ARIMBI tak mengerti mengapa tiba-tiba ia sudah berada
dalam sekoci itu. Semalam demamnya menjadi-jadi, badannya panas sekali. Saat
itu—yang Arimbi ingat, Sugi datang dan membopong tubuhnya, lalu membaringkannya
di suatu tempat yang dingin dan lumayan keras. Arimbi tak yakin di mana tempat
itu. Apakah di bangku sebuah puskesmas, atau di ranjang kamar Sugi, atau
barangkali masih di kamar Arimbi sendiri. Tapi kini Arimbi tahu, di mana
semalam Sugi membaringkan tubuhnya. Dalam sebuah sekoci. Ya. Dalam sebuah
sekoci.
Kini, sekoci itu bergoyang-goyang ringan di tengah
laut lepas. Dengan Arimbi yang duduk telimpuh sambil memandang laut yang bagai
tanpa ujung. Laut lepas dengan warna abu-abu. Seorang diri. Tanpa Sugi. Dan
tanpa siapapun.
Orang-orang mengatakan, Sugi hilang tiga bulan lalu
saat melaut di tengah badai. Orang-orang sudah mengingatkan Sugi untuk lekas balik
memutar haluan saat tanda-tanda badai mulai datang. Tapi Sugi tak menghiraukan.
Yang Sugi pikirkan hanyalah ikan-ikan yang berlimpah itu mendatangi jaringnya.
Saat badai datang, air akan bergolak dan membuat ikan-ikan mabuk, berenang tak tentu
arah, sehingga mereka tak sempat berpikir untuk berenang menjauhi jaring-jaring
Sugi.
“Lautku, badaiku, giringlah ikan-ikan itu menuju
surganya, menuju jaringku,” demikianlah orang-orang mendengar Sugi berteriak,
membalas peringatan mereka yang mengajaknya pulang. Maka, orang-orangpun menepi
meninggalkan Sugi yang matanya terus menyala di tengah badai.
***
Arimbi dan Sugi akan menikah beberpa bulan lagi.
Sebuah pernikahan, meski tak usah dirayakan seperti pernikahan tuan putri dan
pangeran, tetap saja butuh biaya. Demi itulah Sugi rajin melaut beberapa bulan
terakhir ini. Arimbi dan Sugi sudah menjalin hubungan sejak mereka duduk di
kelas tiga sekolah menengah pertama. Arimbi anak seorang kepala desa, dan Sugi
hanya anak seorang buruh nelayan yang hari-harinya diliputi bau amis di
pelelangan ikan. Orang tua Arimbi tak pernah merestui hubungan itu. bahkan
setelah keduanya beranjak dewasa. Namun, Arimbi dan Sugi bagai laut dan pantai,
tak hendak terpisahkan.
“Terkadang aku membayangkan, kita menjadi sepasang
lumba-lumba yang berenang di laut lepas, bebas, melompat ke udara, dan selalu
beriringan,” ucap Sugi suatu sore di lepas pantai yang tak jauh dari rumahnya.
Arimbi mendengarkan dengan saksama, hingga tanpa
sadar bibirnya turut berujar, “Tanpa harus peduli pada perbedaan-perbedaan,
yang kadangkala membuat kita bagai seekor cupang yang terkekang dalam akuraium,
memusuhi diri sendiri.”
“Apa kau juga ingin menjadi seekor lumba-lumba?”
“Sepertinya menjadi seekor lumba-lumba memang lebih menyenangkan.”
Dan keduanya meloloskan pandangan ke cakrawala,
hingga Bapak Arimbi muncul dengan teriakan yang mengalahkan bising ombak. Bapak
Arimbi menyeret tangan Arimbi menjauhi Sugi. Mirip kisah dalam roman-roman
kasih tak sampai. Arimbi pernah dikurung. Penah diancam ini-itu. Tapi rupanya,
perasaan Arimbi pada Sugi bukanlah perasaan reka-reka. Betapa banyak yang
dialami Arimbi demi mempertahankan pemuda legam pencari ikan itu. Termasuk
berniat mati, kalau bapak-ibunya terus-menerus mencela dan tak merestui
hubungan mereka. Melihat Arimbi sedemikian yakin mempertahankan Sugi, lambat
laun, orang tua Arimbi pun pasrah. Mereka tak mau Arimbi mejadi perawan tua,
alih-alih gila. Hubungan mereka pun beroleh restu.
Namun, rupanya alam tak menghendaki keduanya menyatu
dengan cara itu. Alam mengambil Sugi kemudian. Memisahkannya dari Arimbi.
Hingga perlahan, Arimbi menjadi seorang penyendiri. Pemurung. Ia mulai suka
mengarang-ngarang cerita sendiri. Arimbi tak pernah percaya pada orang-orang
yang mengomongkan bahwa Sugi sudah pergi. Kata orang-orang, Sugi telah menjadi
milik sang laut, dan tak mungkin kembali. Laut tak pernah mengembalikan apa
yang ia minta. Karena laut sudah terlalu banyak memberi. Jadi, sekali saja ia
meminta sesuatu, sesuatu itu akan menjadi miliknya, selamanya. Pun Sugi. Dan seperti
apapun Arimbi tak memercayai omongan orang-orang, nyatanya, Sugi memang tak
pernah muncul semenjak kabar badai itu. Arimbi tak bisa melakukan apa-apa
sebagaimana orang-orang. Laut begitu luas. Mencari Sugi di tengah belantara
laut, sama halnya mencari sebuah keajaiban yang hanya ada di angan-angan. Sugi
telah hilang. Sugi telah pergi. Dan hanya mukjizat yang bisa membawanya
kembali.
“Kalau orang-orang tak mampu mencari Sugi sampai
ketemu, aku yang akan mencarinya sendiri,” pekik Arimbi suatu kali, ”Sugi tak
mungkin pergi begitu saja. Kalau ia pergi pasti ia akan mengajakku serta.
Pasti.”
Namun, pada kesempatan lain, Arimbi juga mengoceh, “Barangkali
Sugi sedang menyelam ke kedalaman laut untuk mengambil beberapa butir manik
mutiara. Aku pernah bilang kalau aku suka sekali manik mutiara. Pasti bagus
untuk mahar nanti. Jadi, Sugi pasti akan kembali dengan maharnya. Ia sudah
janji. Pasti.”
Di waktu yang lain, Arimbi pun pernah berkoar, “Atau,
Sugi sedang belajar berenang. Sugi pernah bilang, ia ingin menjadi seekor lumba-lumba.
Suatu saat, barangkali Sugi akan datang setelah ia bisa berenang dan menyelam
dengan baik. Dan kami akan kembali ke laut bersama-sama. Sugi akan membimbingku
untuk menjadi seekor lumba-lumba yang baik. Jadi, pasti Sugi akan kembali.
Pasti.”
Orang tua Arimbi tahu, semenjak kabar badai yang
menelan Sugi, sesuatu dalam diri Arimbi mulai oleng dan runtuh. Ia sering
berdiri di muka jendela kamarnya, menatap jauh ke dusun Sugi di pesisir, yang
hanya mempertontonkan atap-atap rumah yang kusam seperti cangkang lokan yang berserakan
ditinggal penghuninya. Arimbi tak doyan makan. Tubuhnya layu dan kerontang. Bahkan,
saat orang-orang tidur, Arimbi memilih untuk tetap terjaga. Dari jendela yang
sama, dalam keadaan terjaga, Arimbi kerap bermimpi—Arimbi menyebutnya begitu,
Sugi muncul dari gelap malam.
Tepat beberapa hari sebelum hari yang seharusnya
menjadi hari bahagia itu, Arimbi diserang demam. Demam itu menggerogoti tubuh Arimbi
seperti binatang-binatang renik tak bernama yang menggerogoti sisa makanan yang
dilempar ke bibir laut. Hingga malam itu, ketika orang-orang terlelap dibuai
udara malam pesisir yang dingin, Sugi mendatangi Arimbi yang tengah terbaring
lemas di ranjangnya. Ibu Arimbi tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepala
roboh di tubir ranjang. Meski demikian, ibu Arimbi tak dapat mersakan
kedatangan Sugi. Ranjang itu hanya berkeriut sebentar dan tiba-tiba tubuh
Arimbi lenyap begitu saja.
Kelewat tengah malam, suara ibu Arimbi menyobek keheningan.
Ibu arimbi menjerit-jerit. Histeris. Arimbi hilang. Arimbi hilang. Arimbi
hilang... Dan Arimbi memang lenyap. Menyisakan jendela kamar yang mengaga
senyap. Seperti sebuah bingkai photo yang memajang sebuah ketiadaan. Seperti
sebuah mulut yang memuntahkan segenap kehampaan.
Detik itu, Arimbi merasa tubuhnya seperti melayang,
di antara dua tangan Sugi yang kekar dan begitu kuat mendekap tubuhnya yang ringkih.
Arimbi melihat Sugi berjalan tanpa melihat arah. Hanya berjalan. Hanya
menatapnya. Sugi menatap Arimbi. Dan Arimbi menatap Sugi. Keduanya seperti
melayang dalam tatapan satu sama lain. Hingga Arimbi bisa terlelap dengan
nyaman setelah sekian lama mengalami insomnia.
Hingga remang itu, Arimbi mendapati dirinya tengah
duduk telimpuh dalam sebuah sekoci yang bergoyang-goyang ringan di tengah
lautan. Lautan dengan warna abu-abu. Apakah ini masih sebuah mimpi? Arimbi
meraba arah. Entahlah. Hanya ada dirinya, sekoci yang bergoyang ringan, dan
laut lepas berwarna abu-abu.
Di sekoci
itu, Arimbi merasa begitu dekat dengan Sugi. Bahkan Arimbi tak perlu merasa
cemas ketika tiba-tiba gerimis pertama turun menimpa pipinya yang mulai kusam. Gerimis
yang juga abu-abu. Arimbi merasa dirinya dalam keadaan yang jauh lebih baik,
meski perlahan sekoci yang menyangga tubuhnya bergoyang semakin liar. Angin
berkelebat seperti sosok-sosok berbentuk pipih yang menampar-nampar sekoci
Arimbi. Sekoci itu kini seperti diayun-ayun. Diimbak-imbak. Mencipratkan asin
laut ke bibir Arimbi yang sepat.
Titik-titik gerimis pun telah mekar menjadi hujan.
Sekoci Arimbi tampak seperti menari-nari. Begitu bungah. Begitu bergairah. Air
hujan pun mulai menggenangi sekocil mungil itu. Arimbi mulai menggigil. Tapi ia
tak merasa cemas sama sekali. Ia yakin, Sugi berada dekat sekali dengannya. Sangat
dekat. Maka, sekoci mungil itu pun terus menari dan menari. Di tengah badai. Di
tengah laut yang warnanya telah menjadi abu-abu sempurna.
***
Sekitar satu pekan setelah hilangnya Arimbi, para
nelayan dikejutkan oleh munculnya sepasang lumba-lumba yang berenang di
perairan laut dangkal. Orang-orang bersumpah, lumba-lumba itu kerap muncul, khususnya
menjelang senja—dan hanya sepasang, tak ada yang lain. Mereka selalu berenang beriringan.
Melompat ke udara dan saling mengejar. Layaknya sepasang mempelai.
“Bagaimana kalau kita buru saja,” ungkap salah
seorang nelayan.
“Betul, lumayan untuk persediaan pasokan ikan asap
di musim badai begini,” jawab yang lain.
“Jangan. Jangan pernah memburu lumba-lumba, pamali,”
sahut yang lain pula.
“Tak masalah!”
“Eh, jangan!”***
Malang, 2016
0 komentar:
Posting Komentar