Jenazah Marini tiba di rumah duka pada hari pertama
puasa. Tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah Marini telah sesak oleh para
tetangga yang menghaturkan bela sungkawa. Sedangkan emak, ia seperti orang
lumpuh sejak petang lalu, saat mendapat kabar Marini sudah tidak ada. Semuanya begitu begitu mendadak. Begitu
tergesa.
Ramadhan ini Marini pulang, Mak! Itu yang dikatakan
Marini sebulan silam di telepon. Dan kini, Marini benar-benar pulang. Menepati
janjinya. Pulang dengan cara lain.
***
Usia emak sudah hampir enam puluh, tapi ia masih
saja pergi ke sawah. Katanya, tubuh tua justru harus banyak gerak. Kalau diam
saja di rumah lama-lama malah bakal lapuk. Seperti perkakas yang tak pernah
dipakai. Cepat rusak. Sebab itu, emak tak pernah bisa diam. Ada saja yang dikerjakannya.
Kalau ia tidak pergi ke sawah, kadang ia membersihkan semak di pekarangan
belakang. Kalau tidak, ia memilah sampah-sampah yang dibuang para tetangga di
belakang rumah lalu membakarnya. Pekarangan belakang rumah emak—yang
bersebelahan dengan sungai, dijadikan tempat pembuangan sampah oleh para
tetangga, dan emak tak pernah mempermasalahkannya.
Kata emak, “Biarkan saja mereka buang sampah di
belakang, daripada mereka buang ke sungai. Itu hanya sampah, bisa dibakar.”
“Tapi kan tanahnya jadi kotor dan tidak bisa
ditanami, Mak. Dulu, sama almarhum bapak, tanah itu dikelola jadi ladang ubi yang
menghasilkan,” balas Marini.
“Sekarang juga tetap jadi ladang kok, ladang amal
buat emak. Percayalah! Bahkan sepetak tanah yang menjadi tempat sampah pun akan
bisa bicara pada Tuhan kelak.”
Dan Marini diam. Setiap orang memang butuh membuang
sampah. Dan kini, semakin hari pekarangan kosong semakin rapat, bahkan meski
itu di kampung. Sedangkan sampah, kian hari kian menggunung. Lagi pula, orang
kampung tak pernah membayar tukang sampah. Mereka selalu membuang sampah di
belakang rumah. Dan emaklah yang biasa merapikannya dengan memilah lalu
membakarnya. Itulah emak, perempuan sepuh yang tak bisa diam.
Hingga sebulan silam, sepupu Marini yang di
kampung—tinggal bersebelahan dengan emak, mengabarkan bahwa emak lagi sakit.
Kakinya bengkak dan tidak bisa dibuat jalan. Di telepon, Marini marah-marah
pada emak. Sebab emak sulit sekali kalau disuruh istirahat. Sukanya bekerja dan
bekerja. Padahal tubuh bukanlah mesin, bahkan seandainya tubuh adalah mesin,
mesin pun juga butuh istirahat.
“Kapan kau pulang?” suara emak terdengar serak di
telepon, mengalihkan pembicaraan. Dan kalau Emak sudah bicara soal kapan Marini
pulang, Marini segera merasa bahwa dirinya telah layak untuk disebut sebagai
anak tak berbakti.
Semenjak mendapat beasiswa kuliah di luar kota,
Marini hanya pulang setahun sekali atau dua kali. Kadang saat lebaran, kadang saat liburan
semester. Marini sudah lama lulus dari kuliahnya itu dan sekarang sudah jadi
dosen tetap di kampus tempatnya kuliah. Marini adalah bocah semata wayang, yang
sejak kecil tak pernah bisa pergi jauh dari emak. Tapi bagaimanapun, Marini
bakal tumbuh sebagaimana gadis-gadis lain, anak-anak lain, yang lambat laun
harus melanjutkan hidupnya sendiri.
“Ramadhan ini Marini pulang, Mak. Janji,” jawab
Marini dengan suara patah-patah.
Ramahan tahun lalu, Marini tidak pulang. Sebab,
jadwalnya di kampus padat sekali. Ramadhan tahun ini pun sepertinya tak banyak
berubah. Ia harus menguji beberapa mahasiswa, memasukkan nilai ujian akhir, juga
menyiapkan beberapa dokumen untuk kelengkapan akreditasi kampusnya. Marini
tahu, kesibukan-kesibukan semacam itu tak akan pernah ada habisnya. Selama ini
Marini sudah menurutinya. Dan kali ini, Marini harus benar-benar berpikir soal
prioritas. Penting mana, pekerjaan atau emak? Pekerjaan masih bisa dicari, tapi
emak cuma satu? Bagaimana kalau emak sakit dan sangat membutuhkan Marini?
Bagaimana kalau hal-hal yang tak pernah diinginkan terjadi pada emak? Marini
pasti akan menyesal sepanjang hayat. Marini tak mau itu terjadi. Jadi, Ramadhan
ini Marini harus pulang. Tidak boleh tidak.
Sehari menjelang puasa hari pertama, Marini menelpon
lagi ke kampung. Bertanya keadaan emak. Kata keponakannya emak sudah baikan,
sudah mulai bisa jalan.
“Jadi pulang Ramadhan ini?” suara emak terdengar cemas
di kejauhan.
“Iya, Mak. Marini sudah urus semuanya. Insya Allah Marini
jadi pulang Ramadhan ini! Tapi mungkin baru bisa berangkat akhir minggu depan.”
“Oh, minggu depan, ya? Sudah pesan tiket?”
“Sudah! Tinggal berangkat!”
“Ya sudah, minggu depan juga tidak apa-apa. Semoga tetap
disberi kesehatan dan umur yang berkah.”
Saat itu Marini mendengar gelagat aneh pada suara
emak. Hingga tiba-tiba, Marini berpikir, mengapa harus menunggu minggu depan?
Bagaimana kalau umurku atau umur emak tak sampai minggu depan? Pagi itu juga,
usai menelpon, Marini berencana pergi ke stasiun untuk melakukan pembatalan
tiket. Ia akan memesan tiket baru untuk hari itu juga, atau paling tidak untuk besok.
Kalaupun tiket kereta sudah ludas, Marini akan memesan tiket pesawat. Marini
tak pernah suka pergi dengan pesawat, tapi untuk emak apa yang tidak?
Wajah emak yang mulai dijangkiti keriput terbayang
di pelupuk mata Marini. Ia membayangkan, dirinya memasak bersama emak,
menyiapkan menu berbuka. Juga berbelanja beberapa kebutuhan ke pasar dan
membuat adonan kue kering untuk lebaran. Sungguh, Marini tidak sabar untuk
segera balik. Memang ada beberapa agenda kampus yang menuntut kehadirannya
sekitar sepekan ke depan, tapi setelah Marini pikir, agenda itu tak akan batal
meskipun dirinya tidak hadir. Jadi, Marini memutuskan untuk balik lebih cepat,
memberi kejutan pada emaknya. Ia sudah sangat rindu pada emaknya, pada
kampungya.
Saat pergi hendak
pergi ke stasiun itulah, selepas mandi, tiba-tiba Marini merasa
tubuhnya sangat dingin. Kepalanya juga sedikit pening. Ia membaringkan tubuhnya
sebentar, dan tak bangun lagi. Teman-teman satu rumah kontrakan membawa Marini
ke rumah sakit, dan Marini
tak terselamatkan. Dokter menduga Marini terkena angin duduk.
***
Jenazah Marini tiba di rumah duka pada hari pertama
puasa. Tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah Marini telah sesak oleh para
tetangga yang menghaturkan bela sungkawa. Emak hampir tak bisa percaya, kalau
Marini benar-benar sudah tidak ada. Emak termangu di depan jenazah Marini
sampai adzan maghrib kumandang. Mengumumkan waktu berbuka.
Seseorang menyodorkan segelas air putih ke hadapan
emak untuk membatalkan puasanya. Pada saat itulah, emak melihat Marini
mengerjapkan mata dan bangkit dari rebahnya seperti orang yang habis bangun
tidur.***
Malang,
2017
0 komentar:
Posting Komentar