Laci Kesedihan (Koran Tempo, 29-30 Juli 2017)





Mira teringat kata-kata ibunya, suatu saat jika kesedihan mendatangimu, pejamkan matamu lekat-lekat. Lalu ambilah kesedihan itu dari dadamu dan letakkanlah ke dalam laci yang tak kau pakai di rumahmu. Bisa laci di bawah meja, atau laci dalam lemari, atau laci apa saja yang jarang kau sentuh. Biarkan kesedihan itu bersemayam di sana. Janggan kau ganggu gugat. Sampai kesedihan itu lenyap dimakan waktu.
“Bagaimana cara meletakkannya, Bu? Apakah seperti meletakkan pakaian usang yang tak dipakai lagi?” Tanya Mira waktu itu.
“Ya, kesedihan memang pakaian yang tak perlu kau pakai berlama-lama. Maka, singkirkan saja ia. Pejamkan saja matamu. Lalu masukanlah kedua tanganmu ke dalam laci yang terbuka itu. Rasakan saja, setiap kesedihan itu mengalir dari dadamu, melalui tanganmu, dan megucur ke dalam laci itu. Jika kau harus menangis, menangislah. Ketika kemudian kau rasakan hatimu sedikit ringan, berarti kesedihan itu telah berpindah dari tanganmu ke dalam laci itu.”
Dulu, ibu Mira sering sekali bersedih hingga di rumah banyak sekali laci kosong tak terpakai. Pasti ibu sengaja menggunakan laci-laci itu untuk menyimpan kesedihannya. Jadi laci-laci itu tak benar-benar kosong. Ada kesedihan ibu di dalamnya.  
Mira punya seorang ayah, hanya saja, ibu tak pernah memberi tahu ayah soal laci-laci kesedihan itu. Ayah juga jarang sekali menyentuh laci-laci itu. Ayah tak punya banyak alasan untuk menyentuh lemari-lemari, meja-meja, atau bahkan laci. Setiap ayah butuh pakaian atau sesuatu, selalu ibu yang menyiapkannya sehingga ayah tak perlu repot-repot membuka lemari di mana laci kesedihan ibu meringkuk di dalamnya.
Ayah datang ke rumah setiap dua hari, dua hari berikutnya ia tak pulang, dan lalu pulang setelah dua hari ia tak pulang.
Ibu bilang, “Ayah harus bekerja dan mengurus orang lain seperti mengurus kita setiap dua hari.”
 Mira juga merasa heran, menurut Mira, bukan ayah yang mengurus Mira dan ibunya, tapi ibu yang mengurus ayah dan Mira. Tapi sudahlah, Mira tak mau memikirkan itu panjang-panjang. Ia takut bingung, meski sebenarnya Mira sudah bingung. Karena ayah-ayah teman Mira tak perlu tak pulang untuk mengurus orang lain selama dua hari.
Setiap dua hari tanpa ayah itulah, Mira sering melihat ibunya termenung di kursi dapur atau meja makan. Atau kadang di bibir ranjang. Sebelum akhirnya mendatangi laci-laci yang tak terpakai untuk menuntaskan tangis di hadapannya. Mengalihkan kesedihan dari tangannya. Agar berpindah ke dalam laci-laci malang itu.
Setalah bertahun-tahun terlewat, dan usia Mira beranjak matang, Mira lekas memahami bahwa ayah memiliki dua perempuan dan dua anak dari dua perempuan. Perempuan pertama adalah ibu Mira yang melahirkan Mira, dan perempuan kedua adalah perempuan lain yang juga melahirkan anak lain yang bukan Mira. Barangkali ayah seperti seekor serangga, kupu-kupu, atau mungkin capung, atau mungkin kumbang, yang harus memiliki sayap sama di kiri kanan. Sayap pertama dan kedua. Sayap yang harus sama-sama diurus secara adil. Ya, barangkali memang begitu seorang laki-laki. Ia takkan bisa terbang hanya dengan sebilah sayap. Ayah takkan bisa terbang jika hidup hanya dengan ibu Mira. Tapi Mira tetap saja bingung. Bahkan, sampai ibu akhirnya meninggal karena serangan jantung—menurut Mira, ibu meninggal karena kesedihan yang turut bersarang di jantung, bukan serangan jantung, Mira tetap saja bingung memahami ayah.
Setelah ibu meninggal, Mira tinggal serumah dengan ayah dan perempuan itu, perempuan ayah yang selain ibu. Tentu saja perempuan itu berbeda dengan ibu. Meski perempuan itu tak pernah memarahi Mira, tapi Mira tahu perempuan itu dan anak perempuannya tak pernah menyukai Mira. Sebagaimana Mira tak pernah menyukai mereka. Memangnya siapa yang bisa menyukai anak dari perempuan lain yang merebut ayah dari ibu? Memangnya siapa yang bisa menyatukan dua sayap yang ada di kiri dan di kanan?
Setiap kali waktu makan tiba, ayah benar-benar seperti kepala seekor serangga. Meja makan itu berbentuk persegi panjang. Ayah duduk di salah satu ujung, menjadi titik pusat, sedangkan Mira di sebelah kanan ayah, dan perempuan itu serta anaknya duduk di sebelah kiri ayah. Seandainya ibu Mira masih hidup dan duduk persis di sebelah kanan ayah, sejajar berhadap-hadapan dengan perempuan itu, barangkali ayah langsung bisa terbang karena sayap-sayapnya telah lengkap. Membayangkan itu, Mira teringat ibunya hingga kesedihan itu mendatanginya seperti angin dingin yang tiba-tiba mengusap kulit, lalu meresap ke pori dan membekukan sesuatu yang ada di dalam, membuat sesuatu itu sesak sampai air mata pecah dan memeleh di pipi Mira.
Pada saat-saat seperti itu, Mira lebih banyak menundukkan kepala, sebelum menyendiri di kamarnya dan berdiri di depan laci yang terbuka lebar di bawah meja belajarnya. Ayah sering datang ke kamar Mira untuk mengusap pundak Mira dan bertanya ada apa? Tapi Mira lebih suka bungkam. Oh, betapa lelaki ini tak pernah bisa memahami sayapnya sendiri, sayapnya sebelah yang tinggal satu, pikir Mira dengan mulut terkatup rapat. Sepertinya Mira juga tak bisa menyukai ayahnya seperti anak-anak lain menyukai ayahnya. Entah mengapa. Terkadang Mira berpikir bahwa ibunya meninggal lantaran ayahnya sendiri.
Ayah menduakan ibu dan ayah menduakan Mira. Itu yang terjadi. Mira tak bisa menahan rasa sesak di dadanya setiap kali melihat ayah memeluk perempuan itu, bersendagurau dengan anak itu. Ayah sering mengajak perempuan itu dan anaknya keluar untuk jalan-jalan dan bersenang-senang tanpa Mira. Ayah memang selalu menawari Mira untuk ikut, tapi tatapan kedua perempuan itu selalu mengatakan begini, “Menyingkirlah! Kehadiranmu hanya akan merusak kebahagiaan kami. Merusak kebahagiaan kami.” Dan ayah juga tak pernah memohon Mira dengan sungguh-sungguh, agar Mira benar-benar ikut. Semua hanya basa-basi. Seolah ayah juga senang kalau Mira tidak ikut. Kalau ayah mau tahu, hati Mira sakit sekali. Hancur. Barangkali seperti itulah hati ibu dulu, ketika dua hari ayah rutin menghilang.
Mungkin ayah tampak berusaha berbuat adil, tapi sungguh, di dunia ini tak benar-benar ada perempuan yang sudi diduakan. Sehingga adil itu nyaris tak pernah ada. Bahkan seandainya ibu Mira seorang malaikat, ia akan tetap merasa sedih ketika lelakinya menemui perempuan lain untuk berusaha berbuat adil. Mira tahu, selama hidup bersama ayah, ibu hanya menyembunyikan kesedihan itu dari ayah dan meletakkannya di dalam laci. Hingga ayah tak pernah sadar, bahwa ibu mati karena kesedihan itu. Kesedihan yang terlalu banyak hingga laci-laci di dunia ini sekalipun tak akan cukup untuk menyimpan kesedihan itu. Ya, sebab itu ibu mati. Dan yang ayah tahu soal ibu hanya, bahwa ibu adalah seorang perempuan yang baik lagi penurut, tegar dan tak banyak menuntut. Dan Mira, ia benar-benar tak mau mati seperti ibu.
Tinggal serumah dengan ayah dan perempuan itu dan anaknya, bagi Mira sama artinya dengan meramu bunga-bunga kesedihan. Laci di lemari Mira rasanya sudah tak cukup untuk menyimpan kesedihan itu. Laci di bawah meja belajar Mira juga sudah penuh oleh luapan kesedihan. Bahkan kamar Mira terasa sesak oleh kesedihan yang meluber dari waktu ke waktu. Sudah tak cukup lagi.
Malam itu, ketika ayah dan perempuan itu dan anaknya pergi bersenang-senang, Mira memilih untuk memulai hal baru. Ia ingin bangkit. Ia ingin terbang bebas seperti serangga. Ia ingin pergi dan terlepas dari setiap kesedihan yang membelunggunya. Kesedihan itu harus dilenyapkan. Laci-laci itu harus disingkirkan dan diisi dengan sesuatu yang lain. Dan Mira sudah mengisinya.
Sepaket kosmetik lengkap dan sebuah cermin mungil telah mengisi kemurungan laci itu. Beberapa helai baju dan majalah-majalah perempuan juga telah mengisi laci-laci lain. Dan Mira telah siap. Malam itu, Mira memoles wajahnya. Gurit cantik yang tersembunyi itu semakin nyata. Lipstik merah muda itu telah membuat bibir Mira tampak penuh. Dan bayangan mata yang ia oleskan di sekitar mata itu membuat mata Mira tampak tajam seperti dua cahaya yang takkan pernah padam.
Malam itu, Mira ingin menjadi serangga betina yang terbang bebas dengan ribuan sayap di sisinya. Ribuan sayap yang terbuat dari helai-helai kesedihan yang diperam begitu lama dalam laci-laci di kamarnya.***
Malang, 2016

Uak dan Burung Gagak (Kedaulatan Rakyat, 09 Juli 2017)





Seekor burung sehitam sulang beterbangan di atas bubungan rumah kami. Berputar-putar. Berkoak-koak. Uak bilang itu burung gagak. Terdengar jelas dari suaranya yang kaak kaak kaak… Soal burung gagak, Uak pernah menceritakan, barang siapa yang rumahnya dikitari burung hitam itu, pertanda salah seorang dari anggota rumah tersebut akan meninggal. Menurut Uak, itu bukan cerita belaka, melainkan sebuah firasat. Sebuah pertanda.
“Orang-orang terdahulu menandai kabar kematian seseorang dengan burung gagak,” ujar Uak suatu kali, sambil menggulung kulit jagung yang berisi rajangan tembakau.
“Mengapa harus burung gagak?” aku menyoal.
Uak terus menggulung rokok kelobotnya, sebelum mengapitnya di antara dua bibir, “Karena gagak adalah burung bangkai,” jawabnya dengan bibir nyaris rapat.
Uak menyalakan korek dan membakar ujung kelobot yang siap mengepul di antara dua bibirnya. Aku menatap Uak dengan segenap kumis, janggut, dan rambutnya yang serba putih. Aku takut kalau rambut-rambut yang tampak kerontang itu ikut terbakar.
“Burung bangkai cukup lihai untuk mengendus siapa-siapa yang akan menjadi calon bangkai, calon mayat,” lanjut Uak.
“Jadi kalau ada burung gagak berkoak di atas atap rumah kami berarti salah satu di antara kami, ibu atau bapak atau kakak-kakaku atau aku akan mati?” aku menyimpulkan.
“Bisa jadi, dan kalau burung bangkai itu mengitari atap rumah Uakmu ini, bisa dipastikan Uakmu ini yang akan mati,” Uak turut menyimpulkan, dengan intonasi sedikit berkelakar. Tapi aku tak sedikitpun menangkap ada yang lucu dari kata-kata Uak.
Uak adalah kakak tertua ibu. Ia tinggal di rumah besar tapi reot, tepat di sebelah rumah kami, hanya terpisah pekarangan selebar sepuluh meter. Istri Uak meninggal dua belas tahun silam, sebelum aku lahir. Uak tak memiliki anak, dan Uak tak menikah lagi. Rumah yang ditempatinya itu dulunya adalah rumah utama kakek dan nenek, waktu masih kecil ibu juga tinggal di rumah itu. Namun setelah kakek dan nenek meninggal, serta Uak dan saudara-saudara ibu lainnya menikah, rumah itu jadi sepi. Tinggal Uak seorang dan istrinya yang menempati rumah itu. Hingga istrinya meninggal di rumah itu. Hingga kini, rumah itu hanya ditinggali Uak seorang. Uak cukup tua untuk menjadi seorang Uak, bahkan rasanya pantas-pantas saja misalkan aku memanggilnya kakek. Beberapa teman sepermainanku memangilnya kakek.
Semenjak Uak tinggal seorang diri di rumah besar itu. Rumah itu jadi kurang terurus. Dapur di rumah besar itu sudah tak mengepul selama bertahun-tahun. Setiap hari, ibu menyuruhku menyelinap ke rumah sepi itu untuk mengantarkan nasi serta lauk-pauk, juga secangkir kopi di pagi dan petang hari. Di bagian tengah rumah itu ada sebuah meja kayu bundar tanpa taplak yang tampak usang dan berdebu, sesekali ketika ibu membersihkan rumah itu, ibu selalu mengelap meja itu dengan kain basah. Di meja itulah aku meletakan aneka makanan yang menjadi jatah Uak. Uak tidak bekerja. Sesekali saja ia menjadi makelar ternak, namun lebih banyak menganggur. Uak suka duduk mencangkung di dipan ruang tengah sambil mendengarkan radio dan merokok kelobot. Hinga aroma pakaian dan tubuh Uak selalu seperti pendiangan. Itulah Uakku, orang yang mengatakan bahwa rumah yang dikitari burung gagak adalah rumah yang bakal dihinggapi kesedihan lantaran kematian.
Dan seperti yang pernah kusimpulkan, burung sehitam sulang itu kini berputar-putar di atas bubungan rumah kami. Melihatnya aku menjadi sangat cemas. Aku tak mau memikirkan soal kematian, tapi diam-diam aku menebak-nebak siapakah gerangan yang akan disambangi malaikat maut di antara kami. Apakah itu ibu, bapak, kakak-kakakku, atau malah aku sendiri. Tapi rasanya mustahil, semua orang di rumah kami tampak sangat sehat. Jauh dari tanda-tanda kematian. Tapi, sebagaimana yang pernah Uak katakan padaku, kematian itu bisa datang dengan seribu jalan, bukan sekadar sakit. Tiba-tiba, aku membayangkan bapak ditubruk kereta saat pulang dari tempatnya bekerja. Atau kakak-kakakku yang terlibat tawuran atau terkena bidikan senapan angin yang salah sasaran di pinggir jalan. Atau bahkan, ibu yang tiba-tiba terbakar saat sedang memasak di dapur. Aku berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran mengerikan itu, tapi kata-kata Uak terus-terusan mengompor di kupingku.
Senja hari selepas suara burung hitam itu tak terdengar lagi, aku meringkuk di pangkuan ibu. Rumah cukup sepi. Ayah belum balik kerja, dan kakak-kakakku keluyuran entah ke mana. Aku takut sekali. Maka, kuceritakan pada ibu semua yang telah diceritakan Uak padaku, soal burung hitam itu, soal firasat kematian.
“Itu cuma burung, Nak,” jawab ibu enteng, tak sedikitpun kecemasan tersirat di wajahnya.
“Tapi kata Uak, burung sering datang sebagai alamat, burung prenjak berkicau di pekarangan rumah sebagai pertanda datangnya tamu. Dulu, waktu Budhe mau datang dari Kalimantan, ada burung prenjak juga yang berkicau di atas pohon petai. Tapi sekarang burung gagak, dan kata Uak…” kataku terpasung, penuh kemurungan.
“Hidup dan mati itu urusan Tuhan, bukan urusan burung-burung,” ibu menyanggah. Kata-kata yang nyaris sama pernah kudengar dari guru agama di kelasku, bahwa kematian itu memang urusan Tuhan.
“Tapi, bukankah Tuhan kerap mengirim tanda-tanda buat seseorang?” aku berusaha mendebat ibu.
“Dan kiriman itu bukan berupa burung,” sahut ibu, cepat, “tapi berupa uban, sakit, pendengaran yang buruk, serta penglihatan yang mulai buram, itu yang ibu tahu,” sambung ibu setengah berbisik. Membuatku bungkam, tak hendak membantah kata-katanya lagi.
“Oh ya, sebentar, kopi Uakmu,” ibu beranjak ke dapur, kesunyian segera membaluriku. Terdengar suara cangkir mengetuk punggung meja, lalu suara sendok yang mengetuk-ngetuk dinding cangkir. Tak kurang dari lima menit, secangkir kopi mengepul sudah berpindah ke tanganku. Dan sebentar lagi akan melayang ke maja bundar di rumah Uak, lalu Uak menyeruputnya sambil bercerita apa saja kalau aku tak segera enyak dari hadapannya. Asap tipis dari permukaan cangkir berlambaian dihalau angin. Aroma pahit kopi menguar menerobos lubang hidungku. Warna hitam yang berguncang dalam cangkir mengingatkanku pada bulu-bulu gagak yang mengkilap. Aku kembali teringat soal firasat kematian itu.
Aku mengetuk pintu rumah sebelah dan menerobos begitu saja karena pintu rumah itu tak pernah terkunci. Suara radio sayup-sayup melantunkan iklan anggur kolesom. Aku meletakkan kopi itu di atas meja dan menyeru Uak. Tapi Uak tak menyahut. Biasanya begitu aku menyeru soal kopi, Uak segera muncul. Dipan ruang tengah kosong. Aku merunut muasal suara radio yang sudah berganti melantunkan lagu dangdut lawas.  Suara itu jelas berasal dari kamar Uak. Benar. Dan di kamar itu, di atas dipan, di sebelah radio yang terus mengoceh, aku mendapati Uak berbaring miring memeluk lutut, berkemul sarung.
“Uak, kopinya…” kataku. Tapi Uak tak bergeming.
Aku menggoyangkan tubuhnya. Beberapa kali. Dan Uak tetap tak  bergerak. Tubuhnya dingin dan sekaku kayu bakar. Aku menghambur menyeru ibu. Lalu silih ibu yang berlarian menyeru para tetangga dengan muka panik. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mendengar suara sepiker memekik lantang dari bubungan surau. Nama Uak disebut di sepiker sebanyak dua kali. Sebagai si mati. Sebagai si mati.***
Malang, 2016

Mata Ratri (Suara Merdeka, 11 Juni 2017)





Di dunia ini akan selalu ada mata-mata yang mampu membuatmu menggigil. Mata-mata itu akan menatapmu hingga langit seolah memburam seketika, dipenuhi mendung yang bergulung. Ketika mata-mata itu menatapmu atau matamu yang menatap mata-mata itu, beberapa detik saja, maka jiwamu akan seperti dihujani gerimis yang runcing yang semakin lama semakin membabi buta, seperti ribuan jarum beku yang menelusup ke pori tubuhmu. Membekukan darah dan belulangmu. Membekukan syaraf dan ingatanmu. Itu akan dingin. Sangat dingin. Hingga mungkin saja kau dibuat tak berdaya olehnya.
Di kampung tempatku tinggal, di bawah langit yang sama, aku menemukan mata itu di antara jutaan mata di luar sana. Mata dengan curah hujan tak terkilas, seperti daratan Alaska yang lembab dan dingin. Terlampau dinginnya, seakan tubuh yang menopang kedua mata itu tak pernah sanggup menopangnya. Tubuh itu seolah hanya jasad yang membeku karea terlalu lama menopang sepasang mata yang tak henti-henti mengucurkan hujan. Dan mata itu adalah mata Ratri.
Ratri tinggal di rumah petak kecil bersama ibu dan adiknya yang pendiam. Setiap kami melewati halaman depan rumah Ratri, tiba-tiba kuduk kami akan  meremang. Seperti ada seseorang meniup tengkukmu. Ratri tak pernah mampu mengendalikan hujan dalam sepasang matanya. Dan kami mengira, hujan itu bermula sejak tiga orang bercadar menyusup ke dalam rumahnya di tengah malam, tiga tahun lalu. Konon, orang-orang bercadar itu menyekapnya. Sementara suaminya, yang mencoba melawan, rubuh bersimbah darah oleh sabatan parang tiga orang bercadar itu.  Suaminya pun gugur sebagai mujahid di rumahnya sendiri. Di depan mata kepala Ratri sendiri. Seketika itu, di mata Ratri, dunia menjadi retak dan buram dengan warna merah.
Tubuh Ratri tak bisa bergerak. Tubuh ringkihnya dililit tali sementara mulutnya disumpal lakban. Ratri lemas dan gemetar menyaksikan suaminya terbujur kaku bersimbah darah, juga bayinya yang berumur tujuh bulan menangis tak keruan dan merangkak ke sana kemari mencari ibunya. Ratri juga menyaksikan sendiri orang-orang bercadar itu menggeledah setiap buffet dan lemari, menggondol sejumlah uang dan benda-benda berharga sebelum akhirnya membakar ranjang dan lemari di kamar Ratri. Orang-orang bercadar itu melesat pergi lewat jendela ketika api mulai membesar. Mungkin Ratri berontak sekuat tenaganya, tapi sia-sia. Ia menjerit-jerit dengan tangan terikat dan suara tercekat karena mulutnya tersumpal lakban.
Api semakin membesar, dan Ratri merangkak ke sana kemari mencari bayinya. Mungkin detik itu Ratri sudah bersiap mati sambari memeluk bayi dan suaminya dengan keadaan paling miris. Api telah menjalar dari lemari ke atap,dari atap ke pintu. Hawa panas dan sesaknya asap membuat Ratri merasa seperti telah jatuh ke liang neraka. Pada detik ketika api seharusnya semakin menyala dan melumat seisi rumah, tiba-tiba hujan deras mengguyur, seperti ludah langit yang terpercik untuk mendinginkan luka bakar yang menganga. Ketika api itu padam, dan beberapa warga riuh mengitari rumahnya, Ratri sudah tak ingat apa-apa lagi.
Ketika Ratri siuman, bayi dan suaminya sudah hampir selesai dimandikan dan dikafani. Sejak itulah mata Ratri menjadi sangat dingin. Seperti hujan di malam kelam dan tak henti-henti. Sejak hari itu Ratri tinggal di rumah petak sebelah rumah kami ditemani ibu dan satu adiknya. Namun demikian, hidup Ratri telah berubah, ia lebih banyak diam. Seakan ia tak lagi mengenal setiap orang yang mengajaknya bicara, bahkan ibunya sendiri. Dan semenjak peristiwa itu, kami tak pernah melihat Ratri keluar rumah, kecuali duduk tercenung di beranda sambil memandangi kamboja di dalam pot. Ibu Ratri pernah mencoba membawa Ratri ke dokter, tapi Ratri malah menjerit histeris seperti orang kerasukan. Dan akhirnya keluarganya tak punya pilihan lain selain membiarkan Ratri nyaman dengan hawa dingin dan mendung yang ia pilih sendiri.
***
Pada musim hujan, ketika dari petala langit di atas kampung kami hujan mulai turun—hujan dalam arti sebenarnya, konon, hujan di mata Ratri justru akan berhenti. Sepasang matanya akan menjadi sangat jernih seperti langit tanpa gumpalam awan. Namun, beberapa detik berikutnya mata itu tiba-tiba akan berubah merah, menjadi api yang berkobar. Ibu Ratri acap bercerita sambil menangis ketika bertandang ke rumah kami.
Tak seorang pun sanggup meraba isi kepala Ratri, sebagaimana orang-orang tak pernah sanggup meraba ke ketinggian mendung ataupun ke kedalaman api. Mungkin hujan yang turun itu mengingatkan Ratri pada hujan paling memilukan dalam hidupnya. Ataukah api dalam sepasang matanya itu terlahir dari apa yang telah tertanam telak dalam ingatannya yang paling bara.
Ratri seharusnya tahu bahwa semua yang ia lakukan adalah perkara mustahil dan sia-sia. Namun siapa yang tahu isi hati seseorang. Kami tak pernah mengalami kepedihan sekaligus kehilangan yang bercampur aduk seperti yang dialami Ratri. Kami hanya menerka-nerka bahwa hujan dan api adalah dua hal yang saling menyambar dan melilit jiwa Ratri dan membelenggunya. Jika dalam kepala Ratri muncul kobaran api yang menggila, mungkin sepasang mata Ratri akan menjelma menjadi hujan yang menguyur api itu hingga padam. Atau, jika suatu ketika Ratri menggigil karena hujan yang tak ramah itu, sepasang mata Ratri akan menjelma kobaran api yang membakar hujan. Tak ada yang tahu.
Keluarganya sudah lelah dan tak bisa lagi membujuk Ratri untuk kembali pada kehidupan normalnya. Bujukan keluarganya pada Ratri tak ubahnya sepercik air yang ditumpahkan untuk memadamkan api yang membakar seisi belantara. Mustahil. Dan harapan Ratri untuk hidup normal tak ubahnya setongkat lilin yang ia nyalakan untuk membakar hujan. Juga mustahil. Seharusnya Ratri tahu, bahwa kobaran api yang paling besar sekalipun tak akan pernah mampu membuat hujan berhenti.
Dan begitulah, pada akhirnya, Ratri hanya bisa membiarkan hujan itu bersarang dalam sepasang matanya. Mata yang begitu dingin dan menderita.***
Malang, 2013

Ramadan Ini Marini Pulang (Jawa Pos, 04 Juni 2017)






Jenazah Marini tiba di rumah duka pada hari pertama puasa. Tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah Marini telah sesak oleh para tetangga yang menghaturkan bela sungkawa. Sedangkan emak, ia seperti orang lumpuh sejak petang lalu, saat mendapat kabar Marini sudah tidak ada.  Semuanya begitu begitu mendadak. Begitu tergesa.
Ramadhan ini Marini pulang, Mak! Itu yang dikatakan Marini sebulan silam di telepon. Dan kini, Marini benar-benar pulang. Menepati janjinya. Pulang dengan cara lain.
***
Usia emak sudah hampir enam puluh, tapi ia masih saja pergi ke sawah. Katanya, tubuh tua justru harus banyak gerak. Kalau diam saja di rumah lama-lama malah bakal lapuk. Seperti perkakas yang tak pernah dipakai. Cepat rusak. Sebab itu, emak tak pernah bisa diam. Ada saja yang dikerjakannya. Kalau ia tidak pergi ke sawah, kadang ia membersihkan semak di pekarangan belakang. Kalau tidak, ia memilah sampah-sampah yang dibuang para tetangga di belakang rumah lalu membakarnya. Pekarangan belakang rumah emak—yang bersebelahan dengan sungai, dijadikan tempat pembuangan sampah oleh para tetangga, dan emak tak pernah mempermasalahkannya.
Kata emak, “Biarkan saja mereka buang sampah di belakang, daripada mereka buang ke sungai. Itu hanya sampah, bisa dibakar.”
“Tapi kan tanahnya jadi kotor dan tidak bisa ditanami, Mak. Dulu, sama almarhum bapak, tanah itu dikelola jadi ladang ubi yang menghasilkan,” balas Marini.
“Sekarang juga tetap jadi ladang kok, ladang amal buat emak. Percayalah! Bahkan sepetak tanah yang menjadi tempat sampah pun akan bisa bicara pada Tuhan kelak.”
Dan Marini diam. Setiap orang memang butuh membuang sampah. Dan kini, semakin hari pekarangan kosong semakin rapat, bahkan meski itu di kampung. Sedangkan sampah, kian hari kian menggunung. Lagi pula, orang kampung tak pernah membayar tukang sampah. Mereka selalu membuang sampah di belakang rumah. Dan emaklah yang biasa merapikannya dengan memilah lalu membakarnya. Itulah emak, perempuan sepuh yang tak bisa diam.
Hingga sebulan silam, sepupu Marini yang di kampung—tinggal bersebelahan dengan emak, mengabarkan bahwa emak lagi sakit. Kakinya bengkak dan tidak bisa dibuat jalan. Di telepon, Marini marah-marah pada emak. Sebab emak sulit sekali kalau disuruh istirahat. Sukanya bekerja dan bekerja. Padahal tubuh bukanlah mesin, bahkan seandainya tubuh adalah mesin, mesin pun juga butuh istirahat.
“Kapan kau pulang?” suara emak terdengar serak di telepon, mengalihkan pembicaraan. Dan kalau Emak sudah bicara soal kapan Marini pulang, Marini segera merasa bahwa dirinya telah layak untuk disebut sebagai anak tak berbakti.
Semenjak mendapat beasiswa kuliah di luar kota, Marini hanya pulang setahun sekali atau dua kali.  Kadang saat lebaran, kadang saat liburan semester. Marini sudah lama lulus dari kuliahnya itu dan sekarang sudah jadi dosen tetap di kampus tempatnya kuliah. Marini adalah bocah semata wayang, yang sejak kecil tak pernah bisa pergi jauh dari emak. Tapi bagaimanapun, Marini bakal tumbuh sebagaimana gadis-gadis lain, anak-anak lain, yang lambat laun harus melanjutkan hidupnya sendiri.
“Ramadhan ini Marini pulang, Mak. Janji,” jawab Marini dengan suara patah-patah.
Ramahan tahun lalu, Marini tidak pulang. Sebab, jadwalnya di kampus padat sekali. Ramadhan tahun ini pun sepertinya tak banyak berubah. Ia harus menguji beberapa mahasiswa, memasukkan nilai ujian akhir, juga menyiapkan beberapa dokumen untuk kelengkapan akreditasi kampusnya. Marini tahu, kesibukan-kesibukan semacam itu tak akan pernah ada habisnya. Selama ini Marini sudah menurutinya. Dan kali ini, Marini harus benar-benar berpikir soal prioritas. Penting mana, pekerjaan atau emak? Pekerjaan masih bisa dicari, tapi emak cuma satu? Bagaimana kalau emak sakit dan sangat membutuhkan Marini? Bagaimana kalau hal-hal yang tak pernah diinginkan terjadi pada emak? Marini pasti akan menyesal sepanjang hayat. Marini tak mau itu terjadi. Jadi, Ramadhan ini Marini harus pulang. Tidak boleh tidak.
Sehari menjelang puasa hari pertama, Marini menelpon lagi ke kampung. Bertanya keadaan emak. Kata keponakannya emak sudah baikan, sudah mulai bisa jalan.
“Jadi pulang Ramadhan ini?” suara emak terdengar cemas di kejauhan.
“Iya, Mak. Marini sudah urus semuanya. Insya Allah Marini jadi pulang Ramadhan ini! Tapi mungkin baru bisa berangkat akhir minggu depan.”
“Oh, minggu depan, ya? Sudah pesan tiket?”
“Sudah! Tinggal berangkat!”
“Ya sudah, minggu depan juga tidak apa-apa. Semoga tetap disberi kesehatan dan umur yang berkah.”
Saat itu Marini mendengar gelagat aneh pada suara emak. Hingga tiba-tiba, Marini berpikir, mengapa harus menunggu minggu depan? Bagaimana kalau umurku atau umur emak tak sampai minggu depan? Pagi itu juga, usai menelpon, Marini berencana pergi ke stasiun untuk melakukan pembatalan tiket. Ia akan memesan tiket baru untuk hari itu juga, atau paling tidak untuk besok. Kalaupun tiket kereta sudah ludas, Marini akan memesan tiket pesawat. Marini tak pernah suka pergi dengan pesawat, tapi untuk emak apa yang tidak?
Wajah emak yang mulai dijangkiti keriput terbayang di pelupuk mata Marini. Ia membayangkan, dirinya memasak bersama emak, menyiapkan menu berbuka. Juga berbelanja beberapa kebutuhan ke pasar dan membuat adonan kue kering untuk lebaran. Sungguh, Marini tidak sabar untuk segera balik. Memang ada beberapa agenda kampus yang menuntut kehadirannya sekitar sepekan ke depan, tapi setelah Marini pikir, agenda itu tak akan batal meskipun dirinya tidak hadir. Jadi, Marini memutuskan untuk balik lebih cepat, memberi kejutan pada emaknya. Ia sudah sangat rindu pada emaknya, pada kampungya.
Saat pergi hendak pergi ke stasiun itulah, selepas mandi, tiba-tiba Marini merasa tubuhnya sangat dingin. Kepalanya juga sedikit pening. Ia membaringkan tubuhnya sebentar, dan tak bangun lagi. Teman-teman satu rumah kontrakan membawa Marini ke rumah sakit, dan Marini tak terselamatkan. Dokter menduga Marini terkena angin duduk.
***
Jenazah Marini tiba di rumah duka pada hari pertama puasa. Tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah Marini telah sesak oleh para tetangga yang menghaturkan bela sungkawa. Emak hampir tak bisa percaya, kalau Marini benar-benar sudah tidak ada. Emak termangu di depan jenazah Marini sampai adzan maghrib kumandang. Mengumumkan waktu berbuka.
Seseorang menyodorkan segelas air putih ke hadapan emak untuk membatalkan puasanya. Pada saat itulah, emak melihat Marini mengerjapkan mata dan bangkit dari rebahnya seperti orang yang habis bangun tidur.***
Malang, 2017