Seekor burung sehitam
sulang beterbangan di atas bubungan rumah kami. Berputar-putar.
Berkoak-koak. Uak bilang itu burung gagak. Terdengar jelas dari suaranya yang kaak kaak kaak… Soal burung gagak, Uak pernah menceritakan, barang
siapa yang rumahnya dikitari burung hitam itu, pertanda salah seorang dari
anggota rumah tersebut akan meninggal. Menurut Uak, itu bukan cerita belaka,
melainkan sebuah firasat. Sebuah pertanda.
“Orang-orang
terdahulu menandai kabar kematian seseorang dengan burung gagak,” ujar Uak suatu kali, sambil menggulung kulit
jagung yang berisi rajangan tembakau.
“Mengapa harus burung
gagak?” aku menyoal.
Uak terus menggulung
rokok kelobotnya, sebelum mengapitnya di antara dua bibir, “Karena gagak adalah
burung bangkai,” jawabnya dengan bibir nyaris rapat.
Uak menyalakan korek dan
membakar ujung kelobot yang siap mengepul di antara dua bibirnya. Aku menatap
Uak dengan segenap kumis, janggut, dan rambutnya yang serba putih. Aku takut
kalau rambut-rambut yang tampak kerontang itu ikut terbakar.
“Burung bangkai cukup lihai untuk mengendus siapa-siapa
yang akan menjadi calon bangkai, calon mayat,” lanjut Uak.
“Jadi kalau ada burung gagak berkoak di atas atap
rumah kami berarti salah satu di antara kami, ibu atau bapak atau kakak-kakaku
atau aku akan mati?” aku menyimpulkan.
“Bisa jadi, dan kalau burung bangkai itu mengitari
atap rumah Uakmu ini, bisa dipastikan Uakmu ini yang akan mati,” Uak turut
menyimpulkan, dengan intonasi sedikit berkelakar. Tapi aku tak sedikitpun
menangkap ada yang lucu dari kata-kata Uak.
Uak adalah kakak tertua ibu. Ia tinggal di rumah
besar tapi reot, tepat di sebelah rumah kami, hanya terpisah pekarangan selebar
sepuluh meter. Istri Uak meninggal dua belas tahun silam, sebelum aku lahir. Uak
tak memiliki anak, dan Uak tak menikah lagi. Rumah yang ditempatinya itu
dulunya adalah rumah utama kakek dan nenek, waktu masih kecil ibu juga tinggal
di rumah itu. Namun setelah kakek dan nenek meninggal, serta Uak dan saudara-saudara
ibu lainnya menikah, rumah itu jadi sepi. Tinggal Uak seorang dan istrinya yang
menempati rumah itu. Hingga istrinya meninggal di rumah itu. Hingga kini, rumah
itu hanya ditinggali Uak seorang. Uak cukup tua untuk menjadi seorang Uak,
bahkan rasanya pantas-pantas saja misalkan aku memanggilnya kakek. Beberapa
teman sepermainanku memangilnya kakek.
Semenjak Uak tinggal seorang diri di rumah besar
itu. Rumah itu jadi kurang terurus. Dapur di rumah besar itu sudah tak mengepul
selama bertahun-tahun. Setiap hari, ibu menyuruhku menyelinap ke rumah sepi itu
untuk mengantarkan nasi serta lauk-pauk, juga secangkir kopi di pagi dan petang
hari. Di bagian tengah rumah itu ada sebuah meja kayu bundar tanpa taplak yang
tampak usang dan berdebu, sesekali ketika ibu membersihkan rumah itu, ibu
selalu mengelap meja itu dengan kain basah. Di meja itulah aku meletakan aneka
makanan yang menjadi jatah Uak. Uak tidak bekerja. Sesekali saja ia menjadi
makelar ternak, namun lebih banyak menganggur. Uak suka duduk mencangkung di
dipan ruang tengah sambil mendengarkan radio dan merokok kelobot. Hinga aroma
pakaian dan tubuh Uak selalu seperti pendiangan. Itulah Uakku, orang yang
mengatakan bahwa rumah yang dikitari burung gagak adalah rumah yang bakal
dihinggapi kesedihan lantaran kematian.
Dan seperti yang pernah kusimpulkan, burung sehitam
sulang itu kini berputar-putar di atas bubungan rumah kami. Melihatnya aku
menjadi sangat cemas. Aku tak mau memikirkan soal kematian, tapi diam-diam aku
menebak-nebak siapakah gerangan yang akan disambangi malaikat maut di antara
kami. Apakah itu ibu, bapak, kakak-kakakku, atau malah aku sendiri. Tapi
rasanya mustahil, semua orang di rumah kami tampak sangat sehat. Jauh dari
tanda-tanda kematian. Tapi, sebagaimana yang pernah Uak katakan padaku, kematian
itu bisa datang dengan seribu jalan, bukan sekadar sakit. Tiba-tiba, aku
membayangkan bapak ditubruk kereta saat pulang dari tempatnya bekerja. Atau
kakak-kakakku yang terlibat tawuran atau terkena bidikan senapan angin yang
salah sasaran di pinggir jalan. Atau bahkan, ibu yang tiba-tiba terbakar saat
sedang memasak di dapur. Aku berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran mengerikan
itu, tapi kata-kata Uak terus-terusan mengompor di kupingku.
Senja hari selepas suara burung hitam itu tak
terdengar lagi, aku meringkuk di pangkuan ibu. Rumah cukup sepi. Ayah belum
balik kerja, dan kakak-kakakku keluyuran entah ke mana. Aku takut sekali. Maka,
kuceritakan pada ibu semua yang telah diceritakan Uak padaku, soal burung hitam
itu, soal firasat kematian.
“Itu cuma burung, Nak,” jawab ibu enteng, tak
sedikitpun kecemasan tersirat di wajahnya.
“Tapi kata Uak, burung sering datang sebagai alamat,
burung prenjak berkicau di pekarangan rumah sebagai pertanda datangnya tamu.
Dulu, waktu Budhe mau datang dari Kalimantan, ada burung prenjak juga yang
berkicau di atas pohon petai. Tapi sekarang burung gagak, dan kata Uak…” kataku
terpasung, penuh kemurungan.
“Hidup dan mati itu urusan Tuhan, bukan urusan
burung-burung,” ibu menyanggah. Kata-kata yang nyaris sama pernah kudengar dari
guru agama di kelasku, bahwa kematian itu memang urusan Tuhan.
“Tapi, bukankah Tuhan kerap mengirim tanda-tanda
buat seseorang?” aku berusaha mendebat ibu.
“Dan kiriman itu bukan berupa burung,” sahut ibu,
cepat, “tapi berupa uban, sakit, pendengaran yang buruk, serta penglihatan yang
mulai buram, itu yang ibu tahu,” sambung ibu setengah berbisik. Membuatku
bungkam, tak hendak membantah kata-katanya lagi.
“Oh ya, sebentar, kopi Uakmu,” ibu beranjak ke
dapur, kesunyian segera membaluriku. Terdengar suara cangkir mengetuk punggung
meja, lalu suara sendok yang mengetuk-ngetuk dinding cangkir. Tak kurang dari
lima menit, secangkir kopi mengepul sudah berpindah ke tanganku. Dan sebentar
lagi akan melayang ke maja bundar di rumah Uak, lalu Uak menyeruputnya sambil
bercerita apa saja kalau aku tak segera enyak dari hadapannya. Asap tipis dari
permukaan cangkir berlambaian dihalau angin. Aroma pahit kopi menguar menerobos
lubang hidungku. Warna hitam yang berguncang dalam cangkir mengingatkanku pada
bulu-bulu gagak yang mengkilap. Aku kembali teringat soal firasat kematian itu.
Aku mengetuk pintu rumah sebelah dan menerobos
begitu saja karena pintu rumah itu tak pernah terkunci. Suara radio sayup-sayup
melantunkan iklan anggur kolesom. Aku meletakkan kopi itu di atas meja dan
menyeru Uak. Tapi Uak tak menyahut. Biasanya begitu aku menyeru soal kopi, Uak
segera muncul. Dipan ruang tengah kosong. Aku merunut muasal suara radio yang
sudah berganti melantunkan lagu dangdut lawas. Suara itu jelas berasal dari kamar Uak. Benar.
Dan di kamar itu, di atas dipan, di sebelah radio yang terus mengoceh, aku
mendapati Uak berbaring miring memeluk lutut, berkemul sarung.
“Uak, kopinya…” kataku. Tapi Uak tak bergeming.
Aku menggoyangkan tubuhnya. Beberapa kali. Dan Uak
tetap tak bergerak. Tubuhnya dingin dan
sekaku kayu bakar. Aku menghambur menyeru ibu. Lalu silih ibu yang berlarian
menyeru para tetangga dengan muka panik. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mendengar
suara sepiker memekik lantang dari bubungan surau. Nama Uak disebut di sepiker
sebanyak dua kali. Sebagai si mati. Sebagai si mati.***
Malang,
2016
0 komentar:
Posting Komentar