Oleh Mashdar Zainal
SETELAH mendengarkan sebuah cerita, Mahisa tak jenak lagi memejamkan kedua matanya, apalagi makan dengan tenang. Semua pasti sepakat bahwa cerita itu memang benar-benar keramat. Ya, cerita tentang masa, bahwa suatu saat nanti matahari akan tergelincir dari ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala manusia.
Sebongkah bara raksasa akan menjerang manusia hidup-hidup dalam tungku yang terbangun dari batu-batu hati yang keras. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut mengendus keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang sampai mata kaki, lutut, dada, dan akhirnya meneggelamkan kepala mereka.
***
Mahisa tercenung di depan meja makan yang megah. Meja makan berbentuk lingkaran yang terbuat dari batu marmer. Meja makan otomatis yang bisa berputar sendiri, mempersilakan menu-menu istimewa untuk tuannya. Mata Mahisa menilik satu per satu piring, mangkuk, dan cawan berkaki yang semuanya berisi.
Seorang khadimah mendekatinya, “Mengapa Tuan tak bersegera makan? Bunda Nonya pasti akan memarahi saya jika Tuan tidak jenak makan, hanya karena menu masakan yang saya sajikan kurang menarik.”
“Bukan. Bukan itu, Bi. Emm .… Bi, bibi pernah kelaparan.” Mahisa balas bertanya.
“Mengapa Tuan menanyakan itu?”
“Karena saya belum pernah. Bibi pernah?”
“Syukur alhamdulillah, sejak Bunda Nyonya kecil, bibi sudah ikut keluarga ini. Dan bibi maupun keluarga bibi belum pernah mengalami yang namanya kelaparan. Ya, na’udzubillah, Tuan!”
“Kok na’udzubillah? Memangnya rasa lapar itu sangat menakutkan ya, Bi?”
“Rasa lapar itu lebih mengerikan dari apa pun. Rasa lapar datang dari perut. Dan perut adalah ibu dari segala kelaliman.”
Mahisa tercenung. Tak sedikit pun hidangan yang tersedia di hadapannya disentuhnya. Ia membayangkan matahari mengapung beberapa senti dari kepalanya. Ia bergidik ngeri. Beberapa detik kemudian ia berlari ke kamarnya.
“Tuan, Tuan kenapa? Mau ke mana? Tuan?” bibi mengejarnya.
Mahisa mengambil kaus jaketnya dan berlalu, “Maaf, Bi. Saya ingin jalan-jalan. Nanti kalo Bunda telepon dan menanyakan apa saya sudah makan atau belum. Bibi bilang saja kalau saya sedang puasa.”
“Tuan puasa?” bibi mematung.
Mahisa tersenyum dan berbalik.
“Lalu Tuan mau ke mana?” bibi membuntutinya.
“Jalan-jalan.”
“Iya, jalan-jalannya ke mana?”
“Ke kampung lapar.”
“Kampung lapar?” bibi tercengang, mencerna sesuatu.
“Iya, Bi. Kampung yang membuat saya penasaran.”
Bibi terus mengintil, “Lalu Tuan pulang jam berapa?”
“Entahlah, Bi.”
“Kok entahlah?”
“Ya, saya akan pulang setelah saya benar-benar kenyang dengan rasa lapar.”
Bibi mematung di depan pintu. Mulutnya menganga. Alisnya bertaut. Dahinya berkerut.
***
Mahisa bergegas meninggalkan bibi yang masih mematung di depan pintu. Ia sengaja meninggalkan kunci mobilnya di kamar. Ia hanya ingin berjalan. Benar-benar berjalan dengan dua kakinya yang telanjang. Beriring langkahnya yang kukuh dan terus berayun, sesuatu yang ada dalam kepalanya meletup-letup. Ia telah hidup puluhan tahun, dan bagaimana mungkin ia tak pernah merasakan lapar.
Hari-hari Mahisa terperangkap oleh perhatian bundanya. Maklumlah ia putra semata wayang. Sejak kecil, Mahisa telah menjadi sebongkah emas bagi keluarganya. Jangankan kelaparan, digigit nyamuk pun bunda tak akan membiarkannya, bunda akan segera mengolesi bentolnya dengan minyak tawon. Meski bunda seorang wanita karier, ia tak pernah lepas perhatian kepada putra satu-satunya. Siapa lagi yang akan memperhatikannya. Pun papa tak mesti seminggu sekali ada, papa adalah seorang duta negara yang sibuk, yang selalu melakukan perjalanan jauh dengan pesawat terbang.
Ketika bunda nyonya berangkat kerja, semua keperluan Mahisa telah dipasrahkan kepada bibi, orang kepercayaan keluarga. Tak lupa, tiga sampai lima jam sekali, bunda nyonya menelepon dari kantornya. Menanyakan apakah Mahisa sudah makan dan minum vitamin, atau dia pergi ke mana dan dengan siapa, lalu ngapain saja, pulang jam berapa. Begitulah rentetan pertanyaan bunda untuk Mahisa. Terkadang Mahisa mulai merasa jenuh. Bukan, bukan jenuh. Mahisa hanya merasa kurang nyaman dengan perhatian bunda yang berlebihan. Ia bukan lagi bocah belasan tahun. Tapi, apa pun keputusan bunda, Mahisa selalu menghormatinya.
***
Mahisa menoleh ke belakang, rumahnya yang menjulang masih tampak dari kejauhan. Ia terus melangkah. Kaki putihnya mencengkram gili-gili. Setapak demi setapak. Sengatan matahari mulai menjilat tengkuknya. Ia menengadahkan wajah ke langit. Silau. Kakinya terus berayun, dari trotoar, sesekali meloncat ke jalan beraspal yang membara seperti panggangan steak. Detik-detik menggeliat kepanasan. Menit dan jam berlalu menjadi bulirbulir keringat. Seperti asap yang terjebak dalam tungku.
***
Jauh sudah ayun langkah Mahisa. Sama sekali ia tak tahu-menahu di mana sekarang ia berada. Baru saja ia melewati perbatasan kota kedua. Meski acap kali alisnya bertaut, tapi ia tak pernah khawatir tersesat, karena ia benar-benar tahu arti tersesat. Yaitu, ketika arah tak jangkau pandang dan matahari berguling-guling beberapa senti di atas kepala. Itulah tersesat.
“Perutku.” Mahisa mengusap perutnya. “Sebentar lagi aku akan sampai di kampung lapar. Aku tak boleh beku langkah.”
Kaki Mahisa kini berayun dengan runtun, bagai langkah paskibra. Ia memicingkan mata ketika tiba-tiba asap tebal menghalangi pandangannya. Ia mencium bau plastik entah rambut terbakar. Ia tak peduli, ia hanya sedikit memperlambat langkahnya. Ketika asap itu perlahan pudar, Mahisa menghentikan hentak langkahnya. Matanya nanar menatap sebuah kampung yang beratap seng dan kardus-kardus bekas. Dari tempatnya berdiri, Mahisa bisa mengucup aroma kumuh. Kumuh yang aneh.
Mahisa kembali menggerakkan kakinya, ia melewati gundukan sampah yang menggunung di dekat pintu masuk kampung. Ia melewati rumah-rumah ringkih yang menjerit dalam diam. Sunyi. Air kotor menggenang di mana-mana. Lalat dan nyamuk sampah menguing. Tanah-tanah becek menguapkan bau lumut yang terkontaminasi keserakahan. Sesekali Mahisa mendengar jeritan parau dari dalam rumah-rumah yang pintunya tertutup oleh kain-kain kumal. Mahisa melihat dua anak kecil yang menggelosor di bawah kursi sambil menjilati ingusnya. Berikutnya, ia menyaksikan ibu-ibu tua yang menyuapi anaknya yang busung lapar dengan makanan yang dikerubuti lalat. Mahisa tak menghentikan langkahnya. Matanya nyalang seperti kamera yang menjepret apa saja.
Langkah berikutnya, Mahisa melihat dua orang pemuda yang mencengkram kaki binatang yang meronta-ronta. Perempuan baya di sebelahnya menggenggam parang yang berkilat. Seorang anak kecil yang tak berbaju, bergelendotan di kaki perempuan itu. Mahisa mendekat.
“Apa yang akan kalian lakukan.” Tanya Mahisa mengagetkan mereka.
“Kami akan menyembelih binatang ini.” Salah seorang pemuda menjawab.
“Hei, itu bukan kambing, kan? Itu anjing, kan?”
“Oh, ini bapak kami. Beliau berubah menjadi anjing. Beliau sendiri yang meminta kami menyembelihnya. Beliau hanya tak ingin melihat kami kelaparan.”
Mahisa terhenyak dan nyaris muntah. Ia bergegas meninggalkan gerombolan itu dengan kaki mulai gemetar. Beberapa kali perutnya berkeriuk, berkabar tentang rasa lapar yang sebenarnya. Mahisa mempercepat langkah kakinya. Tergesa. Ia terhenyak, serta merta menghentikan langkah, ketika kakinya menyandung sesuatu. Sebuah kardus. Kardus yang tertutup kain tipis seperti taplak meja. Ada yang menggeliat dalam kardus itu. Mahisa bertanya-tanya. Disingkapnya kain penutup itu perlahan. Seonggok bayi merah menggeliat menendang-nendang dinding kardus. Mahisa miris melihatnya. Dadanya sesak. Ketika telunjuknya mendekat, hendak menyentuh tangan bayi itu. Mahisa benar-benar tak percaya. Bayi itu bisa bicara. Bayi itu mengaku, sengaja dibuang ibunya karena tak punya cukup biaya untuk membeli susu atau sekadar pisang.
Dada Mahisa masih bertalu dalam rasa sesal dan pertanyaan-pertanyaan. Ketika matanya menengadah ke langit, ia merasakan, bahwa matahari yang berpijar di petala langit tampak lebih besar dari yang seharusnya, lebih dekat. Mahisa menunduk, mengabaikan silau yang menikam pupilnya. Mahisa menjerit sekeras-kerasnya ketika kardus berisi bayi di hadapannya lenyap dibawa lari seekor anjing. Mahisa tak kuasa mengejarnya. Ia panik, berlari pontang-panting tak yakin arah. Setelah beberapa meter, di bawah sebuah pohon yang rindang, ia berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Kali ini perutnya terasa menciut, ususnya mengering melilit lambung dan tulang. Ia yakin sekali, itu yang disebut lapar.
Mahisa melempar paku pandangnya jauh. Sejauh hasta pandang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan pulang, dan sama sekal ia tak berhasil. Ia benar-benar ingin pulang. Bukan untuk memenuhi perutnya dengan makanan. Mahisa hanya ingin membawakan makanan yang melimpah di rumahnya kepada orang-orang itu, orang-orang yang dihantui rasa lapar dan kematian.
Sekarang Mahisa tahu, apa itu lapar. Pantas saja, dalam cerita itu, orang-orang yang tak peduli dengan saudaranya sesama manusia—yang kelaparan—kelak tak akan dapat naungan ketika Matahari benar-benar didekatkan sampai beberapa senti di atas kepala mereka. Ya, Mahisa tak ingin mencicipi matahari memberangus kepalanya, selebihnya Mahisa hanya ingin berbagi. Tapi bagaimana? Ia benar-benar tak ingat jalan pulang.
***
Mahisa terheran-heran, perjalanannya sudah terasa sangat lama. Tapi langit tak juga remang. Matahari semakin nanar dengan pijarnya. Mahisa memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanannya, ke mana saja, yang penting ia bergerak. Mahisa memutar haluan sampai ia menemukan kembali perbatasan kota. Di sebuah gerbang tugu, ia membaca tulisan ‘Selamat Datang di Kota Kenyang’. Ya, itulah kota tempat ia tinggal selama ini. Ia senang bukan kepalang, berkali-kali ia menggumam hamdalah. Anehnya, setelah memasuki perbatasan, Mahisa tak menemukan satu rumah pun, tak juga pepohonan, atau jalan-jalan beraspal. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan pasir. Serupa gurun.
Mahisa mengayun langkahnya penuh keragu-raguan. Ia bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan kota ini. Apa ini sebuah mimpi? Mahisa menjambak rambutnya sendiri. Sakit. Tapi ini sangat aneh, belum genap satu hari ia pergi, dan semuanya berubah. Tukang sulap mana yang bisa menyulap kota menjadi padang gersang. Mahisa mengerjapkan matanya. Hawa panas kembali menyengat tengkuknya. Mahisa sendiri merasakan, dulu kota tempat ia tinggal tak pernah sepanas ini. Apa karena padang pasir ini? Di mana pula penduduk kota? Ia tak melihat seorang pun di sana. Sepi yang menyala-nyala.
Setapak demi setapak, Mahisa menggerakkan langkahnya. Ia sangat khawatir dan takut. Ia menegadahkan kepalanya ke langit. Silau. Matahari tampak lebih besar dari biasanya. Lebih dekat. Ia kembali memutar cerita itu dalam kepalanya, cerita tentang masa, bahwa suatu saat nanti matahari akan tergelincir dari ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala manusia. Sebongkah bara raksasa akan berputar-putar di atas kepala manusia. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang sampai mata kaki, lutut, dada, dan akhirnya menenggelamkan kepala mereka. (*)
Malang, April 2010
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Novelnya yang sudah terbit: Zalzalah (Semesta, Pro-U Media Jogja, 2009). Puisinya juga termaktub dalam antologi puisi: Doa ‘Akasyah (Beranda, Intrans, Malang, 2009). Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Lembah Ibarat dan FLP Malang.