Ramadan Ini Marini Pulang (Jawa Pos, 04 Juni 2017)






Jenazah Marini tiba di rumah duka pada hari pertama puasa. Tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah Marini telah sesak oleh para tetangga yang menghaturkan bela sungkawa. Sedangkan emak, ia seperti orang lumpuh sejak petang lalu, saat mendapat kabar Marini sudah tidak ada.  Semuanya begitu begitu mendadak. Begitu tergesa.
Ramadhan ini Marini pulang, Mak! Itu yang dikatakan Marini sebulan silam di telepon. Dan kini, Marini benar-benar pulang. Menepati janjinya. Pulang dengan cara lain.
***
Usia emak sudah hampir enam puluh, tapi ia masih saja pergi ke sawah. Katanya, tubuh tua justru harus banyak gerak. Kalau diam saja di rumah lama-lama malah bakal lapuk. Seperti perkakas yang tak pernah dipakai. Cepat rusak. Sebab itu, emak tak pernah bisa diam. Ada saja yang dikerjakannya. Kalau ia tidak pergi ke sawah, kadang ia membersihkan semak di pekarangan belakang. Kalau tidak, ia memilah sampah-sampah yang dibuang para tetangga di belakang rumah lalu membakarnya. Pekarangan belakang rumah emak—yang bersebelahan dengan sungai, dijadikan tempat pembuangan sampah oleh para tetangga, dan emak tak pernah mempermasalahkannya.
Kata emak, “Biarkan saja mereka buang sampah di belakang, daripada mereka buang ke sungai. Itu hanya sampah, bisa dibakar.”
“Tapi kan tanahnya jadi kotor dan tidak bisa ditanami, Mak. Dulu, sama almarhum bapak, tanah itu dikelola jadi ladang ubi yang menghasilkan,” balas Marini.
“Sekarang juga tetap jadi ladang kok, ladang amal buat emak. Percayalah! Bahkan sepetak tanah yang menjadi tempat sampah pun akan bisa bicara pada Tuhan kelak.”
Dan Marini diam. Setiap orang memang butuh membuang sampah. Dan kini, semakin hari pekarangan kosong semakin rapat, bahkan meski itu di kampung. Sedangkan sampah, kian hari kian menggunung. Lagi pula, orang kampung tak pernah membayar tukang sampah. Mereka selalu membuang sampah di belakang rumah. Dan emaklah yang biasa merapikannya dengan memilah lalu membakarnya. Itulah emak, perempuan sepuh yang tak bisa diam.
Hingga sebulan silam, sepupu Marini yang di kampung—tinggal bersebelahan dengan emak, mengabarkan bahwa emak lagi sakit. Kakinya bengkak dan tidak bisa dibuat jalan. Di telepon, Marini marah-marah pada emak. Sebab emak sulit sekali kalau disuruh istirahat. Sukanya bekerja dan bekerja. Padahal tubuh bukanlah mesin, bahkan seandainya tubuh adalah mesin, mesin pun juga butuh istirahat.
“Kapan kau pulang?” suara emak terdengar serak di telepon, mengalihkan pembicaraan. Dan kalau Emak sudah bicara soal kapan Marini pulang, Marini segera merasa bahwa dirinya telah layak untuk disebut sebagai anak tak berbakti.
Semenjak mendapat beasiswa kuliah di luar kota, Marini hanya pulang setahun sekali atau dua kali.  Kadang saat lebaran, kadang saat liburan semester. Marini sudah lama lulus dari kuliahnya itu dan sekarang sudah jadi dosen tetap di kampus tempatnya kuliah. Marini adalah bocah semata wayang, yang sejak kecil tak pernah bisa pergi jauh dari emak. Tapi bagaimanapun, Marini bakal tumbuh sebagaimana gadis-gadis lain, anak-anak lain, yang lambat laun harus melanjutkan hidupnya sendiri.
“Ramadhan ini Marini pulang, Mak. Janji,” jawab Marini dengan suara patah-patah.
Ramahan tahun lalu, Marini tidak pulang. Sebab, jadwalnya di kampus padat sekali. Ramadhan tahun ini pun sepertinya tak banyak berubah. Ia harus menguji beberapa mahasiswa, memasukkan nilai ujian akhir, juga menyiapkan beberapa dokumen untuk kelengkapan akreditasi kampusnya. Marini tahu, kesibukan-kesibukan semacam itu tak akan pernah ada habisnya. Selama ini Marini sudah menurutinya. Dan kali ini, Marini harus benar-benar berpikir soal prioritas. Penting mana, pekerjaan atau emak? Pekerjaan masih bisa dicari, tapi emak cuma satu? Bagaimana kalau emak sakit dan sangat membutuhkan Marini? Bagaimana kalau hal-hal yang tak pernah diinginkan terjadi pada emak? Marini pasti akan menyesal sepanjang hayat. Marini tak mau itu terjadi. Jadi, Ramadhan ini Marini harus pulang. Tidak boleh tidak.
Sehari menjelang puasa hari pertama, Marini menelpon lagi ke kampung. Bertanya keadaan emak. Kata keponakannya emak sudah baikan, sudah mulai bisa jalan.
“Jadi pulang Ramadhan ini?” suara emak terdengar cemas di kejauhan.
“Iya, Mak. Marini sudah urus semuanya. Insya Allah Marini jadi pulang Ramadhan ini! Tapi mungkin baru bisa berangkat akhir minggu depan.”
“Oh, minggu depan, ya? Sudah pesan tiket?”
“Sudah! Tinggal berangkat!”
“Ya sudah, minggu depan juga tidak apa-apa. Semoga tetap disberi kesehatan dan umur yang berkah.”
Saat itu Marini mendengar gelagat aneh pada suara emak. Hingga tiba-tiba, Marini berpikir, mengapa harus menunggu minggu depan? Bagaimana kalau umurku atau umur emak tak sampai minggu depan? Pagi itu juga, usai menelpon, Marini berencana pergi ke stasiun untuk melakukan pembatalan tiket. Ia akan memesan tiket baru untuk hari itu juga, atau paling tidak untuk besok. Kalaupun tiket kereta sudah ludas, Marini akan memesan tiket pesawat. Marini tak pernah suka pergi dengan pesawat, tapi untuk emak apa yang tidak?
Wajah emak yang mulai dijangkiti keriput terbayang di pelupuk mata Marini. Ia membayangkan, dirinya memasak bersama emak, menyiapkan menu berbuka. Juga berbelanja beberapa kebutuhan ke pasar dan membuat adonan kue kering untuk lebaran. Sungguh, Marini tidak sabar untuk segera balik. Memang ada beberapa agenda kampus yang menuntut kehadirannya sekitar sepekan ke depan, tapi setelah Marini pikir, agenda itu tak akan batal meskipun dirinya tidak hadir. Jadi, Marini memutuskan untuk balik lebih cepat, memberi kejutan pada emaknya. Ia sudah sangat rindu pada emaknya, pada kampungya.
Saat pergi hendak pergi ke stasiun itulah, selepas mandi, tiba-tiba Marini merasa tubuhnya sangat dingin. Kepalanya juga sedikit pening. Ia membaringkan tubuhnya sebentar, dan tak bangun lagi. Teman-teman satu rumah kontrakan membawa Marini ke rumah sakit, dan Marini tak terselamatkan. Dokter menduga Marini terkena angin duduk.
***
Jenazah Marini tiba di rumah duka pada hari pertama puasa. Tiga jam menjelang waktu berbuka. Rumah Marini telah sesak oleh para tetangga yang menghaturkan bela sungkawa. Emak hampir tak bisa percaya, kalau Marini benar-benar sudah tidak ada. Emak termangu di depan jenazah Marini sampai adzan maghrib kumandang. Mengumumkan waktu berbuka.
Seseorang menyodorkan segelas air putih ke hadapan emak untuk membatalkan puasanya. Pada saat itulah, emak melihat Marini mengerjapkan mata dan bangkit dari rebahnya seperti orang yang habis bangun tidur.***
Malang, 2017

0 komentar: