Mata Ratri (Suara Merdeka, 11 Juni 2017)





Di dunia ini akan selalu ada mata-mata yang mampu membuatmu menggigil. Mata-mata itu akan menatapmu hingga langit seolah memburam seketika, dipenuhi mendung yang bergulung. Ketika mata-mata itu menatapmu atau matamu yang menatap mata-mata itu, beberapa detik saja, maka jiwamu akan seperti dihujani gerimis yang runcing yang semakin lama semakin membabi buta, seperti ribuan jarum beku yang menelusup ke pori tubuhmu. Membekukan darah dan belulangmu. Membekukan syaraf dan ingatanmu. Itu akan dingin. Sangat dingin. Hingga mungkin saja kau dibuat tak berdaya olehnya.
Di kampung tempatku tinggal, di bawah langit yang sama, aku menemukan mata itu di antara jutaan mata di luar sana. Mata dengan curah hujan tak terkilas, seperti daratan Alaska yang lembab dan dingin. Terlampau dinginnya, seakan tubuh yang menopang kedua mata itu tak pernah sanggup menopangnya. Tubuh itu seolah hanya jasad yang membeku karea terlalu lama menopang sepasang mata yang tak henti-henti mengucurkan hujan. Dan mata itu adalah mata Ratri.
Ratri tinggal di rumah petak kecil bersama ibu dan adiknya yang pendiam. Setiap kami melewati halaman depan rumah Ratri, tiba-tiba kuduk kami akan  meremang. Seperti ada seseorang meniup tengkukmu. Ratri tak pernah mampu mengendalikan hujan dalam sepasang matanya. Dan kami mengira, hujan itu bermula sejak tiga orang bercadar menyusup ke dalam rumahnya di tengah malam, tiga tahun lalu. Konon, orang-orang bercadar itu menyekapnya. Sementara suaminya, yang mencoba melawan, rubuh bersimbah darah oleh sabatan parang tiga orang bercadar itu.  Suaminya pun gugur sebagai mujahid di rumahnya sendiri. Di depan mata kepala Ratri sendiri. Seketika itu, di mata Ratri, dunia menjadi retak dan buram dengan warna merah.
Tubuh Ratri tak bisa bergerak. Tubuh ringkihnya dililit tali sementara mulutnya disumpal lakban. Ratri lemas dan gemetar menyaksikan suaminya terbujur kaku bersimbah darah, juga bayinya yang berumur tujuh bulan menangis tak keruan dan merangkak ke sana kemari mencari ibunya. Ratri juga menyaksikan sendiri orang-orang bercadar itu menggeledah setiap buffet dan lemari, menggondol sejumlah uang dan benda-benda berharga sebelum akhirnya membakar ranjang dan lemari di kamar Ratri. Orang-orang bercadar itu melesat pergi lewat jendela ketika api mulai membesar. Mungkin Ratri berontak sekuat tenaganya, tapi sia-sia. Ia menjerit-jerit dengan tangan terikat dan suara tercekat karena mulutnya tersumpal lakban.
Api semakin membesar, dan Ratri merangkak ke sana kemari mencari bayinya. Mungkin detik itu Ratri sudah bersiap mati sambari memeluk bayi dan suaminya dengan keadaan paling miris. Api telah menjalar dari lemari ke atap,dari atap ke pintu. Hawa panas dan sesaknya asap membuat Ratri merasa seperti telah jatuh ke liang neraka. Pada detik ketika api seharusnya semakin menyala dan melumat seisi rumah, tiba-tiba hujan deras mengguyur, seperti ludah langit yang terpercik untuk mendinginkan luka bakar yang menganga. Ketika api itu padam, dan beberapa warga riuh mengitari rumahnya, Ratri sudah tak ingat apa-apa lagi.
Ketika Ratri siuman, bayi dan suaminya sudah hampir selesai dimandikan dan dikafani. Sejak itulah mata Ratri menjadi sangat dingin. Seperti hujan di malam kelam dan tak henti-henti. Sejak hari itu Ratri tinggal di rumah petak sebelah rumah kami ditemani ibu dan satu adiknya. Namun demikian, hidup Ratri telah berubah, ia lebih banyak diam. Seakan ia tak lagi mengenal setiap orang yang mengajaknya bicara, bahkan ibunya sendiri. Dan semenjak peristiwa itu, kami tak pernah melihat Ratri keluar rumah, kecuali duduk tercenung di beranda sambil memandangi kamboja di dalam pot. Ibu Ratri pernah mencoba membawa Ratri ke dokter, tapi Ratri malah menjerit histeris seperti orang kerasukan. Dan akhirnya keluarganya tak punya pilihan lain selain membiarkan Ratri nyaman dengan hawa dingin dan mendung yang ia pilih sendiri.
***
Pada musim hujan, ketika dari petala langit di atas kampung kami hujan mulai turun—hujan dalam arti sebenarnya, konon, hujan di mata Ratri justru akan berhenti. Sepasang matanya akan menjadi sangat jernih seperti langit tanpa gumpalam awan. Namun, beberapa detik berikutnya mata itu tiba-tiba akan berubah merah, menjadi api yang berkobar. Ibu Ratri acap bercerita sambil menangis ketika bertandang ke rumah kami.
Tak seorang pun sanggup meraba isi kepala Ratri, sebagaimana orang-orang tak pernah sanggup meraba ke ketinggian mendung ataupun ke kedalaman api. Mungkin hujan yang turun itu mengingatkan Ratri pada hujan paling memilukan dalam hidupnya. Ataukah api dalam sepasang matanya itu terlahir dari apa yang telah tertanam telak dalam ingatannya yang paling bara.
Ratri seharusnya tahu bahwa semua yang ia lakukan adalah perkara mustahil dan sia-sia. Namun siapa yang tahu isi hati seseorang. Kami tak pernah mengalami kepedihan sekaligus kehilangan yang bercampur aduk seperti yang dialami Ratri. Kami hanya menerka-nerka bahwa hujan dan api adalah dua hal yang saling menyambar dan melilit jiwa Ratri dan membelenggunya. Jika dalam kepala Ratri muncul kobaran api yang menggila, mungkin sepasang mata Ratri akan menjelma menjadi hujan yang menguyur api itu hingga padam. Atau, jika suatu ketika Ratri menggigil karena hujan yang tak ramah itu, sepasang mata Ratri akan menjelma kobaran api yang membakar hujan. Tak ada yang tahu.
Keluarganya sudah lelah dan tak bisa lagi membujuk Ratri untuk kembali pada kehidupan normalnya. Bujukan keluarganya pada Ratri tak ubahnya sepercik air yang ditumpahkan untuk memadamkan api yang membakar seisi belantara. Mustahil. Dan harapan Ratri untuk hidup normal tak ubahnya setongkat lilin yang ia nyalakan untuk membakar hujan. Juga mustahil. Seharusnya Ratri tahu, bahwa kobaran api yang paling besar sekalipun tak akan pernah mampu membuat hujan berhenti.
Dan begitulah, pada akhirnya, Ratri hanya bisa membiarkan hujan itu bersarang dalam sepasang matanya. Mata yang begitu dingin dan menderita.***
Malang, 2013

0 komentar: