Perempuan yang Tergila-gila pada Mesin Cucinya (Suara Merdeka, 30 Oktober 2016)






“Akan kutunjukkan sesuatu,” katanya sambil menyeret tanganku menuju ruang dapur.
“Lihatlah!” serunya riang.
Di depan kamar mandi, di sebelah pintu, aku melihat benda terkutuk itu. Sebuah mesin cuci dengan penutup di bagian atas. Persis ibu-ibu gemuk yang mendekam karena kekenyangan.
Aku pun bertanya. “Mesin cuci? Kamu beli mesin cuci? Untuk apa?”
“Mesin cuci tentu saja untuk mencuci, kamu pikir untuk apa? Untuk menanak nasi?” dengan sigap ia menjawab, sambil mengelus-elus mesin cuci itu seperti mengelus-elus binatang piaraan yang setia.
“Tapi untuk apa kau beli mesin cuci? Di rumah ini cuma ada kamu dan aku, berdua saja, pakaian kotor bisa dikucek sambil mandi, tak harus beli mesin cuci.”
“Tapi aku sudah terlanjur membelinya.”
“Apa benda itu tak bisa dikembalikan.”
“Tulisan di toko tadi bilang barang yang sudah dibeli tak bisa dikembalikan.”
“Seharusnya kamu bilang dulu padaku.”
“Semalam aku sudah bilang, tapi sepertinya kamu sudah tidur. Ya, mungkin kamu sudah tidur, jadi tak mendengar apa yang kukatakan.”
“Pandai sekali kamu berdalih. Terserah kamu saja lah. Lagi pula sudah terlanjur dibeli.”
“Sebab itu, jangan marah-marah. Aku yakin mesin ini akan berguna. Aku butuh mesin ini, ada banyak barang yang harus kucuci.”
“Contoh?”
“Seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka, kain lap, karpet, pengesat kaki… banyak.”
“Apa kamu juga berniat mencuci sofa di mesin cuci?”
“Kalau bisa mengapa tidak,” balasnya. Ia terkikik seperti menertawakan dirinya sendiri. Dan itu membuatku berpikir bahwa mungkin perempuan itu, istriku, ia sudah mulai gila.
Malam harinya, kami tidur bersisian di ranjang, setelah lampu diredupkan perempuan itu menggumam, “senang sekali bisa memiliki mesin cuci, semuanya bisa dicuci, semuanya bisa bersih, semuanya akan bersih. Kalau bersih kan enak dilihat mata, tak meyebabkan penyakit. Oh mesin cuci, beruntung sekali aku...”
Aku memejamkan mata meski belum mengantuk, perempuan itu menyikut lenganku sambil menggumam lagi, “Tuh kan, sudah merem lagi…”
Aku tak menjawab. Aku hanya merasa cemas perempuan itu mulai gila. Benar-benar gila. Gila dalam istilah yang sesungguhnya.
Pagi hari, ketika tiba waktu sarapan. Di depan meja makan, sambil menyiapkan menu-menu, perempuan itu tersenyum lebar sambil berkata, “Bagaimana nasinya, harum kan?”
Aku tak menjawab, karena dengan tangkas ia menjawab pertanyaannya sendiri, “Tentu saja harum. Aku tadi sudah mencucinya bersih, dengan mesin cuci. Buah-buahan, sayur, semua ini kucuci dengan mesin cuci, tinggal pencet tombol on, kasih sabun aroma jeruk, dan semuanya jadi cling… jadi bersih, jadi wangi. ”
Aku mengerutkan alis, menatap perempuan itu dengan cemas. Aku yakin ia sedang bercanda.
“Jangan menatapku begitu, kalau kau pikir aku bercanda anggap saja aku memang bercanda. Sudah, habiskan saja sarapannya dan berangkat kerja... aku juga akan bekerja di rumah, mencuci apa-apa yang harus kucuci, dan itu banyak sekali...”
Sore hari, sepulang kerja, seperti biasa, ketika sampai di ruang tamu aku selalu mengucapkan, “aku pulang,” tapi kali ini tak ada sahutan. Biasanya, begitu mendengar pintu berderit perempuan itu langsung menyambut dan membantuku membawakan tas atau melepaskan dasi. Tapi, semenjak ia membeli mesin cuci sialan itu, begitu aku pulang, aku selalu menemukan ia sedang sibuk di depan mesin cucinya.
“Aku pulaaang,” seruku lagi setengah berteriak.
“Oh, kamu sudah pulang,” katanya, “suara mesin cucinya memang sedikit berisik, jadi aku tak bisa mendengarmu.” 
“Apa sepanjang hari kamu hanya berdiri di depan mesin cuci itu?” aku menyindir.
“Mencuci sesuatu itu lebih berbudi ketimbang menonton gosip murahan di tivi.”
Entah bagaimana ceritanya, selalu ada saja barang-barang yang ia cuci, seperti yang ia katakan, seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka, kain lap, karpet, pengesat kaki, dan apa saja… bahkan, mungkin sesuatu yang sudah ia cuci hari lalu akan ia cuci lagi esok harinya. Sejak ia memiliki mesin cuci itu ia memang berubah jadi sedikit aneh. Tepatnya ia mengalami konversi dari waras menjadi setengah waras. Dan sebentar lagi, dari setengah waras menjadi sedikit kurang waras. Dan seterusnya…
Suatu siang, ketika aku pulang agak cepat, lagi-lagi aku menemukan ia terduduk di sisi mensin cuci tercintanya. Ia sedang tergugu di depan pecahan mangkuk, gelas, dan piring, sambil membalut jarinya yang mengeluarkan darah.
“Kenapa dengan jarimu?” aku bergegas menghampirinya karena cemas.
“Tergores pecahan piring,” ujarnya.
“Ya Tuhan, apa barusan terjadi gempa, sampai-sampai piring, gelas, mangkuk, semua hancur berantakan begitu,” aku menatap barang pecah belah itu dengan tatapan bingung.
Ia menatapku minta maaf, “Ini salahku, aku hanya mencoba mencuci perabotan itu menggunakan mesin cuci, tapi malah hancur.”
Aku mendengus geram, “Ya Tuhan, apa kepalamu habis terbentur tembok atau apa? Ini mesin cuci untuk pakaian, untuk kain-kain, bukan untuk untuk perkakas seperti itu. Kau benar-benar sudah gila, ya?”
Perempuan itu terdiam, menatapku sekilas lalu menunduk, membuatku sedikit menyesal karena sudah mengumpatnya. Aku mengambil obat luka antiseptic dan membantu merapikan balutan lukanya lantas menyingkirkan barang pecah belah itu dari hadapannya.
“Aku mulai berpikir, lama kelamaan, kau akan benar-benar mencuci sofa itu di mesin cuci. Lalu mencuci tivi, laptop, handphone, kipas angin, dan entah apa lagi…”
“Sofa mana muat, kipas angin juga tidak muat,” ia menjawab dengan santai, “tivi, laptop, handphone mungkin bisa… tapi aku takkan melakukannya.”
“Oh. Bagus kalau begitu,” sambarku.
Malam harinya, ketika kami berangkat tidur seperti biasanya, ketika lampu sudah diredupkan, perempuan itu menggumam lagi, “aku memikirkan kira-kira benda apa, ya, yang masih kotor dan belum dicuci. Aku benar-benar ingin mencuci sesuatu…”
Aku sebenarnya sudah terpejam, tapi karena tidak tahan mendengar ocehannya, aku pun menjawab, “otakmu itu yang perlu dicuci, pikiranmu itu kotor, gara-gara mesin cuci itu…”
Ia menyikut lenganku cukup keras lalu berpaling. “Kau tidak pernah menghargai apa-apa yang sudah kulakukan untuk rumah ini,” bisiknya. Aku merasa tak harus menanggapinya. Malam itu kami tidur bertatapan punggung.
Esok paginya, istriku bangun lebih awal seperti biasanya. Aku bangun menyusul. Tapi, begitu menghampiri meja makan, aku tak melihat apapun. Aku pun menyusup ke ruang dapur, dan nyaris terjengkang karena kaget. Di sebelah pintu kamar mandi, aku melihat perempuan itu sedang berendam dalam cairan penuh busa di lubang mesin cuci yang tutupnya masih terbuka karena tertahan oleh kepalanya.
Sambil tersenyum menatapku, ia bilang, “Syukur, akhirnya kau bangun juga. Apa kau bisa membantuku memencet tombol on?”***
Sidoarjo, 2014





0 komentar: