Di dunia
ini akan selalu ada mata-mata yang mampu membuatmu menggigil. Mata-mata itu
akan menatapmu hingga langit seolah memburam seketika, dipenuhi mendung yang
bergulung. Ketika mata-mata itu menatapmu atau matamu yang menatap mata-mata
itu, beberapa detik saja, maka jiwamu akan seperti dihujani gerimis yang runcing
yang semakin lama semakin membabi buta, seperti ribuan jarum beku yang menelusup
ke pori tubuhmu. Membekukan darah dan belulangmu. Membekukan syaraf dan ingatanmu.
Itu akan dingin. Sangat dingin. Hingga mungkin saja kau dibuat tak berdaya
olehnya.
Di kampung
tempatku tinggal, di bawah langit yang sama, aku menemukan mata itu di antara
jutaan mata di luar sana. Mata dengan curah hujan tak terkilas, seperti daratan
Alaska yang lembab dan dingin. Terlampau dinginnya, seakan tubuh yang menopang
kedua mata itu tak pernah sanggup menopangnya. Tubuh itu seolah hanya jasad
yang membeku karea terlalu lama menopang sepasang mata yang tak henti-henti
mengucurkan hujan. Dan mata itu adalah mata Ratri.
Ratri
tinggal di rumah petak kecil bersama ibu dan adiknya yang pendiam. Setiap kami
melewati halaman depan rumah Ratri, tiba-tiba kuduk kami akan meremang. Seperti ada seseorang meniup
tengkukmu. Ratri tak pernah mampu mengendalikan hujan dalam sepasang matanya.
Dan kami mengira, hujan itu bermula sejak tiga orang bercadar menyusup ke dalam
rumahnya di tengah malam, tiga tahun lalu. Konon, orang-orang bercadar itu
menyekapnya. Sementara suaminya, yang mencoba melawan, rubuh bersimbah darah
oleh sabatan parang tiga orang bercadar itu.
Suaminya pun gugur sebagai mujahid di rumahnya sendiri. Di depan mata
kepala Ratri sendiri. Seketika itu, di mata Ratri, dunia menjadi retak dan
buram dengan warna merah.
Tubuh
Ratri tak bisa bergerak. Tubuh ringkihnya dililit tali sementara mulutnya
disumpal lakban. Ratri lemas dan gemetar menyaksikan suaminya terbujur kaku
bersimbah darah, juga bayinya yang berumur tujuh bulan menangis tak keruan dan
merangkak ke sana kemari mencari ibunya. Ratri juga menyaksikan sendiri orang-orang
bercadar itu menggeledah setiap buffet dan lemari, menggondol sejumlah uang dan
benda-benda berharga sebelum akhirnya membakar ranjang dan lemari di kamar
Ratri. Orang-orang bercadar itu melesat pergi lewat jendela ketika api mulai
membesar. Mungkin Ratri berontak sekuat tenaganya, tapi sia-sia. Ia menjerit-jerit
dengan tangan terikat dan suara tercekat karena mulutnya tersumpal lakban.
Api
semakin membesar, dan Ratri merangkak ke sana kemari mencari bayinya. Mungkin
detik itu Ratri sudah bersiap mati sambari memeluk bayi dan suaminya dengan
keadaan paling miris. Api telah menjalar dari lemari ke atap,dari atap ke
pintu. Hawa panas dan sesaknya asap membuat Ratri merasa seperti telah jatuh ke
liang neraka. Pada detik ketika api seharusnya semakin menyala dan melumat
seisi rumah, tiba-tiba hujan deras mengguyur, seperti ludah langit yang
terpercik untuk mendinginkan luka bakar yang menganga. Ketika api itu padam, dan
beberapa warga riuh mengitari rumahnya, Ratri sudah tak ingat apa-apa lagi.
Ketika
Ratri siuman, bayi dan suaminya sudah hampir selesai dimandikan dan dikafani.
Sejak itulah mata Ratri menjadi sangat dingin. Seperti hujan di malam kelam dan
tak henti-henti. Sejak hari itu Ratri tinggal di rumah petak sebelah rumah kami
ditemani ibu dan satu adiknya. Namun demikian, hidup Ratri telah berubah, ia
lebih banyak diam. Seakan ia tak lagi mengenal setiap orang yang mengajaknya
bicara, bahkan ibunya sendiri. Dan semenjak peristiwa itu, kami tak pernah
melihat Ratri keluar rumah, kecuali duduk tercenung di beranda sambil
memandangi kamboja di dalam pot. Ibu Ratri pernah mencoba membawa Ratri ke
dokter, tapi Ratri malah menjerit histeris seperti orang kerasukan. Dan akhirnya
keluarganya tak punya pilihan lain selain membiarkan Ratri nyaman dengan hawa
dingin dan mendung yang ia pilih sendiri.
***
Pada musim
hujan, ketika dari petala langit di atas kampung kami hujan mulai turun—hujan
dalam arti sebenarnya, konon, hujan di mata Ratri justru akan berhenti.
Sepasang matanya akan menjadi sangat jernih seperti langit tanpa gumpalam awan.
Namun, beberapa detik berikutnya mata itu tiba-tiba akan berubah merah, menjadi
api yang berkobar. Ibu Ratri acap bercerita sambil menangis ketika bertandang
ke rumah kami.
Tak
seorang pun sanggup meraba isi kepala Ratri, sebagaimana orang-orang tak pernah
sanggup meraba ke ketinggian mendung ataupun ke kedalaman api. Mungkin hujan
yang turun itu mengingatkan Ratri pada hujan paling memilukan dalam hidupnya.
Ataukah api dalam sepasang matanya itu terlahir dari apa yang telah tertanam
telak dalam ingatannya yang paling bara.
Ratri
seharusnya tahu bahwa semua yang ia lakukan adalah perkara mustahil dan sia-sia.
Namun siapa yang tahu isi hati seseorang. Kami tak pernah mengalami kepedihan
sekaligus kehilangan yang bercampur aduk seperti yang dialami Ratri. Kami hanya
menerka-nerka bahwa hujan dan api adalah dua hal yang saling menyambar dan melilit
jiwa Ratri dan membelenggunya. Jika dalam kepala Ratri muncul kobaran api yang
menggila, mungkin sepasang mata Ratri akan menjelma menjadi hujan yang menguyur
api itu hingga padam. Atau, jika suatu ketika Ratri menggigil karena hujan yang
tak ramah itu, sepasang mata Ratri akan menjelma kobaran api yang membakar
hujan. Tak ada yang tahu.
Keluarganya
sudah lelah dan tak bisa lagi membujuk Ratri untuk kembali pada kehidupan
normalnya. Bujukan keluarganya pada Ratri tak ubahnya sepercik air yang ditumpahkan
untuk memadamkan api yang membakar seisi belantara. Mustahil. Dan harapan Ratri
untuk hidup normal tak ubahnya setongkat lilin yang ia nyalakan untuk membakar
hujan. Juga mustahil. Seharusnya Ratri tahu, bahwa kobaran api yang paling
besar sekalipun tak akan pernah mampu membuat hujan berhenti.
Dan begitulah,
pada akhirnya, Ratri hanya bisa membiarkan hujan itu bersarang dalam sepasang
matanya. Mata yang begitu dingin dan menderita.***
Malang, 2013
0 komentar:
Posting Komentar