Setiap
kali lebaran tiba, perempuan itu selalu mendapat kiriman tiga buah parcel yang sama.
Parcel pertama berisi aneka biscuit, sirup, dan beberapa makanan kecil—yang seolah
tak akan habis untuk ia kudap sampai lebaran tahun depan. Parcel kedua, berisi
selusin toples dan beberapa cangkir porselin lengkap dengan tekonya. Sedangkan
parcel ketiga, berisi mukena, sajadah, dan beberapa pakaian siap pakai dengan
merek terkenal. Baginya, tiga parcel itu tak ubahnya ornamen-ornamen kesunyian,
yang terpajang di sudut ruang tamu dan lemari, yang membuat hawa semakin beku.
Perempuan
itu punya tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan, yang laki-laki jadi
tentara dan jarang pulang—bahkan saat lebaran, sedangkan dua anak perempuannya
semuanya sudah menikah dan mengikuti suami masing-masing. Mereka akan pulang
hanya jika suami-suami mereka mengizinkan. Tiga parcel itu dari mereka. Perempuan
itu seringkali mengingat-ingat kapan terakhir ia berkumpul dengan anak-anak dan
cucu-cucunya, dan itu adalah tiga tahun lalu, ketika suaminya (bapak dari anak-anak
dan kakek dari cucu-cucunya) meninggal. Dan
mungkin anak-anak akan bisa berkumpul lagi ketika nanti tiba gilirannya masuk
ke lahad, menyusul suaminya. Entahlah.
Anak-anak
tinggal di pulau jauh di seberang lautan, dan sebab itulah ia lebih
mengedepankan pemakluman daripada ego kerinduannya sebagai orang tua.
Setidaknya, ia masih bisa tersenyum, karena anak-anak tak lupa menelpon dan
bertanya kabar setiap bulan, atau berkirim parcel setiap tahun.
Begitulah
perempuan itu membohongi dirinya sendiri, ia tahu, jauh di kedalaman hatinya,
acap kali ia merasa sebagai orang tua yang malang dan dianggap tidak penting
oleh anak-anaknya. Bagaimana pun orang tua tetaplah orang tua, jarak bukanlah
sesuatu berarti. Apalagi sekarang sudah jamannya pesawat terbang, yang bisa
melintas dari pulau ke pulau hanya dalam waktu kurang dari satu hari. Atau
mungkin, orang tua dan anak-anak memang punya dimensi dunia yang berbeda, di
mana nuansa kasih dan kerinduan juga berbeda. Di dunia anak-anak, mungkin
kerinduan tak setebal di dunia orang tua. Namun, apapun itu, ia selalu siap
menerima kemungkinan terburuk—anak-anaknya tidak akan datang, dan hanya
mengirimkan parcel seperti sebelum-sebelumnya.
Dengan
hati yang redam ia terus memandangi cangkir-cangkir dan beberapa pakaian dalam
lemari—semua adalah hasil dari kiriman parcel yang sama, di tahun-tahun
sebelumnya. Semuanya berjajar dan terlipat rapi, persis seperti ornamen-ornamen
yang tak berpaedah apapun kecuali menguarkan nuansa kesunyian yang begitu
palung. Demi memikirkan itu, ia acap menitikan air mata sambil terduduk di
kursi rotan di ruang depan seraya melempar pandang jauh keluar jendela.
Sedangkan foto-foto keluarga yang bercengkerama di dinding-dinding itu, tak
ubahnya benda-benda jahat yang selalu mentertawainya dan mempecundanginya.
Ia akan
tersenyum dan kemudian mengusap air matanya setelah mengingat bahwa para
tetangga dan bocah-bocah mungil mereka tak pernah alpa menengok rumahnya yang
besar lagi senyap itu. Di saat-saat seperti itu ia berpikir bahwa memiliki
tetangga yang banyak akan jauh lebih menentramkan ketimbang memiliki anak yang
banyak. Dan lagi, Tuhan tentu tak akan menyuruh hambaNya untuk menghormati para
tetangga sedemikian rupa kecuali karena alasan yang sangat istimewa. Ia sering
mengibaratkan, jika di rumahmu terjadi kebakaran, maka orang pertama yang akan
membantumu memadamkan air bukanlah anak atau saudaramu yang ada di seberang
jauh, melainkan para tetangga di sebelah kanan-kiri rumah.
Jadi,
sebenarnya ia tak perlu sesedih itu kalaupun lebaran kali ini anak-anaknya
tidak pulang seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Toh ia masih punya para tetangga yang begitu peduli. Dan anak-anak tetangga
yang manis-manis itu sudah ia anggap seperti cucu-cucu sendiri, yang akan
selalu ia selipkan angpau di tangan-tangan mungil mereka ketika mereka berdatangan
dan bersalaman di pagi lebaran. Ia tersnyum lagi dengan mata yang masih sembab.
Lebaran tinggal beberapa lagi, batinnya.
Belum
lagi usai dari lamunannya, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Mungkin anak-anak
tetangga yang disuruh ibunya mengantarkan nastar atau kue kering. Jelang
lebaran seperti ini, para tetangga memang suka saling antar makanan dan kue
dari satu rumah ke rumah yang lain, itulah salah satu alasan kuat mengapa ia
tak mau pindah ke kota untuk tinggal di perumahan anaknya yang bertingkat dan
berteralis seperti penjara. Tiga tahun lalu, genap tujuh hari selepas
meninggalnya si bapak, si sulung—yang seorang tentara, pernah memintanya untuk
turut serta ke kota dan tinggal bersama menantu dan cucu-cucunya, tapi ia
menolak. Dua anaknya yang lain juga menawarinya hal serupa, tapi tetap saja ia
tak sudi meninggalkan rumah warisan moyangnya yang sudah terlampau ia cintai
itu.
Ia
bergegas membuka pintu, dan ia salah, yang datang bukanlah anak tetangga,
melainkan lelaki berseragam yang mengantarkan parcel. Parcel pertama. Dari anak
pertama. Ia meminta petugas pengantar barang itu untuk meletakkan parcel
setinggi satu meter itu di sudut ruang tamu, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Selepas pengantar barang itu pergi, ia menghela napas tuanya dengan berat. Anak
lelakinya kini menjelma menjadi sebuah parcel yang bisu dan tak mampu mengobati
apapun, termasuk kerinduan. Dan dua anaknya yang lain juga akan segera
menyusul—menjelmakan wujudnya menjadi parcel. Ia pasrah dan mencoba tetap
tersenyum.
Dua
parcel yang lain—dari kedua anaknya yang lain, datang tiga hari jelang lebaran.
Genap sudah. Tiga parcel itu terpajang di sudut ruang tamu. Utuh. Belum terbuka
sedikitpun. Dan biasanya, anak-anaknya akan segera menelpon untuk menanyakan
apakah parcel kiriman mereka sudah datang—alih-alih menanyakan bagaimana
perasaan ibu mereka yang selalu berlebaran dengan sekantung parcel. Dan
begitulah, pada malam lebaran, setelah beri’tikaf di masjid sampai menjelang
subuh, ia akan selalu melangkah pulang dengan air mata yang tak bisa ia tahan.
Ia sendiri bingung, apakah ia menangis lantaran alunan takbir yang syahdu itu, atau
menangis karena memikirkan dan merindukan anak-anaknya.
Sesampainya
di rumah, ia akan terduduk di kursi rotan ruang depan—masih mengenakan
mukenanya—sambil memandang tiga parcel
di sudut ruang berlama-lama. Itulah wujud ketiga anaknya sekarang. Haruskan ia
memeluk dan menciumi parcel-parcel itu dan mengatakan: lebaran kali ini ibu
memaafkan kalian, sama seperti lebaran-lebaran sebelumnya dan lebaran-lebaran
yang akan datang. Pada detik itu juga, ia memohon ampun kepada Tuhan jika semua
perasaan yang ia pelihara selama ini adalah salah. Bagaimanapun ia sangat
mencintai anak-anaknya. Maka, untuk ke sekian kalinya ia berpasrah, jika Dia
berkehendak mendatangkan anak-anak yang teramat dirindukannya itu, tentu Dia
akan mendatangkan anak-anak itu dengan cara-Nya. Dan selepas itu ia tertidur
sampai takbir jelang sholat id memabangunkannya.
***
Pada
pagi lebaran, jauh di tiga tempat yang berbeda, tiga orang anak mendapatkan
kiriman sebuah paket yang misterius. Tergeletak di depan pintu, tanpa nama
pengirim. Ketika masing-masing dari mereka membukanya, yang mereka dapati hanya
sebuah kardus besar yang kosong. Melompong. Dan entah mengapa, seperti tersaput
sihir, tiba-tiba saja batin mereka dihinggapi kesunyian yang teramat sangat,
seakan-akan tak ada lagi kesunyian yang lebih sunyi dari itu. Dan kesunyian itu
mendadak membuat mereka rindu pada hangat pangkuan ibu mereka, seperti ketika
mereka kecil.
Pada
hari itu juga mereka memesan tiket pesawat paling cepat (kendati mahalnya
berlipat-lipat) dan segera terbang ke rumah masa lalu mereka, untuk bersimpuh
dan mencium kaki ibu mereka. Dan mereka hanya bisa bertangisan, ketika suara
takbir dari televisi di ruang tengah besahut-sahutan menghampiri cuping
mereka.***
Malang, 2014