Rumah Rayap, Lampung Post, Minggu, 15 Mei 2016




Rumah kami adalah rumah yang terhimpit jalan raya, selokan kecil, dan rel kereta api. Tidak lebar. Tidak bertingkat. Dan tidak bersertifikat. Dindingnya adalah potongan-potongan papan, seng, kardus, dan plafon rusak yang ditempel sembarangan. Terikat kawat di sana-sini. Tiangnya bambu gelondongan yang sudah totol-totol dimakan kutu. Lantainya masih tanah—yang akan berdebu di musim kemarau dan akan becek di musim hujan. Atapnya, masih sejenis dengan dinding, potongan-potongan seng dan plafon rusak yang disampirkan sekenanya.
            Rumah kami adalah rumah yang berdesak-desak. Bersebelahan dengan tempat sampah. Tak ada sofa. Tak ada meja. Tapi ada lemari alakadarnya. Tak ada kipas. Tak ada kulkas. Tapi ada tivi yang tombolnya sudah mengelupas. Tak ada taman. Tak ada kamar. Tapi ada kakus yang harumnya na’udzubillah. Tempat duduknya adalah lincak, bekas papan yang dipaku sana-sini dan diberi empat kaki. Ranjangnya ranjang soak, gratisan dari pasar loak. Tapi kasurnya beli, meski sekarang sudah menggumpal dan harus dijemur seminggu sekali.
            Itulah rumah kami. Rumah yang menyempal-nyempal macam rumah rayap. Rumah yang berselengkatan macam kapal pecah. Tak elok dipandang mata. Tak sedap diraba rasa. Tapi, meski bagaimanapun, rumah itu adalah rumah kami. Rumah yang layak kami cintai. Rumah yang layak kami pertahankan, dari apa saja dan siapa saja yang hendak merobohkannya, termasuk dari serbuan binatang kecil bernama rayap.
***
Mengingat rumah kami bersebelahan dengan tempat sampah dan masih beralas tanah, sasejujurnya, rumah kami memang tak cukup aman dari aneka macam binatang, khususnya rayap tanah. Kupikir hanya satpol PP saja yang berminat meruntuhkan rumah kami. Tapi tidak. Rumah kami yang sudah reot itu rupanya diminati juga oleh rayap tanah. Dan rayap-rayap tanah itu benar-benar keras kepala. Menyerbu tak pandang musim. Musim kemarau beranak pinak. Musim hujan kian merebak.
Rayap-rayap itu menyembul dari lubang-lubang tanah yang tak penah kami perhatikan keberadaanya. Berbondong-bondong. Rayap-rayap itu membangun rumah di mana-mana, di kaki ranjang, di kosen pintu, di punggung lemari, di papan dinding, di balik tumpukan kardus, bahkan di atap rumah.
Kami sudah bosan mengusir rayap-rayap itu. Kami pernah membakarnya dengan oncor. Tapi ia tetap saja kembali dan membuat rumah yang baru. Kami juga pernah meracuninya dengan minyak tanah yang sekarang sudah langka itu. Tapi tetap saja, tak mempan. Kapur semut, kapur barus, semprotan anti serangga, daun pandan, semua sudah kami coba, tapi rayap-rayap itu selalu muncul lagi dan lagi.
Lambat laun, rayap-rayap itu sudah seperti serdadu yang menyeramkan. Setiap hari tinggal dan tidur satu atap dengan kami. Menggerogoti tiang, kaki ranjang, lincak, kardus, bahkan koran-koran bekas yang susah payah kami kumpulkan dari jalan ke jalan dan hendak kami jual kembali.
Rayap-rayap itu benar-benar keterlaluan. Tapi, sebagai pemilik rumah, sebagai tuan, kami akan selalu menang melawan rayap. Meski pada akhirnya, semua akan berlakon seperti komidi putar. Di mana pun rayap-rayap itu membangun rumah, kami tak mau kalah. Kami akan terus menggempurnya. Menghancurkannya. Mereka membangun lagi. Kami menggempurnya lagi. Mereka membangun lagi. Kami menggempur lagi. Begitulah. Berputar-putar. Seperti komidi putar.
Kami tak tahu apakah rayap punya jiwa pantang menyerah, yang jelas kami dibuatnya terengah-engah. Kian kami basmi, rayap-rayap itu kian merajalela. Bahkan secara terang-terangan, mereka berani membangun rumah di atas tanah, di depan mata kepala kami, di tempat kami berwira-wiri. Serbuk tanah itu dibuatnya menggumpal, berdiri condong kesana-kemari, bercabang-cabang seperti ornamen ranting pohon. Tak bosan-bosan kami menendangnya. Membuatnya remuk. Membuatnya hancur. Tapi, malam hari, ketika kami tinggal tidur, paginya, rumah rayap itu kembali bermunculan, seperti kecambah di musim hujan.
Pada akhirnya, sadar atau tidak sadar, kami telah menyerah. Mungkin ada sesuatu yang harus kami tiru dari tabiat rayap: pantang menyerah.
Dan selanjutnya, yang terjadi, rumah-rumah rayap itu akan terus menyempal di rumah kami. Di atas tanah yang kami huni. Tapi, kami tak sudi lagi merusak rumah-rumah mungil itu, kami sudah lelah, kecuali, jika rayap-rayap itu sudah benar-benar mengancam keberadaan rumah kami.
***
Cerita yang sejujurnya adalah, rayap-rayap raksasa itulah yang lebih kami cemaskan keberadaannya. Rumah ini pernah rebah tujuh kali oleh penggusuran. Katanya, untuk pelebaran jalan raya, demi kenyamanan pengguna jalan. Katanya juga, kami—para penduduk yang menghuni tanah sempit selama puluhan tahun ini, tak memiliki sertifikat yang sah. Jadi, tanah yang mungkin sudah dibabat dan dirawat nenek moyang kami ini adalah tanah milik pemerintah. Entahlah. Kami memang tak pernah makan bangku sekolah. Dan orang yang tak pernah makan bangku sekolah memang berpotensi untuk dijajah.
            Sudah puluhan kali kami berdemo, membawa spanduk dengan kata-kata yang kami sendiri terkadang tak paham artinya. Dan yang terjadi adalah sama, seperti komidi putar. Rumah kami kembali dibuldoser tanpa ampun. Hancur. Rata dengan tanah. Tapi, tak perlu menunggu waktu. Dalam hitungan minggu kami sudah membuat rumah itu kembali berdiri. Meski compang-camping, menggunduk di sana-sini, seperti kemah.
            Lambat laun pemerintah akan lupa, atau mungkin lelah dan sengaja membiarkan. Maka, rumah kami berdiri lagi. Menyempal-nyempal lagi. Dan kami kembali hidup seperti sedia kala. Membuka tambal ban di pinggir jalan. Membuka warteg murahan. Berjualan cilok dan tempura. Menjadi buruh cuci. Mengasong. Memulung. Mengemis… hingga kabar pelebaran jalan itu kembali menjewer telinga kami.
Penyakit pelebaran jalan itu kambuh lagi. Kami harus berdemo lagi. Menenteng-nenteng spanduk dan tutup panci lagi. Satpol PP datang berbondong-bondong lagi. Buldoser mengerami rumah kami lagi. Rumah kami hancur lagi. Kami menangis lagi. Kami bangkit lagi. Mengais-ngais lagi. Membangun rumah dari kardus lagi. Memulai dari awal lagi. Begitulah. Berputar-putar. Seperti komidi putar. Dan kami selalu memerankan tokoh yang memar.
***
             
Bagaimanapun, rayap tetaplah rayap. Dan sebagaimana layaknya rayap, kami tak pernah peduli pada ulah manusia yang selalu menghancurkan rumah-rumah kami. Jumlah kami puluhan, ratusan atau bahkan ribuan. Setelah rumah kami hancur, kami akan berbondong-bondong lagi untuk mendirikan rumah yang baru lagi. ***
Malang, 2013

Penglihatan, Kompas, Minggu, 17 April 2016





 Aroma napas ibu berwarna seperti akar rumput yang baru dicabut dari tanah basah. Mirip aroma rempah yang segar.
Ibu telah menjelaskan puluhan kali. Bahkan mungkin ratusan kali. Dengan napas aroma akar rumput basah yang sama. Bahwa aku terlahir sempurna. Tubuh dan indraku utuh, tidak ada yang cuwil atau rompal. Tidak ada yang panjang sebelah ataupun kecil sebelah. Semua sempurna. Bahkan sepasang mata ini. Sepasang mata ini. Orang bilang aku buta. Tapi ibu bilang, aku hanya melihat dengan cara berbeda. Melihat dengan cara berbeda. Itu saja.
Anak-anak lain suka bertanya, apakah yang aku lihat hanya gelap? Gelap itu artinya berwarna hitam. Tak ada cahaya. Kata mereka, gelap itu seperti ketika kau memejamkan mata. Ketika kau memejamkan mata, maka kau takkan dapat melihat. Seperti itulah aku. Seperti itulah orang buta. Mungkin aku tak paham seperti yang mereka paham. Seperti apa warna gelap. Seperti apa warna hitam. Ketika aku memejamkan mata, sama rasanya dengan ketika ibu mematikan lampu saat aku disuruh berangkat tidur. Setelah terdengar bunyi klik—tanda lampu dimatikan, semua hanya menjadi sedikit berbeda. Seperti itulah gelap. Gelap hanya sedikit berbeda dengan tidak gelap.
Barangkali gelap mereka memang berbeda dengan gelapku. Namun, seperti mereka, aku pun masih bisa merasakan kehadiran cahaya. Aku masih bisa merasakan sesuatu yang disebut ‘silau’ oleh mereka. Suatu pagi, ibu pernah membawaku ke taman, dan menyuruhku mendongak. Sesuatu yang hangat, yang bukan tangan ibu, mulai meraba wajahku. Sesuatu yang megah dan seperti hendak memelukku. Aku nyaris terperenyak.
“Itu matahari, Sayang. Cahayanya hangat dan agung, raja di siang hari,” ucap ibu. Aku tahu, ibu juga mendongak. Aroma akar rumput basah itu menyebar ke langit. Beberapa titik  jatuh ke wajahku.
Pada malam yang dialiri angin yang lembut seperti satin, ibu juga membawaku ke halaman rumah. Ia juga menyuruhku mendongak. Tak ada usapan hangat. Tapi aku merasakan sesuatu yang lembut mengaliri wajahku. Megah sekaligus ramah.
“Itu rembulan, Sayang. Cahayanya anggun dan redup, ratu di malam hari,” telisik ibu. Angin satin itu membawa aroma akar rumput basah milik ibu ke mana-mana.
Sejak ibu mengenalkanku pada matahari dan rembulan—aku lupa kapan, tapi itu sudah lama sekali, aku telah bisa membedakan gelap dan terang dengan sangat gamblang. Gelap adalah ketika kau sendiri. Dan terang adalah ketika sesuatu yang megah membersamaimu. Dan hal itu: cahaya, membuatku lebih mudah mengayunkan langkah.
Aku berjalan dengan meraba cahaya, menyelisik suara, dan membaui aroma. Dan bagiku, itu tak ada kesulitan sama sekali. Tak ada kesulitan sama sekali. Aku tetap bisa melihat, hanya dengan cara berbeda, seperti kata ibu. Aku melihat ibu dengan meraba wajahnya dan menyelisik suaranya. Hingga dapat kubayangkan wajah ibu dalam benakku. Begitu terang. Begitu jelas. Suara ibu renyah. Renyah itu seperti ketika kau makan kerupuk yang baru diambil dari dalam toples. Renyah itu tegas tapi lembut. Mirip suara ‘krap’. Seperti itulah suara ibu.
Ibu adalah satu-satunya kawan dekatku yang paling dekat. Setelah ibu, baru ada Lukas dan Elias yang sudi berkawan denganku. Yang lain juga berkawan, tapi tidak terlalu dekat. Dekat artinya, mereka sering meluangkan waktu bersamaku dan suka mengajakku bercakap-cakap. Ibu, Lukas, dan Elias, suka melakukan itu. Sebab itu, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa Lukas dan Elias akan tetap jadi kawanku sampai kapanpun. Tapi Lukas dan Elias punya kebiasaan buruk, mereka suka datang mengendap-endap. Padahal ibu tak pernah memarahi mereka. Tapi mereka tetap saja suka datang mengendap-endap.
Ketika ibu tengah sibuk dengan pekerjaan di dalam rumah. Biasanya Lukas dan Elias muncul dan mengajakku bermain di halaman rumah. Di sana ada dua ayunan. Aku duduk di ayunan yang satu, sedangkan Lukas dan Elias duduk di ayunan yang lain. Mereka bilang di halaman rumahku banyak bunga. Ibuku memang suka sekali dengan bunga. Ada mawar. Melati yang merambat ke tiang teras. Ada juga kamboja dan bougenvil dalam pot. Lukas dan Elias menjelaskan bahwa bunga-bunga itu bermacam-macam warna. Ada banyak warnanya.
“Mawar itu merah, melati itu putih, kamboja merah muda, bougenvil putih dan merah muda, tapi merah mudanya berbeda dengan merah muda kamboja,” ujar Lukas.
“Kalau daunnya, hampir semua berwarna hijau,” Elias turut menjelaskan.
Aku hanya berterima kasih dan lalu tersenyum, melebarkan sudut bibir ke kiri dan ke kanan. Kata ibu, begitulah cara orang tersenyum. Aku bisa membayangkan dengan mudah seperti apa bentuk mawar, melati, kamboja, dan bougenvil, meski aku tak begitu paham dengan warna-warna mereka.
Ibu, Lukas, dan Elias mengamati warna dengan mata kasat mereka. Sedangkan aku mengamati warna dengan caraku sendiri. Merah seperti aroma garam dan karat. Seperti aroma darah. Kata ibu darah berwarna merah. Meski aku tahu, mawar punya aroma yang khas—orang-orang menyebtnya harum, tapi bagiku warna mawar seperti garam dan karat. Dan mawar berduri, jariku pernah tertusuk duri bunga itu. Mengeluarkan darah. Darah yang beraroma seperti garam dan karat. Garam dan karat.
Adapun warna melati seperti rasa pahit dan sepat. Warna kamboja seperti serbuk minuman yang dituang ke dalam gelas. Warna bougenvil seperti sobekan kertas. Dan warna daun-daun seperti puding cincau yang mendidih dalam panci. Sekali lagi, aku berbicara tentang warna, bukan aroma. Bagiku warna adalah bentuk. Merah adalah bentuk. Putih adalah bentuk. Merah muda dan hijau juga sebuah bentuk. Barangkali itulah yang disebut ibu sebagai ‘melihat dengan cara berbeda’. Melihat dengan cara berbeda.
Suatu malam, di usiaku yang ke sepuluh, kami duduk mengitari meja makan. Aku dan ibu duduk bersebelahan. Ayah duduk di seberang. Aku tidak terlalu dekat dengan ayah. Tapi aku bisa membayangkan wajah ayah dari suaranya yang keras seperti dahan patah, juga aroma napasnya yang dingin seperti udara yang menyambar ketika kulkas dibuka. Aku pernah meraba wajah ayah, hampir sama dengan wajah ibu dan wajahku. Hanya saja wajah ayah kasar di beberapa bagian. Menurut ibu, itu sisa kumis dan jenggot yang dipangkas. Itu adalah salah satu tanda bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki dan perempuan berbeda.
Ayah bekerja sebagai pejabat negara. Kata ibu, ayah orang penting. Ayah dekat dengan presiden. Dan sebab itu, ayah jarang sekali tinggal di rumah. Ayah sering pergi ke ibu kota. Dan bahkan keluar negeri. Aku dan ibu sudah terbiasa ditinggalkan ayah. Sebenarnya, di rumah kami ada dua orang pelayan, yang satu namanya No, ia bekerja merawat taman. Dan yang satu namanya Tik, ia bagian mengurusi pekerjaan rumah. Tapi menjelang  petang mereka selalu pulang. Dan aku tak begitu suka dengan mereka. Mereka jarang berkata-kata, dan seringkali, aroma mereka yang satu seperti tanah becek dan yang satu seperti kain terbakar. Tapi bagaimanapun, mereka sudah berbaik hati sudi membantu ibu sampai petang. Jadi aku tetap menghormati mereka.
Kami masih mengitari meja makan, ketika ayah menyampaikan, bahwa sebentar lagi, aku akan bisa melihat. Melihat dengan cara yang sama, persis seperti ayah dan ibu melihat. Seperti Lukas dan Elias melihat. Kata ayah, itu hadiah ulang tahunku yang ke sepuluh. Hadiah yang takkan pernah kulupakan. Ayah berbicara soal donor mata. Yang kutahu, donor itu semacam pemberian. Berarti pemberian mata. Dan ibu menyinggung soal operasi. Yang kutahu, operasi itu pekerjaan yang berhubungan dengan pisau, dokter bedah, dan kesembuhan seseorang.
Sepertinya pembicaraan ayah dan ibu akan berlangsung lama. Sebab itu, setelah makan malam, ibu mengantarku cuci muka, cuci kaki, sikat gigi, dan lalu tidur. Klik. Lampu dimatikan. Klek. Pintu ditutup dari luar. Seketika, dalam benakku muncul bentuk-bentuk yang beterbangan. Warna-warna, aroma-aroma, dan cahaya yang berlompatan. Ketika itu, tiba-tiba Lukas dan Elias datang. Seperti biasa, mereka datang diam-diam. Barangkali mereka memanjat jendela. Kata Lukas, mereka sempat menguping soal hadiah ulang tahun itu. Soal aku akan bisa melihat dengan cara yang sama. Melihat dengan cara yang sama.
“Akan lebih baik kalau kau tidak menerima hadiah itu,” desis Lukas.
“Betul,” sahut Elias, “hampir semua penglihatan manusia adalah anak panah iblis yang dilesatkan. Dan itu akan menikam dirimu sendiri. Sudah banyak buktinya.”
“Lagi pula, sebagian besar manusia memiliki wajah dan sosok yang menyeramkan dan kadang menjijikkan untuk dilihat. Kau pasti akan ketakutan.”
“Dan seringkali mereka mendesis seperti ular derik. Berisik dan mencelakai orang.”
“Akan banyak sekali hal di dunia ini yang tak ingin kau lihat nantinya. Percayalah, kau takkan suka melihat dengan cara yang sama.”
Aku hanya menyimak ucapan mereka. Dengan rasa ngeri yang mulai melata.
“Tapi semua terserah padamu,” singkat Lukas.
“Ya, keputusan tetap ada di tanganmu,” Elias menambahkan.
Malam itu, Lukas dan Elias pamit setelah kukatakan bahwa aku harus segera tidur. Sejujurnya, aku mulai bosan dan menganggap mereka hanya menakut-nakutiku. Setelah aku bisa melihat seperti yang lain, tentu akan semakin banyak anak yang mau berkawan denganku. Pasti Lukas dan Elias cemas akan hal itu. Padahal aku sudah bersumpah, sampai kapanpun, mereka akan tetap jadi kawan dekatku. Sampai kapanpun.
Setelah malam itu, Lukas dan Elias masih datang sesekali untuk mengingatkan soal pengelihatan manusia yang kata mereka mengerikan itu. Sampai ayah dan ibu benar-benar membawaku ke rumah sakit untuk hadiah istimewa itu. Ketika aku sampai di rumah sakit, cahaya berlesatan di hadapanku. Aroma-aroma membaur menjadi satu. Warna-warna beradu. Juga suara Lukas dan Elias yang terus mengiang sayup di telingaku. Hingga aku seperti tertidur. Tidak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama, ketika aku terbangun, sebagian kepalaku sudah dibaluti kain panjang dan pipih. Setelah beberapa hari, ketika kain itu dibuka, perlahan, mataku segera mengerjap. Cahaya mendekap tubuhku. Seperti kain raksasa yang meringkusku. Dan semua menjadi begitu berbeda. Ibu bertanya, apakah aku bisa melihat? Apakah aku merasa silau? Aku hanya tersenyum lebar. Ibu menciumku. Wajah ibu persis seperti yang kubayangkan selama ini. Persis. Namun aroma akar rumput basah itu lenyap entah kemana.
Dan aku merasa sangat girang bisa melihat begitu banyak binatang berkeliaran. Berbaur dengan manusia. Aku tahu itu binatang karena mereka memiliki moncong. Semacam bibir yang menjorok ke depan. Ibu pernah bercerita, bahwa salah satu berpedaan fisik antara manusia dan binatang adalah pada moncongnya. Bahkan bebek dan ikan lele sekalipun memiliki moncong. Sungguh, aku merasa takjub dengan dunia baruku.
Aku tidak sabar untuk mengucapkan terima kasih pada ayah yang telah menghadiahiku sebuah pengelihatan. Sebuah dunia baru. Aku dan ibu telah menunggu ayah di depan pintu setelah beberapa hari ayah pergi ke luar kota seperti biasanya. Ketika ayah keluar dari mobil, aku baru tahu bahwa ayah juga memiliki moncong. Ayah juga memiliki moncong. Tiba-tiba aku teringat kata Lukas dan Elias. Namun entah mengapa, semenjak aku memiliki pengelihatan yang sama, Lukas dan Elias tak pernah muncul lagi. Mereka menghilang.
Ketika aku bertanya pada ibu perihal Lukas dan Elias, ibu menjawab enteng. Kata ibu, Lukas dan Elias hanya sepasang anjing kembar milik tetangga sebelah. Anjing kembar yang suka keluyuran ke halaman rumah kami. ***
Madiun,  Desember 2015

Keluarga Kiwir, Radar Surabaya, Minggu, 21 Februari 2016



Cerita sinting dan tak masuk akal ini bermula dari sebuah rumah sempit yang dihuni lima kepala: seorang ayah bernama Kiwir, seorang ibu bernama Sini, dan tiga orang anaknya—satu  laki-laki dan dua perempuan. Anak pertama, laki-laki, namanya Dikin, anak kedua perempuan, namanya Srinthil, dan anak ketiga yang paling bontot, juga perempuan, namanya Minthil.
Kiwir dan Sini sudah lama sekali mendambakan cucu, maka ketika tiga anaknya beranjak dewasa, Kiwir sudah mulai merancang dan mencarikan jodoh buat anak-anaknya. Dikin, anak pertamanya, membuka lapak kecil tambal ban di dekat pasar. Selain menambal ban, Dikin juga menjual bensin eceran dan stiker. Jika orderan sedang sepi, malam-malam, dengan sembunyi-sembunyi, Dikin suka melempar puluhan paku payung di sepanjang jalan yang membentang sampai depan kiosnya. Dikin membuka lapaknya mulai jam tujuh pagi dan tutup jam lima sore. Kalau malam Dikin suka kelayapan ke tempat biliyard, atau ke pos ronda di pojok pasar—yang kalau malam sering digunakan para begundal untuk nongkrong, bermain gitar, kartu, atau sekadar minum-minum.
Sebenarnya Kiwir sudah menjodohkan Dikin dengan Lilik, anak gadis Mak Iyah yang berjualan nasi pecel di depan pasar, tapi Dikin menolak mentah-mentah, katanya Lilik terlalu gembrot dan item. Sebenarnya Dikin sendiri sudah lama menaruh hati pada Sari, tapi apa boleh buat, sekarang Sari sudah dipersunting oleh seorang guru madrasah yang konon lulusan pesantren. Diam-diam, Dikin patah hati dan kemudian melampiaskannya dengan cara nongkrong dan minum-minum. Kini usia Dikin sudah hampir tiga puluh delapan, dan ia masih tetap jadi begundal yang tidak bisa diatur. Kiwir sudah bosan membujuk anak laki-lakinya, Kiwir pasrah, terserah Dikin mau berbuat apa yang penting kalau siang ia masih sudi membuka lapaknya dan sesekali membelikan bapaknya rokok.
Pupus sudah harapan Kiwir dan Sini untuk mendapatkan cucu dari Dikin. Tapi tidak masalah, kenyataannya anak laki-laki memang lebih susah diatur ketimbang anak perempuan. Maka harapan untuk mendapatkan cucu yang berikutnya jatuh kepada Srinthil. Srinthil adalah anak gadis yang penurut meski tampangnya memang mendekam di bawah garis rata-rata. Srinthil juga pinter masak dan bersih-bersih rumah. Paling tidak, Srinthil sudah punya bekal lumayan untuk menjadi seorang istri atau ibu.
“Apa kabar anak laki-lakimu? Apa ia sudah menikah?” Begitulah Kiwir bertanya pada setiap rekannya sesama pengayuh becak. Kalau rekannya menjawab sudah, maka Kiwir akan berkata lagi, “Aku punya anak gadis yang rajin dan penurut, kalau kau punya teman yang punya anak bujang, coba tolong tanyakan, siapa tahu jodohnya Srinthil.”
Sudah lima kali Kiwir mempertemukan anak gadisnya dengan keluarga para bujang, namun begitulah, semuanya gagal, yang dua orang terang-terangan mengatakan tidak, yang seorang mengatakan belum siap, dan yang dua orang lagi, dengan tutur yang gamang menjawab: kami akan memikirkannya lagi. Dan semua itu terjadi setelah para bujang itu melihat paras Srinthil yang dipenuhi jerawat batu yang membuat pipinya lebih mirip makadam.
Harapan Kiwir dan Sini untuk mendapatkan cucu dari Srinthil nyaris putus, hingga datanglah rekannya—yang sesama tukang becak—ke rumah Kiwir dengan seorang pemuda berpakaian satpam lengkap. Pemuda itu mengaku bernama Gatot, bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik kertas. Melihat paras Gatot yang biasa-biasa dan bahkan jauh dari kata tampan, Kiwir tersenyum lega, “yang ini tampaknya cocok.”
Tak perlu menunggu waktu, dua keluarga pun dipertemukan, setelah berembung kesana-kemari, pada akhirnya, dua keluarga mengucapkan kalimah sepakat, yang artinya, Gatot dan Srinthil akan segera dinikahkan. Kiwir dan Sini menumpahkan kebahagiaanya dengan mengundang orkes dangdut koplo semalam suntuk, di pesta pernikahan anaknya. Semua berjalan lancar dan meriah. Namun, rupanya, Kiwir tetap tak bisa berbuat apa-apa, setelah berkalang bulan menikah Srinthil tidak juga hamil.
Segala macam cara sudah dilakukan Kiwir, mulai dari mencarikan obat kuat untuk Gatot dan Srinthil, supaya mereka terus berjuang tanpa putus asa. Kiwir juga sudah mendatangi dukun sampai berkunjung ke tempat-tempat keramat. Namun tetap saja, nihil. Srinthil tak juga hamil. Waktu berlalu begitu saja, tak terasa pernikahan Srinthil sudah menginjak tahun ke lima, dan perut Srinthil tak kunjung melendung. Kiwir pasarah.
Harapan untuk mendapatkan cucu dari Srinthil tampaknya akan muspra juga, seperti harapannya pada Dikin. Melihat keluarganya begitu sepi tanpa kehadiran anak kecil, Sini, sang istri, malah jatuh sakit. Setelah diperiksakan ternyata terserang stroke. Kiwir semakin pusing. Ia merasa bahwa Tuhan sengaja mempermainkan hidupnya. Meski demikian, harapan Kiwir dan Sini untuk mendapatkan cucu tetap menyala meski sedikit redup. Dan begitulah, sesuatu yang tak terduga bisa datang kapan saja dalam kehidupan siapa saja. Setelah harapan mereka untuk mendapatkan cucu nyaris padam, pada suatu malam, Minthil—anak perempuan mereka yang paling bontot, mendatangi bapak ibunya sambil sesenggukan dan berkata, “Pak, Mak, aku hamil.”
Kiwir dan Sini tak tahu, apakah itu kabar gembira atau malapetaka. Anak perempuan yang menikah baik-baik dan memiliki suami baik-baik tak kunjung hamil meski ditunggu bertahun-tahun, nah ini, anak perempuan yang baru lulus SMP tiba-tiba lapor bahwa ia tengah hamil. Celakanya lagi, Minthil tak pernah mau mengatakan, siapa lelaki yang menghamilinya. Mengingat paras Minthil lebih jernih ketimbang kakaknya, sangat patut kalau ada laki-laki berminat pada Minthil. Tapi siapa lelaki itu? Tidak bisakah ia meminta Minthil dengan cara baik-baik?
Menerima kenyataan bahwa anak perempuanya telah hamil tanpa suami, penyakit Sini kian menjadi-jadi, setelah stroke, kini Sini mengidap stress. Sini belum siap untuk menerima gunjingan dari warga sekitar. Kiwir juga sudah berusaha kesana kemari, bahkan ia nekat meminjam uang di pegadaian untuk membayar orang supaya mau bersandiwara untuk dinikahkan dengan Minthil. Tapi usaha Kiwir nol, tak ada satu lelaki pun yang sudi menikah dengan perempuan yang sudah hamil duluan, bahkan meski ia dibayar.
Semakin bulan, perut Minthil semakin melendung, satu-satunya cara untuk memperkecil rasa malu mereka adalah mengurung Minthil di dalam rumah, setidaknya sampai anaknya lahir, atau sampai keajaiban lain datang.
Hari-hari memang berlalu sangat cepat, kandungan Minthil sudah mengijak bulan ke sembilan. Dan bayi yang dikandung Minthil lahir tepat sembilan bulan kurang tiga belas hari. Karena muka Kiwir dan keluarganya masih saja dihantui rasa malu, Kiwir lebih memilih untuk mendatangkan dukun bayi ketimbang membawa Minthil ke rumah sakit. Setidaknya, ia bisa membayar dukun bayi itu untuk mengarang cerita jika ada orang bertanya siapa sebenarnya ayah dari anak Minthil.
Sampai bayi laki-laki Minthil melek dan merengek-rengek, Minthil sendiri masih setia membungkam mulutya. Dikin, Srinthil, Sini, semuanya terus-terusan mendesak Minthil untuk mengatakan siapa ayah dari bayinya. Hampir setiap hari, selama sembilan bulan, mereka terus melemparkan pertanyaan basi itu. Satu-satunya orang yang tak pernah memaksakan kehendak pada Minthil adalah Kiwir, sebagai kepala keluarga, Kiwir merasa bahwa ia harus mengemukakan pendapat yang paling bijak dengan selalu mengatakan, “Sudahlah, kalau ia tak mau mengatakannya jangan dipaksa, mungkin ia masih trauma karena diperkosa, ibarat nasi kini, sudah menjadi bubur, jadi kita harus terima… lagi pula sudah lama bukan kita mendambakan cucu?”
Minthil selalu menelan ludahnya yang sepat setiap kali mendengar bapaknya berbicara seperti itu. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bingung, tak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada anaknya jika kelak anaknya sudah besar. Minthil menghela napas berat, membayangkan ia harus berlari seumur hidup, berlari dari sebuah kenyataan bahwa ayah dan kakek dari anaknya adalah orang yang sama.***
Malang, 2013

Rumah Pulang, Tribun Jabar, Minggu 25 Januari 2016





Semenjak kakek dan nenek meninggal, rumah itu menjadi semakin sunyi. Dan kesunyian itu, seakan memiliki wujud seperti asap yang terus menyebar, mencari jalan keluar. Asap itu seolah menguap dari dinding-dinging, atap-atap, lantai, kursi-kursi, ranjang, lemari, serta sebuah sumur tua yang selalu menganga dan tak pernah kenyang melahap daun-daun kering serta bangkai-bangkai serangga ke dalamnya. 
Halaman belakang rumah kakek berhadapan langsung dengan area pemakaman kampung, hanya berbatas sebuah pagar berupa pohon jarak setinggi pinggul orang dewasa. Ketika melihat pohon-pohon jarak yang berderet itu, aku seperti melihat sebuah pembatas antara riuh dan sepi, antara petang dan pagi, antara hidup dan mati. Kakek dan nenek juga dimakamkan di pemakaman itu. Bahkan nisan-nisan dari kuburan mereka terlihat jelas dari halaman belakang rumah. Seperti dua buah tangan yang menyembul dari dalam tanah dan melambai-lambai.
Tahun-tahun menggeliat, dan  bayangan tentang halaman belakang rumah itu tak pernah berubah. Sebuah sumur dengan timba menggantung di ambang liang. Sebuah ruang mandi yang sangat sederhana, yang tak memilki atap dan pintu, kecuali sebuah kelambu—yang dibikin dari kain sarung yang sudah tidak dipakai dan disampirkan alakadarnya di palangan kayu. Di teritisnya, dua buah kursi anyam yang amburadul telah terjaga selama puluhan tahun. Sampai-sampai kaki kursi itu tenggelam ke dalam tanah dan lapuk dimakan rayap.
Sebelum kakek dan nenek meninggal, mereka betah sekali duduk berlama-lama di kursi itu sambil memandangi puluhan batu nisan yang mencuat di pemakaman belakang rumah. Kakek pernah bilang, memandang batu nisan di pemakaman bisa membuat seseorang menjadi tenang dan berpikir lebih jernih.
Kakek juga pernah berkisah, dulu sekali, neneklah yang bersikeras ingin membangun rumah di pinggiran makam itu.
“Apa kau tidak takut tinggal bersebelahan dengan kuburan?” kakek pernah bertanya serupa itu pada nenek, dan apa jawab nenek?
“Apa yang perlu ditakutkan dari kuburan, dari nisan-nisan, dari benda mati? Toh kita juga akan mati.”
Selanjutnya, nenek menyebut rumah itu sebagai rumah pulang. Dan rumah itu memang selalu mengingatkan mereka untuk pulang. Hampir tak pernah kakek atau nenek menginap berlama-lama di rumah yang bukan rumahnya. Tak ada rumah yang setenang rumah itu. Kata kakek, nenek memang lebih menyukai kesunyian daripada keramaian. Sebab itulah nenek lebih memilih membangun rumah di tanah kosong, di sebelah kuburan yang lengang, ketimbang membangun rumah di sisian jalan, di keramaian, atau di mana pun.
Dari ayah, aku tak pernah mendapat banyak cerita tentang rumah itu, kata ayah—yang merupakan bocah semata wayang kakek dan nenek, yang sedari kecil hidup di rumah itu, rumah itu sama sekali tak ada bedanya dengan rumah-rumah lain. Hanya saja, ketika malam tiba, terasa sangat sunyi. Seperti ada liang dalam rumah itu yang menelan riuh-piuh dunia luar. Namun, dari kakek, aku mendapat banyak cerita menarik tentang rumah di sebelah makam itu. Konon, kata kakek, setiap kali ada orang meninggal, malam harinya, aroma wangi yang ganjil selalu tercium sampai ke dalam rumah, merambah sampai ke dapur, kamar, dan ruang depan.
“Itu hanya aroma bunga selepas pemakaman, aroma bunga dari orang-orang yang nyekar,” ujar kakek. Tapi ujar nenek tidak demikian.
“Bukan, itu bukan aroma bunga, itu adalah aroma dari sebuah pesan. Pesan yang sangat dalam. Dan mungkin hanya kita saja yang bisa menghirupnya.”
“Apa karena rumah kita paling dekat dengan makam?”
“Mungkin.”
Dan setiap kali membaui aroma itu, kakek dan nenek selalu merapatkan genggaman tangan. Menjelang tidur, mereka berbaring  dan menerawang ke langit-langit yang pekat. Tangan mereka tak lepas bergenggaman. Sesekali mereka terisak tanpa sebab, dan kerap kali mereka saling menggumam. Kakek menyebutnya gumaman menjelang tidur. Gumaman yang melulu sama.
“Kelak, salah satu dari kita akan pergi terlebih dahulu dan berpisah ranjang. Salah satu dari kita akan terbaring di ranjang ini, sementara yang lain akan terbaring di belakang sana, di sebuah ranjang yang dingin di bawah gundukan tanah dan tiang nisan.”
Sewaktu nenek hamil, kakek pernah merasa cemas dengan calon bayinya, dengan aroma ganjil yang selalu tercium setiap kali ada orang dikuburkan, hingga kakek mengusulkan untuk pindah rumah. Namun nenek tak pernah sudi pindah rumah, ia terlanjur jatuh cinta pada rumah itu, beserta kesunyian yang meliputinya. Nenek berkaul, setiap orang dilahirkan dari kesunyian dan akan kembali pada kesunyian, bemula dari rahim ibu yang sunyi dan kembali pada rahim tanah yang juga sunyi.
Kakek mengaku, butuh waktu sedikit lama untuk bisa mencecap manisnya kesunyian di rumah pulang itu—kesunyian yang telah lama diagung-agungkan nenek—sampai ia menjadi seorang bapak dan kemudian sedikit beruban dan menjadi seorang kakek, “Semakin seseorang berbau tanah, kesunyian akan semakin berarti. Seperti bayi yang begitu karib dengan aroma keringat ibunya.”
Kakek mengibaratkan hari-harinya bersama nenek di rumah itu seperti mimpi indah dalam sebuah tidur pendek, mimpi yang cepat sekali pergi dan membuat seseorang menjadi pikun. Ketika ayah lahir, aroma ganjil selepas pemakaman pun masih kerap tercium, hanya saja sedikit pudar, mungkin karena mereka sudah terlalu biasa. Dan gumaman menjelang tidur mereka pun menjadi sedikit berbeda, “Kelak, salah satu dari kita bertiga akan berpulang terlebih dahulu...”
Nyatanya, dari mereka bertiga, nenek adalah orang pertama yang meninggalkan rumah pulang untuk pulang ke rumah pulang yang paling pulang. Disusul kemudian kakek, beberapa tahun setelahnya. Dan rumah itu pun sempurna menjadi milik sepi. Ayah sendiri merasa enggan tinggal di rumah yang berhimpitan dengan makam itu. Lagi pula, waktu itu, ayah sudah mendapatkan pekerjaan tetap di kota tempatnya melanjutkan sekolah. Hingga akhirnya ia menikah dan membangun rumah sendiri di kota itu, jauh dari kesunyian rumah pulang, rumah masa kecilnya
Aku tak ingat kapan pertama kali ayah mengajakku ke rumah itu, yang kuingat dari rumah itu hanyalah hawa sunyi serta dua buah kursi anyam yang terdiam di belakang rumah dan menantang makam. Aku sendiri menganggap rumah kakek jauh lebih nyaman ketimbang rumah ayah di kota. Selepas kakek dan nenek meninggal, lama sekali kami tidak mengunjungi rumah itu. Hingga ayah—yang usianya kian uzur dan sering sakit-sakitan, mendadak berinisiatif mengajak kami berziarah ke makam kakek dan nenek, katanya sekalian menjenguk rumah itu.
 “Saat tubuhku terasa begini rapuh, tiba-tiba aku sangat merindukan rumah itu, aku ingin duduk di kursi anyam di belakang rumah sambil memandang lepas ke gunduk makam dan nisan-nisan. Memang, tak ada rumah yang lebih baik dari rumah yang selalu mengingatkanmu akan pulang,” ujar ayah sambil menuang lamunannya.
Entah mengapa, aku merinding mendengar kata-kata ayah yang terakhir.***
Malang, 2014