Talida dan Api yang Menyala-nyala (Suara Merdeka, 26 Februari 2017)



Jalan setapak ini menanjak. Penuh batu dan ranting-ranting tumbuhan liar yang meranggas. Di sini, udara menderu seperti dalam tungku. Matahari warna api memenuhi langit. Menelan warna biru. Napas kami berkejaran. Keringat kami bercucuran sepanjang jalan. Sampai-sampai, isi tubuh kami bagai bergejolak. Aku mulai mengutuki entah siapa.
Namun Talida, sepertinya ia tak peduli. Ia terus berjalan. Ia tampak sangat siap mati.
“Ada berapa titik api yang harus kuludahi?” pekiknya.
Talida berjalan seperti dirasuki dendam. Sepasang matanya berkobar. Sebatang tongkat dari patahan dahan jati di tangannya mengetuk-ngetuk tanah tandus dan bebatuan tirus. Sementara aku teratih-tatih di belakangnya, seperti memunguti bekas langkahnya.
“Sebaiknya kita kembali,” kataku untuk keseribu kali, anggap saja begitu.
“Kalau kau ingin kembali, kembali saja, mumpung belum jauh,” balasnya tak peduli.
“Tapi belum satu titik api pun kita temui.”
“Justru itu.” Tandas Talida. Kaki kanannya menendang ilalang beruban yang menghalangi jalan.
“Dan kita bukan pemadam kebakaran. Apalagi kebakaran hutan. Bahkan pemadam kebakaran sekalipun belum tentu bisa memadamkannya,” aku terus menggerutu, “hanya Tuhan yang bisa memadamkannya,” sambungku.
Tapi Talida terus berjalan, seakan kata-kataku hanya angin. Tekad Talida persis lidah api yang kalau sudah menyambar sulit sekali dipadamkan. Talida terus melangkah. Ia bersikeras, harus menemukan titik api yang menyebabkan kabut asap melabrak dusun kami, mencekik bayi-bayi dan membawa pergi nyawa mereka. Termasuk bayi Talida yang baru berumur tujuh bulan. Sebab itulah, Talida ingin menemui ibu api yang membiarkan anak-anak mereka mengembara ke dusun-dusun, bahkan sampai ke kota, menebal dan menjadi kabut, kabut asap, mengelabuhi jarak pandang dan mengacaukan udara. Bahkan mencuri nyawa manusia.
Talida ingin membunuh ibu api. Memadamkannya. Dengan ludahnya.
Apakah itu terdengar gila? Ya. Itu gila. Mulut Talida bukanlah langit yang mampu mengguyurkan hujan dan mendinginkan hutan yang menyala. Mulut Talida hanya mulut seorang perempuan ringkih yang telah begitu banyak menelan kepahitan hidup. Hingga yang tersisa hanya dendam dan dendam.
Talida dibesarkan ibunya, konon ayahnya meninggal. Bahkan Talida sendiri tak pernah memercayai itu. Di rumah Talida tak ada tanda-tanda sosok ayahnya. Tak selembar pakaian pun, alih-alaih sebuah foto. Menurut Talida, ibunya hanya mengarang cerita. Talida adalah anak jadah tanpa bapak. Kalau bukan ibunya yang terlalu lemah, barangkali ibunya dulu seorang pelacur baik-baik.
“Ini seperti karma, tak akan putus begitu saja,” ujar Talida sambil mengelus perutnya. Ketika itu, ia tengah hamil muda. Dan lelaki yang seharusnya menikahinya pergi ke seberang pulau dan tak pernah kembali. Sampai bayi lelaki itu lahir.
Talida sangat bersyukur, karena bayi yang dilahirkannya adalah bayi lelaki. Ia cemas, kalau bayi itu perempuan, kelak akan terlilit benang karma dari dirinya, dari neneknya.
“Itu bukan karma Talida, itu kebodohanmu, itu kecerobohanmu, dan itu nerakamu,” kataku dalam hati.
Talida dilahirkan sebagai yatim. Celakanya, ia mewarisi wajah cantik ibunya. Aku mengagumi Talida sejak pertama kali tahu apa itu cantik. Namun bagi Talida, aku hanya seorang kawan, tetangga dekat yang selalu ada untuk diajak bicara. Aku tak peduli. Talida bodoh karena memercayai lelaki seperti memercayai malaikat, dan aku bodoh karena mengaguminya. Kami sama-sama bodoh. Tak masalah. Tapi hari ini, tepat beberapa menit setelah bayinya dimakamkan, Talida berjalan gegas dari makam menuju hutan. Seperti anak panah yang melesat dan mencari titik bidik sendiri. Ibu Talida cemas, dan menyuruhku mengikutinya. Dan inilah yang terjadi.
“Kau hanya cari mati, Talida,” seruku lagi, dengan suara patah-patah.
Talida menoleh ke belakang, ia menatapku tajam. Keringat sebesar biji jagung bertutulan di wajahnya. Barangkali beberapa adalah lelehan air mata.
“Ya, aku hanya cari mati,” balas Talida, “Jadi untuk apa kau mengikutiku? Pulanglah kau, pulanglah.” Tatap Talida jengah, lalu ia berbalik dan meneruskan perjalanan. Tak memedulikanku.
Jalanan setapak kian menanjak. Aku terus berjalan sambil mengutuki entah siapa. Ketika sampai di puncak sebuah tanjakan, langkah kami disambut arakan asap yang seperti pawai. Berkejaran menutupi jalan. Udara semakin buruk. Angin dan hawa panas menubruki tubuh kami. Seakan mengingatkan kami agar lekas-lekas pergi. Namun Talida malah memaku. Aku ikut memaku. Asap digiring angin menuju perkampungan kami. Di hadapan kami, di kejauhan tampak warna merah bergoyang-goyang, atau berkedip-kedip. Titik-titik api. Koloni api. Dengan tongkat yang diempaskan ke atanah, Talida berseru lantang, “Api sialan! Apa untungnya kau bunuh anakku. Akan kuludahi kau!”
Aku tercengang. Bertanya-tanya, apakah api itu turun dari langit, ataukan seseorang sengaja menyalakannya? Kalau api itu dari langit, tentu langit punya maksud menurunkan api. Tapi kalau api itu dari manusia, sepertinya siapapun itu, ia harus dibakar hidup-hidup.
“Menurutmu, apakah ada orang yang sengaja membakar lahan ini?”
Untuk kesekian kalinya, Talida seperti tak mendengar pertanyaanku, alih-alih menjawabnya. Anak panah ringkih itu melesat dengan langkah penuh amarah. Aku meneriaki namanya berulangkali. Tapi Talida tak menggubris. Ia terus melesat mendekati titik-titik api. Udara panas membuat tubuh kami merah. Barangkali sebentar lagi tubuh kami melepuh dan matang. Aku kembali mengutuki entah siapa.
“Kembalilah, Talida. Kau bisa terbakar!”
Teriakan itu disambut angin yang menggiring gumpalan asap yang kian tebal. Gumpalan asap itu berarak dan menelan tubuh Talida. Udara yang semakin panas dan asap tebal itu membuatku tetap memaku. Sesekali, tubuh mungil Talida tampak bergoyang-goyang dan bagai fatamorgana. Aku mencemaskan Talida. Tapi aku belum siap mati.
“Talida, kumohon, kembalilah!”
Dan tubuh Talida sudah tak tampak lagi. Terhalang tubuh-tubuh pohon yang meranggas dan kumpulan asap yang menari-nari.***
Malang, 2015

0 komentar: