PARCEL (Tabloid Nova, edisi Lebaran 2016)




Setiap kali lebaran tiba, perempuan itu selalu mendapat kiriman tiga buah parcel yang sama. Parcel pertama berisi aneka biscuit, sirup, dan beberapa makanan kecil—yang seolah tak akan habis untuk ia kudap sampai lebaran tahun depan. Parcel kedua, berisi selusin toples dan beberapa cangkir porselin lengkap dengan tekonya. Sedangkan parcel ketiga, berisi mukena, sajadah, dan beberapa pakaian siap pakai dengan merek terkenal. Baginya, tiga parcel itu tak ubahnya ornamen-ornamen kesunyian, yang terpajang di sudut ruang tamu dan lemari, yang membuat hawa semakin beku.
Perempuan itu punya tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan, yang laki-laki jadi tentara dan jarang pulang—bahkan saat lebaran, sedangkan dua anak perempuannya semuanya sudah menikah dan mengikuti suami masing-masing. Mereka akan pulang hanya jika suami-suami mereka mengizinkan. Tiga parcel itu dari mereka. Perempuan itu seringkali mengingat-ingat kapan terakhir ia berkumpul dengan anak-anak dan cucu-cucunya, dan itu adalah tiga tahun lalu, ketika suaminya (bapak dari anak-anak dan kakek dari cucu-cucunya) meninggal.  Dan mungkin anak-anak akan bisa berkumpul lagi ketika nanti tiba gilirannya masuk ke lahad, menyusul suaminya. Entahlah.
Anak-anak tinggal di pulau jauh di seberang lautan, dan sebab itulah ia lebih mengedepankan pemakluman daripada ego kerinduannya sebagai orang tua. Setidaknya, ia masih bisa tersenyum, karena anak-anak tak lupa menelpon dan bertanya kabar setiap bulan, atau berkirim parcel setiap tahun.
Begitulah perempuan itu membohongi dirinya sendiri, ia tahu, jauh di kedalaman hatinya, acap kali ia merasa sebagai orang tua yang malang dan dianggap tidak penting oleh anak-anaknya. Bagaimana pun orang tua tetaplah orang tua, jarak bukanlah sesuatu berarti. Apalagi sekarang sudah jamannya pesawat terbang, yang bisa melintas dari pulau ke pulau hanya dalam waktu kurang dari satu hari. Atau mungkin, orang tua dan anak-anak memang punya dimensi dunia yang berbeda, di mana nuansa kasih dan kerinduan juga berbeda. Di dunia anak-anak, mungkin kerinduan tak setebal di dunia orang tua. Namun, apapun itu, ia selalu siap menerima kemungkinan terburuk—anak-anaknya tidak akan datang, dan hanya mengirimkan parcel seperti sebelum-sebelumnya.
Dengan hati yang redam ia terus memandangi cangkir-cangkir dan beberapa pakaian dalam lemari—semua adalah hasil dari kiriman parcel yang sama, di tahun-tahun sebelumnya. Semuanya berjajar dan terlipat rapi, persis seperti ornamen-ornamen yang tak berpaedah apapun kecuali menguarkan nuansa kesunyian yang begitu palung. Demi memikirkan itu, ia acap menitikan air mata sambil terduduk di kursi rotan di ruang depan seraya melempar pandang jauh keluar jendela. Sedangkan foto-foto keluarga yang bercengkerama di dinding-dinding itu, tak ubahnya benda-benda jahat yang selalu mentertawainya dan mempecundanginya.
Ia akan tersenyum dan kemudian mengusap air matanya setelah mengingat bahwa para tetangga dan bocah-bocah mungil mereka tak pernah alpa menengok rumahnya yang besar lagi senyap itu. Di saat-saat seperti itu ia berpikir bahwa memiliki tetangga yang banyak akan jauh lebih menentramkan ketimbang memiliki anak yang banyak. Dan lagi, Tuhan tentu tak akan menyuruh hambaNya untuk menghormati para tetangga sedemikian rupa kecuali karena alasan yang sangat istimewa. Ia sering mengibaratkan, jika di rumahmu terjadi kebakaran, maka orang pertama yang akan membantumu memadamkan air bukanlah anak atau saudaramu yang ada di seberang jauh, melainkan para tetangga di sebelah kanan-kiri rumah.
Jadi, sebenarnya ia tak perlu sesedih itu kalaupun lebaran kali ini anak-anaknya tidak pulang seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Toh ia masih punya para tetangga yang begitu peduli. Dan anak-anak tetangga yang manis-manis itu sudah ia anggap seperti cucu-cucu sendiri, yang akan selalu ia selipkan angpau di tangan-tangan mungil mereka ketika mereka berdatangan dan bersalaman di pagi lebaran. Ia tersnyum lagi dengan mata yang masih sembab. Lebaran tinggal beberapa lagi, batinnya.
Belum lagi usai dari lamunannya, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Mungkin anak-anak tetangga yang disuruh ibunya mengantarkan nastar atau kue kering. Jelang lebaran seperti ini, para tetangga memang suka saling antar makanan dan kue dari satu rumah ke rumah yang lain, itulah salah satu alasan kuat mengapa ia tak mau pindah ke kota untuk tinggal di perumahan anaknya yang bertingkat dan berteralis seperti penjara. Tiga tahun lalu, genap tujuh hari selepas meninggalnya si bapak, si sulung—yang seorang tentara, pernah memintanya untuk turut serta ke kota dan tinggal bersama menantu dan cucu-cucunya, tapi ia menolak. Dua anaknya yang lain juga menawarinya hal serupa, tapi tetap saja ia tak sudi meninggalkan rumah warisan moyangnya yang sudah terlampau ia cintai itu.
Ia bergegas membuka pintu, dan ia salah, yang datang bukanlah anak tetangga, melainkan lelaki berseragam yang mengantarkan parcel. Parcel pertama. Dari anak pertama. Ia meminta petugas pengantar barang itu untuk meletakkan parcel setinggi satu meter itu di sudut ruang tamu, seperti tahun-tahun sebelumnya. Selepas pengantar barang itu pergi, ia menghela napas tuanya dengan berat. Anak lelakinya kini menjelma menjadi sebuah parcel yang bisu dan tak mampu mengobati apapun, termasuk kerinduan. Dan dua anaknya yang lain juga akan segera menyusul—menjelmakan wujudnya menjadi parcel. Ia pasrah dan mencoba tetap tersenyum.
Dua parcel yang lain—dari kedua anaknya yang lain, datang tiga hari jelang lebaran. Genap sudah. Tiga parcel itu terpajang di sudut ruang tamu. Utuh. Belum terbuka sedikitpun. Dan biasanya, anak-anaknya akan segera menelpon untuk menanyakan apakah parcel kiriman mereka sudah datang—alih-alih menanyakan bagaimana perasaan ibu mereka yang selalu berlebaran dengan sekantung parcel. Dan begitulah, pada malam lebaran, setelah beri’tikaf di masjid sampai menjelang subuh, ia akan selalu melangkah pulang dengan air mata yang tak bisa ia tahan. Ia sendiri bingung, apakah ia menangis lantaran alunan takbir yang syahdu itu, atau menangis karena memikirkan dan merindukan anak-anaknya.
Sesampainya di rumah, ia akan terduduk di kursi rotan ruang depan—masih mengenakan mukenanya—sambil  memandang tiga parcel di sudut ruang berlama-lama. Itulah wujud ketiga anaknya sekarang. Haruskan ia memeluk dan menciumi parcel-parcel itu dan mengatakan: lebaran kali ini ibu memaafkan kalian, sama seperti lebaran-lebaran sebelumnya dan lebaran-lebaran yang akan datang. Pada detik itu juga, ia memohon ampun kepada Tuhan jika semua perasaan yang ia pelihara selama ini adalah salah. Bagaimanapun ia sangat mencintai anak-anaknya. Maka, untuk ke sekian kalinya ia berpasrah, jika Dia berkehendak mendatangkan anak-anak yang teramat dirindukannya itu, tentu Dia akan mendatangkan anak-anak itu dengan cara-Nya. Dan selepas itu ia tertidur sampai takbir jelang sholat id memabangunkannya.
***
Pada pagi lebaran, jauh di tiga tempat yang berbeda, tiga orang anak mendapatkan kiriman sebuah paket yang misterius. Tergeletak di depan pintu, tanpa nama pengirim. Ketika masing-masing dari mereka membukanya, yang mereka dapati hanya sebuah kardus besar yang kosong. Melompong. Dan entah mengapa, seperti tersaput sihir, tiba-tiba saja batin mereka dihinggapi kesunyian yang teramat sangat, seakan-akan tak ada lagi kesunyian yang lebih sunyi dari itu. Dan kesunyian itu mendadak membuat mereka rindu pada hangat pangkuan ibu mereka, seperti ketika mereka kecil.
Pada hari itu juga mereka memesan tiket pesawat paling cepat (kendati mahalnya berlipat-lipat) dan segera terbang ke rumah masa lalu mereka, untuk bersimpuh dan mencium kaki ibu mereka. Dan mereka hanya bisa bertangisan, ketika suara takbir dari televisi di ruang tengah besahut-sahutan menghampiri cuping mereka.***
Malang, 2014