POHON RIWAYAT (Kedaulatan Rakyat, Minggu 17 Maret 2013)



Belantara itu termazkur belantara kehidupan. Banyak pepohonan bercokol, tumbuh dan hidup di dalamnya. Mulai dari pohon yang hidup dalam hitungan hari sampai pohon yang umurnya ratusan tahun. Mulai dari pohon yang ukurannya kecil sampai pohon yang menjulang hendak menerobos langit. Mulai dari pohon yang berbau bangkai sampai pohon yang aromanya membuai. Mulai dari pohon yang buruk bentuknya sampai pohon yang elok rupanya. Mulai dari pohon yang berkhasiat sampai pohon yang menetaskan bisa. Semua pohon tumbuh dan hidup di sana. Di belantara kehidupan.
Mula-mula, Sang Hayat menumbuhkan sebuah pohon dengan kehendaknya. Pohon yang tak bisa berbuah. Pohon yang sendiri diliputi sepi. Pohon lelaki. Lantas pohon itu merajuk. Ia meminta kepada Sang Hayat supaya menumbuhkan satu pohon lagi. Supaya ada pohon lain yang bisa mendengar kemeisik daunnya. Supaya ada pohon lain yang bisa ia ajak berbagi udara. Lantas, Sang Hayat mengabulkan permohonan itu. Sang Hayat mematahkan sebuah ranting dari pohon lelaki itu lantas menumbuhkannya di tanah yang sama. Ranting kecil itu tumbuh atas iradah Sang Hayat, hingga menjulang menunaskan daun yang anggun dan menguncupkan bungga pertama yang amat jelita.
Termazkurlah pohon perempuan di belantara kehidupan untuk pertama kalinya. Pohon yang sanggup menetaskan buah. Pohon yang cintanya melimpah ruah.
Dua pohon itu terus bertumbuh. Dengan kasih cahaya yang paripurna. Dengan kasih tanah yang melimpah. Dengan kasih air yang berbulir-bulir. Dengan kasih udara yang tak terhisab jumlahnya.
Kepada cahaya, dua pohon itu berutara, “Terima kasih cahaya, kepadamulah tunas-tunas kami menari mencondongkan diri.”
Kepada tanah, dua pohon itu mendesah, “Terima kasih tanah, dari sari-patimulah kami bermula, hingga kini, kami dapat hidup dengan sempurna.”
Kepada air, dua pohon itu mendesir, “Terima kasih, air, tanpamu hidup kami akan kerontang dan dahaga dan tak berarti dan merana dan mati.”
Kepada udara, dua pohon itu berkata, “Terima kasih, udara, kami hidup dalam semesta, kami berbisik dalam semesta, dan desaumu adalah kehidupan semesta.”
Dua pohon itu terus tumbuh. Pohon perempuan terus menyerap sari pati tanah, terus menghisap air-air tanah, hingga dedaunnya kian subur menghijau, hingga bunga-bunganya mekar berseri. Dari bunga-bunga itulah menggumpal janin putik. Janin yang lambat laun membesar dan menjadi buah. Buah yang kadangkala manis rasanya. Buah yang kadangkala tak bisa matang. Buah yang kadangkala terserang hama dan membusuk.
Namun seperti apapun buah dari pohon itu, ia tetaplah buah yang memiliki biji. Biji yang mungkin akan menumbuhkan pohon-pohon baru. Dalam garis waktu, Sang Hayat telah menerakan bahwa pohon ayah dan pohon ibu tetaplah makhluk biasa yang jauh dari sempurna. Makhluk biasa yang tak akan pernah mampu melawan garis waktu. Makhluk biasa yang akan tua, mengering, dan kemudian mati dengan sendirinya. Itulah mengapa Sang Hayat menitipkan benih-benih pada pohon ibu. Benih-benih yang akan meneruskan cerita para pohon di masa mendatang.
Garis waktu telah dimulai dari titik pertama, dan akan terus berjalan, lurus menuju titik henti yang penuh teka-teki. Semenjak pohon ibu berbuah untuk pertama kalinya, kehidupan telah menjadi lebar. Dari satu benih yang terlempar ke tanah, kemudian dirawat oleh tanah hingga tumbuh menjadi kecambah, membesar, menjadi pohon dewasa, berbunga dan kemudian berbuah. Dari satu benih menjadi satu pohon. Dari satu pohon menjadi beberapa buah yang mengandung beberapa benih. Dari beberapa benih menjadi ratusan benih. Dari ratusan benih, menjadi ribuan benih. Dari ribuan benih, menjadi jutaan benih. Demikianlah riwayat pohon-pohon terus berkembang dan hidup di belantara kehidupan.
Taman kehidupan menawarkan banyak kisah dari tiap petak tanah yang berbeda. Mungkin, suatu ketika, dalam sepetak tanah yang jauh, akan kau temui pohon lelaki yang sendiri. Ia tak bisa berbunga dan tak bisa berbuah. Ia menyerap sari pati tanah seorang diri, meminum air tanah seorang diri, ia ditampar musim yang berganti-ganti, dan ia tetap hidup. Hingga garis waktu memenggal usinya, ia akan mengering, daun-daunnya berguguran, lantas ia mati. Tilas kayunya menjadi jasad yang aus dimakan rayap, atau kalau tidak ia akan ditebang dan menjadi tiang penyangga rumah, atau kalau tidak lagi, mungkin beberapa petani akan mengapaknya untuk dijadikan kayu bakar. Semerana apa pun, jika ia tahu, sebenarnya hidup pohon itu tak pernah sia-sia.
Di sebuah tempat yang lain, mungkin akan kau temukan sebuah pohon yang selalu berbunga namun tak pernah melahirkan buah. Pohon itu telah menerima apa-apa yang digariskan untuknya. Ia rela hidupnya menjadi riasan alam. Menjadi lepau, tempat persinggahan kumbang-kumbang. Mungkin sepanjang hidupnya, ia selalu menghitung musim yang berganti. Pun jika ia boleh berharap, ia akan berharap bahwa sepanjang musim menjadi musim semi. Supaya ia tetap cantik, supaya ia tak menjadi botak, supaya ia tak kesepian. Namun begitulah, alam telah menitahkan dengan sempurna, bahwa hidup memang harus ada ceritanya.
Di belantara kehidupan yang lain, mungkin akan kau temui juga sebuah pohon yang tumbuh menjulang, barangkali juga indah, namun ia tidak berbunga atau pun berbuah, ia juga bukan pohon laki-laki. Dan ia adalah pohon yang bersedih sepanjang hidupnya. Ia bersedih seperti bersedihnya seorang ibu yang tak mampu melahirkan anak-anak dari rahimnya. Maka sudi tak sudi hidupnya akan berakhir seperti pohon lelaki. Dan setelah hidupnya tumbang itulah, mungkin ia baru menyadari bahwa hidupnya tak semenyedihkan itu.
 Jauh di daratan yang lain, di atas sepetak tanah yang subur, mungkin akan temukan juga kisah sebatang pohon yang menjulang dengan buahnya yang lebat selebat-lebatnya. Ialah pohon paling ibu. Ia merawat dirinya sedemikian rupa. Ia mengatur saripati tanah yang ia makan, ia mengadar jumlah air yang ia serap. Ia bahagia sepanjang musim. Ia bahagia menunggu ribuan bunga yang menyembul dari tubuhnya. Ia menghalau setiap hama yang memasadkan. Ia mempersilakan datang setiap kumbang yang pamit mereguk madunya. Hingga ketika tiba masanya, semua bunga-bunga itu menggeliat perlahan-lahan, menjadi buah yang ranum, yang bergelantungan di setiap tangkai. Seperti ratusan bocah yang menggelendot di tangan ibunya.
“Sudah kukatkan, sedari kalian menjadi bunga. Terkadang, angin suka mempermainkan kita, erat-eratlah kalian berpegang pada tangkai ibu, agar kalian tak terlempar ke tanah sebelum masanya,” bisik pohon ibu.
Namun buah tetaplah buah seperti bocah-bocah yang telinganya berlubang di kiri-kanan. Siapa pula yang mampu menghalau angin. Jika bunga waktunya gugur, ia akan gugur. Jika buah waktunya rontok, ia akan rontok. Seperti juga dedaunan. Pun jika tiba masa panen, buah-buah itu akan di unduh oleh pemiliknya. Itulah yang kemudian disebut sebagai: merantau. Setelah matang, setiap buah akan berpisah dari pohon ibunya, dari saudara-saudaranya, dari tanah asalnya. Dan perpisahan itu adalah sebuah garis batas, bahwa cerita baru akan dimulai. Cerita yang sendiri-sendiri.
Sebiji buah akan terbawa oleh tangan atau paruh burung ke daratan jauh. Lantas ia terlempar ke tanah yang baru. Ia akan tumbuh di situ, hidup di situ, dan mungkin, berakhir di situ. Ia telah melintasi garis waktu, dan selama perjalanan ia telah belajar banyak tentang arti rindu, tentang cara mengenang, dan tentang bagaimana menghadapi kesendirian.
Bukankah setiap cerita memang akan berakhir pada kesendirian? ***
Malang, 2013

Kampung Masa Lalu (Sinar Harapan, 16 Februari 2013)





Ketika kau bersorak sorai memestakan pergantian tahun, mungkin aku masih berdiri di ambang pintu, di anatara rinai gerimis awal tahun yang tak seperti tak ada redanya. Di luar sana, mungkin kau tengah meniup terompet dan menyalakan kembang api, sedangkan aku hanya tercenung memerhatikan bagimana tahun demi tahun itu berlalu, angka demi angka berganti hingga membentuk digit yang baru. Bertahun-tahun kau pergi merantau dan tak pernah tahu apa saja yang sudah terjadi di tanah lahir kita dari tahun ke tahun.
Mungkin aku adalah satu-satunya bocah yang masih tersisa di kampung ini—yang tidak percaya pada janji-janji tanah rantau, dan mungkin kau akan menganggapku sebagai bocah kolot yang tak pernah beranjak dari ambang pintu, namun, aku tidaklah sekolot itu. Aku merekam semuanya. Setiap kejadian yang kulihat. Setiap suara yang kudengar. Dan setiap apa yang mungkin menyelinap diam-diam ke dalam kepalaku. Dan aku adalah bocah—satu-satunya bocah, dari masa silam yang masih peduli pada apa-apa yang seharusnya diingat namun telah dilupakan, yakni masa silam itu sendiri, kenangan itu sendiri. Mungkin kau akan terus berlalu melampauiku, hingga kau menyadari sesuatu, bahwa kenangan adalah satu-satunya hal yang paling berharga dari batok kepalamu.
Suatu ketika, mungkin, ketika kau mudik atau menjenguk kampung masa lalumu, kau akan kaget dan bertanya-tanya, “Ada apa dengan kampung kita? Mengapa semuanya berubah? Apa yang terjadi dengan kampung kita?” Dan  aku pun akan mulai menjabarkan setiap apa yang kau tanyakan dari masa silam, dari kenangan.
***
“Sekarang ceritakan padaku, bagaimana kini keadaan masjid tempat kita dulu mengaji saban bakda magrib?”
Masjid itu, masjid itu kini telah jauh berubah, oh mungkin bukan masjidnya yang berubah tapi orang-orang yang ada di kampung kita. Dulu, saat tiba waktu shalat, jama’ah selalu penuh. Kini, kini akan kujelentrehkan, bahwa di kampung kita mungkin sudah tak ada anak-anak ataupun orang-orang dewasa yang hapal dengan kalimah adzan. Setiap kali tiba waktu shalat, yang mengumandangkan adzan hanya seorang saja, seorang yang sama, seorang kakek-kakek yang suaranya serak dan terputus-putus. Shalat shubuh jama’ahnya hanya lima orang, Pak Kyai dan putranya, sang muadzin ditambah dua orang, Ni Salamah dan Ni Milah.  Shalat dhuhur dan ashar hanya dua orang, muadzin dan imam. Shalat magrib cukup banyak, terkadang sampai dua shaf, namun ketika isya’ keadaan akan kembali seperti subuh, hanya lima orang.
Adapun pengajian turutan juz 30, sehabis maghrib, kini sudah tidak ada lagi. Semenjak ada tivi, anak-anak kecil lebih suka nonton spongebob, para remaja dan orang tua lebih suka memelototi sinetron yang ceritanya selalu sama, tidak keruan.  Atau kalau tidak, anak-anak lebih suka nongkrong di rental PS atau warnet sampai pukul sembilan malam.
Albarzanji? Maulid diba’? Anak sekarang sudah tidak tahu apa itu albarzanji, maulid diba’. Hikayat tentang Kanjeng Nabi bukanlah sesuatu yang penting untuk mereka pelajari, tapi anehnya, mereka hapal semua lagu-lagu band sampai gaya rambut dan cara berpakaian. Tidak aneh, setiap hari mereka memang memelototi layar tivi yang segala apa ada di dalamnya.
Jadi? Ya, begitulah. Masjid kita sekarang sudah benar-benar sepi. Benar-benar ditinggal pergi. Sepi. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah.
***
“Sekarang ceritakan padaku, apa kabarnya sungai jernih di sisi kampung, yang dulu kita kerap mandi dan bermain di sana?”
Sungai itu. Lupakan sungai itu. Sungai itu kini sudah tak terjamah tangan manusia lagi. Sungai itu kini telah berubah fungsi menjadi tempat sampah. Dulu kau ingat, kita kerap memancing dan menjaring ikan di tiap lubuk yang berkedung di sungai itu. Kini, kini di sungai itu sudah tidak ada ikan lagi. Sama sekali. Ikan-ikan telah mati secara perlahan, diracun, disetrum, dicemari limbah… Sungai itu kini airnya berwarna cokelat muda, seperti susu cokelat encer, baunya busuk dan menyengat. Sampah-sampah plastik dan pempres bekas mengambang di mana-mana. Menyedihkan. 
Semenjak gadis-gadis di kampung kita berangkat kerja ke luar negeri, rumah-rumah semakin menjulang, diubin, dikeramik, diporselen, ditingkat… Sekarang takkan lagi kau temui rumah berlantai tanah seperti rumah kita dulu. Kini, setiap rumah sudah menjadi cling. Setiap rumah sudah punya sumur sendiri-sendiri, sudah punya kamar mandi sendiri-sendiri, sudah punya toilet sendiri-sendiri, sehingga mereka tak perlu bersusah payah menuruni jalan berbatu untuk sampai ke sungai. Sungai itu kini tak berguna apa-apa lagi kecuali sebagai tempat untuk melempar sampah dan pempres bekas.
Begitulah kenyataanya. Itulah sungai kita dulu, sungai tempat kita berkecipak dan bermain sepanjang hari. Kini sungai jernih itu telah mati. Telah berubah menyedihkan. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah.
***
“Sekarang ceritakan padaku, mengenai pasar yang dulu kita sering beli dawat di sana, apakah masih sama?”
Oh, pasar itu. Pasar satu-satunya yang ada di kampung kita. Sampai kini, pasar itu masih berdiri, tapi yang berjualan di sana bisa dihitung jari. Mak Yam masih berjualan di sana, dan sampai sekarang Mak Yam masih saja menjual dawat lezatnya itu dengan harga murah. Dulu, zaman kita semangkuk hanya seratus perak. Kini, sudah lima ratus perak, naik empat ratus perak. Dawatnya masih sama lezat seperti dulu, hanya saja, warung dawatnya sudah tidak terlalu laku. Dan Mak Yam, sekarang jalannya sudah tidak tegap lagi, ia terkena stroke.
Selain Mak Yam, masih ada juga Pak Arun, barang-barang yang ia jual juga masih sama: sabit, pisau, pengasah pisau, ani-ani, cangkul, terompah, sandal karet, tambang, rokok kelobot, tembakau, dan sekarang Pak Arun sudah sangat tua. Ia kerap ditemani cucunya saat berjualan. Selain Mak Yam dan Pak Arun, masih ada juga Warung Sate Pak Mul yang sekarang sudah diwariskan ke anak cucunya. Selain mereka, masih ada juga Mbak Tin, Bulik Kom, dan Mas Suhar.
Semenjak bermunculan supermarket dan minimarket, pasar-pasar menjadi semakin sepi. Para pedagang kecil banyak yang mengeluh dan akhirnya memilih untuk menyerah. Di belakang masjid sekarang sudah ada minimarket, juga di dekat lapangan bola di samping puskesmas. Di jalan besar menuju kantor kecamatan, sekarang malah sudah ditanami ruko berderet. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah. Jauh berubah.
***
“Sekarang ceritakan padaku, tentang pohon jamblang besar yang menjulang di tengah persawahan warga, yang dulu kerap kita panjat dan kita petiki buah-buahnya, apakah masih ada?”
Pohon Jamblang di tengah sawah? Ya Tuhan, pohon itu sudah lama sekali ditumbangkan, sangking lamanya bahkan aku tak ingat kapan pohon itu mulai tiada. Sawah-sawah tempat kita bermain layang-layang dan mencari belalang dulu, kini sudah diratakan dan dibangun perumahan. Pohon-pohon asam yang berderet sepanjang jalan di tepi kanal juga sudah ditumbangkan. Sekarang tempat itu menjadi sangat panas dan berdebu di musim kemarau. Semua jalan telah diaspal. Truk dan mobil-mobil mewah sekarang sudah biasa keluar masuk kampung kita.
Dan di jalanan tempat kita dulu berlarian di pagi hari, atau bermain bola di musim hujan, tak ada lagi anak-anak berani bermain di sana. Kini, di sepanjang jalan itu kerap terjadi kecelakan, tabrakan. Truk menbrak mobil. Mobil menabrak motor. Motor menabrak orang jalan. Itu semua biasa. Bahkan, pohon, pagar, dan tiang listrik pun juga ikut ditabrak. 
Jadi, kesimpulannya, pohon jamblang besar di tengah sawah itu, kini telah tamat riwayatnya beserta sawah-sawahnya. Yang ada hanya perumahan. Perumahan yang sepi dan sendiri-sendiri. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah.
***
Menjelang pergantian tahun, setiap orang akan bersorak sorai. Setiap orang akan menggelar pesta terompet dan kembang api. Setiap orang bergembira. Mereka tak sadar bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga seiring tutupnya tahun demi tahun. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah.***
Malang,  akhir 2012

P e l u k a n ()Suara Merdeka, Minggu 24 Februari 2013)



            SETIAP pagi, di depan gerbang sekolah, Hardi selalu menyaksikan adegan peluk-memeluk yang begitu menggetarkan. Pagi-pagi, sebelum masuk ke dalam kelas, Hardi selalu berdiri berlama-lama di depan gerbang sekolah, demi menghitung adegan peluk-memeluk yang ia saksikan—yang begitu indah dan ia idam-idamkan. Mata Hardi menyipit dan hampir tak berkedip mengawasi Siska dipeluk dan dicium mamanya sebelum masuk kelas. Sepulang sekolah, ia juga selalu memerhatikan bagaimana Bram meloncat-loncat setelah dipeluk kakeknya, sebelum masuk ke dalam mobil jemputan. Ia juga selalu melirik Bu Guru yang sangat suka memeluk erat-erat anaknya yang masih TK, dengan bonus kecupan di kening.
Banyak sekali adegan peluk-memeluk yang ia saksikan sepanjang hidupnya, dan ia hanya bisa menggigit jari. Membayangkan tubuhnya yang kecil dapat memeluk atau dipeluk seseorang. Hardi merasa, hidupnya sangat menderita. Selama tinggal di panti asuhan, ia tak pernah memeluk atau dipeluk siapapun. Bahkan, dalam mimpi sekali pun, Hardi tak pernah memeluk atau dipeluk siapa-siapa. Menyedihkan sekali, bukan?
            Di panti asuhan yang ia huni, untuk mendapatkan sebuah pelukan, beberapa balita harus menangis terlebih dahulu, hingga ibu pengasuh datang dan kemudian mendiamkannya dengan pelukan. Tapi Hardi sudah masuk SD, dan hampir kelas dua, ia merasa malu jikalau harus menangis. Ia terngiang kata Bu Guru di TK, setelah masuk SD seorang anak—apalagi anak laki-laki—tidak boleh menangis. Lagi pula, menangis bukan perkara mudah. Pernah sekali ia mencoba mencubit pahanya sendiri sampai merah, tapi ia tetap tidak bisa menangis. Sejak itu, Hardi bertekad, ia ingin mendapatkan pelukan dengan cara yang lain.
***
            Bila malam mulai larut, dan Hardi sudah naik ke ranjang susunnya, Hardi akan memeluk guling pesingnya berlama-lama sampai ia tertidur. Memeluk guling sebelum tidur rasanya sangat nikmat. Seperti memeluk seseorang yang sedia menemaninya sepanjang malam, ketika lampu dimatikan dan kamar menjadi gelap. Hmm, memeluk guling saja sudah begitu hangat dan nyaman, apalagi memeluk seseorang. Pasti jauh lebih hangat dan nyaman, pikirnya.
            ***
Pagi hari, sampai di sekolah, Hardi kembali menyaksikan adegan peluk-memeluk: Siska dan ibunya, Bram dan kakeknya, Bu Guru dan anaknya, dan masih banyak lagi. Hardi melongo. Keinginannya untuk memeluk dan dipeluk seseorang kian merajadi-jadi. Hingga ketika jam istrahat tiba, Hardi memutuskan untuk memeluk seseorang. Hardi akan mencari seseorang yang cukup berpengalaman untuk ia peluk. Dan Hardi sudah memutuskan, ia akan memeluk Siska atau Bram, dan kalau boleh, Bu Guru juga.
Namun, rupanya kenyataan tak semanis yang bayangkan. Ketika ia mencoba untuk memeluk Siska, Siska malah mendorongnya hingga ia terjerembab. Ketika ia mencoba memeluk Bram, Bram malah menjotosnya dan mengatainya homo. Hardi benar-benar bingung. Memeluk seseorang ternyata bukan pekerjaan yang mudah.
Tak selesai sampai di situ, setelah mendorongnya hingga jatuh, rupanya Siska masih belum puas dan melaporkan kejadian itu pada Bu Guru. Hingga Bu Guru memarahinya dan menyuruhnya berdiri di muka pintu—sambil memeluk daun pintu—selama satu jam pelajaran penuh. Teman-teman sekelas Hardi tertawa tak karuan. Hardi kian sedih, mengapa tak ada seorangpun yang sudi memahaminya.
Sambil memeluk daun pintu, Hardi terus bertanya-tanya, apakah memeluk seseorang tanpa izin termasuk perbuatan tak pantas, hingga ia dihukum sedemikian rupa—memeluk daun pintu satu jam pelajaran lamanya. Ketika jam pelajaran selesai, Bu Guru baru mempersilahkannya duduk. Kaki dan tangan Hardi terasa pegal-pegal semua setelah memeluk daun pintu yang keras, gepeng, dan hanya diam tak berperasaan, selama satu jam pelajaran penuh.
Sesampainya di rumah panti, Hardi berjanji dalam hati, akan lebih berhati-hati. Ia tak akan memeluk orang sembarangan lagi. Ia juga akan menahan sekuat mungkin perasaan ingin memeluk atau dipeluk seseorang. Sampai malam tiba, seperti malam-malam sebelumnya, Hardi akan kembali mengobati keinginannya untuk dipeluk dengan memeluk guling pesingnya. Ya, memeluk guling memang lebih aman. Bu Guling tak akan mungkin memarahinya, apalagi menyuruhnya memeluk daun pintu.
***
Esok harinya, Hardi tidak ingin lagi memerhatikan adegan peluk-memeluk di depan gerbang sekolah. Karena itu bisa membuat keinginanya untuk memeluk atau dipeluk seeorang bertambah parah. Ia akan berjalan sedikit menunduk sampai pintu depan kelas. Hardi tak mau keinginanya untuk memeluk atau dipeluk seseorang kembali menjadi malapetaka. Hardi tak berniat memeluk siapapun. Hardi tak ingin Bu Guru menyuruhnya memeluk daun pintu lagi.
***
Bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pelajaran Bahasa Indonesia.
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang perkenalan,” Bu Guru melenggang. Tiba-tiba Hardi memerhatikan lengan Bu Guru yang jenjang, juga dadanya yang lebar. Pasti mujur sekali menjadi anak Bu Guru, pikirnya. Setiap hari mendapatkan pelukan yang nyaman.
“Sekarang, mari kita menuliskan identitas kita masing-masing, mulai dari nama, alamat, tanggal lahir, hobi, dan cita-cita. Nanti akan kita bacakan satu persatu, di depan,” Bu Guru masih terus mengoceh di depan, sementara Hardi masih terbengong-bengong, membayangkan dipeluk Bu Guru.
“Hardi!” bentak Bu Guru membuyarkan khayalannya. Ia menghayalkan dipeluk Bu Guru, tapi Bu Guru malah membentaknya dan membuatnya kaget. Benar-benar tidak setimpal.
“Perhatikan!” tegas Bu Guru lagi.
Hardi mengangguk, merunduk-runduk.
“Baiklah,” Bu Guru kembali melenggang di depan kelas, “sekarang tuliskan identitas kalian, Bu Guru kasih waktu sepuluh menit.”
Serentak anak-anak mulai sibuk dengan pensil dan buku tulis masing-masing, termasuk Hardi.
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan di depan,” ujar Bu Guru setelah beberapa menit berlalu.
Di antara tiga puluh anak, Hardi selesai paling pertama. Beberapa anak mulai menyusul. Satu persatu, Bu Guru meneliti tulisan anak-anak. Bu Guru berhenti agak lama ketika membaca buku tulis milik Hardi.
“Hardi,” seru Bu Guru.
Hardi kaget. Apakah ia mendapatkan giliran pertama untuk membaca di depan kelas?
“Coba bacakan ini, hobi dan cita-cita kamu, di depan, yang keras.”
Hardi maju ke depan kelas dan mulai mengeja tulisannya sendiri. Terbata-bata.
“Nama Hardian, alamat…”
“Stop, stop, baca hobi dan cita-citanya saja,” pekik Bu Guru.
“Hobi saya…,” berhenti sejenak, “memeluk.”
Tawa-tawa anak sekelas meledak. Serentak.
“Siapa yang tertawa?” Bu Guru menggebrak meja, “ayo lanjutkan!” Bu Guru memelototi Hardi.
Dengan suara terlunta, Hardi melanjutkan bacaanya, “cita-cita saya… ingin dipeluk.”
Alunan tawa kembali menggelegar. Gempar.
“Diam!” Bu Guru kembali menggebrak meja, sebelum kembali memeloti Hardi, “Apa ini maksudnya, hobi kok aneh, memeluk, cita-citamu malah lebih aneh, dipeluk. Apa ini maksudnya? Mau melucu? Mau cari perhatian?”
Hardi mengkerut. Tak tahu di mana letak kesalahannya, sehingga Bu Guru kembali marah-marah dan memelototinya.
“Memalukan! Kecil-kecil otaknya sudah nggak jelas. Sekarang kamu Bu Guru hukum memeluk tiang di teras depan, supaya kamu tidak ngawur. Hobi sama cita-cita kok sama-sama nggak jelas. Besok harus kamu perbaiki. Harus lebih jelas. Ingat. Je-las.”
Sepulang sekolah kepala Hardi berdenyut-denyut memikirkan kata-kata Bu Guru. Ia tak paham, ‘harus lebih jelas’ yang dimaksudkan Bu Guru itu seperti apa. Sepanjang malam Hardi berpikir bagaimana memperjelas hobi dan cita-citanya. Setelah menggigit pensil sampai hampir patah barulah Hardi mengangguk-angguk. Matanya berbinar, ia akan menulis begini: hobi saya memeluk Bu Guru, dan cita-cita saya ingin dipeluk Bu Guru. Sangat jelas.
Hardi yakin, Bu Guru akan puas.
***
            Keesokan harinya, jam pelajaran Bahasa Indonesia ada di jam terakhir. Hardi tak sabar menunggu komentar Bu Guru tentang hobi dan cita-citanya yang sudah sangat jelas. Ia berkhayal lagi, setelah membaca hobi dan cita-citanya, barangkali Bu Guru akan terharu dan kemudian benar-benar memeluknya.
            Namun, seperti sebelum-sebelumnya, kenyataan memang tak pernah berpihak pada Hardi. Tak seperti yang ia bayangkan, setelah membaca hobi dan cita-citanya yang baru, Bu Guru malah semakin marah dan kembali menghukumnya. Kali ini Bu Guru menyuruhnya memeluk pohon mangga yang ada di depan ruang guru. Kata Bu Guru, sambil marah-marah, hobi itu paling tidak harus menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, atau sejelek-jeleknya bermain game. Sedangkan cita-cita lebih banyak lagi pilihanya, bisa menjadi pilot, polisi, abri, dokter, pelukis, atau petani juga boleh.
            Hardi benar-benar kesal dengan Bu Guru yang tak pernah mau memahaminya. Lepas dari itu, Bu Guru juga sudah melakukan pemaksaan terhadap dirinya. Sungguh, dalam hati kecilnya, Hardi tak pernah suka menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, apalagi bermain game. Hobinya memang memeluk. Hanya satu. Memeluk. Meski hobi itu tak pernah terlaksana dengan baik, kecuali memeluk guling, daun pintu, tiang, dan pohon mangga di depan ruang guru.
Terlebih tentang cita-cita yang ditawarkan bu guru, sama sekali tak ada yang  menggiurkan. Keinginanya cuma satu, cita-citanya cuma satu; dipeluk. Lebih jelasnya dipeluk Bu Guru. Tapi, setelah kejadian menjengkelkan itu, serta-merta cita-citanya berubah: ia ingin dipeluk siapapun yang penting bukan Bu Guru. Ia sudah terlanjur membenci Bu Guru.
***
            Sampai di rumah panti, kejengkelan Hardi terhadap Bu Guru masih belum padam. Hardi jadi berpikir, jangan-jangan, di dunia ini memang tak ada seorang pun yang benar-benar ikhlas untuk memeluk atau dipeluk orang lain, kecuali keluarganya. Buktinya, ia tak pernah melihat Siska dipeluk orang lain, kecuali mamanya atau terkadang papanya. Ia juga tak pernah menyaksikan Bram memeluk orang lain selain kakeknya. Begitu juga dengan Bu Guru, yang hanya sudi memeluk anaknya.
            Pikiran Hardi semakin ke mana-mana. Bukankah ia tinggal di panti asuhan? Tanpa ibu, tanpa ayah, tanpa keluarga yang sebenarnya. Dan itu artinya, takkan pernah ada orang yang mau untuk ia peluk atau memeluknya. Menyadari hal itu, Hardi semakin sedih. Masa iya, aku harus memeluk tubuhku sendiri, batinnya. Hatta berulang kali Hardi mencoba menyilangkan kedua tangan untuk memeluk tubuhnya sendiri, namun tetap saja, kedua tangannya tak cukup panjang untuk tubuhnya.  Bagaimanapun, seseorang memang tak pernah bisa memeluk tubuhnya sendiri, ia tetap butuh orang lain. Sampai matanya terlelap, Hardi masih bertanya-tanya, adakah seseorang yang sudi memeluknya?***
Malang, 26 Maret 2012