Jalan setapak ini
menanjak. Penuh batu dan ranting-ranting tumbuhan liar
yang meranggas. Di sini,
udara menderu seperti dalam tungku. Matahari warna api memenuhi langit. Menelan
warna biru. Napas kami berkejaran. Keringat kami bercucuran sepanjang jalan. Sampai-sampai,
isi tubuh kami bagai bergejolak. Aku
mulai mengutuki entah siapa.
Namun Talida, sepertinya
ia tak peduli. Ia terus berjalan. Ia tampak sangat siap mati.
“Ada berapa titik api yang
harus kuludahi?” pekiknya.
Talida berjalan seperti
dirasuki dendam. Sepasang matanya berkobar. Sebatang tongkat dari patahan dahan
jati di tangannya mengetuk-ngetuk tanah tandus dan bebatuan tirus.
Sementara aku teratih-tatih di
belakangnya, seperti memunguti bekas langkahnya.
“Sebaiknya kita kembali,” kataku untuk keseribu
kali, anggap saja begitu.
“Kalau kau ingin kembali, kembali saja, mumpung
belum jauh,” balasnya tak peduli.
“Tapi belum satu titik
api pun kita temui.”
“Justru itu.” Tandas
Talida. Kaki kanannya menendang ilalang beruban yang menghalangi jalan.
“Dan kita bukan pemadam
kebakaran. Apalagi kebakaran hutan. Bahkan pemadam kebakaran sekalipun belum
tentu bisa memadamkannya,” aku terus menggerutu, “hanya Tuhan yang bisa
memadamkannya,” sambungku.
Tapi Talida terus
berjalan, seakan kata-kataku hanya angin. Tekad Talida persis lidah api yang kalau sudah
menyambar sulit sekali dipadamkan. Talida terus melangkah. Ia bersikeras, harus
menemukan titik api yang menyebabkan kabut asap melabrak dusun kami, mencekik
bayi-bayi
dan membawa pergi nyawa mereka. Termasuk bayi Talida yang baru berumur tujuh
bulan. Sebab itulah, Talida ingin menemui ibu api yang
membiarkan anak-anak mereka mengembara ke dusun-dusun,
bahkan sampai ke kota, menebal dan menjadi kabut, kabut asap, mengelabuhi jarak
pandang dan mengacaukan udara. Bahkan
mencuri nyawa manusia.
Talida ingin membunuh ibu
api. Memadamkannya. Dengan ludahnya.
Apakah itu terdengar gila?
Ya. Itu gila. Mulut Talida bukanlah langit yang mampu mengguyurkan hujan dan
mendinginkan hutan yang menyala. Mulut Talida hanya mulut seorang perempuan
ringkih yang telah begitu banyak menelan kepahitan hidup. Hingga yang tersisa
hanya dendam dan dendam.
Talida dibesarkan ibunya,
konon ayahnya meninggal. Bahkan Talida sendiri tak pernah memercayai itu. Di
rumah Talida tak ada tanda-tanda sosok ayahnya. Tak selembar
pakaian pun, alih-alaih sebuah foto. Menurut Talida, ibunya hanya mengarang cerita. Talida adalah anak jadah
tanpa bapak. Kalau bukan ibunya yang terlalu lemah, barangkali ibunya dulu
seorang pelacur baik-baik.
“Ini seperti karma, tak akan putus begitu saja,”
ujar Talida sambil mengelus perutnya. Ketika itu, ia tengah hamil muda. Dan
lelaki yang seharusnya menikahinya pergi ke seberang pulau dan tak pernah
kembali. Sampai bayi lelaki itu lahir.
Talida sangat bersyukur, karena bayi yang
dilahirkannya adalah bayi lelaki. Ia cemas, kalau bayi itu perempuan, kelak
akan terlilit benang karma dari dirinya, dari neneknya.
“Itu bukan karma Talida, itu kebodohanmu, itu
kecerobohanmu, dan itu nerakamu,” kataku dalam hati.
Talida dilahirkan sebagai yatim. Celakanya, ia
mewarisi wajah cantik ibunya. Aku mengagumi Talida sejak pertama kali tahu apa
itu cantik. Namun bagi Talida, aku hanya seorang kawan, tetangga dekat yang
selalu ada untuk diajak bicara. Aku tak peduli. Talida bodoh karena memercayai
lelaki seperti memercayai malaikat, dan aku bodoh karena mengaguminya. Kami
sama-sama bodoh. Tak masalah. Tapi hari ini, tepat beberapa menit setelah
bayinya dimakamkan, Talida berjalan gegas dari makam menuju hutan. Seperti anak
panah yang melesat dan mencari titik bidik sendiri. Ibu Talida cemas, dan menyuruhku
mengikutinya. Dan inilah yang terjadi.
“Kau hanya cari mati, Talida,” seruku lagi, dengan
suara patah-patah.
Talida menoleh ke belakang, ia menatapku tajam.
Keringat sebesar biji jagung bertutulan di wajahnya. Barangkali beberapa adalah
lelehan air mata.
“Ya, aku hanya cari mati,” balas Talida, “Jadi untuk
apa kau mengikutiku? Pulanglah kau, pulanglah.” Tatap Talida jengah, lalu ia
berbalik dan meneruskan perjalanan. Tak memedulikanku.
Jalanan setapak kian menanjak. Aku terus berjalan
sambil mengutuki entah siapa. Ketika sampai di puncak sebuah tanjakan, langkah
kami disambut arakan asap yang seperti pawai. Berkejaran menutupi jalan. Udara
semakin buruk. Angin dan hawa panas menubruki tubuh kami. Seakan mengingatkan
kami agar lekas-lekas pergi. Namun Talida malah memaku. Aku ikut memaku. Asap digiring
angin menuju perkampungan kami. Di hadapan kami, di kejauhan tampak warna merah
bergoyang-goyang, atau berkedip-kedip. Titik-titik api. Koloni api. Dengan
tongkat yang diempaskan ke atanah, Talida berseru lantang, “Api sialan! Apa
untungnya kau bunuh anakku. Akan kuludahi kau!”
Aku tercengang. Bertanya-tanya, apakah api itu turun
dari langit, ataukan seseorang sengaja menyalakannya? Kalau api itu dari langit,
tentu langit punya maksud menurunkan api. Tapi kalau api itu dari manusia,
sepertinya siapapun itu, ia harus dibakar hidup-hidup.
“Menurutmu, apakah ada orang yang sengaja membakar
lahan ini?”
Untuk kesekian kalinya, Talida seperti tak mendengar
pertanyaanku, alih-alih menjawabnya. Anak panah ringkih itu melesat dengan
langkah penuh amarah. Aku meneriaki namanya berulangkali. Tapi Talida tak
menggubris. Ia terus melesat mendekati titik-titik api. Udara panas membuat
tubuh kami merah. Barangkali sebentar lagi tubuh kami melepuh dan matang. Aku
kembali mengutuki entah siapa.
“Kembalilah, Talida. Kau bisa terbakar!”
Teriakan itu disambut angin yang menggiring gumpalan
asap yang kian tebal. Gumpalan asap itu berarak dan menelan tubuh Talida. Udara
yang semakin panas dan asap tebal itu membuatku tetap memaku. Sesekali, tubuh
mungil Talida tampak bergoyang-goyang dan bagai fatamorgana. Aku mencemaskan
Talida. Tapi aku belum siap mati.
“Talida, kumohon, kembalilah!”
Dan tubuh Talida sudah tak tampak lagi. Terhalang
tubuh-tubuh pohon yang meranggas dan kumpulan asap yang menari-nari.***
Malang,
2015
0 komentar:
Posting Komentar