Ladang Ubi (Kedaulatan Rakyat, Minggu, 28 Agustus 2016 )





Ini adalah sebuah ladang di mana rumput-rumput liar mencuat di antara pagar hidup, di antara semak ubi jalar dan bonggol-bonggol jagung yang siap panen. Udara dingin dan lembab. Lima ekor kambing menunduk, seperti mesin penyedot ajaib yang dengan cepat menipiskan rumput-rumput yang tebal.
Gadis itu duduk di bawah pohon Ki Hujan yang batangnya licin berlumut. Ia menyelempangkan jarit motif batik di lehernya seperti mengenakan sebuah syal. Sementara tangannya tak henti-henti mengetukkan sebatang bambu kurus sepanjang  satu meter ke sebuah batu yang meringkuk mirip cangkang penyu. Tanpa sebatang bambu kurus itu, tangannya seperti kehilangan daya. Sebatang bambu  itu biasa ia gunakan untuk menghalau kambing-kambing yang serampangan meyerobot ladang orang.
“Sudah lama?” suara berat seorang lelaki mengagetkannya. Lelaki itu mengenakan celana panjang yang dipotong serampangan sebatas lutut, kepalanya tertutup topi polos berwarna cokelat—mungkin warna aslinya putih. Satu tangannya menggenggam alat penyabit rumput dan satu tangannya yang lain mencangking karung kosong.
“Lumayan,” gadis itu menoleh sebelum pandangannya kembali ke kambing-kambing.
Lelaki itu duduk di sebelah si gadis. Terdiam di situ. Angin awal musim hujan berhembus sekilas, menggugurkan daun-daun Ki Hujan yang mungil mirip potongan-potongan kertas yang disemburatkan di pesta-pesta.
Bagi gadis itu, sejak awal, tempat ini sudah sangat asing. Namun, ia bertekad untuk tetap bernapas, meski hari-harinya terperangkap di antara ladang dan kandang, di antara basah rumput dan udara dingin yang terus memagut.
Ketika usianya menapak tujuh tahun, ketika ia tak mengerti akan banyak hal, seorang kerabat jauh yang tak punya anak membawanya ke tempat ini. Ibunya menyerahkannya begitu saja, seperti menyerahkan baju usang yang tak dipakai. Ketika ia mengingat kejadian itu, ia selalu menyalahkan ibunya, ia membenci ibunya, meski di relung hatinya yang lain, ia sangat merindui ibunya. Juga adik-adiknya. Juga kampung halaman yang pelan-pelan mulai lenyap dari ingatannya. Kerabat jauh itu mengatakan, bahwa ia akan disekolahkan dan dianggap sebagai anak sendiri. Bocah perempuan istimewa yang akan selalu ia jaga. Si kerabat jauh bersumpah atas itu. Hingga ibunya melepasnya. Namun, tahun-tahun dan kejadian berkata lain. Si kerabat jauh malah pergi, menyusul mati dua lelaki yang pernah ia nikahi dan tak pernah memberinya bayi. Dan meninggalkan gadis itu untuk hidup sendiri.
Terkadang, gadis itu berpikir, kerbat jauh datang dan mengambilnya hanya untuk satu: memasukannya ke dalam lubang kutukan. Semenjak kematian si kerabat jauh, gadis itu hidup menumpang dan jadi benalu di rumah kerabat dari kerabat jauh. Bertahun-tahun ia menjadi babu kecil yang harus mengerjakan ini itu, sementara bocah-bocah lain pergi untuk belajar di sekolah. Dan beberapa tahun terakhir ini, ia malah beralih menjadi pengurus ternak. Ia harus menerima itu, sebagai balas budi karena ia telah diberi makan dan tempat tidur.
Kini usianya telah 16 tahun. Betapa banyak hal-hal tak lumrah yang ia lewati di tanah asing ini. Rasanya, tak seorang pun peduli padanya. Hanya beberapa lelaki yang meliriknya lantaran tubuh yang mulai mekar dan paras yang menumbuhkan bibit-bibit jelita. Satu-satunya orang yang peduli padanya, melakukan banyak hal dengan tulus padanya, hanya lelaki itu. Lelaki yang kini duduk di sampingnya. Sama-sama pengurus ternak.
“Bukankah seharusnya kau mulai merumput, keranjangmu masih kosong,” bisik gadis itu tanpa mengalihkan tatapannya dari kambing-kambing.
“Entah kenapa, hari ini aku malas sekali,” balas lelaki itu.
“Kalau kau malas, kambing-kambingmu akan mati kelaparan.”
“Tidak juga, rumput kemarin masih separuh lebih.”
“Lalu kenapa mau repot-repot pergi ke lading?.”
“Menemanimu.”
“Kambing-kambing itu sudah menemaniku. Mereka lumayan setia dan tak macam-macam.”
Lelaki itu tak menimpali, matanya turut menerawang ke kambing-kambing yang bagai tak pernah kenyang itu. Keduanya hening sejenak. Di kejauhan, di cakrawala yang hening, mendung berakak.
“Entah kenapa pagi ini begitu murung?” gumam lelaki itu seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku sudah terbiasa, aku sudah banyak melewati tahun-tahun yang murung.” Tak usah diceritakan, lelaki itu tahu dengan baik.
Kambing-kambing berjalan bergeser mendekati ladang ubi, mereka mulai mencokot daun-daun ubi muda itu dengan tergesa.
“Kambingmu!” pekik lelaki itu.
Dengan sigap, gadis itu berdiri dan menghalau kambing-kambing itu dengan tongkat bambu kurus di tangannya, “syuh... syuh... jangan makan yang bukan hakmu.”
“Itu yang kau bilang teman setia, suka menyerobot ladang orang,” pekik lelaki itu lagi.
“Mereka hanya kambing,” balas gadis itu sambari berjalan kembali ke bawah pokok kaki Ki Hujan, “mereka kan cuma kambing,” ulangnya, “lagipula mereka mudah diatur kok!”
“Kau memang ahlinya mengatur kambing.”
“Sayangnya, bahkan aku tak bisa mengatur hidupku sendiri,” ujar gadis itu tiba-tiba tampak sedih.
“Eh, di lereng jalan menuju sungai, kulihat rumputnya gemuk-gemuk, sebaiknya kau ke sana,” ujar gadis itu lagi.
“Sudah kubilang aku sedang malas merumput.”
“Ya sudah, terserah.”
Keduanya hening sejenak.
“Mmm… apa suatu saat nanti kau akan pergi dari kampung ini?” Tiba-tiba lelaki itu bertanya, membuat si gadis mengernyitkan dahi.
“Tentu saja, aku harus. Aku sudah mulai menabung untuk mencari jalan pulang. Aku tak sekolah, aku tak pandai membaca. Dan karena itu, aku butuh uang yang banyak untuk sampai ke kampong halamanku.”
Lelaki itu tampak semakin murung.
“Kenapa kau tanyakan itu?” gadis itu balik bertanya.
“Tidak. Aku hanya ingin mendatangi tempat lain. Meski aku lahir di kampung ini, tapi menurutku kampung ini terlalu terpencil, terlalu sunyi, dan terlalu dingin.”
“Kau aneh,” timpal si gadis.
“Aneh kenapa?”
“Ya, aneh, Orang kan harusnya merasa tenang kalau berada di kampung lahir mereka. Kampung lahir itu seperti ibu. Seperti rumah. Orang-orang ingin pulang ke pangkuan ibu, ingin balik ke rumah, dan kau malah ingin pergi. Kan aneh?”
Betapa tak ada yang memahami. Tak pula ada yang ingin menyampaikan, bahwa lelaki itu hanya tak ingin jauh dari gadis itu. Lelaki itu tahu betul, semenjak mengenal gadis itu, gadis itu tak pernah bahagia. Ia hidup seperti sebuah mesin yang tak henti-henti bekerja. Ia seperti bukan manusia. Sampai-sampai, hatinya seperti kebas dari getar-getar dan perasaan yang hangat Lelaki itu hanya ingin membuatnya bahagia. Ia hanya ingin membawanya pergi dari kampung ini. Kampung asing yang tak penah ingin didatangi gadis itu. Ia rela membahagiakan gadis itu, bahkan jika ia harus pergi meninggalkan kampung ibu. Lelaki itu hanya, tak bisa mengutarakannya.
“Apa kau pernah jatuh cinta?” lirih lelaki itu lagi.
Gadis itu seperti tak mendengar apapun, ia hanya terus memandangi kambing-kambing. Dunia gadis itu hanya ladang dan kandang, hanya rumput dan udara dingin yang memagut. Baginya,  ‘jatuh cinta’ adalah kata-kata yang datang dari dunia lain. Jauh. Asing. Serupa kampung yang mendekam dan terhimpit bukit ini.***
Malang, 2016

Kisah Sepotong Pai (Media Indonesia, Minggu 4 Agustus 2016)



Tas plastik putih bertuliskan nama toko roti itu tergeletak lunglai di tepi trotoar. Ada bekas goresan tipis yang cukup membuat tas plastik itu nyaris koyak menjadi dua. Di dalam tas plastik yang bagai tercabik itu ada sebuah kardus mungil yang sudah penyok. Dalam kardus penyok itu ada sepotong pai. Sepotong pai kacang—yang juga sudah bonyok. Tak berbentuk lagi. Kardus penyok itu sedikit basah di bagian atas. Mungkin karena lelehan saus atau gula atau mentega.
Sepotong pai yang tersesat dan tak lagi memiliki tuan. Sepotong pai yang kehilangan takdirnya sebagai pai lezat yang seharusnya karam dengan bahagia di lambung seorang bocah. Sepotong pai yang menyedihkan.
Dan aku tahu persis bagaimana perjalanan sepotong pai yang pada akhirnya bertakdir menjadi sepotong pai yang menyedihkan itu. Apa kau ingin mendengarnya? Jika kau memang ingin mendengarnya, maka simaklah kisahku ini baik-baik…
Ia adalah seorang lelaki paruh baya. Seorang suami yang setia. Seorang ayah yang begitu mencintai dan dicintai anak-anaknya. Lelaki itu tidak gemuk. Nyaris kerempeng. Sebagian rambutnya sudah beruban. Dan seragam batiknya kedodoroan. Ia adalah seorang guru SD. Bukan PNS, mungkin semacam guru honorer, atau entah apa sebutan yang tepat. Tapi kalau kau ingin tahu, gajinya lima ratus ribu sebulan. Dengan tunjangan-tunjangan entah yang diberikan setiap akhir tahun. Baginya itu sudah lumayan, sekitar lima belas tahun lalu, saat pertama kali mengajar, gajinya cuma tujuh puluh lima ribu. Tapi zaman memang berbeda, tujuh puluh lima ribu barangkali cukup banyak lima belas tahun lalu. Lagi pula, waktu itu ia masih bujangan. Jadi, cukup-cukup saja untuk hidup sehari-hari.
Siang, sepulang mengajar, atau pada hari libur, ia membuka lapak tambal ban di depan rumah sambil berjualan bensin eceran. Lumayan untuk menambal kekurangan ini-itu dari gaji lima ratus ribu sebulan. Kau pasti tahu, uang lima ratus ribu sebulan tak akan cukup untuk memenuhi tetek bengek kebutuhan empat kepala, dirinya sendiri, istrinya, dan dua bocah yang sudah mulai masuk playgroup dan SD. Jadi, lapak tambal ban itu harus tetap buka sebagai penambal kebutuhan ini-itu yang masih lubang-lubang. Bagaimanapun ia satu-satunya tulang punggung. Istrinya tidak bekerja, hanya seorang ibu rumah tangga yang manut nunut kata suami. Tidak suka neko-neko. Cukup di rumah, mengurus rumah, mengurus anak, dan tersenyum sambil menyuguhkan teh tubruk saat suami pulang kerja.
  Lalu, apa hubungan pak guru nyaris kerempeng dengan perjalanan sepotong pai yang menyedihkan itu? Percayalah, kisah ini masih belum selesai. Jadi, tetaplah kau simak baik-baik…
Sudah lima hari ini, bocah bungsu lelaki itu terbaring di dipan. Badannya panas. Tidak mau makan apa pun. Setiap kali perutnya dimasuki makanan, setiap kali itu pula akan dikeluarkan lagi. Hingga badan bocah tiga tahun itu tampak semakin kurus. Kalau bergerak tangannya gemetar hebat. Kalau siang hanya terbaring di dipan dengan tatapan kosong. Kalau malam suhu badannya semakin tinggi sehingga ia merengek dan mengigau sepanjang malam. Dua hari lalu ia sudah membawa bocah itu periksa ke puskesmas. Kata Pak Mantri, bocah itu hanya menderita demam biasa. Disuruh banyak istirahat, harus mau makan nasi meski sesuap, juga banyak makan buah sebagai asupan vitamin. Serta jangan lupa minum obat tiga kali sehari sesudah makan. Hampir semua perintah Pak Mantri sudah dilakukan, tapi demam bocah itu tak juga turun.
Lelaki itu sudah membelikan aneka buah, supaya perut bocah itu terisi sesuatu. Bahkan lelaki itu sudah membeli buah yang jarang ia beli seperti pir dan apel. Harganya memang sedikit mahal, tapi tak masalah asalkan bocah itu mau makan. Sayangnya, bocah itu lebih memilih menangis ketimbang memakan sesuatu. Tetangga bilang, sepertinya bocah itu terkena tifus. Mereka menyarankan membawa bocah itu ke dokter anak yang praktik di rumah sakit anu dan buka pada pukul anu. Tapi konon, sekali periksa biayanya di atas seratus ribu, belum termasuk obat yang harus ditebus di apotek. Para tetangga bilang, dokter itu memang sudah sangat berpengalaman. Banyak yang cocok. Tapi begitulah, bagi lelaki itu, biaya periksanya sama sekali tidak cocok.
Istrinya bilang, uang bulanan tinggal seratus lima puluh ribu. Lelaki itu pun memeriksa dompetnya, tinggal selembar lima puluh ribuan dengan beberapa lembar uang dua ribuan kumal. Sekarang masih tanggal 20, gajian masih sepuluh hari lagi. Sudah hampir seminggu pula ia tidak buka lapak lantaran bocah sakit itu. Duit semakin tipis, dan kebutuhan terus membukit. Buat beli lauk pauk, kulakan bensin, pulsa, bahkan listrik bulan ini belum sempat dibayar. Meski demikian, setiap kali mendekati bocah yang tengah terbaring itu, lelaki itu selalu bertanya, Adik mau makan apa? Mau soto ayam? Mau sate kambing? Anggur? Atau dibikinkan mie goreng? dan bocah itu hanya menggeleng dan menggeleng, membuat lelaki itu semakin cemas. Hingga siang tadi, di sekolah, ia melihat salah seorang muridnya tengah lahap menyantap sepotong pai bekal dari rumah. Ia ingat, anaknya yang kedua itu suka sekali dengan pai. Tanpa ragu sedikitpun, ia berjanji, sepulang sekolah ia akan mampir ke toko kue untuk membeli satu atau dua potong pai istimema. Bocah itu pasti mau memakannya. Bocah itu pasti akan suka.
Maka, sepulang mengajar, ia tidak langsung pulang. Ia memutar haluan menuju pasar kecamatan. Kata temannya, di sana ada toko roti yang buka sampai malam.  Katanya pula, di sana ada aneka macam pai. Tak kurang dari dua puluh menit, lelaki sampai di toko roti yang dimaksud. Di sana memang menjual aneka macam kue dan roti. Termasuk pai. Ada berbagai macam pai di sana. Ada pai susu, pai apel, kismis, serta pai kacang. Ia pun berpikir, pai yang mana kira-kira yang paling disukai anaknya. Selama ini ia tak tahu kalau kue pai itu banyak macamnya. Dan semuanya kelihatan lezat, sampai ia harus menlan ludah beberapa kali.
Maka, setelah berpikir beberapa jenak, ia pun memutuskan untuk membeli sepotong pai pai kacang. Ia hanya membeli sepotong setelah tahu harganya lumayan mahal. Sepotong pai kacang dengan aroma gurih kacang serta mentega yang menggugah selera. Bocah itu pasti akan menyukainya, pikirnya.
Sepotong pai itu pun diletakkan pelan-pelan ke dalam kardus oleh pelayan toko, sebelum dimasukkan ke dalam tas plastik putih yang baru diambil dari lipatan. Lelaki itu membayarnya. Dua belas ribu untuk sepotong pai. Ia tak ingat pernah membeli sepotong kue dengan harga seperti itu. Tapi harga itu tentu tidak seberapa dibanding kelegaan yang akan ia dapat saat ia melihat bocahnya menggigit pai itu dengan gegas sebelum minum obat nanti.
Lelaki itu menggantungkan tas plastik putih itu dengan hati-hati di gantungan bawah setang motornya. Dalam perjalanan pulang, tak henti-henti ia tersenyum sambil memandangi tas plastik yang bergoyang-goyang di setang motornya karena jalanan berlubang dan polisi tidur. Sedikit saja tas plastik itu miring, ia akan membenarkan letaknya. Ia tak mau sepotong pai cantik itu rusak oleh guncangan-guncangan. Sepanjang perjalanan pulang, wajah bocahnya yang sedang menggigit pai terus membayang. Hmm. Makan yang lahap, ya, Nak. Minum obat yang teratur. Biar lekas sembuh. Biar bisa tersenyum lagi. Biar bisa main lagi.
Saat bayangan bocah yang menggigit pai itu tampak begitu nyata, berkelebat di pelupuk matanya, tiba-tiba suara klakson memekik nyaring. Seolah menombak kedua telinganya. Ada suara decitan. Ada suara benturan. Ada suara sesuatu yang roboh dengan hebat. Dan ada sebuah tas plastik putih yang terlempar dari gantungan lalu terseret lalu terbentur, sebelum akhirnya tergeletak lunglai di tepi trotoar. Sebuah kardus penyok. Sepotong pai di dalamnya bonyok.
Dadaku sesak dan aku hampir menangis ketika melihat tas plastik itu, kardus penyok itu, serta sepotong pai yang sudah pasti tak lagi berbentuk itu. Bayangan wajah bocah yang menggigit pai itu berkelebat. Wajah itu berubah menjadi wajah bocah yang menangis. Aku pun ikut menangis, lebih-lebih ketika menatap seonggok tubuh tergeletak tak bergerak, tak jauh dari tas plastik koyak itu. Seonggok tubuh itu tergeletak begitu pasrah. Begitu lelah. Tubuh dan wajahnya berlumur merah. Dan begitulah pada akhirnya sepotong pai itu harus menerima takdirnya sebagai sepotong pai yang menyedihkan.
Demikianlah kisah sepotong pai yang menyedihkan itu. Aku sudah menceritakannya dengan jelas. Dan aku harus segera pulang, anak keduaku sedang sakit di rumah. Sudah lima hari ini. Dia susah sekali disuruh makan. Sebab itu aku membawakan makanan kesukaanya: sepotong pai. Pai kacang.***
Malang, 2016

PARCEL (Tabloid Nova, edisi Lebaran 2016)




Setiap kali lebaran tiba, perempuan itu selalu mendapat kiriman tiga buah parcel yang sama. Parcel pertama berisi aneka biscuit, sirup, dan beberapa makanan kecil—yang seolah tak akan habis untuk ia kudap sampai lebaran tahun depan. Parcel kedua, berisi selusin toples dan beberapa cangkir porselin lengkap dengan tekonya. Sedangkan parcel ketiga, berisi mukena, sajadah, dan beberapa pakaian siap pakai dengan merek terkenal. Baginya, tiga parcel itu tak ubahnya ornamen-ornamen kesunyian, yang terpajang di sudut ruang tamu dan lemari, yang membuat hawa semakin beku.
Perempuan itu punya tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan, yang laki-laki jadi tentara dan jarang pulang—bahkan saat lebaran, sedangkan dua anak perempuannya semuanya sudah menikah dan mengikuti suami masing-masing. Mereka akan pulang hanya jika suami-suami mereka mengizinkan. Tiga parcel itu dari mereka. Perempuan itu seringkali mengingat-ingat kapan terakhir ia berkumpul dengan anak-anak dan cucu-cucunya, dan itu adalah tiga tahun lalu, ketika suaminya (bapak dari anak-anak dan kakek dari cucu-cucunya) meninggal.  Dan mungkin anak-anak akan bisa berkumpul lagi ketika nanti tiba gilirannya masuk ke lahad, menyusul suaminya. Entahlah.
Anak-anak tinggal di pulau jauh di seberang lautan, dan sebab itulah ia lebih mengedepankan pemakluman daripada ego kerinduannya sebagai orang tua. Setidaknya, ia masih bisa tersenyum, karena anak-anak tak lupa menelpon dan bertanya kabar setiap bulan, atau berkirim parcel setiap tahun.
Begitulah perempuan itu membohongi dirinya sendiri, ia tahu, jauh di kedalaman hatinya, acap kali ia merasa sebagai orang tua yang malang dan dianggap tidak penting oleh anak-anaknya. Bagaimana pun orang tua tetaplah orang tua, jarak bukanlah sesuatu berarti. Apalagi sekarang sudah jamannya pesawat terbang, yang bisa melintas dari pulau ke pulau hanya dalam waktu kurang dari satu hari. Atau mungkin, orang tua dan anak-anak memang punya dimensi dunia yang berbeda, di mana nuansa kasih dan kerinduan juga berbeda. Di dunia anak-anak, mungkin kerinduan tak setebal di dunia orang tua. Namun, apapun itu, ia selalu siap menerima kemungkinan terburuk—anak-anaknya tidak akan datang, dan hanya mengirimkan parcel seperti sebelum-sebelumnya.
Dengan hati yang redam ia terus memandangi cangkir-cangkir dan beberapa pakaian dalam lemari—semua adalah hasil dari kiriman parcel yang sama, di tahun-tahun sebelumnya. Semuanya berjajar dan terlipat rapi, persis seperti ornamen-ornamen yang tak berpaedah apapun kecuali menguarkan nuansa kesunyian yang begitu palung. Demi memikirkan itu, ia acap menitikan air mata sambil terduduk di kursi rotan di ruang depan seraya melempar pandang jauh keluar jendela. Sedangkan foto-foto keluarga yang bercengkerama di dinding-dinding itu, tak ubahnya benda-benda jahat yang selalu mentertawainya dan mempecundanginya.
Ia akan tersenyum dan kemudian mengusap air matanya setelah mengingat bahwa para tetangga dan bocah-bocah mungil mereka tak pernah alpa menengok rumahnya yang besar lagi senyap itu. Di saat-saat seperti itu ia berpikir bahwa memiliki tetangga yang banyak akan jauh lebih menentramkan ketimbang memiliki anak yang banyak. Dan lagi, Tuhan tentu tak akan menyuruh hambaNya untuk menghormati para tetangga sedemikian rupa kecuali karena alasan yang sangat istimewa. Ia sering mengibaratkan, jika di rumahmu terjadi kebakaran, maka orang pertama yang akan membantumu memadamkan air bukanlah anak atau saudaramu yang ada di seberang jauh, melainkan para tetangga di sebelah kanan-kiri rumah.
Jadi, sebenarnya ia tak perlu sesedih itu kalaupun lebaran kali ini anak-anaknya tidak pulang seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Toh ia masih punya para tetangga yang begitu peduli. Dan anak-anak tetangga yang manis-manis itu sudah ia anggap seperti cucu-cucu sendiri, yang akan selalu ia selipkan angpau di tangan-tangan mungil mereka ketika mereka berdatangan dan bersalaman di pagi lebaran. Ia tersnyum lagi dengan mata yang masih sembab. Lebaran tinggal beberapa lagi, batinnya.
Belum lagi usai dari lamunannya, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Mungkin anak-anak tetangga yang disuruh ibunya mengantarkan nastar atau kue kering. Jelang lebaran seperti ini, para tetangga memang suka saling antar makanan dan kue dari satu rumah ke rumah yang lain, itulah salah satu alasan kuat mengapa ia tak mau pindah ke kota untuk tinggal di perumahan anaknya yang bertingkat dan berteralis seperti penjara. Tiga tahun lalu, genap tujuh hari selepas meninggalnya si bapak, si sulung—yang seorang tentara, pernah memintanya untuk turut serta ke kota dan tinggal bersama menantu dan cucu-cucunya, tapi ia menolak. Dua anaknya yang lain juga menawarinya hal serupa, tapi tetap saja ia tak sudi meninggalkan rumah warisan moyangnya yang sudah terlampau ia cintai itu.
Ia bergegas membuka pintu, dan ia salah, yang datang bukanlah anak tetangga, melainkan lelaki berseragam yang mengantarkan parcel. Parcel pertama. Dari anak pertama. Ia meminta petugas pengantar barang itu untuk meletakkan parcel setinggi satu meter itu di sudut ruang tamu, seperti tahun-tahun sebelumnya. Selepas pengantar barang itu pergi, ia menghela napas tuanya dengan berat. Anak lelakinya kini menjelma menjadi sebuah parcel yang bisu dan tak mampu mengobati apapun, termasuk kerinduan. Dan dua anaknya yang lain juga akan segera menyusul—menjelmakan wujudnya menjadi parcel. Ia pasrah dan mencoba tetap tersenyum.
Dua parcel yang lain—dari kedua anaknya yang lain, datang tiga hari jelang lebaran. Genap sudah. Tiga parcel itu terpajang di sudut ruang tamu. Utuh. Belum terbuka sedikitpun. Dan biasanya, anak-anaknya akan segera menelpon untuk menanyakan apakah parcel kiriman mereka sudah datang—alih-alih menanyakan bagaimana perasaan ibu mereka yang selalu berlebaran dengan sekantung parcel. Dan begitulah, pada malam lebaran, setelah beri’tikaf di masjid sampai menjelang subuh, ia akan selalu melangkah pulang dengan air mata yang tak bisa ia tahan. Ia sendiri bingung, apakah ia menangis lantaran alunan takbir yang syahdu itu, atau menangis karena memikirkan dan merindukan anak-anaknya.
Sesampainya di rumah, ia akan terduduk di kursi rotan ruang depan—masih mengenakan mukenanya—sambil  memandang tiga parcel di sudut ruang berlama-lama. Itulah wujud ketiga anaknya sekarang. Haruskan ia memeluk dan menciumi parcel-parcel itu dan mengatakan: lebaran kali ini ibu memaafkan kalian, sama seperti lebaran-lebaran sebelumnya dan lebaran-lebaran yang akan datang. Pada detik itu juga, ia memohon ampun kepada Tuhan jika semua perasaan yang ia pelihara selama ini adalah salah. Bagaimanapun ia sangat mencintai anak-anaknya. Maka, untuk ke sekian kalinya ia berpasrah, jika Dia berkehendak mendatangkan anak-anak yang teramat dirindukannya itu, tentu Dia akan mendatangkan anak-anak itu dengan cara-Nya. Dan selepas itu ia tertidur sampai takbir jelang sholat id memabangunkannya.
***
Pada pagi lebaran, jauh di tiga tempat yang berbeda, tiga orang anak mendapatkan kiriman sebuah paket yang misterius. Tergeletak di depan pintu, tanpa nama pengirim. Ketika masing-masing dari mereka membukanya, yang mereka dapati hanya sebuah kardus besar yang kosong. Melompong. Dan entah mengapa, seperti tersaput sihir, tiba-tiba saja batin mereka dihinggapi kesunyian yang teramat sangat, seakan-akan tak ada lagi kesunyian yang lebih sunyi dari itu. Dan kesunyian itu mendadak membuat mereka rindu pada hangat pangkuan ibu mereka, seperti ketika mereka kecil.
Pada hari itu juga mereka memesan tiket pesawat paling cepat (kendati mahalnya berlipat-lipat) dan segera terbang ke rumah masa lalu mereka, untuk bersimpuh dan mencium kaki ibu mereka. Dan mereka hanya bisa bertangisan, ketika suara takbir dari televisi di ruang tengah besahut-sahutan menghampiri cuping mereka.***
Malang, 2014