Menjelang Kurban (Republika, Ahad, 28 September 2014)




Emak terduduk setengah rebah di ranjang tipisnya. Di sebelahnya teh hangat masih mengepulkan asap. Beberapa kapsul dan pil bergeletakkan di dalam nampan kecil, menunggu emak menelannya setelah makan bubur nanti. Dari jendela yang separuh terbuka, kelambu bergoyang ringan oleh hembusan angin dari ladang kering di sebelah rumah. Emak melemparkan tatapan kosong ke jendela terbuka itu. Seakan di sana ada sesuatu yang indah untuk ia raih dan ia jadikan bahan pembuat senyum yang baru. Emak benar-benar tersenyum.
“Mengapa emak tersenyum-senyum sendiri?” aku menghampirinya dengan segelas air putih, “obatnya, Mak.”
Emak meletakkan piring bubur yang tinggal separuh di atas meja, di sebelah ranjangnya, lalu menelan obat itu dan mendorongnya dengan air putih. Emak menghela napas lega dan mengucapkan terima kasih.
“Mengapa emak tersenyum-senyum sendiri?” aku mengulang pertanyaanku.
“Emak hanya bersyukur bahwa sampai detik ini, emak masih bisa merasakan hembusan angin lewat jendela kecil itu,” jawab Emak dengan mata berbinar.
Silih aku yang tercenung. Sudah tiga tahun terakhir ini, setiap kali jelang kurban, jelang lebaran haji, emak selalu ambruk, sakit sepuhnya selalu kambuh. Jadi, sudah tiga tahun terakhir ini Emak tidak ikut sholat ied di masjid, Emak tidak ikut menyaksikan bagaimana ternak kurban di sembelih di halaman masjid.  Emak hanya turut mengumandangkan takbir dari ranjangnya dengan mukena yang tak pernah lepas. Namun, pada siang harinya, biasanya emak akan memaksakan diri untuk bangun dan memasak daging kurban yang kami dapat dari panitia kurban.
Biasanya emak akan menyuruhku membagikan beberapa daging yang sudah ia masak itu ke beberapa kerabat yang kurang mampu—sama seperti kami. Emak selalu melakukan itu setiap hari raya kurban—memasak daging yang kami dapat dan membagikannya ke beberapa kerabat. Emak tak pernah peduli meski para kerabat juga sudah mendapatkan daging yang sama. Emak tak pernah peduli apa yang akan dilakukan oleh para kerabat atas daging matang pemberiannya itu. Emak hanya percaya, bahwa hal tersebut akan mendatangkan berkah baginya. Bagaimana pun Emak termasuk salah satu tetua kampung yang punya keahlian meramu daging, tidak hanya pada lebaran kurban saja—sesekali ketika warga kampung menggelar hajatan, mereka kerap meminta emak untuk menjadi juru masak utama.
“Emak hanya bertawasul, semoga dengan daging matang yang tidak seberapa itu, Gusti Allah memberi emak rejeki lebih, supaya emak bisa beli kambing, syukur-syukur sapi buat dikurban, itu saja.”
Aku sudah lupa, kapan pertama kali emak menuturkan kata-kata itu. Usia Emak kini sudah masuk enam puluhan, dan sampai detik ini kami belum dikaruniai rejeki lebih untuk bisa membeli binatang kurban yang hanya setahun sekali itu. Sejatinya, emak punya dua mimpi yang tak pernah secara gamblang ia tuturkan. Mimpi emak yang pertama adalah pergi ke mekah, namun karena emak tahu bahwa mimpi itu terlalu tinggi—meski bukannya tidak mungin, emak lebih memilih untuk menyimpan mimpi itu dalam-dalam hingga tak pernah membahasnya. Mimpi emak yang kedua ialah ia bisa membeli ternak untuk kurban yang hanya setahun sekali itu.  Bagi Emak, mimpi yang kedua itu lebih mudah untuk ia raih—meski tidak semudah yang dibayangkannya.
Berkali-kali emak menabung, tapi selalu saja, tabungannya itu ia pecah setiap kali kami ada keperluan mendesak. Seperti tiga tahun lalu saat Uus—istriku, harus masuk rumah sakit karena gejala thypus. Emak terpaksa mengeluarkan tabungannya untuk menambal kekurangan biaya rumah sakit selama tiga hari—yang menurut kami jumlahnya lumayan besar.
Setahun lalu, ketika istriku melahirkan, emak juga terpaksa merogoh tabungannya, karena uangku sendiri tidak cukup untuk biaya persalinan. Terkadang aku merasa sangat malu pada diriku sendiri. Aku sudah bilang pada Emak, bahwa aku berjanji akan mengganti uangnya yang telah kami pakai, tapi emak malah bilang, “soal uang tak perlu dibahas lagi. Gusti Allah yang akan kasih ganti.”
Dan entah mengapa, jelang lebaran haji kali ini, aku melihat wajah emak semakin layu, tubuhnya semakin kurus, dan ia tampak lebih renta. Terlebih setelah sakit tahunan itu kembali menderanya. Maka, dalam hati, aku sudah berjanji, bahwa tahun ini aku akan membelikan emak seekor kambing. Aku sudah mulai menabung sedikit-sedikit. Hingga dua hari jelang penyembelihan, uang yang kusisihkan di kantongku telah terkumpul sebanyak 750 ribu. Aku memutar otak dan berpikir, apakah ada kambing yang layak dan memenuhi persyaratan kurban dengan harga segitu.
Aku sudah berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dan aku tak menemukan kambing kurban dengan harga 750 ribu. Aku merasa bahwa diriku hanya jadi bahan tertawaan para makelar kambing. 
“Bahkan anak kambing pun belum dapat dengan uang segitu,” kata salah satu pedagang dengan tawa sinis, “Kambing kurban, paling murah itu setidaknya satu, Mas, satu juta.”
Aku pun kembali ke rumah dengan lesu. Kulihat emak masih terbaring di ranjangnya dengan mata terpejam, dengan mukena yang tak pernah lepas.
Esok harinya aku kembali berkeliling, dengan tambahan uang 250 ribu dari istriku. Jadi, uang yang kubawa untuk seekor kambing adalah satu juta rupiah. Aku berangkat dengan sesungging senyum, dengan uang tambahan itu mungkin aku akan dapat seekor kambing dari seorang pedagang yang dermawan. Tak kurang dari lima tempat aku datangi, dan aku tetap tidak mendapatkan kambing dengan harga satu juta rupiah. Ada satu kambing dengan harga satu juta, meski kambing itu telah memenuhi persyaratan untuk kurban, tapi kambing itu terlalu kecil dan kurus dan tampak kurang sehat, meski si pedagang mengatakan bahwa kambingnya baik-baik saja dan keadaanya memang seperti itu.
Akhirnya aku memilih untuk mencari kambing di tempat lain. Dengan keadaan hampir putus asa, aku mendatangi sebuah tenda di mana puluhan kambing mengembek dan telah siap untuk dikurban. Seorang lelaki dengan perawakan sedang, dengan wajah jernih dan sedikit jambang,  menyambutku dengan sumeringah. Ia menceritakan kondisi kambing-kambing yang ia jual berikut harga-harganya. Kambing-kambing yang ia jual semuanya gemuk-gemuk dan tampak sangat prima, aku sudah menduga harga kambing-kambing itu, dan aku sudah siap gagal untuk ke sekian kalinya. Aku belum sempat menawar satu pun dari kambing itu, namun aku sudah berniat untuk meninggalkan tempat itu.
“Mengapa Anda terburu-buru, tidakkah Anda ingin melihat-lihat dulu, soal harga bisa dirundingkan,” kata lelaki jernih itu dengan seulas senyum.
“Saya tahu, uang saya tak akan cukup meski harga kambing itu sudah Tuan turunkan, makanya lebih baik saya pergi saja, saya sudah berkeliling sejak kemarin dan saya memang sedang bermimpi bisa mendapatkan kambing bagus dengan harga segitu,” kataku apa adanya.
Lelaki itu melambaikan tangannya, menyuruhku duduk di sebelahnya, “Memangnya berapa uang yang Anda bawa?”
Satu juta,” jawabku singkat.
Lelaki itu tersenyum, tapi bukan senyum sinis, “Coba Anda ceritakan, mengapa Anda bersikeas untuk mendapatkan seekor kambing, sedangkan Anda tahu uang Anda tak akan cukup.”
Dengan tenang aku mulai menceritakan semuanya, tentang emak, tentang kebiasaannya setiap lebaran kurban tiba, tentang mimpi-mimpinya, sampai akhirnya tentang mengapa aku bersikeras ingin mendapatkan kambing dengan uang alakadarnya. Setelah mendengar ceritaku, lelaki itu menepuk pundakku dan mengatakan, “Kau boleh membawa satu kambingku, yang mana pun.”
Mendadak tubuhku gemetar mendengarnya, aku nyaris ambruk karena tak percaya, aku terkikik sekilas, “Anda bercanda…”
“Saya tidak bercanda,” lelaki itu itu malah menuntunku untuk memilih kambing yang paling besar dan paling gemuk.
“Tapi uangku cuma satu juta,” kataku masih dengan suara gemetar karena tak percaya. Aku menyerahkan gumpalan uang yang kuyu pada lelaki itu. Tapi lelaki itu menolak.
“Saya akan menerima uang itu nanti, setelah Anda membawa kambing itu ke hadapan ibu Anda.”
Aku semakin bingung. Namun lelaki itu menyuruhku untuk bersegera membawa kambing itu. Katanya, supaya aku percaya bahwa ia sunguh-sungguh dan aku tidak sedang bermimpi. Maka, dengan tangan dan kaki gemetar aku terus berjalan dan terus-menerus menengok ke arah kambing gemuk yang mengembek di belakangku. Aku masih takut jika kambing itu hanya sebuah mimpi dan kemudian aku terbangun dengan tangan kosong. Namun, sampai di depan rumah, tepatnya sampai di depan kamar emak—aku sengaja membawa kambing itu sampai ke kamar emak, kambing itu masih utuh. Aku tak sabar untuk menceritakan semuanya kepada emak.
“Ya. Kambing itu buat emak. Buat kurban, atas nama emak,” tuturku dengan dada sedikit gugup karena bahagia. Emak tak bisa berkata sepatah kata pun. Ia hanya menangis. Turun dari ranjangnya—masih dengan mukenanya, dan memeluk kambing itu erat-erat. Aku dan istriku, juga emak, mungkin masih tak percaya. Tapi kami semua percaya, bahwa Gusti Allah punya cara yang tak pernah diduga-duga manusia.
Aku tak sabar untuk kembali kepada lelaki itu dan mengucapkan terima kasih dan menceritakan ekspresi emak saat kambing itu kubawa ke hadapannya. Namun, ketika aku sampai di tempat semula, aku tidak mendapati apapun. Di tempat itu tidak ada tenda, tidak ada orang berjualan kambing atau apapun. Bahkan bekas maupun bau-bau kambing pun tidak ada. Sama sekali. Lenyap. Seperti ditelan tanah. Ketika kutanya pada orang-orang yang mukim disekitar situ, mereka bilang bahwa di tempat itu memang tidak ada orang berjualan kambing atau apapun. Tempat itu hanya tanah kosong yang tidak dipelihara.
Dengan tubuh gemetaran, dahi berkeringat dan telapak tangan yang tiba-tiba dingin, aku bergegas kembali ke rumah dan bertanya-tanya, apakah kambing itu masih nyata. Dan sesampainya di rumah, aku melihat emak—dengan wajah sumeringah, seolah tidak sedang sakit—tengah memberi makan kambing itu di halaman rumah. Kambing yang sama dengan yang kutuntun beberapa waktu lalu, kambing yang besar dan gemuk. Mulutku masih tercekat, ketika Emak berteriak, “Kapan kambingnya mau di bawa ke masjid?”***
Malang, Jelang Kurban, Oktober 2013