MENURUTKU, gelar dan nama adalah dua hal yang tak boleh dipisah-pisahkan. Seperti tubuh dan pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa aku sangat mengutuk orang-orang—terutama mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, aku telah menerapkan beberapa pantangan bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku. Salah satu di antaranya adalah mengenai gelar itu sendiri.
Mereka—para mahasiswaku—yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku, kujamin akan bernasib buruk. Seperti yang sudah kukatakan, gelar dan nama adalah sesuatu yang sakral bagiku, jadi tak boleh diotak-atik oleh siapa pun.
Sebenarnya, untuk mengantisipasi hal itu, aku selalu berbaik hati. Pada setiap awal semester, di perkuliahan, aku selalu berpanjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut. Jabatanku di kampus adalah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.
Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada acara perkenalan dengan mahasiswa baru, aku selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskannya begini: Prof Dr H M Kibari MA.
Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, dengan semangat aku akan menjelaskan pada mereka, bahwa kata prof, dari namaku itu berarti profesor, yakni seorang ahli dalam suatu bidang, bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, aku selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non-akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang aku terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.
Adapun mengenai huruf Dr, dari namaku ialah singkatan dari kata doktor yang aku peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula aku menjelaskan tentang huruf H, yang bertengger pada namaku. Huruf H di sana tentu saja singkatan dari kata haji, itu karena memang sudah berkali-kali aku ke Makkah. Dan untuk huruf M, aku takkan menjelaskan panjang lebar karena M di sana ialah singkatan dari nama depanku, Muhammad.
Dan yang terakhir, huruf MA, master of art, merupakan oleh-oleh dari S2-ku dari negeri yang punya ibu Menara Eifel, Prancis. Hebat bukan?
Tak ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang aku ini seorang multitalent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, aku menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa diam-diam aku ini berbakat menggesek biola, itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya aku sombong, karena sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu, justru aku mengagungkan kebenaran, semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain, mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa aku memang ada di atas mereka, dalam banyak hal.
***
Pada akhir semester seperti ini biasanya aku akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah, mengemis-ngemis agar aku dapat menerima konsultasinya lalu mengasese skripsinya yang amburadul itu.
Seminggu terakhir ini, sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa aku depak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.
Awal pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, aku yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya dia lebih pandai mengobral alasan daripada menekuni tugas akhirnya. Kali ini dia datang malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakannya masuk. Terpaksa aku meladeninya.
“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa-basi.
“Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya menyelesaikan bab terakhir ini. Dan, waktu saya ke kampus bapak tidak ada.” Dalihnya enteng.
“Walah… itu alasan kamu saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya selesaikan di kampus. Lha, mengapa kamu berani menemui saya tanpa membuat janji terlebih dahulu. Sudah…, sebaiknya kamu pulang saja, saya mau istirahat….” Tukasku santai.
“Tapi Pak, minggu depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimabangan lagi dari bapak supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.
“Entah besok ujian, entah minggu depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaannya, selama satu semester ini kamu ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kedaluwarsa?”
“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yang harus saya utamakan.”
“Lebih penting dari skripsimu?” tandasku.
Wanita itu tak bergeming, tapi matanya mengilat seperti kaca.
“Sudah, terserah draf itu mau kamu apakan. Yang jelas malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, lalu beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu. Entah dengan cara apa dia enyah, lagi-lagi aku takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.
Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita. Ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya karena ia repot mengurus balitanya. Bagiku, itu risiko yang harus ia tanggung. Maka, baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu.
Yang ketiga ialah seorang pemuda kumal. Dia seorang aktivis organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya itu akan mengubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan, terang-terangan aku memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan datang kembali semester depan dengan pilihan yang tepat.
Setelah para mahasiswa error itu, malam ini datang lagi seorang pemuda dengan potongan alim. Kalau tidak salah dia adalah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, aku lupa namanya siapa. Sebenarnya dia itu rajin, tapi untuk soal skripsi dia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya aku masih menangkap kemuakkannya terhadapku. Mungkin dia teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku menegurnya karena kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya. Pada khutbah Jumat waktu itu aku mendapat jadwal khatib dan dia sebagai bilal. Sebelum aku naik ke mimbar, dia menyebutkan namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”
Bukankah seharusnya dia menyebut namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof Dr HM Kibari, MA.”
Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Untung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, kalau tidak pasti aku sudah melabraknya. Tapi sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya. Dan, malam ini aku menerima konsultasinya yang terakhir, tentu setelah dia membuat janji denganku.
“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yang tebal. Dengan malas aku meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dengan saksama.
“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang.” Pekikku setelah mencoret beberapa kata yang salah redaksi.
“Maaf Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Iya, akan segera saya perbaiki.” balasnya. Belum selesai ia bicara aku sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.
“Ini apa lagi. Rupanya kamu benar-benar tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada tulisan: “Dosen Pembimbing: Prof H Kibari, MA.”
“Ini doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali. Kalau kamu masih salah-salah lagi, saya sarankan kamu ujian semester depan saja! Kamu belajar ngetik dulu sambil menghafalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah seperti terbakar.
Esoknya pemuda itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan print out yang baru, tapi dasar penyakit, dia membuat kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang aku menyuruhkannya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres aku segera mengasesenya, aku tak ingin lama-lama berhadapan dengannya, bisa-bisa darah tinggiku kumat.
***
Usai sidang skripsi, aku bisa bernapas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan: yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun, aku lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kamu lulus.
Biasanya, setelah nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terima kasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang aku terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding, bahkan sampai sepatu made in Italy.
Dan, malam ini aku menerima lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, aku yakin isinya bukan barang biasa.
“Dapat lagi, Bu!” kataku sambil memamerkan paket kotak itu pada istriku.
“Wah, sepertinya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.
“Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku kalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung.” Balasku girang.
Istriku tersenyum, “Cepet buka, Pak! Saya jadi ndak sabar pingin ngeliat isinya apa.”
“Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, ibu bikinin teh dulu buat bapak.”
“Iya, ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak,” ujarnya sambil beranjak ke dapur.
Istriku pasti akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini pasti sengaja membuat saya penasaran dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.
Maka, dengan tidak sabar aku membuka kardus itu. Satu per satu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengilat itu pelan-pelan agar tidak sampai sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu aku tercekat, kaget bukan main. Dua papan batu nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu batu nisan itu terukir tulisan yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini:
Alm Prof Dr H M Kibari, MA.
Jidatku terasa dihantan pendulum satu ton saat kusadari apa yang baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan batu nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi, kubaca tulisan itu perlahan:
.
Bapak Prof Dr H M Kibari, MA. yang ter(gila) hormat. Mohon maaf sebelumnya.
Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada batu itu.
Oh ya, saya juga telah menuliskan satu lagi Gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat.
Salam
Mahasiswamu.
.
Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu per satu menggelayuti dinding kepalaku. Aku seperti menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang batu kuburan itu. Aku tak mau siapa pun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali batu itu ke dalam kardus lalu membungkusnya kembali rapat-rapat.
“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat?” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tangannya.
“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan batu berukir biasa.” Balasku kecut. Sesuatu yang tidak enak mulai menggeliat di kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku. (*)
.
Malang, 2009-2010