“Akan kutunjukkan
sesuatu,” katanya sambil menyeret tanganku menuju ruang dapur.
“Lihatlah!” serunya riang.
Di depan kamar mandi, di sebelah
pintu, aku melihat benda terkutuk itu. Sebuah mesin cuci dengan penutup di
bagian atas. Persis ibu-ibu gemuk yang mendekam karena kekenyangan.
Aku pun bertanya. “Mesin
cuci? Kamu beli mesin cuci? Untuk apa?”
“Mesin cuci tentu saja
untuk mencuci, kamu pikir untuk apa? Untuk menanak nasi?” dengan sigap ia menjawab,
sambil mengelus-elus mesin cuci itu seperti mengelus-elus binatang piaraan yang
setia.
“Tapi untuk apa kau beli
mesin cuci? Di rumah ini cuma ada kamu dan aku, berdua saja, pakaian kotor bisa
dikucek sambil mandi, tak harus beli mesin cuci.”
“Tapi aku sudah terlanjur
membelinya.”
“Apa benda itu tak bisa dikembalikan.”
“Tulisan di toko tadi
bilang barang yang sudah dibeli tak bisa dikembalikan.”
“Seharusnya kamu bilang
dulu padaku.”
“Semalam aku sudah
bilang, tapi sepertinya kamu sudah tidur. Ya, mungkin kamu sudah tidur, jadi
tak mendengar apa yang kukatakan.”
“Pandai sekali kamu
berdalih. Terserah kamu saja lah. Lagi pula sudah terlanjur dibeli.”
“Sebab itu, jangan marah-marah.
Aku yakin mesin ini akan berguna. Aku butuh mesin ini, ada banyak barang yang
harus kucuci.”
“Contoh?”
“Seprai, sarung bantal,
taplak meja, boneka, kain lap, karpet, pengesat kaki… banyak.”
“Apa kamu juga berniat
mencuci sofa di mesin cuci?”
“Kalau bisa mengapa
tidak,” balasnya. Ia terkikik seperti menertawakan dirinya sendiri. Dan itu
membuatku berpikir bahwa mungkin perempuan itu, istriku, ia sudah mulai gila.
Malam harinya, kami tidur
bersisian di ranjang, setelah lampu diredupkan perempuan itu menggumam, “senang
sekali bisa memiliki mesin cuci, semuanya bisa dicuci, semuanya bisa bersih,
semuanya akan bersih. Kalau bersih kan enak dilihat mata, tak meyebabkan
penyakit. Oh mesin cuci, beruntung sekali aku...”
Aku memejamkan mata meski
belum mengantuk, perempuan itu menyikut lenganku sambil menggumam lagi, “Tuh
kan, sudah merem lagi…”
Aku tak menjawab. Aku
hanya merasa cemas perempuan itu mulai gila. Benar-benar gila. Gila dalam
istilah yang sesungguhnya.
Pagi hari, ketika tiba
waktu sarapan. Di depan meja makan, sambil menyiapkan menu-menu, perempuan itu tersenyum
lebar sambil berkata, “Bagaimana nasinya, harum kan?”
Aku tak menjawab, karena
dengan tangkas ia menjawab pertanyaannya sendiri, “Tentu saja harum. Aku tadi sudah
mencucinya bersih, dengan mesin cuci. Buah-buahan, sayur, semua ini kucuci
dengan mesin cuci, tinggal pencet tombol on,
kasih sabun aroma jeruk, dan semuanya jadi cling… jadi bersih, jadi wangi.
”
Aku mengerutkan alis, menatap
perempuan itu dengan cemas. Aku yakin ia sedang bercanda.
“Jangan menatapku begitu,
kalau kau pikir aku bercanda anggap saja aku memang bercanda. Sudah, habiskan
saja sarapannya dan berangkat kerja... aku juga akan bekerja di rumah, mencuci
apa-apa yang harus kucuci, dan itu banyak sekali...”
Sore hari, sepulang
kerja, seperti biasa, ketika sampai di ruang tamu aku selalu mengucapkan, “aku
pulang,” tapi kali ini tak ada sahutan. Biasanya, begitu mendengar pintu
berderit perempuan itu langsung menyambut dan membantuku membawakan tas atau
melepaskan dasi. Tapi, semenjak ia membeli mesin cuci sialan itu, begitu aku
pulang, aku selalu menemukan ia sedang sibuk di depan mesin cucinya.
“Aku pulaaang,” seruku
lagi setengah berteriak.
“Oh, kamu sudah pulang,”
katanya, “suara mesin cucinya memang sedikit berisik, jadi aku tak bisa
mendengarmu.”
“Apa sepanjang hari kamu
hanya berdiri di depan mesin cuci itu?” aku menyindir.
“Mencuci sesuatu itu
lebih berbudi ketimbang menonton gosip murahan di tivi.”
Entah bagaimana
ceritanya, selalu ada saja barang-barang yang ia cuci, seperti yang ia katakan,
seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka, kain lap, karpet, pengesat kaki,
dan apa saja… bahkan, mungkin sesuatu yang sudah ia cuci hari lalu akan ia cuci
lagi esok harinya. Sejak ia memiliki mesin cuci itu ia memang berubah jadi sedikit
aneh. Tepatnya ia mengalami konversi dari waras menjadi setengah waras. Dan
sebentar lagi, dari setengah waras menjadi sedikit kurang waras. Dan
seterusnya…
Suatu siang, ketika aku
pulang agak cepat, lagi-lagi aku menemukan ia terduduk di sisi mensin cuci
tercintanya. Ia sedang tergugu di depan pecahan mangkuk, gelas, dan piring,
sambil membalut jarinya yang mengeluarkan darah.
“Kenapa dengan jarimu?” aku
bergegas menghampirinya karena cemas.
“Tergores pecahan
piring,” ujarnya.
“Ya Tuhan, apa barusan
terjadi gempa, sampai-sampai piring, gelas, mangkuk, semua hancur berantakan
begitu,” aku menatap barang pecah belah itu dengan tatapan bingung.
Ia menatapku minta maaf,
“Ini salahku, aku hanya mencoba mencuci perabotan itu menggunakan mesin cuci,
tapi malah hancur.”
Aku mendengus geram, “Ya
Tuhan, apa kepalamu habis terbentur tembok atau apa? Ini mesin cuci untuk
pakaian, untuk kain-kain, bukan untuk untuk perkakas seperti itu. Kau benar-benar
sudah gila, ya?”
Perempuan itu terdiam, menatapku
sekilas lalu menunduk, membuatku sedikit menyesal karena sudah mengumpatnya.
Aku mengambil obat luka antiseptic
dan membantu merapikan balutan lukanya lantas menyingkirkan barang pecah belah
itu dari hadapannya.
“Aku mulai berpikir, lama
kelamaan, kau akan benar-benar mencuci sofa itu di mesin cuci. Lalu mencuci
tivi, laptop, handphone, kipas angin,
dan entah apa lagi…”
“Sofa mana muat, kipas
angin juga tidak muat,” ia menjawab dengan santai, “tivi, laptop, handphone mungkin bisa… tapi aku takkan
melakukannya.”
“Oh. Bagus kalau begitu,”
sambarku.
Malam harinya, ketika
kami berangkat tidur seperti biasanya, ketika lampu sudah diredupkan, perempuan
itu menggumam lagi, “aku memikirkan kira-kira benda apa, ya, yang masih kotor
dan belum dicuci. Aku benar-benar ingin mencuci sesuatu…”
Aku sebenarnya sudah
terpejam, tapi karena tidak tahan mendengar ocehannya, aku pun menjawab, “otakmu
itu yang perlu dicuci, pikiranmu itu kotor, gara-gara mesin cuci itu…”
Ia menyikut lenganku
cukup keras lalu berpaling. “Kau tidak pernah menghargai apa-apa yang sudah
kulakukan untuk rumah ini,” bisiknya. Aku merasa tak harus menanggapinya. Malam
itu kami tidur bertatapan punggung.
Esok paginya, istriku
bangun lebih awal seperti biasanya. Aku bangun menyusul. Tapi, begitu
menghampiri meja makan, aku tak melihat apapun. Aku pun menyusup ke ruang
dapur, dan nyaris terjengkang karena kaget. Di sebelah pintu kamar mandi, aku
melihat perempuan itu sedang berendam dalam cairan penuh busa di lubang mesin
cuci yang tutupnya masih terbuka karena tertahan oleh kepalanya.
Sambil tersenyum menatapku,
ia bilang, “Syukur, akhirnya kau bangun juga. Apa kau bisa membantuku memencet
tombol on?”***
Sidoarjo, 2014
0 komentar:
Posting Komentar