Neal percaya, bagi kenangan waktu tak pernah berarti apa-apa. Semenjak kepergian Pearce empat puluh tahun lalu, Neal berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia takkan membiarkan kenangan tentang Pearce luntur oleh kehadiran orang lain. Dalam benaknya, di sebuah tempat yang jauh (barangkali di surga) Pearce senantiasa mengawasinya. Sebab itulah, Neal lebih memilih untuk merawat kesendiriannya. Ia tahu, Pearce telah menunggunya di sana, ia hanya butuh waktu sedikit lama dan menjadi tua.
***
Di San Marina, Pearce meninggalkan sebuah rumah mewah dua lantai. Rumah besar yang dikelilingi puluhan pohon maple. Kata Pearce, rumah itu sengaja ia siapkan sebagai hadiah istimewa untuk pernikahan mereka. Di rumah itu, mereka sempat menikmati Honey Moon paling indah di dunia. Tepat dua minggu setelah mereka menempati rumah itu, Pearce berpamitan, ia harus segera terbang ke Madrid untuk sebuah pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Selama kepergian Pearce, Neal dirundung kegelisahan tanpa sebab. Saat berpamitan, Pearce mengatakan, ia hanya butuh waktu dua hari untuk pekerjaannya dan ia akan kembali pada Neal dalam keadaan utuh. Tepat hari kedua, kegelisahan Neal mendidih, Pearce tidak pulang, yang pulang hanya sebuah kabar bahwa pesawat yang ditumpangi Pearce terjatuh di lautan Tyrrhenian. Berhari-hari Neal terdiam seperti mayat dengan air mata membabi buta. Ia tak percaya Pearce tak kembali. Pearce sudah berjanji akan kembali dalam keadaan utuh.
Dalam keadaan limbung Neal masih tetap menunggu kabar ditemukannya mayat Pearce. Dan penantian paling menyedihkan itu ia akhiri setelah hampir tiga bulan ia dikutuk kesendirian. Akhirnya Neal memutuskan untuk kembali ke rumah peninggalan orang tuannya di Florence dan menyimpan memori tentang Pearce hanya dalam kepalanya dan rumah besar itu. Kepedihan Neal sebenarnya sudah sedikit terobati dengan kehadiran janin di rahimnya. Terkadang Neal berpikir bahwa hidup itu memang aneh. Semua datang dan pergi melewati sebuah pintu bernama misteri. Lambat laun Neal mulai benar-benar paham apa itu hidup, cinta, dan kepedihan.
***
Seorang diri, Neal merawat bayi laki-lakinya yang manis. Neal menamai bayinya dengan Pearce Jr, memang benar-benar mirip, matanya, hidungnya, bibirnya, barangkali begitulah wajah Pearce semasa bayi, pikirnya. Ketika usia Pearce Jr memasuki tujuh tahun, ia mulai bertanya: Mom, apa aku tidak punya Dad? Neal tidak menjawab langsung pertanyaan putranya, ia akan menjawab dengan mengajak Pearce Jr mengunjungi rumah itu. Rumah yang ia rindukan selama bertahun-tahun namun tak bisa ia kunjungi karena usia Pearce Jr yang memang tak memungkinkan untuk ditinggal bepergian jauh. Tapi Neal tak perlu khawatir, ia sudah membayar orang untuk mengurus rumah itu.
Pertama kali mengunjungi rumah kenangan itu, dada Neal disergap sesak. Semua tentang Pearce benar-benar tampak nyata di depan matanya. Neal bisa menghabiskan waktu berjam-jam dalam rumah tua itu. Sebenarnya ia tak melakukan apapun, ia hanya berkeliling dari kamar ke kamar. Memandangi benda-benda yang pernah disentuh Perace berlama-lama. Beberapa kali ia mengusap benda-benda itu seperti mengusap air matanya yang tiba-tiba merembes. Baginya, rumah itu adalah Pearce dalam bentuk yang lain.
Dari itulah Neal berjanji pada dirinya, ia akan selalu mengunjungi rumah itu, paling sedikit sebulan sekali. Ia tak perlu membayar orang lagi untuk merawat rumahnya, relikui dari suaminya. San Marina dan Florence memang tidak dekat, tapi jarak tak pernah berarti apa-apa dibanding kerinduan.
***
Neal sadar, ia tak muda lagi. Tubuhnya juga semakin rapuh. Rambutnya yang dulu kecoklatan luntur dan berwarna perak. Kulit wajahnya yang dulu kencang sudah mulai lembek. Tapi itu bukan masalah, bukankah itu berarti perjumpaanya dengan Pearce tidak akan lama lagi? Entahlah. Ia senang dengan keadaan itu, tapi di sisi lain ia merasa masih memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan Pearce Jr menjadi manusia dewasa.
Dari itulah, Neal senang bukan kepalang ketika Pearce Jr menemuinya dengan membawa seorang gadis. “Ini Shopie, Mom. My girlfriend. Dia tinggal di Arezzo. Dia juga bekerja di hotel tempatku bekerja.” Ungkap Pearce Jr, Neal tersenyum menyalamai gadis itu.
“Sophie. Senang bertemu Anda, Mom. Perace banyak bercerita tentang Anda.” Gadis itu balas tersenyum. Neal bisa melihat bahwa gadis yang dibawa putranya adalah gadis baik-baik. Neal melihat itu dari mata dan caranya berbicara.
“Kalau kau memang suka dengan gadis itu, kau tidak perlu menunggu berlama-lama, Pearce. Bulan ini kau genap dua puluh lima.” Neal mengemukakan pendapatnya selepas gadis itu berpamitan.
“Tentu, Mom. Tapi…” Pearce menggantungkan kata.
“Tapi apa?”
“Sophie anak tunggal, Mom. Ibunya di rumah tinggal sendiri dan sering sakit-sakitan. Ia tak bisa meninggalkan ibunya.”
Neal tertegun, ia paham, ia akan kembali sendiri. Dua puluh lima tahun jiwanya sepi, satu-satunya penghibur adalah Pearce Jr. Akankah ia pergi juga.
“Mom!” seruan Pearce Jr membuatnya terantuk. “Tentu saya tidak akan meninggalkan Mom seorang diri. Mom lebih berarti bagi saya.” Lanjutnya.
Neal cukup terharu mendengar pernyataan putranya, tapi tidak, ia tidak akan memotong pertalian hati itu. “Temui dia, Pearce. Katakan padanya, kau akan segera menikahinya.” Ungkap Neal kemudian.
“Tapi, Mom.”
“Arezzo tidak terlalu jauh dari sini. Kau bisa menjenguk Mom kapan pun kau mau, right?”
Pearce Jr terdiam lalu mencium tangan ibunya dalam-dalam. Matanya basah.
***
Ketika Pearce Jr mengemasi pakaiannya dalam koper, dada tua Neal bagai terhimpit sesuatu. Sudah lama sekali Neal tidak merasakan sesak semacam itu. Sesak yang sama ketika ia mendengar kabar bahwa jenazah suaminya tak pernah ditemukan. Pearce Jr dan istrinya memeluk Neal erat-erat setelah berpamitan.
“Kami akan sering-sering menjenguk Mom. Mom jangan bersedih.” Pearce Jr mengusap air mata ibunya. Matanya juga gerimis.
Neal tak bisa menguasai air matanya ketika Pearce Jr dan istrinya melangkah menjauh meninggalkannya. Neal sendiri tak paham mengapa ia menangis. Apa ia takut kesepian? Atau kehilangan? Tidak. Entahlah.
***
Semenjak Perace tinggal bersama istrinya, Neal hanya akan menghabiskan waktunya untuk merajut dan merawat kaktus-kaktus kecil di teras rumahnya. Beberapa bulan setelah kepergian Pearce Jr, Neal paham, ia hanya butuh membiasakan diri, dari kesendirian, dari kesepian, dari ditinggalkan, dan tentu saja, dari kehilangan.
Setiap senja naik, Neal selalu berdiri di depan jendela rumahnya yang menghadap ke barat. Di situ ia berdiri dengan mata berkilat seperti patung lilin. Ia mengamati musim yang berganti. Ia mengamati pucuk-pucuk daun Oak yang menghijau, lalu menguning, dan berguguran. Ia juga tak pernah alpa mengamati ranting-ranting pohon Oak yang kesepian dan kemudian ditumbuhi salju yang bergelantungan.
Tahun demi tahun seperti hidup dan merangkak di depan matanya. Sendi-sendinya benar-benar rapuh. Rambutnya pun sempurna seperti tebaran salju. Keriput di wajahnya menggelambir. Hingga ia sendiri tak bisa membedakan gerak bibirnya tengah menangis atau tertawa. Melihat kondisi tubuhnya yang demikian Neal sadar, ia takkan mampu lagi mengunjungi rumah kenangan yang ditinggalkan suminya di San Marina. Semua benar-benar akan hilang, kecuali yang ada dalam kepalanya.
Neal juga tak mungkin meminta Pearce Jr supaya sesekali menjenguk rumah peninggalan bapaknya itu. Semenjak mempunyai bayi lima tahun lalu, Pearce Jr jarang sekali menjenguknya. Sebulan sekali. Tiga bulan sekali. Setahun sekali. Atau hanya sesekali saja menelpon. Neal paham putranya sangat sibuk, dan ia takkan membebaninya.
***
Suatu hari ketika kerinduan Neal memuncak, Neal merasakan kepalanya sangat berat. Tubuhnya menggigil. Kesepian yang bertahun-tahun memeluknya kini menindihnya. Ia mulai sulit bernapas. Saat itulah ia memberanikan diri untuk menelpon Pearce Jr. Ia meminta Pearce Jr datang ke Florence untuk mengantarkannya ke San Marina, ke rumah peninggalan suaminya. Entah kenapa, Neal merasa harus ke sana. Namun, di luar dugaannya, karena urusan pekerjaan, Pearce Jr meminta maaf, ia tidak bisa mengantar ibunya. Namun Pearce berjanji minggu depan ia akan pergi ke Florence dan mengantar ibunya ke San Marina.
Sesak di dada Neal datang bertubi-tubi. Hingga ia putuskan untuk pergi sendiri ke San Marina dengan tubuh tuanya. Tentu saja ia tak memberi tahu Pearce Jr. Dan ajaib sekali, ketika kakinya yang gemetar menapaki kabin kereta, Neal merasakan tubuhnya sangat ringan. Mungkin kerinduan yang sangat telah membantunya. Neal tak percaya ia bisa sampai di depan rumah besar itu dengan kaki rapuhnya.
Sudah berapa tahun ia tak menjamah rumah kenangan itu. Lima tahun? Tujuh tahun? Sepuluh Tahun? Entahlah. Neal menjejakkan langkahnya. Ia memperhatikan pohon-pohon Maple yang menjulang di sekitarnya. Merah kemuning yang menyilaukan matanya. Ia terus melangkah. Beberapa kali langkahnya menyaruk guguran daun Maple yang kering dan tampak kesepian. Di jendela lantai dua, Neal bagai melihat bayangan berkelebat. Sosok yang sangat ia kenal. Ia semakin tak sabar untuk memasuki rumah itu, memasuki kenangan itu dan melebur di dalamnya.
Di depan pintu utama, dari saku jaket wolnya, Neal mengeluarkan kunci kecil. Ia memasukkan kunci itu ke lubangnya dan memutarnya. Tanganya gemetar. Perlahan ia mendorong pintu itu. Deritan panjang menyambutnya. Mata Neal memandang jauh ke dalam rumah itu. Ia melangkah masuk dan menutup pintu.
Perlahan ia memperhatikan tangannya. Otot-otot tua yang menujulur di sana mengencang. Ia meraba wajahnya. Ia menemukan kulit yang mulus dan bibir yang masih basah. Ia menilik rambutnya yang memutih—yang tiba-tiba tersepuh warna cokelat mengkilat. Ia kembali muda. Ia berjalan dengan sangat tegap. Sangat anggun.
Setiap jejak langkah dipacunya, lilin-lilin yang menggantung di dinding perlahan menyala. Lampu utama yang jatuh berantakan perlahan kembali menyatu dan menempel di tempatnya. Kursi dan meja yang ambruk kembali berdiri dan utuh seperti baru. Daun-daun maple yang berserakan perlahan terbang melewati atap yang berlubang—yang perlahan merapat kembali seperti semula. Piano tua yang dihinggapi sarang laba-laba tiba-tiba berdenting dan menyanyikan irama yang biasa dimainkan Pearce, suaminya. Dadaya berdesir.
***
Neal terus mengambah ruang demi ruang, kenangan demi kenangan. Hingga ia sampai di kamar utama. Kamar tempat ia dan Pearce memanjakan cinta. Di dalam kamar itu, Neal berdiri di depan sebuah cermin berdebu. Di depan cermin itu, Neal menitikkan air mata. Hingga tiba-tiba sebuah tangan mendekapnya dari belakang, menghapus air matanya. Dari cermin itu Neal melihat Pearce memeluk tubuhnya erat-erat dan tersenyum menatapnya. Dalam hati, Neal berjanji, takkan pernah meninggalkan rumah itu lagi. Ia ingin melebur di dalamnya.***
Malang, 2011
*Cerpen ini terilhami oleh lagu karya Within Temptation: Memories.
– PEMENTASAN “TANGIS” TEATER GANDRIK
9 tahun yang lalu