” kau malah menggoda.
Aku melengos.
Kau buru-buru mengejarku, “Itu puisi, kutulis sendiri, kukarang sendiri. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk istriku tercinta.”
“Kau pikir aku tak hapal tulisanmu?”
“Mau dicek? Itu benar-benar tulisanku.”
Aku mulai jinak. Tapi aku tidak percaya begitu saja, “memangnya sejak kapan kau bisa bikin puisi?”
“Bikin!!! Puisi itu diciptakan, pake hati, bukan dibikin. Bikin!!! Kue kali.”
Aku meneruskan cucianku. Berjibaku dengan busa dan rasa gatal di sela jemari kakiku. Kau berdiri dan bersandar pada kusen pintu kamar mandi. Kau mengawasiku. Aku yakin sekali. Kalau sudah berdiri di situ. Ceritamu akan berkembang biak sampai kemana-mana.
“Begini lho…” kau mulai menjelaskan, “tak pikir gak ada salahnya memanfaatkan waktu luang. Seharian tadi angkotku sepi penumpang. Mungkin karena hujan. Nah, dari pada bengong aku nulis puisi saja. Tak pikir-pikir, menikah dengankmu selama hampir empat tahun, dan belum juga dikaruniai momongan, belum pernah aku menggombalimu dengan puisi.”
“Apa pula kau singgung tentang momongan. Lagian siapa yang mau makan puisi.”
“Puisi itu buat hiburan buakan buat dimakan. Baca saja! Pasti kau suka.”
Aku diam saja.
“Baik, baik. Aku saja yang bacakan. Simak ya!”
Aku masih tidak menggubris. Tapi diam-diam aku mulai memperlamban kucekan cucianku ketika kau mulai mengeluarkan suara. Sebait demi sebait kau baca puisi romantis itu. Aku menahan tawa, menyimakmu membaca puisi. Tapi, jujur, aku menikmatinya. Aku kembali memasang wajah tegang ketika kau menyudahi deklamasi puisimu.
“Bagaimana?” kau bertanya dengan bangga.
“Aku masih belum percaya puisi itu untukku!”
“Jadi, masih belum percaya?”
Aku membisu.
“Masih cemburu?”
Aku tak menjawab.
“Tapi aku senang kalau kamu cemburu. Itu tandanya kamu cinta, cinta mati sama aku. Ya, tho?”
Kudengar kau menghela napas berat sebelum akhirnya ngeloyor begitu saja meninggalkanku yang masih mendongkol. Aku melirikmu yang berjalan lunglai, lalu kau menghempaskan tubuhmu ke sofa kumal di ruang tengah. Kau memejamkan mata. Wajahmu tampak lelah. Tiba-tiba aku merasa sikapku padamu sangat keterlaluan.
***
Sejak peristiwa puisi dalam saku celana itu. Aku tak pernah lagi menemukan sesuatu dalam saku celanamu. Sebenarnya, aku ingin menanyakan hal ini padamu. Tapi rasanya aneh, menanyakan isi saku celana. Aku takut, malah-malah nanti kau mengira aku suka geledah-geledah saku celanamu, meski itu benar. Mungkin butuh tenggang waktu, pikirku. Aku yakin sekali, suatu saat, pasti aku akan menemukan sesuatu dalam saku celanamu. Mana mungkin gara-gara selembar puisi, kau jadi malas menfungsikan saku celanamu. Ini hanya kebetulan saja. Kebetulan tak ada sesuatu yang bisa kau simpan di saku celanamu.
***
Beberapa kali, ketika mencuci pakaian kotormu, termasuk celana. Aku sengaja tidak menyentuh sakunya. Walaupun terdengar aneh dan sepele, tapi ini agak sulit bagiku. Seperti menahan kangen. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali memeriksa setiap pakaianmu yang hendak kucuci, ataupun yang sudah kulipat rapi dalam lemari. Aku berdebar-debar, berharap menemukan sesuatu dalam saku celanamu. Dan benar, keajaiban itu bermula kembali di sini, di dalam saku celanamu, setelah berminggu-minggu tak kusentuh. Keajaiban yang kumaksud adalah begini: ketika tanganku sudah menelusup ke saku celanamu. Aku merasakan sesuatu yang begitu nyaman. Seperti sedang berbaring dalam pelukanmu. Aku seperti terbius. Kau mendekapku sayang. Lalu cerita-cerita seperti menghambur dari mulutmu.
Kau tahu, bayak sekali cerita kurekam dari terminal, beberapa hari lalu aku menjumpai sepasang suami istri yang sudah renta, yang kedua-duanya cacat. Sang istri lumpuh, dan sang suami buta. Seperti cerita-cerita lawas yang acap kita dengar, ya? Tentang dua orang sahabat, yang satu lumpuh dan yang satu buta. Tapi ini lain, ini nyata, dan mereka suami istri. Kau tahu, mereka begitu mesra. Untuk terus hidup, mereka berjibaku saling melengkapi kekurangan mereka. Sang istri yang lumpuh sebagai mata, dan sang suami yang buta menjadi kaki.  
Mereka berjalan menyusuri totoar-trotoar, mengitari bus-bus kota yang tengah berhenti. Sang istri nembang, dan sang suami membawa erat-erat mangkuk kecil yang di dalamnya dialasi sobekan koran. Mereka terus berjalan dan nembang, hingga receh mereka penuh. Setelah dirasa cukup, mereka selalu beristirahat di bawah pohon cerry, di sudut terminal, di dekat gerobak sampah. Mereka menghitung receh satu persatu dengan aura yang masih sama mesranya. Setelah usai menghitung hasil kerjanya, mereka seperti bersusjud. Sang isteri mengusap peluh di kening suami, dengan kebaya lusuhnya yang kebesaran. Sang suami tampak tersenyum. Dan, entah mengapa, tiba-tiba aku iri pada mereka.
***
Esoknya, setelah kau berangkat dengan angkot bututmu. Aku mulai merancang agenda. Bersih-bersih rumah. Masak yang istimewa buatmu, dan istirahat siang sebelum kau datang. Ketika sedang membersihkan kamar, tiba-tiba pandanganku tertuju kepada lemari baju yang terbuka separuh. Aku melihat baju-baju dan celanamu terlipat rapi di sana. Dan aku mulai iseng. Mengambil salah satu celanamu. Menciumnya, masih terasa wangi semprot setrika di sana. Aku mencari-cari letak sakunya, merogohnya, dan merasakan kenyamanan itu. Aku memejamkan mata. Aku kembali terbius. Seperti tengah berbaring di pangkuanmu. Dan kau pun seolah kembali bercerita.
Cerita ini agak sadis, apa kau masih mau mendengarya? Beberapa bulan lalu, di terminal tempatku biasa mangkal, ditemukan mayat tanpa kepala dan kaki, di kolong kursi sebuah bus. Ya, ia dibunuh dan dimutilasi. Setelah diusut, rupanya pelaku mutilasi itu tidak lain dan tidak bukan adalah orang terkedat korban. Kau mau menebak? Ternyata, pelakunya adalah istinya sendiri. Konon, si suami ini memang urakkan, suka keluyuran, main togel, jajan perempuan, dan sangat  kasar terhadap isterinya.
Menurutmu, apakah perbuatan si istri itu bisa dibenarkan? Ya, tentu tidak. Aku sendiri tak bisa membayangkan. Mereka suami istri, lalu dimana sesuatu yang mereka sebut cinta. Bagaimana mereka bisa menjadi suami istri, ya? Dijodohkan seperti Siti Nurbaya? Atau sekedar nemu di warung remang-remang? Entahlah. Otakku tak sampai ke sana.
Aku tersadar tiba-tiba. Dan kamar masih sepi. Cuma ada aku, seorang diri. Aku masih bergidik dengan cerita yang baru saja masuk ke kepalaku. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku sangat merindukanmu. Aku cemas menunggumu pulang. Aku melirik jam dinding. Seperempat jam lagi kau datang. Masih cukup waktu untuk menyiapkan makan siang.
***
Celana demi celana(mu) telah kujelajahi. Cerita demi cerita telah masuk ke benakku seperti mimpi. Kini tak ada lagi uang receh kesasar dalam saku celanamu, tak pula cincin berkerak, apalagi selembar puisi. Semenjak cerita-cerita itu mengisi kepalaku, yang kudapat dari saku celanamu hanya satu hal: rasa nyaman. Nyaman bisa melayanimu sepenuh hati. Mencucikan pakaianmu, khususnya celana. Memasak masakan yang kau suakai. Memijatmu selepas kerja. Dan tentu saja memenjadi pakaianmu di malam hari. Semua terasa sangat ringan dan menyenangkan. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di dadaku. Masalah momongan. Sudah jelang empat tahun berkumpul, dan kita masih utuh. Berdua saja. Memang kau jarang menyinggunya, karena kau tahu, itu akan menyudutkanku. Tapi tetap saja. Aku merasa tak lega. Pertalian kita sebagai suami istri terasa belum sempurna. Setiap kali sedih itu datang, hiburanku hanya satu, saku celanamu.
Kau mau mendengar sebuah cerita lagi? Ini juga kisah tentang sepasang suami istri. Kisah yang sederhana. Suami istri ini hidup sederhana, tak pernah ada yang berlimpah dalam hidup mereka kecuali kelakar dan cinta. Sang suami pekerjaannya cuma sopir angkot. Seperti pekerjaanku, ya? Dan sang istri, cukup bekerja di rumah, menunggu suami. Meski mereka hidup sederhana, tetapi hidup mereka penuh dengan kejutan-kejutan. Sang suami, selalu memberi kejutan pada istrinya. Bukan uang atau perhiasan, tapi sesuatu yang ia taruh dengan sengaja dalam saku celananya.
Awalnya, ia meletakkan barang-barang antik sampai puisi dalam saku celananya. Namun, setelah dirasainya barang-barang itu tak ada guna, ia mulai meletakkan sebuah cerita dalam saku celananya. Kau ingin tahu, bagaimana cara si suami ini meletakkan cerita-cerita dalam saku celananya? Melalui doa. Seperti biasa, setelah berdoa, sang suami berucap amin lalu memsukkan telapak tangannya ke dalam saku celana. Dari telapak tangan yang telah dibaluri ‘amin’ itu tadi cerita-cerita itu berasal. Sebenarnya sederhana, si suami hanya ingin mengajak istrinya bersyukur atas cinta yang telah dianugerahkan kepada mereka. Itu saja. Dan tampaknya usahanya berhasil. Beberapa minggu terakhir, sang istri menjadi lebih lembut dan manis.
Aku terperanjat ketika mendengar suara pintu depan diketuk-ketuk. Aku ling-lung, masih mendekap celanamu. Aku berdiri. Bergegas membuka pintu. Kau tampak tersenyum-senyu ketika melihatku.
“Kenapa celanaku kau bawa-bawa?” katamu mengejek.
Aku gelagapan tak tahu harus menjawab apa. Tapi, tiba-tiba kepalaku terasa pening. Perutku terasa mual.
“Kamu kenapa?” tanyamu khawatir.
“Nggak tahu, tiba-tiba kepalaku pening. Mau muntah.”
“Istirahat saja…” kau menuntunku ke dalam. Aku sempat muntah beberapa kali. Tapi anehnya, kau tampak senang melihatku gelagapan. Wajahmu tampak sumringah.
Aku merebahkan diri. Celanamu masih utuh dalam dekapanku. Sambil berbaring, aku bertanya-tanya, kenapa kau malah senang melihatku menderita, muntah-muntah? Apa ada kejutan baru? Aku kembali merogoh saku celanamu dan kudekap erat-erat.
Cerita demi cerita telah ia titipkan dalam saku celananya. Hingga ketika ia kehabisan bahan cerita, ia berinisiatif menceritakan kembali kisah mereka sendiri. Dalam kehidupan nyata, suami istri itu belum juga dikaruniai seorang putra, meski hampir empat tahun mereka berkeluarga. Tapi, dalam cerita yang sudah ia masukkan ke dalam saku celananya, cerita itu ia ubah. Tepat di usia empat tahun pernikahan mereka. Istrinya mengandung anak pertama.***
Madiun, 2010-2011

Menjemput Maut di Mogadishu (Republika, Ahad 1 Juni 2012)

Ketika Leyla memutuskan untuk mengungsi, meninggalkan kampung halamannya, perih yang melilit perutnya kian menjadi-jadi. Terlampau perihnya, hingga seluruh pandanganya terasa buram. Leyla seperti melihat ribuan kunang-kunang berlesatan mengitari kepalanya. Selanjutnya, ia menyebut kunang-kunang itu sebagai sang maut. Sang maut yang selalu menguntitnya, dan sewaktu-waktu siap megantarnya, menyusul almarhum suaminya.
Di perkampungannya, Baydhabo, hujan terakhir turun sekitar tiga tahun lalu. Tanah-tanah menguning menyisakan debu. Pepohonan meranggas dan mati. Ternak-ternak kekurangan air dan akhirnya membangkai menjadi santapan burung nasar. Pada akhirnya para penduduk lebih memilih untuk mengungsi ke kamp, di Mogadishu, daripada mati kelaparan.
Leyla terus melangkah, menggendong anaknya yang kering seperti boneka kayu.
Dari perkampungannya ia harus menempuh perjalanan sejauh 150 kolimeter dengan berjalan kaki untuk sampai di Mogadishu. Tapi itu tak masalah. Ia takkan putus harapan. Bahkan, ia tak peduli pada sang maut yang sudah sangat dekat mengintai, di atas kepalanya. Lapar memang. Dahaga memang. Terik memang. Tersengal memang. Tapi, setidaknya, jika ia harus mati, ia tidak akan mati sia-sia. Ia mati dalam jihad, jihad mempertahankan dua nyawa, nyawa anaknya yang masih lima tahun, dan nyawanya sendiri.
Bagi Leyla, Mogadishu adalah satu-satunya muara untuk mempertahan arus hidupnya yang kerontang. Konon, di Mogadishu ada kamp yang menampung orang-orang kelaparan. Di sana panitia menyediakan air, makanan, kemah, dan juga toilet. Bersama puluhan penduduk lainnya, Leyla berjalan terseok seperti pendaki gunung yang kehabisan tenaga sebelum sampai puncaknya. Sementara itu, matahari terus membara, rasanya seperti di atas kepala. Dari tubuh-tubuh pekat itu bercucuran keringat. Leyla masih berjalan tersengal. Dalam gendongannya, si kecil terus menangis menahan lapar. Di antara cucuran keringat, Leyla pun mencucurkan air mata. Asin.
Sebentar lagi sampai, Nak, bisiknya hampir tak terdengar. Di belakang punggungnya, si kecil masih terus menangis. Sudah lima kali ia menyaksikan orang-orang ambruk di tengah jalan. Seorang anak kecil menempel dalam gendongan ibunya yang meringkuk di tanah. Perempuan renta yang menggelosor di tanah membara, matanya melebar menahan lapar. Seorang lelaki tua yang memilih diam dan mati, karena sudah tidak memiliki sisa tanaga. Leyla menyaksikan semua itu, miris, tapi ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Mengingat kunang-kunang masih mengitari pengelihatannya, beberapa menit berikutnya, bisa saja ia yang ambruk, dan segeralah anaknya yang menjadi yatim piatu.
***
Leyla paham, maut bisa sangat dekat dan menjelma menjadi apa saja, termasuk lapar. Di perkampungan tempat ia tinggal, lapar telah membunuh puluhan orang, tak pandang bulu dan usia. Semenjak perang saudara tercetus, dan mesiu bisa meledak kapan saja dan di mana saja tanpa terduga, di tambah bencana kekeringan yang tak ada sudahnya, perkampungan tempat ia tinggal tak ubahnya neraka. Tak ada lagi harapan hidup di sana. Sang maut telah membaluri perkampungan itu dengan rasa kekhawatiran dan rasa lapar yang begitu mengerikan. Satu-satunya harapan hidup adalah Mogadishu.
Dengan harapan-harapan cerlang, Leyla terus menapakkan telapak kakinya yang sudah mati rasa. Tiba-tiba Leyla membayangkan, barangkali di padang mahsyar, keadaanya tidak jauh berbeda. Panas. Lapar. Dahaga. Membayangkan itu, perut Leyla kian panas melilit. Ia tak heran, jika anaknya menangis tak henti-henti. Di atas kepalanya, kunang-kunang yang ia sebut sebagai jelmaan sang maut itu masih menari-nari. Ketika mengerjapkan mata, Leyla seperti berada di sebuah tempat yang gerah dengan lampu disko yang benderang dan berkilat-kilat. Hampir saja ia ambruk oleh silaunya.
“Mogadishu, Mogadishu, kita sampai,” selintas teriakkan itu membuyarkan pikirannya. Layla seperti terbangun dari igauan.
Di sela kilauan bara matahari, sambil mengerjap-kerjapkan mata, Leyla bisa melihat, puluhan atau mungkin ratusan kemah berjajar di hadapannya. Tak seperti yang ia bayangkan. Kemah itu tak lebih bagus dari gubug tempat tinggalnya. Kemah-kemah itu menggunduk serupa rumah keong. Ranting-ranting kayu, kain dan plastik-plastik bekas tersampir sembarangan di atasnya. Leyla membayangkan, betapa panasnya berada dalam kemah keong itu. Pasti rasanya seperti dalam tungku. Tapi tak apa, di sini masih ada harapan hidup, pikirnya. 
Leyla berlari kecil, menyongsong perkemahan itu. Ia menyaksikan puluhan orang tengah meringkuk tak berdaya dalam kemah-kemah lusuh itu. Beberapa anak memainkan panci kosong di depan pintu, beberapa yang lain, mengisi panci-panci itu dengan butiran debu. Di tempat lain, Leyla menyaksikan seorang lelaki kurus tengah menggali tanah. Di sebelahnya, jasad seorang bocah terbujur, matanya mendelik, tulang dan rangka menyembul di antara kulit yang menghitam, mirip janin yang hangus. Bau tak sedang menyeruak. Lalat beterbangan. Leyla merinding, lapar benar-benar bisa lebih kejam dari yang ia bayangkan. Ia melirik anaknya yang sedang tertidur di punggungnya. Ia lega, meski hatinya sesak tak terkata.
***
Karena persediaan makanan tak lebih banyak dari warga yang kelaparan, maka, orang-orang harus mengantri untuk mendapatkan jatahnya. Mereka akan mengantri tiga hari sekali. Oh, untuk sepanci bubur, penantian tiga hari akan terasa sangat lama. Bahkan, untuk mengantri makanan itu, beberapa orang harus bertaruh nyawa. Kepala Laeyla berdenyut membayangkan itu semua. Kunang-kunang yang mengitari kepalanya kian beringas berlesatan membaluri tubuhnya. Apa aku akan segera mati, tanyanya dalam hati.
Sekilas, ia melirik anaknya yang teronggok lemas dalam pangkuannya. Leyla tahu, kenapa anak itu sudah tidak menangis lagi. Lapar membuatnya kehabisan daya, bahkan untuk menangis.  Jatahnya mengantri masih dua hari lagi, ia tak yakin anaknya bisa bertahan dari maut. Kunang-kunang yang semula berlesatan di antara kepalanya, kini berhamburan membaluri tubuh kering anaknya. Leyla paham itu alamat apa. Sambil menangis, Leyla bangkit dari duduknya. Di dekapnya bocah kecil yang kerontang itu erat-erat. Ia berlari, menyerundul antrian orang-orang yang membawa panci.
“Hei, Nyona, kau harus mengantri,” kata seorang pria kurus yang mengenakan jubah lusuh.
“Tolong, anak saya kelaparan, tolong!” Leyla memelas.
“Kita semua di sini kelaparan. Tapi tetap saja, kita harus mengindahkan peraturan. Kita semua di sini mengantri. Kau pun harus mengantri.”
“Tapi, jatah antrian saya masih dua hari lagi, saya takut…”
“Anda bukan orang pertama yang mengatakan itu,” tandas lelaki itu.
Antrian terus berjalan ke depan. Leyla merengek ke sana ke mari untuk mendapat belas kasihan. Namun, sungguh, Leyla tak menyalahkan siapapun jika pada akhirnya ia harus pasrah menyerahkan anaknya pada sang maut. Ia bukan satu-satunya orang yang mengalami itu. Leyla terhuyung meninggalkan deret antrian. Ia menatap anaknya sekali lagi. Napas anak itu terdengar ngik-ngik. Matanya membelalak dan berair. Ia menatap anaknya dengan tatapan sesal.
 Leyla tertunduk, terduduk dalam kemah yang membara. Ia menyaksikan kunang-kunang itu berputar-putar di kepala anaknya, di tubuh anaknya. Ia menatap mata lebar itu tanpa henti. Keringatnya bercucuran. Air matanya bercucuran. Jika kau harus pergi, pergilah, Nak. Mungkin di sana lebih baik. Konon, di sana ada banyak pepohonan dan sungai. Di sana tak ada matahari yang membakar. Di sana akan banyak sekali makanan. Pergilah, jika kau harus pergi, Nak.
Perlahan, Leyla menyaksikan tubuh anaknya mengejang. Perlahan, mata yang terbelalak itu mengatup. Seperti bayi yang mengantuk usai tertawa panjang. Leyla merengkuh tubuh anaknya lebih erat. Aroma kematian begitu lekat. Leyla mengguncang-guncangkan tubuh anaknya. Di dengarnya sendi-sendi kecil itu beradu, bergemeletak, seperti boneka kayu. Leyla tak percaya anaknya pernah hidup. Pernah tertawa bersamanya. Pernah memanggilnya ‘Ma’. Leyla tak bisa menahan air matanya. Ia juga heran, mengapa air matanya tak juga habis. Barangkali suatu saat, ia bisa meminumnya ketika dahaga.
***
Leyla melangkah keluar dari dalam kemah. Matahari begitu jalang. Leyla teringat pada lelaki yang beberapa waktu lalu menggali tanah untuk mengubur jasad anaknya. Tampaknya ia harus melakukan hal yang sama. Leyla mengamati tanah lapang di sekitar kemah. Ada beberapa gundukan yang ia yakini sebagai makam. Dengan sebuah sekrup yang tergeletak di dinding kemah, Leyla mulai menandai galian. Jasad anaknya yang sudah beku ia letakkan di sebelahnya. Lalat mulai menguing berdatangan. Leyla mulai menggali perlahan. Rasa lapar yang menyengat perutnya tiba-tiba hilang. Atau barangkali, ia sudah tidak memikirkannya lagi. Leyla baru tahu, bahwa ternyata, kesedihan bisa menghilangkan rasa lapar.
Leyla terus menggali, meski sendi-sendinya terasa hampir lumpuh. Dibopongnya sendiri jasad anaknya yang meranggas. Diletakkanya jasad itu di lubang galian yang tak terlalu dalam. Tanpa kafan. Tanpa apapun. Ketika Leyla meninbun jasad kering itu dengan tanah, perasaanya teraduk-aduk. Rasanya seperti tak ada lagi sesuatu yang harus ia pertahankan.
Beberapa orang hanya termangu menyaksikan Leyla berjibaku dengan debu, keringat dan air mata. Tentu ini bukan pemandangan baru. Di Baydhabo ataupun di Mogadishu sama saja, setiap orang bisa saja mati karena kelaparan. Leyla hanya harus menunggu, kapan sang maut benar-benar merengkuhnya.
Siang berjalan sangat lamban, seperti sebuah adegan kehidupan yang dilambatkan. Di depan kemahnya, Leyla terduduk lemas menggenggam sebuah panci yang tak pernah terisi. Dari sela-sela kemah yang butut itu, dari kejauhan Leyla melihat puluhan, atau mungkin ratusan orang tengah berjajar memanjang membentuk antrian. Leyla membayangkan sesuatu, bahwa sesungguhnya orang-orang itu tengah mengantri maut.
Dengan mata terpicing, Leyla terus menyaksikan antrian itu bergerak maju. Entah mengapa, Leyla tak tertarik untuk ikut mengantri, meski hari ini ia mendapat jatah antrian. Rasa lapar yang semula membakar perutnya berangsur-angsur reda. Leyla tersenyum. Ia merasa, benar-benar, bahwa tak ada lagi yang perlu ia pertahankan. Leyla terus memerhatikan antrian itu dari kejauhan. Ia membayangkan, mungkin, kini, anak dan suaminya tengah berteduh di sebuah tempat sambari menyantap nasi samin dan kurma muda.
Leyla kembali tersenyum, ketika kunang-kunang itu kembali berkelebat dan berputar-putar di atas kepalanya.***
Malang, Mei, 2012