Menjelang Kurban (Republika, Ahad, 28 September 2014)




Emak terduduk setengah rebah di ranjang tipisnya. Di sebelahnya teh hangat masih mengepulkan asap. Beberapa kapsul dan pil bergeletakkan di dalam nampan kecil, menunggu emak menelannya setelah makan bubur nanti. Dari jendela yang separuh terbuka, kelambu bergoyang ringan oleh hembusan angin dari ladang kering di sebelah rumah. Emak melemparkan tatapan kosong ke jendela terbuka itu. Seakan di sana ada sesuatu yang indah untuk ia raih dan ia jadikan bahan pembuat senyum yang baru. Emak benar-benar tersenyum.
“Mengapa emak tersenyum-senyum sendiri?” aku menghampirinya dengan segelas air putih, “obatnya, Mak.”
Emak meletakkan piring bubur yang tinggal separuh di atas meja, di sebelah ranjangnya, lalu menelan obat itu dan mendorongnya dengan air putih. Emak menghela napas lega dan mengucapkan terima kasih.
“Mengapa emak tersenyum-senyum sendiri?” aku mengulang pertanyaanku.
“Emak hanya bersyukur bahwa sampai detik ini, emak masih bisa merasakan hembusan angin lewat jendela kecil itu,” jawab Emak dengan mata berbinar.
Silih aku yang tercenung. Sudah tiga tahun terakhir ini, setiap kali jelang kurban, jelang lebaran haji, emak selalu ambruk, sakit sepuhnya selalu kambuh. Jadi, sudah tiga tahun terakhir ini Emak tidak ikut sholat ied di masjid, Emak tidak ikut menyaksikan bagaimana ternak kurban di sembelih di halaman masjid.  Emak hanya turut mengumandangkan takbir dari ranjangnya dengan mukena yang tak pernah lepas. Namun, pada siang harinya, biasanya emak akan memaksakan diri untuk bangun dan memasak daging kurban yang kami dapat dari panitia kurban.
Biasanya emak akan menyuruhku membagikan beberapa daging yang sudah ia masak itu ke beberapa kerabat yang kurang mampu—sama seperti kami. Emak selalu melakukan itu setiap hari raya kurban—memasak daging yang kami dapat dan membagikannya ke beberapa kerabat. Emak tak pernah peduli meski para kerabat juga sudah mendapatkan daging yang sama. Emak tak pernah peduli apa yang akan dilakukan oleh para kerabat atas daging matang pemberiannya itu. Emak hanya percaya, bahwa hal tersebut akan mendatangkan berkah baginya. Bagaimana pun Emak termasuk salah satu tetua kampung yang punya keahlian meramu daging, tidak hanya pada lebaran kurban saja—sesekali ketika warga kampung menggelar hajatan, mereka kerap meminta emak untuk menjadi juru masak utama.
“Emak hanya bertawasul, semoga dengan daging matang yang tidak seberapa itu, Gusti Allah memberi emak rejeki lebih, supaya emak bisa beli kambing, syukur-syukur sapi buat dikurban, itu saja.”
Aku sudah lupa, kapan pertama kali emak menuturkan kata-kata itu. Usia Emak kini sudah masuk enam puluhan, dan sampai detik ini kami belum dikaruniai rejeki lebih untuk bisa membeli binatang kurban yang hanya setahun sekali itu. Sejatinya, emak punya dua mimpi yang tak pernah secara gamblang ia tuturkan. Mimpi emak yang pertama adalah pergi ke mekah, namun karena emak tahu bahwa mimpi itu terlalu tinggi—meski bukannya tidak mungin, emak lebih memilih untuk menyimpan mimpi itu dalam-dalam hingga tak pernah membahasnya. Mimpi emak yang kedua ialah ia bisa membeli ternak untuk kurban yang hanya setahun sekali itu.  Bagi Emak, mimpi yang kedua itu lebih mudah untuk ia raih—meski tidak semudah yang dibayangkannya.
Berkali-kali emak menabung, tapi selalu saja, tabungannya itu ia pecah setiap kali kami ada keperluan mendesak. Seperti tiga tahun lalu saat Uus—istriku, harus masuk rumah sakit karena gejala thypus. Emak terpaksa mengeluarkan tabungannya untuk menambal kekurangan biaya rumah sakit selama tiga hari—yang menurut kami jumlahnya lumayan besar.
Setahun lalu, ketika istriku melahirkan, emak juga terpaksa merogoh tabungannya, karena uangku sendiri tidak cukup untuk biaya persalinan. Terkadang aku merasa sangat malu pada diriku sendiri. Aku sudah bilang pada Emak, bahwa aku berjanji akan mengganti uangnya yang telah kami pakai, tapi emak malah bilang, “soal uang tak perlu dibahas lagi. Gusti Allah yang akan kasih ganti.”
Dan entah mengapa, jelang lebaran haji kali ini, aku melihat wajah emak semakin layu, tubuhnya semakin kurus, dan ia tampak lebih renta. Terlebih setelah sakit tahunan itu kembali menderanya. Maka, dalam hati, aku sudah berjanji, bahwa tahun ini aku akan membelikan emak seekor kambing. Aku sudah mulai menabung sedikit-sedikit. Hingga dua hari jelang penyembelihan, uang yang kusisihkan di kantongku telah terkumpul sebanyak 750 ribu. Aku memutar otak dan berpikir, apakah ada kambing yang layak dan memenuhi persyaratan kurban dengan harga segitu.
Aku sudah berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dan aku tak menemukan kambing kurban dengan harga 750 ribu. Aku merasa bahwa diriku hanya jadi bahan tertawaan para makelar kambing. 
“Bahkan anak kambing pun belum dapat dengan uang segitu,” kata salah satu pedagang dengan tawa sinis, “Kambing kurban, paling murah itu setidaknya satu, Mas, satu juta.”
Aku pun kembali ke rumah dengan lesu. Kulihat emak masih terbaring di ranjangnya dengan mata terpejam, dengan mukena yang tak pernah lepas.
Esok harinya aku kembali berkeliling, dengan tambahan uang 250 ribu dari istriku. Jadi, uang yang kubawa untuk seekor kambing adalah satu juta rupiah. Aku berangkat dengan sesungging senyum, dengan uang tambahan itu mungkin aku akan dapat seekor kambing dari seorang pedagang yang dermawan. Tak kurang dari lima tempat aku datangi, dan aku tetap tidak mendapatkan kambing dengan harga satu juta rupiah. Ada satu kambing dengan harga satu juta, meski kambing itu telah memenuhi persyaratan untuk kurban, tapi kambing itu terlalu kecil dan kurus dan tampak kurang sehat, meski si pedagang mengatakan bahwa kambingnya baik-baik saja dan keadaanya memang seperti itu.
Akhirnya aku memilih untuk mencari kambing di tempat lain. Dengan keadaan hampir putus asa, aku mendatangi sebuah tenda di mana puluhan kambing mengembek dan telah siap untuk dikurban. Seorang lelaki dengan perawakan sedang, dengan wajah jernih dan sedikit jambang,  menyambutku dengan sumeringah. Ia menceritakan kondisi kambing-kambing yang ia jual berikut harga-harganya. Kambing-kambing yang ia jual semuanya gemuk-gemuk dan tampak sangat prima, aku sudah menduga harga kambing-kambing itu, dan aku sudah siap gagal untuk ke sekian kalinya. Aku belum sempat menawar satu pun dari kambing itu, namun aku sudah berniat untuk meninggalkan tempat itu.
“Mengapa Anda terburu-buru, tidakkah Anda ingin melihat-lihat dulu, soal harga bisa dirundingkan,” kata lelaki jernih itu dengan seulas senyum.
“Saya tahu, uang saya tak akan cukup meski harga kambing itu sudah Tuan turunkan, makanya lebih baik saya pergi saja, saya sudah berkeliling sejak kemarin dan saya memang sedang bermimpi bisa mendapatkan kambing bagus dengan harga segitu,” kataku apa adanya.
Lelaki itu melambaikan tangannya, menyuruhku duduk di sebelahnya, “Memangnya berapa uang yang Anda bawa?”
Satu juta,” jawabku singkat.
Lelaki itu tersenyum, tapi bukan senyum sinis, “Coba Anda ceritakan, mengapa Anda bersikeas untuk mendapatkan seekor kambing, sedangkan Anda tahu uang Anda tak akan cukup.”
Dengan tenang aku mulai menceritakan semuanya, tentang emak, tentang kebiasaannya setiap lebaran kurban tiba, tentang mimpi-mimpinya, sampai akhirnya tentang mengapa aku bersikeras ingin mendapatkan kambing dengan uang alakadarnya. Setelah mendengar ceritaku, lelaki itu menepuk pundakku dan mengatakan, “Kau boleh membawa satu kambingku, yang mana pun.”
Mendadak tubuhku gemetar mendengarnya, aku nyaris ambruk karena tak percaya, aku terkikik sekilas, “Anda bercanda…”
“Saya tidak bercanda,” lelaki itu itu malah menuntunku untuk memilih kambing yang paling besar dan paling gemuk.
“Tapi uangku cuma satu juta,” kataku masih dengan suara gemetar karena tak percaya. Aku menyerahkan gumpalan uang yang kuyu pada lelaki itu. Tapi lelaki itu menolak.
“Saya akan menerima uang itu nanti, setelah Anda membawa kambing itu ke hadapan ibu Anda.”
Aku semakin bingung. Namun lelaki itu menyuruhku untuk bersegera membawa kambing itu. Katanya, supaya aku percaya bahwa ia sunguh-sungguh dan aku tidak sedang bermimpi. Maka, dengan tangan dan kaki gemetar aku terus berjalan dan terus-menerus menengok ke arah kambing gemuk yang mengembek di belakangku. Aku masih takut jika kambing itu hanya sebuah mimpi dan kemudian aku terbangun dengan tangan kosong. Namun, sampai di depan rumah, tepatnya sampai di depan kamar emak—aku sengaja membawa kambing itu sampai ke kamar emak, kambing itu masih utuh. Aku tak sabar untuk menceritakan semuanya kepada emak.
“Ya. Kambing itu buat emak. Buat kurban, atas nama emak,” tuturku dengan dada sedikit gugup karena bahagia. Emak tak bisa berkata sepatah kata pun. Ia hanya menangis. Turun dari ranjangnya—masih dengan mukenanya, dan memeluk kambing itu erat-erat. Aku dan istriku, juga emak, mungkin masih tak percaya. Tapi kami semua percaya, bahwa Gusti Allah punya cara yang tak pernah diduga-duga manusia.
Aku tak sabar untuk kembali kepada lelaki itu dan mengucapkan terima kasih dan menceritakan ekspresi emak saat kambing itu kubawa ke hadapannya. Namun, ketika aku sampai di tempat semula, aku tidak mendapati apapun. Di tempat itu tidak ada tenda, tidak ada orang berjualan kambing atau apapun. Bahkan bekas maupun bau-bau kambing pun tidak ada. Sama sekali. Lenyap. Seperti ditelan tanah. Ketika kutanya pada orang-orang yang mukim disekitar situ, mereka bilang bahwa di tempat itu memang tidak ada orang berjualan kambing atau apapun. Tempat itu hanya tanah kosong yang tidak dipelihara.
Dengan tubuh gemetaran, dahi berkeringat dan telapak tangan yang tiba-tiba dingin, aku bergegas kembali ke rumah dan bertanya-tanya, apakah kambing itu masih nyata. Dan sesampainya di rumah, aku melihat emak—dengan wajah sumeringah, seolah tidak sedang sakit—tengah memberi makan kambing itu di halaman rumah. Kambing yang sama dengan yang kutuntun beberapa waktu lalu, kambing yang besar dan gemuk. Mulutku masih tercekat, ketika Emak berteriak, “Kapan kambingnya mau di bawa ke masjid?”***
Malang, Jelang Kurban, Oktober 2013

Laci Kesedihan (Koran Tempo, 29-30 Juli 2017)





Mira teringat kata-kata ibunya, suatu saat jika kesedihan mendatangimu, pejamkan matamu lekat-lekat. Lalu ambilah kesedihan itu dari dadamu dan letakkanlah ke dalam laci yang tak kau pakai di rumahmu. Bisa laci di bawah meja, atau laci dalam lemari, atau laci apa saja yang jarang kau sentuh. Biarkan kesedihan itu bersemayam di sana. Janggan kau ganggu gugat. Sampai kesedihan itu lenyap dimakan waktu.
“Bagaimana cara meletakkannya, Bu? Apakah seperti meletakkan pakaian usang yang tak dipakai lagi?” Tanya Mira waktu itu.
“Ya, kesedihan memang pakaian yang tak perlu kau pakai berlama-lama. Maka, singkirkan saja ia. Pejamkan saja matamu. Lalu masukanlah kedua tanganmu ke dalam laci yang terbuka itu. Rasakan saja, setiap kesedihan itu mengalir dari dadamu, melalui tanganmu, dan megucur ke dalam laci itu. Jika kau harus menangis, menangislah. Ketika kemudian kau rasakan hatimu sedikit ringan, berarti kesedihan itu telah berpindah dari tanganmu ke dalam laci itu.”
Dulu, ibu Mira sering sekali bersedih hingga di rumah banyak sekali laci kosong tak terpakai. Pasti ibu sengaja menggunakan laci-laci itu untuk menyimpan kesedihannya. Jadi laci-laci itu tak benar-benar kosong. Ada kesedihan ibu di dalamnya.  
Mira punya seorang ayah, hanya saja, ibu tak pernah memberi tahu ayah soal laci-laci kesedihan itu. Ayah juga jarang sekali menyentuh laci-laci itu. Ayah tak punya banyak alasan untuk menyentuh lemari-lemari, meja-meja, atau bahkan laci. Setiap ayah butuh pakaian atau sesuatu, selalu ibu yang menyiapkannya sehingga ayah tak perlu repot-repot membuka lemari di mana laci kesedihan ibu meringkuk di dalamnya.
Ayah datang ke rumah setiap dua hari, dua hari berikutnya ia tak pulang, dan lalu pulang setelah dua hari ia tak pulang.
Ibu bilang, “Ayah harus bekerja dan mengurus orang lain seperti mengurus kita setiap dua hari.”
 Mira juga merasa heran, menurut Mira, bukan ayah yang mengurus Mira dan ibunya, tapi ibu yang mengurus ayah dan Mira. Tapi sudahlah, Mira tak mau memikirkan itu panjang-panjang. Ia takut bingung, meski sebenarnya Mira sudah bingung. Karena ayah-ayah teman Mira tak perlu tak pulang untuk mengurus orang lain selama dua hari.
Setiap dua hari tanpa ayah itulah, Mira sering melihat ibunya termenung di kursi dapur atau meja makan. Atau kadang di bibir ranjang. Sebelum akhirnya mendatangi laci-laci yang tak terpakai untuk menuntaskan tangis di hadapannya. Mengalihkan kesedihan dari tangannya. Agar berpindah ke dalam laci-laci malang itu.
Setalah bertahun-tahun terlewat, dan usia Mira beranjak matang, Mira lekas memahami bahwa ayah memiliki dua perempuan dan dua anak dari dua perempuan. Perempuan pertama adalah ibu Mira yang melahirkan Mira, dan perempuan kedua adalah perempuan lain yang juga melahirkan anak lain yang bukan Mira. Barangkali ayah seperti seekor serangga, kupu-kupu, atau mungkin capung, atau mungkin kumbang, yang harus memiliki sayap sama di kiri kanan. Sayap pertama dan kedua. Sayap yang harus sama-sama diurus secara adil. Ya, barangkali memang begitu seorang laki-laki. Ia takkan bisa terbang hanya dengan sebilah sayap. Ayah takkan bisa terbang jika hidup hanya dengan ibu Mira. Tapi Mira tetap saja bingung. Bahkan, sampai ibu akhirnya meninggal karena serangan jantung—menurut Mira, ibu meninggal karena kesedihan yang turut bersarang di jantung, bukan serangan jantung, Mira tetap saja bingung memahami ayah.
Setelah ibu meninggal, Mira tinggal serumah dengan ayah dan perempuan itu, perempuan ayah yang selain ibu. Tentu saja perempuan itu berbeda dengan ibu. Meski perempuan itu tak pernah memarahi Mira, tapi Mira tahu perempuan itu dan anak perempuannya tak pernah menyukai Mira. Sebagaimana Mira tak pernah menyukai mereka. Memangnya siapa yang bisa menyukai anak dari perempuan lain yang merebut ayah dari ibu? Memangnya siapa yang bisa menyatukan dua sayap yang ada di kiri dan di kanan?
Setiap kali waktu makan tiba, ayah benar-benar seperti kepala seekor serangga. Meja makan itu berbentuk persegi panjang. Ayah duduk di salah satu ujung, menjadi titik pusat, sedangkan Mira di sebelah kanan ayah, dan perempuan itu serta anaknya duduk di sebelah kiri ayah. Seandainya ibu Mira masih hidup dan duduk persis di sebelah kanan ayah, sejajar berhadap-hadapan dengan perempuan itu, barangkali ayah langsung bisa terbang karena sayap-sayapnya telah lengkap. Membayangkan itu, Mira teringat ibunya hingga kesedihan itu mendatanginya seperti angin dingin yang tiba-tiba mengusap kulit, lalu meresap ke pori dan membekukan sesuatu yang ada di dalam, membuat sesuatu itu sesak sampai air mata pecah dan memeleh di pipi Mira.
Pada saat-saat seperti itu, Mira lebih banyak menundukkan kepala, sebelum menyendiri di kamarnya dan berdiri di depan laci yang terbuka lebar di bawah meja belajarnya. Ayah sering datang ke kamar Mira untuk mengusap pundak Mira dan bertanya ada apa? Tapi Mira lebih suka bungkam. Oh, betapa lelaki ini tak pernah bisa memahami sayapnya sendiri, sayapnya sebelah yang tinggal satu, pikir Mira dengan mulut terkatup rapat. Sepertinya Mira juga tak bisa menyukai ayahnya seperti anak-anak lain menyukai ayahnya. Entah mengapa. Terkadang Mira berpikir bahwa ibunya meninggal lantaran ayahnya sendiri.
Ayah menduakan ibu dan ayah menduakan Mira. Itu yang terjadi. Mira tak bisa menahan rasa sesak di dadanya setiap kali melihat ayah memeluk perempuan itu, bersendagurau dengan anak itu. Ayah sering mengajak perempuan itu dan anaknya keluar untuk jalan-jalan dan bersenang-senang tanpa Mira. Ayah memang selalu menawari Mira untuk ikut, tapi tatapan kedua perempuan itu selalu mengatakan begini, “Menyingkirlah! Kehadiranmu hanya akan merusak kebahagiaan kami. Merusak kebahagiaan kami.” Dan ayah juga tak pernah memohon Mira dengan sungguh-sungguh, agar Mira benar-benar ikut. Semua hanya basa-basi. Seolah ayah juga senang kalau Mira tidak ikut. Kalau ayah mau tahu, hati Mira sakit sekali. Hancur. Barangkali seperti itulah hati ibu dulu, ketika dua hari ayah rutin menghilang.
Mungkin ayah tampak berusaha berbuat adil, tapi sungguh, di dunia ini tak benar-benar ada perempuan yang sudi diduakan. Sehingga adil itu nyaris tak pernah ada. Bahkan seandainya ibu Mira seorang malaikat, ia akan tetap merasa sedih ketika lelakinya menemui perempuan lain untuk berusaha berbuat adil. Mira tahu, selama hidup bersama ayah, ibu hanya menyembunyikan kesedihan itu dari ayah dan meletakkannya di dalam laci. Hingga ayah tak pernah sadar, bahwa ibu mati karena kesedihan itu. Kesedihan yang terlalu banyak hingga laci-laci di dunia ini sekalipun tak akan cukup untuk menyimpan kesedihan itu. Ya, sebab itu ibu mati. Dan yang ayah tahu soal ibu hanya, bahwa ibu adalah seorang perempuan yang baik lagi penurut, tegar dan tak banyak menuntut. Dan Mira, ia benar-benar tak mau mati seperti ibu.
Tinggal serumah dengan ayah dan perempuan itu dan anaknya, bagi Mira sama artinya dengan meramu bunga-bunga kesedihan. Laci di lemari Mira rasanya sudah tak cukup untuk menyimpan kesedihan itu. Laci di bawah meja belajar Mira juga sudah penuh oleh luapan kesedihan. Bahkan kamar Mira terasa sesak oleh kesedihan yang meluber dari waktu ke waktu. Sudah tak cukup lagi.
Malam itu, ketika ayah dan perempuan itu dan anaknya pergi bersenang-senang, Mira memilih untuk memulai hal baru. Ia ingin bangkit. Ia ingin terbang bebas seperti serangga. Ia ingin pergi dan terlepas dari setiap kesedihan yang membelunggunya. Kesedihan itu harus dilenyapkan. Laci-laci itu harus disingkirkan dan diisi dengan sesuatu yang lain. Dan Mira sudah mengisinya.
Sepaket kosmetik lengkap dan sebuah cermin mungil telah mengisi kemurungan laci itu. Beberapa helai baju dan majalah-majalah perempuan juga telah mengisi laci-laci lain. Dan Mira telah siap. Malam itu, Mira memoles wajahnya. Gurit cantik yang tersembunyi itu semakin nyata. Lipstik merah muda itu telah membuat bibir Mira tampak penuh. Dan bayangan mata yang ia oleskan di sekitar mata itu membuat mata Mira tampak tajam seperti dua cahaya yang takkan pernah padam.
Malam itu, Mira ingin menjadi serangga betina yang terbang bebas dengan ribuan sayap di sisinya. Ribuan sayap yang terbuat dari helai-helai kesedihan yang diperam begitu lama dalam laci-laci di kamarnya.***
Malang, 2016

Uak dan Burung Gagak (Kedaulatan Rakyat, 09 Juli 2017)





Seekor burung sehitam sulang beterbangan di atas bubungan rumah kami. Berputar-putar. Berkoak-koak. Uak bilang itu burung gagak. Terdengar jelas dari suaranya yang kaak kaak kaak… Soal burung gagak, Uak pernah menceritakan, barang siapa yang rumahnya dikitari burung hitam itu, pertanda salah seorang dari anggota rumah tersebut akan meninggal. Menurut Uak, itu bukan cerita belaka, melainkan sebuah firasat. Sebuah pertanda.
“Orang-orang terdahulu menandai kabar kematian seseorang dengan burung gagak,” ujar Uak suatu kali, sambil menggulung kulit jagung yang berisi rajangan tembakau.
“Mengapa harus burung gagak?” aku menyoal.
Uak terus menggulung rokok kelobotnya, sebelum mengapitnya di antara dua bibir, “Karena gagak adalah burung bangkai,” jawabnya dengan bibir nyaris rapat.
Uak menyalakan korek dan membakar ujung kelobot yang siap mengepul di antara dua bibirnya. Aku menatap Uak dengan segenap kumis, janggut, dan rambutnya yang serba putih. Aku takut kalau rambut-rambut yang tampak kerontang itu ikut terbakar.
“Burung bangkai cukup lihai untuk mengendus siapa-siapa yang akan menjadi calon bangkai, calon mayat,” lanjut Uak.
“Jadi kalau ada burung gagak berkoak di atas atap rumah kami berarti salah satu di antara kami, ibu atau bapak atau kakak-kakaku atau aku akan mati?” aku menyimpulkan.
“Bisa jadi, dan kalau burung bangkai itu mengitari atap rumah Uakmu ini, bisa dipastikan Uakmu ini yang akan mati,” Uak turut menyimpulkan, dengan intonasi sedikit berkelakar. Tapi aku tak sedikitpun menangkap ada yang lucu dari kata-kata Uak.
Uak adalah kakak tertua ibu. Ia tinggal di rumah besar tapi reot, tepat di sebelah rumah kami, hanya terpisah pekarangan selebar sepuluh meter. Istri Uak meninggal dua belas tahun silam, sebelum aku lahir. Uak tak memiliki anak, dan Uak tak menikah lagi. Rumah yang ditempatinya itu dulunya adalah rumah utama kakek dan nenek, waktu masih kecil ibu juga tinggal di rumah itu. Namun setelah kakek dan nenek meninggal, serta Uak dan saudara-saudara ibu lainnya menikah, rumah itu jadi sepi. Tinggal Uak seorang dan istrinya yang menempati rumah itu. Hingga istrinya meninggal di rumah itu. Hingga kini, rumah itu hanya ditinggali Uak seorang. Uak cukup tua untuk menjadi seorang Uak, bahkan rasanya pantas-pantas saja misalkan aku memanggilnya kakek. Beberapa teman sepermainanku memangilnya kakek.
Semenjak Uak tinggal seorang diri di rumah besar itu. Rumah itu jadi kurang terurus. Dapur di rumah besar itu sudah tak mengepul selama bertahun-tahun. Setiap hari, ibu menyuruhku menyelinap ke rumah sepi itu untuk mengantarkan nasi serta lauk-pauk, juga secangkir kopi di pagi dan petang hari. Di bagian tengah rumah itu ada sebuah meja kayu bundar tanpa taplak yang tampak usang dan berdebu, sesekali ketika ibu membersihkan rumah itu, ibu selalu mengelap meja itu dengan kain basah. Di meja itulah aku meletakan aneka makanan yang menjadi jatah Uak. Uak tidak bekerja. Sesekali saja ia menjadi makelar ternak, namun lebih banyak menganggur. Uak suka duduk mencangkung di dipan ruang tengah sambil mendengarkan radio dan merokok kelobot. Hinga aroma pakaian dan tubuh Uak selalu seperti pendiangan. Itulah Uakku, orang yang mengatakan bahwa rumah yang dikitari burung gagak adalah rumah yang bakal dihinggapi kesedihan lantaran kematian.
Dan seperti yang pernah kusimpulkan, burung sehitam sulang itu kini berputar-putar di atas bubungan rumah kami. Melihatnya aku menjadi sangat cemas. Aku tak mau memikirkan soal kematian, tapi diam-diam aku menebak-nebak siapakah gerangan yang akan disambangi malaikat maut di antara kami. Apakah itu ibu, bapak, kakak-kakakku, atau malah aku sendiri. Tapi rasanya mustahil, semua orang di rumah kami tampak sangat sehat. Jauh dari tanda-tanda kematian. Tapi, sebagaimana yang pernah Uak katakan padaku, kematian itu bisa datang dengan seribu jalan, bukan sekadar sakit. Tiba-tiba, aku membayangkan bapak ditubruk kereta saat pulang dari tempatnya bekerja. Atau kakak-kakakku yang terlibat tawuran atau terkena bidikan senapan angin yang salah sasaran di pinggir jalan. Atau bahkan, ibu yang tiba-tiba terbakar saat sedang memasak di dapur. Aku berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran mengerikan itu, tapi kata-kata Uak terus-terusan mengompor di kupingku.
Senja hari selepas suara burung hitam itu tak terdengar lagi, aku meringkuk di pangkuan ibu. Rumah cukup sepi. Ayah belum balik kerja, dan kakak-kakakku keluyuran entah ke mana. Aku takut sekali. Maka, kuceritakan pada ibu semua yang telah diceritakan Uak padaku, soal burung hitam itu, soal firasat kematian.
“Itu cuma burung, Nak,” jawab ibu enteng, tak sedikitpun kecemasan tersirat di wajahnya.
“Tapi kata Uak, burung sering datang sebagai alamat, burung prenjak berkicau di pekarangan rumah sebagai pertanda datangnya tamu. Dulu, waktu Budhe mau datang dari Kalimantan, ada burung prenjak juga yang berkicau di atas pohon petai. Tapi sekarang burung gagak, dan kata Uak…” kataku terpasung, penuh kemurungan.
“Hidup dan mati itu urusan Tuhan, bukan urusan burung-burung,” ibu menyanggah. Kata-kata yang nyaris sama pernah kudengar dari guru agama di kelasku, bahwa kematian itu memang urusan Tuhan.
“Tapi, bukankah Tuhan kerap mengirim tanda-tanda buat seseorang?” aku berusaha mendebat ibu.
“Dan kiriman itu bukan berupa burung,” sahut ibu, cepat, “tapi berupa uban, sakit, pendengaran yang buruk, serta penglihatan yang mulai buram, itu yang ibu tahu,” sambung ibu setengah berbisik. Membuatku bungkam, tak hendak membantah kata-katanya lagi.
“Oh ya, sebentar, kopi Uakmu,” ibu beranjak ke dapur, kesunyian segera membaluriku. Terdengar suara cangkir mengetuk punggung meja, lalu suara sendok yang mengetuk-ngetuk dinding cangkir. Tak kurang dari lima menit, secangkir kopi mengepul sudah berpindah ke tanganku. Dan sebentar lagi akan melayang ke maja bundar di rumah Uak, lalu Uak menyeruputnya sambil bercerita apa saja kalau aku tak segera enyak dari hadapannya. Asap tipis dari permukaan cangkir berlambaian dihalau angin. Aroma pahit kopi menguar menerobos lubang hidungku. Warna hitam yang berguncang dalam cangkir mengingatkanku pada bulu-bulu gagak yang mengkilap. Aku kembali teringat soal firasat kematian itu.
Aku mengetuk pintu rumah sebelah dan menerobos begitu saja karena pintu rumah itu tak pernah terkunci. Suara radio sayup-sayup melantunkan iklan anggur kolesom. Aku meletakkan kopi itu di atas meja dan menyeru Uak. Tapi Uak tak menyahut. Biasanya begitu aku menyeru soal kopi, Uak segera muncul. Dipan ruang tengah kosong. Aku merunut muasal suara radio yang sudah berganti melantunkan lagu dangdut lawas.  Suara itu jelas berasal dari kamar Uak. Benar. Dan di kamar itu, di atas dipan, di sebelah radio yang terus mengoceh, aku mendapati Uak berbaring miring memeluk lutut, berkemul sarung.
“Uak, kopinya…” kataku. Tapi Uak tak bergeming.
Aku menggoyangkan tubuhnya. Beberapa kali. Dan Uak tetap tak  bergerak. Tubuhnya dingin dan sekaku kayu bakar. Aku menghambur menyeru ibu. Lalu silih ibu yang berlarian menyeru para tetangga dengan muka panik. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mendengar suara sepiker memekik lantang dari bubungan surau. Nama Uak disebut di sepiker sebanyak dua kali. Sebagai si mati. Sebagai si mati.***
Malang, 2016