Di Antara Dua Pohon Angsana (Koran Tribun Jabar, Minggu, 22 Februari 2015)


Budhe baru saja meninggal, dan rumahnya yang memiliki halaman luas itu akan segera kosong—dikosongkan, lantaran Budhe tak punya anak ataupun pewaris yang sudi menempati rumah itu. Rumah kuno beratap limas itu akan segera menjadi rumah tak berpenghuni, lalu anak-anak kecil di kampung akan segera menyebutnya sebagai rumah hantu dan berlari terbirit ketika melewati halamannya di petang hari.
Dulu, sewaktu kecil, aku sering bermain di halaman rumah Budhe yang luas itu. Di sana tumbuh dua pohon Angsana yang menjulang dan berjajar secara simetris, di sebelah kiri dan sebelah kanan, hanya bersela beberapa meter saja. Bunga-bunganya yang berwarna kuning menyala dan beraroma jeruk itu, membuat anak-anak betah bermain di bawahnya. Sewaktu kecil, aku suka membayangkan bahwa dua pohon itu adalah sepasang kekasih yang dikutuk menjadi pohon karena mereka terlalu mesra. Sebuah khayalan tak berdasar yang muncul begitu saja dalam kepala mungil anak yang suka berkhayal.
Sampai sekarang, pohon itu masih utuh dan semakin menjulang. Tubuh pohon itu semakin kekar. Dahan dan cabangnya bersilang sengkarut bagai tangan-tangan yang melambai dan saling berpegangan. Dan di antara dua pohon itulah, tumbuh sebuah kisah miris tentang seorang gadis kecil yang terlunta-lunta, dan seiring waktu, kisah miris itu telah menjulang menjadi pohon baru yang mengakar-batang dalam ingatanku. Tak tertumbangkan.
Aku tak mengenal gadis kecil itu dan aku tak pernah ingin mengenalnya. Kami hanya kerap bertemu di halaman rumah Budhe, ketika ia menjajakan pecel dan opak singkongnya. Budhe suka meneriaki gadis kecil itu untuk mampir ke beranda rumahnya bila ia tampak lewat di halaman. Biasanya Budhe membeli dua sampai tiga pincuk pecel dan sebungkus opak singkong darinya. Kadang-kadang Budhe juga mentraktir kami—anak-anak yang bermain di halaman rumahnya, sebungkus opak singkong untuk bersama.
Aku pernah mencicipi pecel yang dibeli Budhe dari gadis kecil itu, dan rasanya sangat tidak enak, selain kasar lumatannya, bumbu kacangnya juga terlampau asin dan pedas. Budhe sendiri jarang menghabiskan pecel yang dibelinya, Budhe hanya meletakkan pincuk-pincuk pecel itu di meja makan, bila seharian tak ada yang menyentuhnya, Budhe akan melempar pecel yang hampir basi itu ke kandang ayam di belakang rumah.
Aku pernah bertanya pada Budhe, “Pecel itu jarang dimakan, tapi mengapa Budhe selalu membelinya, hampir setiap hari?”
Dan Budhe hanya tersenyum, lantas mulai bercerita perihal gadis kecil itu...
Gadis kecil itu namanya Maryam, ia bocah yatim piatu—bapak ibunya sudah meninggal. Ia dibesarkan oleh Bibinya, yang memiliki warung pecel di pojok pasar. Tapi begitulah, kata Budhe, Bibiya itu  adalah seorang perempuan yang judes, suka membentak dan menyuruh-nyuruh Maryam. Orang-orang satu pasar tahu semua.
Maryam berjalan keliling kampung, menjajakan pecel dan opak singkong itu, tidak lain juga karena suruhan Bibinya. Maryam berjualan sepulang sekolah sampai terkadang menjelang maghrib. Jika pecel dan opak singkongnya tidak laku, Bibinya akan marah-marah dan terkadang memukulnya. Suatu petang, Budhe pernah mendapati Maryam menangis sesenggukan di bawah pohon angsana di depan rumahnya. Ketika ditanya, Maryam bilang, bahwa ia tak berani pulang, karena pecel dan opak singkong yang dibawanya masih utuh.
Petang itu Budhe mengantar Maryam pulang setelah membeli separuh pecel dan beberapa bungkus opak singkong. Ketika Budhe mengantar Maryam pulang, Budhe bilang ke Bibinya, supaya Maryam tidak usah dimarahi. Tapi begitulah, baru beberapa langkah Budhe meninggalkan rumah itu, Budhe sudah mendengar Maryam menangis menjerit-jerit. Dan semenjak itulah, Budhe selalu membeli pecel dan opak singkong yang dijajakan Maryam, meski Budhe tak pernah memakannya.
Setelah mendengar cerita dari Budhe, aku merasa sangat kasihan kepada Maryam, hingga seringkali aku membujuk teman-teman untuk urunan membeli sebungkus opak singkong dari Maryam.
Meski kami sudah sering bertemu dan berpapasan, namun aku belum pernah berbicara dengannya. Maryam memang sangat pendiam. Senyumannya pun tampak mahal. Ia hanya akan tersenyum jika ada orang yang memanggilnya dan kemudian membeli pecel atau opak singkongnya. Kukira ia pernah dimarahi Bibinya lantaran tidak pernah tersenyum pada pelanggan, dan mungkin semenjak itu ia menjadi murah senyum pada setiap pelanggan—hanya pelanggan.
Suatu hari, ketika aku tengah bermain sepak bola bersama beberapa teman di halaman rumah Budhe, aku telah membuat kesalahan paling fatal yang tak pernah bisa kulupakan seumur hidup. Ketika tengah asik bermain sepak bola, aku melihat Maryam mengendap-endap di balik pohon angsana, ia hendak lewat tapi ragu lantaran di hadapannya beberapa bocah lelaki beringas tengah terengah-engah mengejar bola tanpa peduli pada apapun.
 Ketika aku mendapatkan bola itu, aku segera menendangnya kuat-kuat ke arah gawang (sela di antara dua pohon angsana itulah yang kami jadikan gawang), dengan sangat cepat bola itu meluncur ke sisian gawang dan menghantam bakul wadah pecel yang dipanggul Maryam. Seketika bakul wadah pecel itu pun menggelinding ke tanah, sayur dan bumbu pecel pun jatuh berserakan berbaur dengan tanah. Seketika itu kami semua terdiam. Sementara bola masih saja menggelinding ke luar halaman dan masuk ke dalam got.
Aku masih saja terdiam ketika Maryam menangis sesenggukan sambil memunguti sayuran yang sudah ruah bercampur tanah itu ke dalam bakulnya. Kami tak membantunya sama sekali. Kami hanya bengong menontonnya. Setelah Maryam membereskan barang dagangannya yang kacau, ia pulang dengan punggung terguncang-guncang. Kami semua hanya meniliknya dari belakang. Beberapa saat kemudian teman-teman menudingkan jari mereka ke arahku, semua menyalahkan aku. Detik itu aku hampir menangis, tapi kutahan. Aku sangat menyesal karena hari itu Budhe sedang pengajian dan tak pulang-pulang. Ketika semua teman-temanku balik ke rumah mereka masing-masing, baru aku berjalan lesu mengambil bola yang menggelinding ke got itu dan langsung pulang.
Aku pulang dengan wajah merah. Bahkan ketika ibu bertanya apa yang sudah terjadi, aku tak berani menjawabnya. Seharian itu aku terus dihantui rasa bersalah, aku terus memikirkan bagaimana nasib Maryam. Hingga esok harinya, ketika aku bermain kelereng di halaman rumah Budhe bersama beberapa teman, aku mendapati Maryam mengendap-endap lagi dari balik pohon angsana. Mungkin ia marah padaku. Mungkin ia takut padaku. Aku pura-pura tak melihatnya. Sejurus kemudian, kudengar suara Budhe melengking memanggilnya, Maryam segera bergegas menuju beranda rumah Bude, melewati kami, beberapa bocah lelaki yang hanya bisa menunduk dan berpura-pura sibuk membidik kelereng-kelereng mereka.
Ketika Maryam berlalu, aku meliriknya sekilas, dan dengan sangat jelas aku bisa melihat warna biru lebam di pelipisnya hingga membuat matannya sedikit menyipit. Melihat itu dadaku berdenyar cepat sekali. Seperti takut. Seperti dosa. Seperti menciut. Seperti lara. Aku pura-pura tak melihat apa pun.
Dari kejauhan, aku melihat Budhe tengah berbincang dengan Maryam, sesekali Budhe mengelus rambut Maryam. Ketika mereka memalingkan wajah ke arahku, serta merta aku kembali menunduk menekuni kelereng-kelereng di hadapanku. Setelah Maryam berlalu dari beranda rumah Budhe, Budhe melambaikan tangan ke arahku. Aku mendatangi Budhe dengan langkah gemetar dan ragu-ragu. Budhe mananyaiku ini-itu, dan aku malah menangis. Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutku adalah, “Aku tidak sengaja, sungguh aku tidak sengaja!”
  Budhe tidak menyalahkan aku, Budhe hanya menyesalkan diri Maryam yang lebam karena dipukuli Bibinya. Bagaimana pun aku tetap merasa bersalah. Sangat bersalah. Dan kesalahan itu rupanya tak pernah bisa kutebus sampai sekarang.
Setelah peristiwa itu, pada hari-hari berikutnya, aku tak pernah berani menunjukkan muka di hadapan Maryam. Jadi, ketika Maryam memasuki halaman rumah Budhe, aku memilih untuk bersembunyi di balik pohon angsana sebelah kanan, sementara Maryam, ketika ia mulai mendekati pohon angsana sebelah kiri, ia pun mulai memperlambat langkahnya. Dari balik pohon angsana sebelah kanan, aku mengintip Maryam yang mulai mengendap-endap, menelisik bocah-bocah yang bermain di hadapannya. Setelah tidak mendapatiku di sana, Maryam akan berlalu dengan tenang.
Jadi begitulah, aku dan Maryam seperti bermain kucing-kucingan di antara dua pohon angsana di halaman rumah Budhe. Lambat laun, aku merasa bahwa yang kulakukan selama ini—bersembunyi di balik pohon angsana, adalah salah satu hal konyol yang pernah ada. Mungkin Maryam juga berpikir begitu. Namun, mungkin juga tidak. Karena sampai beranjak usia remaja, Maryam masih tetap gadis yang tertutup dan pendiam. Ia seperti seorang gadis yang hidupnya sudah terlampau kelam, tanpa cahaya, sehingga ia lebih memilih untuk menenggelamkan dirinya lebih dalam lagi ketimbang membuka pintu untuk dunia luar. Entahlah, kupikir tak seorang pun tahu apa yang dipikirkan Maryam.
Begitulah, dalam kepalaku, kehidupan Maryam tak ubahnya sebuah semak di belantara kehidupan yang begitu luas tak beranah tepi. Hingga beberapa tahun lalu (ketika Budhe masih hidup), Budhe berkabar bahwa kami tak akan bisa menjumpai Maryam lagi. Karena Maryam sudah pergi menjadi TKW keluar negeri, dan meninggal di sana karena sakit—beberapa kabar mengatakan ia meninggal karena disiksa majikkannya. Ketika Budhe menyampaikan kabar itu, jenazah Maryam yang penuh lebam baru saja dipulangakan. Dan Bibinya tidak menangis, melainkan menggerutu, karena harus mengeluarkan banyak uang untuk mengurusi jenazah dan pemakaman Maryam.***
Malang, Juni 2013

Sang Penulis, Lampung Post, Minggu, 8 Februari 2015


Seseorang mengatakan, menulis itu sebuah ilmu, dan ilmu itu seperti sebuah pisau, jika tidak dipakai atau diasah, ia akan tumpul. Maka, malam ini, setelah berbulan-bulan tidak menulis, aku mencoba memulainya lagi. Dan baru saja kusadari, bahwa pisauku telah benar-benar tumpul. Banyak ide meletup-letup dalam kepalaku, seperti gelembung bubur yang mendidih di dalam periuk di atas tungku. Begitu panas dan butuh dituangkan. Namun, ini tak semudah kedengarannya.
Aku sudah duduk di depan laptop selama hampir satu jam, dan layar monitor masih putih sempurna. Hanya kursor kecil berkedip-kedip seperti mengejek. Aku jengkel dan mulai memikirkan kalimat yang menarik untuk membuka paragraph awal. Tanganku mulai bergerak, memencet tombol-tombol huruf di keyboard, suaranya sedikit berisik, seperti ketukan sepatu di ubin keramik.
Satu kalimat telah tertuang. Kubaca lagi. Berulang kali. Baru kusadari bahwa aku tak pernah menemukan kalimat pembuka yang lebih buruk dari itu. Pragraph awal dari sebuah cerita adalah hal yang sangat menentukan, tak ubahnya sebuah pintu gerbang untuk masuk ke kedalaman cerita. Jika pintu itu salah atau terkunci, pembaca takkan sudi masuk ke dalamnya, dan cerita itu pun hanya akan menjadi sebuah tulisan yang gagal. Tulisan yang ditulis oleh seorang yang mungkin saja hanya pecundang.
Aku menekan tombol backspace lama sekali, sampai deretan huruf itu hilang dan layar monitor kembali menjadi putih. Dan kursor kurang ajar itu kembali berkedip-kedip mengejekku.
Aku kembali tercenung memikirkan kalimat pembuka yang lain. Kalimat pembuka yang mungkin pantas untuk dibaca siapapun. Setelah beberapa jenak, aku tersenyum dan kembali menuliskannya seperti orang mabuk. Sebuah kalimat pembuka telah berjajar di layar putih. Kalimat pembuka itu kubaca berulang-ulang dengan bangga, hingga tiba-tiba seseorang tengah menggetok kepalaku dengan palu, aku menyadari sesuatu, kalimat pembuka itu memiliki cita rasa seperti sebuah puisi yang tidak matang. Penuh metafora tapi kering. Aku tak percaya bahwa aku yang barusan menuliskannya. Aku menghela napas. Kutekan tombol Ctrl+A dan kemudian Del. Layar bersih seperti semula.
Aku duduk bersila dan mengambil napas pelan. Menatap layar monitor yang kosong itu dengan saksama. Kursor kecil itu masih saja berkedip-kedip. Genit sekali. Barangkali ia akan terus berkedip-kedip seperti itu sampai laptop itu kehabisan baterai dan listrik mati. Aku seperti tercenung. Dan mendadak semuanya menjadi sunyi. Aku terus menatap layar putih itu dan berharap sebuah keajaiban terjadi.
Menulis memang bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Sampai-sampai kepalaku sedikit pening gara-gara memikirkan bagaimana memulai paragraph pertama. Kepalaku benar-benar pening. Dan berat. Hingga langit-langit bagai berputar. Aku memejamkan mata. Membiarkan diriku membeku dalam keheningan. Dengan begitu rasa pening di kepalaku bisa sedikit berkurang. Mungkin.
Setelah beberapa menit, dalam keheningan, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan yang bertubi-tubi dari dalam laptop, seperti suara tombol huruf yang diketuk berkali-kali dan berganti-ganti. Suaranya tak begitu nyaring, seperti dari dalam pengeras suara dengan volume terlalu kecil. Namun, mendadak di layar putih itu muncul huruf-huruf yang saling mengejar. Aku mengucek mata. Tak percaya. Tapi aku membacanya… terus membacanya…

Lelaki di depan laptop itu jengkel pada dirinya sendiri. Ia ingin menulis sesuatu namun tak pernah berhasil. Kepalanya telah menjadi pisau yang tumpul dan tak bisa digunakan untuk mengiris kata apa pun. Ia menyesal sebab lama tidak mengasah pisau itu. Kini, setiap kalimat yang ditulisnya ia rasai seperti merajam dirinya sendiri.
Lelaki itu sebenarnya punya ide bagus tentang kisah cintanya yang dikhianati, ia ingin menuliskannya, tapi ia gagal sejak kalimat pertama. Padahal kisah itu tidak terlalu rumit, hanya seorang wanita yang menolak dinikahi seorang pria yang konon pekerjaannya adalah penulis. Pekerjaan yang tak boleh tercantum dalam daftar identitas. Mengingat detik ini ia tidak berhasil memulai tulisan apapun. Ia pun mulai ragu pada dirinya sendiri dan beranggapan bahwa keputusan kekasihnya itu keputusan yang adil. Pekerjaan menulis memang tidak bisa diharapkan. Menulis memang tidak lebih mudah dari menjadi seorang buruh pabrik, pikirnya. Buktinya ia hanya terlongok di depan laptop selama berjam-jam dan tak menghasilkan apapun. Malah kepalanya yang jadi pening. Ia sadar, itu kesalahannya: ia terlalu lama tidak menggunakan pisaunya.
Lelaki itu memang tak kenal menyerahatau bebal?Ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia tak akan beranjak dari laptopnya sebelum menghasilkan sebuah tulisan, setidaknya tiga halaman. Namun begitulah, sampai detik ini ia masih bengong dan tak bisa memulai tulisannya. Ia masih saja berjibaku memilah ide-ide dan kalimat-kalimat pembuka yang menarik, yang semuanya berselengkatan dalam kepalanya.
Bagaimana kalau aku menuliskan kisah ibuku, bisiknya dalam hati. Namun ia sadar, ibunya tak pernah memiliki kisah yang menarik. Keluarganya baik-baik saja. Dan menulis sesuatu yang baik-baik saja tentu kurang menarik. Kini ia berimajinasi, ibunya gantung diri karena ayahnya selingkuh dengan bibinya. Lalu suami bibinya silih menusuk ayahnya sebab menyelingkuhi istrinya. Oh tidak, itu kisah yang rumit dan terlalu tragis, pikirnya kemudian. Ia menyerah, ia memang tak bisa mengambil ide apapun dari kisah keluarganya, alih-alih membuat kalimat pembuka yang menarik.
Setelah berpikir lagi, sedikit lama, lelaki itu lekas menyadari bahwa masalahnya bukan pada ide ataupun kalimat pembuka, tetapi pada bagaimana pisau itu bekerja dengan baik. Merajang kata-kata dan meraciknya menjadi kalimat yang lezat. Mustahil, oh mustahil, ia bahkan bingung apa yang sedang bergejolak di kepalanya. Yang jelas, semua kegalauan ini berujung pada kesalahannya sendiri: ia terlalu lama tidak menggunakan pisaunya. Kini pisau itu sudah tumpul. Dan ia baru tahu rasa.
Lihatlah! Lelaki itu hanya memelototi layar laptopnya yang kosong dengan tatapan kosong. Kosong sekosong-kosongnya. Lihatlah lelaki itu. Kau mengenalnya lebih baik dari siapapun. Pecundang itu. Lelaki itu. Yang konon adalah seorang penulis. Sang penulis.
Aku?***
Malang, 2014

Tulang Ikan di Tenggorokkan, Suara Merdeka, Minggu, 4 Januari 2015


Rumah kami dan rumah Wak Karni bersebelahan, hanya bersekat pagar beluntas setinggi pinggang dan beberapa pohon petai cina yang tak pernah berbuah. Rumah Wak Karni berlantai dua, berwarna kuning muda, dan berubin keramik, sedangkan rumah kami berlantai satu, sedikit reot, dan berubin tanah mentah. Jika ditilik secara saksama, dua rumah itu akan tampak seperti gubuk dan istana yang bersandingan. Atau seperti tahi lalat yang menempel di wajah cantik.
Di halaman rumah kami—yang berpagar beluntas itu, sama-sama menganga dua buah kolam yang telah lama kami manfaatkan untuk memelihara ikan. Sebelum pagar hidup itu membatasi rumah kami, Bapak dan Wak Karni adalah saudara sepupu yang cukup karib.
Suatu ketika, mereka bekerjasama hendak membuka sebuah usaha peternakan ikan. Bapak dan Wak Karni bahu membahu menggali tanah di halaman rumah kami. Mereka saling membantu, semua pekerjaan dikerjakan berdua, hingga dalam hitungan pekan, dua buah kubang selebar hampir delapan meter telah menganga dan siap dimanfaatkan. Satu kubang di halaman rumah kami, dan satu kubang lagi di halaman rumah Wak Karni.
Kubang itu pun segera dialiri air dari sungai irigasi yang kebetulan mengalir melintasi halaman depan rumah kami. Bapak dan Wak Karni yang mengurusnya. Benih gurami pun disebarkan di dua kolam itu, pada hari yang sama, dengan jumlah yang sama. Tiada hari bagi dua lelaki paruh baya itu kecuali berdua-duaan di pagi hari, atau di senja hari, mengelilingi dua kolam di halaman rumah sambil mengobrol ringan dan sesekali menabur-naburkan pakan ikan ke antero kolam.
Gurami-gurami yang mereka ternakkan rupanya lebih cepat tumbuh dari yang mereka perkirakan, pada tiga bulan pertama, gurami-gurami itu telah mekar sebesar telapak tangan orang dewasa. Sesekali, Bapak atau pun Wak Karni menyerok satu dua ekor bilamana kami membutuhkan lauk. Tepat dalam jangka waktu delapan bulan, gurami-gurami itu telah melebar sebesar piring dan siap untuk dipanen. Pada panen musim pertama itu, Bapak dan Wak Karni mendapatkan hasil melimpah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bahkan hasil berternak gurami itu jauh lebih menguntungkan ketimbang bertanam padi yang masa panennya 4 bulan sekali namun kerap dimakan wereng dan tikus itu. Bapak dan Wak Karni membagi hasil keuntungan itu menjadi dua. Dan berencana melanjutkan peternakan yang menguntungkan itu.
Hingga pada suatu petang, Wak Karni mendatangi rumah kami dan mengajak Bapak membicarakan sesuatu. Tiba-tiba Wak Karni mengutarakan maksudnya untuk menernak gurami secara individu, sendiri-sendiri. Entahlah, alasan apa yang menyebabkan Wak Karni mengutarakan keputusan seperti itu.
“Kita sudah cukup belajar bagaimana berternak gurami, kupikir kita sudah bisa mencobanya sendiri-sendiri. Maksudku, kita akan bisa melihat seberapa kemampuan kita masing-masing, dalam mengurus kolam dan ikan-ikan itu. Aku tidak meragukan kemampuanmu, aku hanya ingin mencoba kemampuanku sendiri, tidak apa-apa, kan? Kau tidak keberatan, kan?” kata-kata Wak Karni tampak nyanyuk dan terbata.
Bapak hanya berdehem, tentu ia tak bisa mencegah keinginan Wak Karni. Dan akhirnya mereka pun berpisah. Beternak gurami sendiri-sendiri. Setelah memutuskan kerjasamanya dengan bapak, Wak Karni melebarkan kolamnya tiga kali lipat—mengingat halaman rumahnya jauh lebih luas ketimbang halaman rumah kami. Wak Karni membayar beberapa orang untuk menggali kubang baru di halaman rumahnya, mengalirinya dengan air yang sama, dan melepaskan benih-benih ikan yang sama pada hari yang sama dan dengan jumlah yang sama per kolamnya.
Waktu pun berjalan, pekan dan bulan seolah menjelma menjadi ikan-ikan kecil yang terus tumbuh dan berenang-renang di dalam kolam kami. Bapak dan Wak Karni sudah mulai jarang berdua-duaan lagi. Sesekali mereka masih berpapasan di halaman rumah ketika tengah memberi makan ikan-ikan itu. Mereka semakin sedikit berbicara. Bulan demi bulan pun mengantarkan kami ke masa panen. Ketika ikan-ikan itu dipanen, terjadi suatu yang mengejutkan. Entah musabab apa, gurami-gurami yang dipanen di kolam Wak Karni jauh lebih kecil ketimbang gurami-gurami hasil ternakkan Bapak. Hasil panen dari satu kolam milik Bapak sama dengan hasil panen dua kolam milik Wak Karni.
  Wak Karni sempat heran dan kemudian kembali mendatangi Bapak untuk menanyakan kira-kira apa yang membuat panen guraminya kurang mulus. Tanpa menggurui, Bapak pun menjelentrehkan caranya beternak, caranya memberi pakan, memberi gizi tambahan untuk ikan-ikan, mengatur aliran air, dan sebagainya… Pada musim berikutnya benih-benih gurami pun kembali diternakkan, pada waktu yang sama, dengan jumlah yang sama. Anehnya, ketika masa panen tiba, hasil panen dari satu kolam milik kami nyaris sama dengan hasil dari tiga kolam milik Wak Karni. Wak Karni mengalami panen yang lebih buruk dari musim sebelumnya.
Entah mengapa, semenjak itu Wak Karni tak pernah lagi mengajak Bapak bicara. Konon, di warung-warung dan di pasar-pasar Wak Karni menebar desas-desus yang mengatakan bahwa Bapak telah menumpahkan guna-guna ke kolam Wak Karni sehingga panennya selalu gagal. Mendengar kabar itu Bapak hanya tersenyum simpul, dan merasa tak perlu menanggapinya. Hingga suatu pagi, ketika bapak hendak memberi makan ikan-ikan di kolam kami, bapak menemukan ratusan gurami yang belum siap panen itu telah membangkai dan mengapung di permukaan kolam seperti cendol. Beberapa gurami yang masih sekarat tampak menggelepar berputar-putar di antara ratusan bangkai lainnya sebelum terdiam dan mengapung dengan mata mendelik seperti layaknya mata ikan.
Bapak yakin sekali, seseorang telah menuang racun ke kolam kami. Karena, jika air irigasi itu beracun, tentu ikan-ikan di kolam Wak Karni mengalami hal yang sama. Betapa mendongkolnya hati Bapak ketika itu hingga ia nyaris menangis. Ratusan ikan itu adalah nyawa, dan mereka melayang sia-sia. Mau tak mau ratusan ikan itupun terbuang tanpa faedah.
“Aku tak tahu, siapa orang yang tega melakukan ini, siapa pun itu, aku telah merelakannya, biar Tuhan yang mengurus orang itu. Kedengarannya memang sangat remeh, hanya ikan-ikan, tapi ikan-ikan itu adalah nyawa yang disematkan Tuhan, manusia tak bisa melakukan itu, maka biar Tuhan saja yang mengurus orang itu,” ujar Bapak dengan mata berkilat-kilat. Ketika itu, orang-orang tengah berkerumun di tepian kolam dengan ratusan bangkai ikan itu, dan Wak Karni juga ada di sana dan ikut mengikrarkan bela sungkawa dengan wajah tertekuk.
Bapak tak pernah menuduh Wak Karni atau siapapun, tapi entah mengapa, jarak antara Bapak dan Wak Karni terasa semakin jauh. Setelah peristiwa yang menyesakkan itu, Bapak mengalami kerugian yang cukup besar hingga ia harus mengistiratkan kolamnya. Dan di belakang kami, Wak Karni kembali menebarkan desas-desus busuk bahwa peristiwa matinya ikan-ikan di kolam kami adalah hukuman dari Tuhan untuk kami. Sebagai manusia biasa, Bapak pun tak bisa terus menerus menyabarkan hatinya. Satu hal yang sangat tidak disukai Bapak dari Wak Karni adalah, ia terlalu pengecut, ia selalu menutup mulutnya rapat-rapat di hadapan kami, dan kemudian membeo keras-keras di belakang kami.
Karena tak kuasa lagi membentengi kemarahannya, suatu petang, Bapak menemui Wak Karni yang tengah memberi makan ikan-ikan di halaman rumahnya. Terjadilah adu mulut di antara mereka. Nyaris saja dua lelaki paruh baya itu saling pukul seperti bocah cilik yang rebutan mainan, kalau saja para tetangga tidak datang dan memisahkan mereka.
Esok paginya, kami mendapati istri Wak Karni tengah menancapkan ranting-ranting beluntas sebagai pagar pembatas antara rumah kami. Seiring waktu, pagar beluntas itu pun kian merimbun dan menjulang hingga setinggi pinggul orang dewasa. Wak Karni pun masih meneruskan usaha berternak guraminya. Dan kami dengar, hasil panenan Wak Karni tak pernah sebagus hasil panenan kami. Sementara itu, Bapak masih mengistirahatkan kolamnya. Hingga suatu hari, pelanggan Bapak datang dan menawarkan bantuan untuk Bapak, supaya Bapak bisa kembali memanfaatkan kolam di halaman rumah yang telah lama menganggur itu.
Tepat hari itu—ketika salah satu pelanggan Bapak datang dan bertamu ke rumah kami, kami mendengar suara ramai-ramai dari rumah sebelah, dari rumah Wak Karni. Sesekali kami mendengar tangisan dan jeritan. Sebagai kerabat yang cemas, sekaligus sebagai tetangga yang baik, kami pun berlari tanpa peduli, menerobos pagar beluntas yang menjulang memisahkan rumah kami. Di ruang tengah, di antara kerumunan orang-orang, kami mendapati Wak Karni tengah terbaring dengan suara tercekik. Wajahnya memerah dan matanya mendelik.
Kata istrinya, saat sarapan—dengan lauk lalapan gurami, beberapa jam lalu, tulang gurami tersangkut di tenggorokan Wak Karni dan tak dapat dikeluarkan. Beberapa orang mengusulkan supaya Wak Karni lekas-lekas dibawa ke rumah sakit. Namun, sebelum tubuh Wak Karni yang lemas itu dibopong ke dalam mobil, Wak Karni telah menghembuskan napas terakhirnya. Istri Wak karni pingsan dan anak-anaknya menjerit tak karuan. Tak seorang pun menganggap itu masuk akal. Bagaimana mungkin setangkai tulang ikan dapat merenggut nyawa seseorang.
Sementara itu, Bapak hanya bungkam, matanya redup namun berkilat-kilat serupa cermin retak. Mata Wak Karni yang mendelik itu mengingatkan Bapak pada mata ratusan ikan yang mengapung di kolamnya beberapa waktu silam.***
Malang, 2014