Ku-mu: Dua Karib yang Memenggal Masa Lalu (dimuat di Jurnas, Jakarta, Minggu 1 Agustus 2010)



















Cerpen Mashdar Z.

SEBENARNYA aku bisa bilang ‘Jika kau ingin apa yang kuingini, maka ambillah', daripada kau mengambil milikku diam-diam dari belakang. Itu benar-benar lebih menyakitkan dari mati. Dan bagimu, mungkin ini cukup rumit. Ya, ini memang cukup rumit. Maka untuk mendinginkan semua ini, sudah seharusnya kita mengingat-ingat bagaimana awal mula kita dipertemukan.


Bagaimana kita dipertemukan? Tentu saja, kita tidak pernah ada janji untuk bertemu di rumah kos penuh kecoak itu. Tapi, di situlah pertama kali kita dipertemukan-hanya karena kamar kos kita bersebelahan. Dan di kamar kosmu yang kacau itu pertama kali kau mempersilahkan aku duduk. Kau mengajakku berkenalan, menawariku segelas kopi dingin dan sebatang rokok yang hampir patah. Sambil melepuskan asap rokokmu kau berceloteh tentang rumah kos seperti apa yang cocok untuk pemuda sepertimu. Aku hanya sesekali mengangguk dan berkata ‘oh' demi mengimbangi keramahanmu.


Kau bercerita, kalau kau adalah seorang karyawan sebuah pabrik kertas yang buruh-buruhnya tak pernah suka berdemo menuntut kenaikan gaji. Kau juga menjelaskan bahwa kau adalah anak seorang petani sawit di Padang, Sumatera Barat. Orang tuamu mengirimmu ke tanah Jawa ini tak lain supaya kau meneruskan kuliah. Tapi, nyatanya kau tak betah menjadi mahasiswa. Kau malah iseng menjadi buruh pabrik. Tentu saja orang tuamu di kampung kecewa. Tapi, dari caramu bercerita sepertinya kau cukup bangga dengan keputusanmu sekarang.


"Manusia hidup harus berdikari, bukan?" tuturmu terdengar bijak. Tapi, jujur, aku merasa tersindir. Karena, aku masih pemuda kencur yang tak bisa berdiri dengan kaki sendiri.


Waktu merangkak dan menyulam banyak hal yang tiba-tiba mengakrabkan kita. Seperti ketika menjemur pakaian, aku suka meminjam hanger-mu, sebagaimana kau suka meminjam buku sajakku untuk kau salin dan kau berikan pada teman-wanita-kerjamu. Kelakuanmu memang benar-benar lelaki-selalu malas untuk membersihkan kamar atau menyisir rambut. Seprai ranjangmu penuh lubang sulutan rokok. Abu rokok tercecer di mana-mana. Di pojok kamarmu, di belakang pintu, teronggok gelas-gelas besar bekas kopi-yang entah kapan, yang mungkin akan kau cuci seminggu sekali. Itu sedikit gambaran tentang kelakuanmu.



Jika kita berbicara tentang kelakuan kita masing-masing, kita seperti tengah terlibat dalam debat kusir. Kau ke Sabang, aku ke Merauke. Kau nge-rock, aku dangdutan. Kau ke ceruk pantai, aku mendaki gunung. Yah, begitulah. Selalu punggung kita yang bersitatap. Tapi, entah mengapa, perbedaan itu terasa sangat manis. Seolah kita harus menyerah pada sebuah pepatah bahwa perbedaan itu ada untuk saling melengkapi. Ya. Itu benar. Buktinya aku tak pernah mempermasalahkan ketika kau menumpahkan segelas kopi di atas Karpet turki-ku. Kau juga tidak pernah marah ketika aku menyebutmu kecoak gudang.


Persahabatan kita memang begitu manis. Kita acap makan satu daun berdua, minum dengan gelas plastik yang sama. Kita membaca buku dan bermain kartu, bermain kata dan saling mengingatkan ketika bulu mata kita masing-masing tanggal oleh celak yang kita pakai menjelang shalat Jumat. Kita tak ubahnya sepasang pertemuan dan perpisahkan yang tak akan terpenggal oleh apa pun, kecuali oleh perpisahan itu sendiri. Kita selalu meloloskan apa yang terlintas di benak kita, di hati kita.


"Milikku milikmu. Benar kan?" bisikku.

"Bantalku bantalmu. Sandalku sandalmu. Kausku kausmu. Nasimu nasiku. Rokokku rokokmu. Aqua-ku aqua-mu. Dompetku dompetmu. Dan kelak...."

"Istriku istrimu."

"Ha... ha... ha...." Kita tergelak.

"Yang itu lain, kawan. Barangkali yang benar begini, istriku ya istriku, tapi tak apalah... istrimu istriku. Ha-Ha Bagaimana?"

Ha... ha... ha....

"Aku punya sebuah teori. Ya. Setiap orang memiliki sebuah pintu terlarang, yang tak boleh dibuka oleh siapa pun. Kalau tak begitu, kita telanjang di mana-mana, dong!"

"Benarkah? Memangnya apa yang tak kutahu darimu?"

"Seperti yang tak kutahu darimu."

"Seperti misalnya... diam-diam kau suka menempelkan upilmu di bawah meja?"

Ha... ha... ha... Kita terbahak.

"Tidak lucu." Tukas kita bersamaan.

Ha... ha... ha... Kita terbahak lagi.

"Aku takut." Celetukmu tiba-tiba.

"Takut? Takut kenapa?"

"Takut jika suatu nanti kita akan bermusuhan."

"Tunggu, tunggu. Kedengarannya sangat menyenangkan bisa bermusuhan denganmu. Tapi, tenanglah, bukankah kita bisa berembug untuk memutuskan siapa yang harus mengalah?"

"Dan yang muda harus menghormati keputusan yang tua."

"Dan tentu saja, yang tua sudah seharusnya mengalah."

"Jadi?"



Jadi, semua berjalan baik-baik saja, bahkan ketika kita dipertemukan dengan gadis manis penunggu kedai mi ayam di ujung gang. Semuanya tetap baik-baik saja. Kita pernah saling ngotot perihal nama gadis itu. Seingatku gadis yang selalu berjilbab itu bernama Maryam, sedang katamu dia memperkenalkan dirinya dengan nama Mery. Entah siapa yang benar. Itu sama-sama tidak penting.



Sepulang kerja kau selalu malas untuk menyalakan kompor, begitu pula denganku. Maka selepas magrib kita selalu datang (bersamaan) ke kedai itu untuk ritual makan malam. Ya, sesore itu kita menyebutnya makan malam. Di sana kita selalu memesan dua mangkuk mi ayam dan dua gelas es teh manis. Aku selalu mengajakmu berlama-lama di kedai itu. Alasanku banyak sekali, menghabiskan waktu-lah, bersantai-lah, daripada di kamar bengong-lah... dan lambat laun kau tahu juga, bahwa diam-diam aku menyukai gadis berjilbab itu.



Atas saranmu, akhirnya aku mendekati gadis itu-mendekati yang sekadarnya. Berbulan-bulan aku memelihara warna merah jambu itu. Berbulan-bulan aku bertapa dalam keasyikan yang tak pernah lafas dari lidahku. Kian waktu kita kian akrab saja dengan Maryam. Bahkan kita mulai suka bantu-bantu di warungnya. Satu hal yang kudapati dari kedekatan kita (aku, kau, dan Maryam) adalah bahwa ternyata Maryam lebih tertarik padamu dari padaku. Aku dapat melihat itu dari gaya bicaranya padamu, dari cara dia mencubit lenganmu, ataupun dari paku matanya saat menatapmu. Dan aku tahu betul, aku cemburu.


Sekuat-kuat hati kubenamkan alamat buruk itu, dan mulai terasa nada bicara kita mulai goyah. Apalagi ditambah kesibukan kita masing-masing yang tiba-tiba mulai terasa menggunung, memperlebar jarak antara kita. Maka, diam-diam aku suka pergi ke kedai mi ayam itu seorang diri, begitu pula denganmu. Dan entah kenapa, hal semacam itu terasa sangat menyakitkan. Tentu saja aku tak bisa menyalahkanmu. Aku benar-benar merasa berdiri dalam posisi yang sulit. Warna demi warna berangsur-angsur mengental dalam hatiku. Kekecewaan yang memerah pekat. Kecemburuan yang menderu biru.


Sebenarnya aku tak juga paham. Apa aku takut Maryam jatuh ke tanganmu, atau aku takut kau yang jatuh ke tangan Maryam. Apa pun itu, pada akhirnya aku akan jatuh pada ceruk lembah yang bernama kehilangan. Dalam romansa yang demikian pelik, akhirnya kau mendekatiku juga. Kau meminta maaf. Aku pun meminta maaf. Kita kembali ke pedang permasalahan-Maryam. Kau bercerita panjang lebar tentang Maryam yang kau kenal. Aku pun mengurai cerita-warta tentang Maryam yang kukenal. Kita bercerita seolah-olah saling menunjukan satu sama lain, siapa yang lebih mengenal Maryam. Meskipun kita sudah bersi-maaf, rupanya kita tak juga lelah untuk saling menjatuhkan. Dan hanya karena kita telah akrab sebelumnya, ini semua terasa lebih menyakitkan dari yang seharusnya.



"Kau ada perasaan padanya?" Akhirnya kata-kata itu terlontar dari mulutku.

"Kau yang lebih dulu meliriknya, jadi aku tak berhak," jawabmu ringan.

"Tapi aku tahu, dia lebih suka melihatmu daripada melihatku."

"Kita sudah sama-sama dewasa. Aku harap ini tak jadi sinetron. Sudah terlalu klise, dua orang karib bermusuhan karena seorang gadis."

Aku mengerjapkan mata menangkap kebenaran dalam kata-katamu. Mengakui kedewasaan cara berpikirmu.

"Jadi?"

"Kita cari kedai mi ayam yang lain!" ujarmu mantap.

Aku menatap senyum sinismu, kau pun sengaja menjulurkan lidahmu. Kurasakan sesuatu mulai mencair, "Milikku milikmu. Kau ingat?"

Ha... ha... ha...



Seperti sebuah keputusan mutlak, setelah percakapan itu kita benar-benar tak lagi mampir ke kedai mi ayam Maryam. Berjalan di depannya pun kita harus menunduk dan bercepat-cepat. Kalaupun terpaksa menyapa, kita akan melemparkan sapaan ala kadarnya. Tampak wajah murung Maryam ketika kita melewati depan kedai mi ayamnya, dan kita hanya berlalu begitu saja. Demi mengingat-ingat wajah Maryam yang murung, aku selalu dihinggapi perasaan menyesal dan bersalah. Tentu saja, bagi Maryam, ini akan menimbulkan sebuah tanda tanya yang mengusik hatinya. Tapi, mau tidak mau, kita harus mengambil keputusan. Aku pun yakin waktu akan menjadikan semua baik-baik saja. Biarlah kisah kedai mi ayam Maryam berlalu menjadi kenangan ringan kita pada masa tua.

***

Bagaimanapun lekatnya sebuah pertemuan, perpisahan selalu mengintai di sana. Pertengahan tahun ke-lima, setelah wisuda, kau pun melepasku untuk kembali ke kampung halaman.

"Kau harus melanjutkan hidup, boy!" pesanmu.

"Bagaimana denganmu?"

"Aku? Aku pelancong bebas. Kau ingat? Aku punya sayap dan aku bisa terbang ke mana saja aku mau. "

"Kau akan bertahan di kamar penuh kecoak ini? Sampai kapan?"

"Sampai aku menemukan diriku yang baru."

"Kau harus merias usiamu. Kau tak boleh terus membiarkannya berantakan."

"Maksudmu?"

"Yah, nanti setelah kau terjebak dalam kesendirian baru kau paham bahwa kau butuh seseorang untuk menemukan dirimu yang baru."

"Maksudmu?"

"Aduh, sulit sekali berbicara bahasa kiasan padamu. Pokoknya kau harus cepat-cepat cari istri, karena kau sudah tua. Karena kau butuh seseorang yang mau mencuci gelas kopimu dan membuang abu rokokmu. Itu."

"Ha...ha... kau seperti bapak-bapak yang menasehati bujangnya."

"Jiaaahhh!!"

***

Bulan Tahun berlalu. Sesekali kita saling berkirim kabar lewat surat, atau telepon rumah. Aku bekerja di sebuah surat kabar harian, menjadi seorang wartawan tetap. Kau pun kabarnya sudah kembali ke tanah darahmu, itu pun karena terpaksa. Dari suratmu yang kali terakhir, kau mengabarkan bahwa Bapakmu sempat opname beberapa minggu di rumah sakit-gara-gara serangan jantung. Tentu saja, tanpa topan tanpa badai tiba-tiba kau memberi kabar ke keluargamu bahwa kau harus menikah. Kau sudah menghamili anak orang. Aku pun tercengang. Tak habis pikir, bagaimana orang sepertimu bisa menghamili anak orang. Gadis macam apa pula yang mau dihamili olehmu. Ada-ada saja.

Akhirnya, kau pun pulang membawa calon mempelaimu. Kau menikah di tanah kelahiranmu. Hari-hari kau mengurus ladang sawit milik Bapakmu. Diam-diam aku ikut bahagia, karena kau sudah menemukan bentukmu. Bahkan, sekarang kau sudah menimang seorang putri yang berumur tujuh bulan. Sedang aku, sampai sekarang masih melajang. Aku benar-benar penasaran dengan dirimu yang sekarang. Tapi, semenjak suratmu yang terakhir itu-sekitar setahun yang lalu, kau tak lagi berkirim kabar. Menelpon juga tidak. Jangan-jangan kau sudah lupa padaku?!

Akhirnya kuinsyafi juga, sebagai seorang muda sudah selayaknya aku yang menyimpul kembali silaturrahim ini. Kebetulan, akhir bulan, aku ada tugas dari kantor untuk mewakili seminar jurnalistik nasional, ke Sumatera tepatnya ke Padang. Itulah, Tuhan memang selalu mempermudah jalan untuk sebuah itikad baik. Aku pun berangkat dengan bekal sehelai sampul surat-yang di sana tercantum alamat lengkapmu. Aku tak perlu meneleponmu atau apa. Pasti ini akan menjadi sebuah kejutan yang besar.

Hari itu datang juga. Usai seminar, aku sengaja keluyuran mencari kenalan orang Padang. Pada mereka, aku bertanya perihal alamatmu yang tertera di sampul surat. Rupanya bukan hal yang sulit menemukan alamatmu. Bahkan, seorang kenalan, ada yang mengaku kenal dengan Bapakmu yang petani sawit. Dengan suka rela pula ia mengantarkan aku ke alamatmu. Dan sekali lagi, aku menyebut ini dengan: Tuhan selalu mempermudah jalan seseorang yang memiliki niatan baik.

Tepat petang aku sampai di halaman rumahmu nan gadang. Aku hampir tak percaya, aku melihatmu duduk di tangga muka rumah, dengan wajah segar. Tampaknya kau lepas mandi sore. Kau tampak asyik menikati sisa-sisa koran pagi.


"Salam, Boy!" aku terburu-buru mendekatimu.

Kau tergelak menatapku, terbelalak tak percaya.

"Ini aku. Kau ingat?" desakku lagi.

Kau masih terbengong-bengong. Perlahan tangan kita berjabatan.

"Ini aku!!!" aku mengeratkan jabatan tanganku, menekankan kata-kataku. Kau masih terdiam. Wajahmu datar. Tidak tersenyum, tidak pula masam.

"Siapa, Bang?" Seorang wanita yang menggendong balitanya muncul dari balik pintu. Dia mentapku dengan segelas kopi yang berguncang di tangannya.

"Maryam!!!" seruku.

Kita bertiga bersitatap. Sementara kau berpikir bagaimana cara menjamuku dengan baik. Aku pun mulai berpikir, bagaimana cara berpamitan yang baik.

***

Malang, 30 Maret 2010.

0 komentar: