Kami beritahukan bahwa Temu Sastrawan Indonesia-4 akan dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara, pada 25-29 Oktober 2011. TSI-4 bertema “Sastra Indonesia Abad ke 21, Keragaman, Silang Budaya dan Problematika”. Adapun kegiatan TSI-4 ini meliputi Seminar, Musyawarah Sastrawan, Penerbitan Antologi Sastra, Panggung Sastra, Pameran/Bazar/Launching Buku, Workshop dan Wisata Budaya.
Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut:
A. Puisi :
- lima (5) buah puisi karya asli yang ditulis dalam tahun 2011 - belum dipublikasikan ke media mana pun - Biodata maksimal 10 baris - diemailkan ke : puisi.tsi4@gmail.com
B. Cerpen :
- tiga (2) buah cerpen karya asli yang ditulis dalam tahun 2011 - belum dipublikasikan ke media mana pun - panjang cerpen berkisar 5 halaman sampai 10 halaman kwarto (600 Kata) - memakai font times new roman size 12 - Biodata maksimal 10 baris - diemailkan ke : cerpen.tsi4@gmail.com
Pengiriman karya dapat dilakukan sejak: 23 Maret 2011 – 23 Juli 2011. Bagi sastrawan yang karyanya lolos seleksi Dewan Kurator TSI-4, akan mendapat undangan resmi dari panitia TSI-4 dan honorarium tulisan.
Panitia akan menyediakan penginapan (akomodasi), makan-minum (kosumsi) dan transport lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah dan cinderamata. Mengingat keterbatasan dana, maka kami mohon maaf tidak bisa menyediakan biaya transportasi peserta undangan dari tempat asal ke tempat tujuan (pp).
Atas perhatian, kerja sama dan partisipasi Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara, kami ucapkan terima kasih.
Ternate 21 Maret 2011
Salam Takzim, Panitia Temu Sastrawan Indonesia 4
Ternate 2011
Sofyan Daud Dino Umahuk Ketua Pelaksana Sekretaris
Rumah kami tidak
terlalu besar, tapi juga tidak bisa dibilang kecil. Rumah kami memuat 3 kamar
yang masing-masing berukuran 4x5 meter, 3 kamar madi, sebuah ruang
keluarga—tempat anak-anak menonton TV, sebuah ruang baca sekaligus perpustakaan
pribadi, sebuah dapur yang bersebelahan dengan garasi, dan sebuah ruang tamu
berukuran 4x6 meter. Di depan rumah ada taman yang tidak terlalu luas, tapi
lebih dari cukup untuk ditanami berbagai macam bunga serta membuat pancuran dan
kolam ikan. Di rumah, kami tinggal berlima. Saya dan istri, dua putra kami yang
semuanya masik duduk di bangku SD (yang besar sudah kelas empat, yang kecil baru
masuk kelas satu), dan seorang khadimah
yang bertugas memasak dan mengurus rumah.
Rumah kami terasa mati meski
tak pernah sepi. Setiap hari jerit anak-anak dan suara bising Play Station sudah
menyambut kami setiap kali pulang kerja di sore hari. Rumah kami juga terang
benderang, lampu-lampu besar berhias kristal menempel dan menggantung di
mana-mana, namun dalam hati kecil kami, kami merasa rumah kami sangat redup dan
suram.
***
Suatu malam, sepulang
dari pengajian, kami langsung ambruk di pembaringan. Bahkan aku tak sempat
mengucapkan selamat malam pada istriku. Begitu juga dia. Kami sama-sama letih.
Dan pada malam itulah—jauh selepas malam, lelaki itu datang. Kami mendengar bel
berbunyi. Sesekali sayup-sayup suara pintu diketuk. Aku tak menggubris sama
sekali. Biasanya, sekali saja ada bel berbunyi, pembantuku yang akan langsung
membukakan pintu. Tapi aneh sekali, lebih dari lima kali, dan bel itu masih
terus berbunyi, diiringi ketukan pintu sesekali. Terpaksa aku bangkit dari
tidur sambil mengumpat dalam hati.
“Siapa sih, bertamu
malam-malam begini. Tak tahu aturan.” gumamku masih setengah sadar.
Aku berjalan
sempoyongan, mendekati pintu. Dengan mata yang masih setengah mengatup, kutarik
grendel pintu. Kutarik gagang pintu itu pelan-pelan—telah kusiapkan pula muka
masam. Dan mataku terbelalak ketika daun pintu telah kubuka lebar. Seorang
lelaki dengan perawakan tinggi sudah beruluk salam sambil melempar senyum.
Entah bagaimana kujelaskan ketampanannya, dibalik kulit wajahnya seperti
tersimpan butiran cahaya yang terus berpendar. Entah musabab apa, aku seperti
tersihir oleh cahaya di wajahnya. Maka rasa kantukku seperti hilang begitu
saja, hatta lelaki itu kupersilahkan masuk. Ketika aku hendak beranjak untuk
memanggil pembantuku—supaya membuatkan segelas teh atau kopi, lelaki itu
melarangku.
Lelaki itu mengaku bernama
Ahmad. Ia bilang, ia mengenalku, bahkan ia bersikeras menyatakan bahwa aku juga
sangat mengenalnya. Entahlah, setelah kutilik wajahnya beberapa kali, aku
memang merasa pernah mengenalnya, bahkan sangat mengenalnya. Namun entah kapan,
entah di mana, aku lupa.
“Maaf, sudah menggangu
istirahat, Tuan.” Tuturnya lembut.
“Oh, tidak apa-apa.
Ngomong-ngomong ada keperluan apa bertamu malam-malam begini, apa ada sesuatu
yang sangat mendesak.” Balasku.
“Oh, tidak, saya hanya
ingin bermalam saja di rumah Tuan yang hangat ini.”
Pernyataanya
sesungguhnya cukup ganjil, bagaimana mungkin ada orang ingin menginap di rumah
orang lain tanpa alasan yang jelas, datang malam-malam buta pula. Namun
lagi-lagi, entah kenapa, semua yang meluncur dari mulutnya terasa benar dan tidak
mengada-ada.
“Memangnya Tuan berasal
dari mana.” Aku mencoba mengorek sesuatu tentang dirinya.
“Tuan tahu saya dari mana.
Hanya saja Tuan lupa.” Balasnya enteng. Namun lagi-lagi, aku tidak
memperslahkannya. Semua yang meluncur dari mulutnya terdengar mantap.
“Sebentar, sebentar,
siapa ya?” aku mengetuk-ketuk jidadku sendiri. Kupicingkan mata ke lelaki itu.
Dan lelaki itu hanya tersenyum.
“Tak perlu dipaksa,
nanti Tuan juga akan tahu siapa saya.”
“Siapa, ya?” aku masih
penasaran.
“Mmm… bolehkan saya numpang
sholat sunnah. Apa ada mushola di rumah Tuan?” ucapnya tiba-tiba.
Aku terantuk, dan tak
tahu harus menjawab apa, “oh, maaf. Tak ada mushola khusus di rumah saya. Saya
menggelar sajadah di sebelah ranjang, dan biasanya saya sholat di sana.”
“Oh tidak apa-apa.
Sholat bisa di mana saja.”
Segera saya antar
lelaki itu ke kamar tamu, saya ambil sajadah yang masih terlipat dalam lemari.
“Silahkan!” lirihku.
Lelaki itupun menggelar
sajadahnya ke arah kiblat. Aku mengintip ia dari balik pintu. Beberapa kali aku
menepuk kepala, mengingat-ingat, kapan terakhir kali aku sholat malam. Sebulan
yang lalu? Setahun yang lalu? Dua tahun yang lalu? Lima tahun yang lalu?
Entahlah! Aku benar-benar lupa. Tiba-tiba aku merasa sangat malu pada diriku
sendiri.
Hampir setengah jam aku
menunggunya di ruang tamu. Aku kembali terkantuk-kantuk.
“Maaf, apa Tuan ada
Al-Quran?” ia kembali bertanya.
“Al-Quran?” Aku
tertohok. “Oh ya, sebentar-sebentar.” Aku bangkit dan berjalan ke dalam kamar.
Aku sudah mulai deg-degan. Jujur, aku tidak tahu apakah di rumahku ada Al-Quran
atau tidak. Tapi aku terus mencari. Mustahil seorang muslim tak punya Al-Quran
di rumahnya. Aku terus mencari, membongkar lemari dan buku-buku. Hingga kitab
itu kutemukan di antara tumpukan buku-buku lawas yang tak pernah kubaca. Ia
begitu usang dan berdebu. Aku memeluk kitab itu dengan lega, dan entah kenapa
aku ingin menangis. Segera aku berlari memui lelaki itu di ruang tamu. Ia masih
di sana, matanya terpejam, tapi mulutnya merapal surah-surah yang tak kutahu.
“Maaf. Ini
Al-Qurannya.” Kuserahkan kitab itu padanya dengan tangan gemetar. Tapi lelaki
itu tersenyum. Ia mulai membuka mushaf itu dan membacanya. Ia sudah membaca
beberapa ayat saat aku menyelanya.
“Maaf. Nanti kalau Tuan
hendak instirahat, silahkan beristirahat di kamar tamu saja. Anggap saja rumah
sendiri.” Kataku, sebelum memohon diri untuk kembali ke kamar.
Aku berjalan lesu ke
kamar. Kulihat istriku masih mendengkur. Dari dalam kamar. Kudengar suara
lelaki itu melantunkan ayat-ayat dengan sangat sempurna dan merdu. Entah kenapa
aku tak bisa tidur lagi. Ingin kubangunkan isteriku, tapi melihat tidurnya yang
sangat pulas, niat itu kuurungkan.
Pikiranku kemali pada
lelaki itu, lelaki yang bertamu malam-malam dan sekarang tengah membaca mushaf
di ruang tamu. Hal itu seharusnya sangat aneh. Sangat sangat aneh. Tapi tidak
untuk malam itu. Kucoba utuk memejamkan mata kembali, namun gagal. Maka
kuputuskan untuk kembali ke ruang tamu. Di sana, lelaki itu masih duduk terpaku
dengan mushaf di pangkuanya. Ia melihatku datang, lantas ia menyudahi bacaanya.
Ia bagai bersiap-siap untuk kuajak berbincang-bincang panjang.
“Rumah Tuan lumayan
besar, ya!” komentarnya tiba-tiba.
“Yah… Alhamdulillah.
Ini patut saya syukuri.”
“Tuan suka membaca?”
Tanyanya lagi.
Tiba-tiba aku sangat
bersemangat dengan pertanyaannya, “ouh, aku punya perpustakaan pribadi.”
Sambutku girang. “Mau melihat-lihat?” lanjutku.
“Dengan senang hati.”
Balasnya singkat, tetap tersenyum.
Aku bangkit dan
melenggang menuju perpustakaan pribadi kebangganku. Sampai di ruang buku,
lelaki itu kembali berkomentar, “Wow, buku Tuan banyak sekali. Buku apa saja
ini?”
“Oh… Insya Allah
komplit. Mulai dari ensiklopedi, kamus, filsafat, pendidikan, bahkan sastra dan
novel juga banyak.”
“Mmm… ada Siroh
Nabawiyah?” celetuknya.
Aku terdiam di tempatku
berdiri. Membeku. Kembali aku tertohok.
“Perjalanan hidup
Rasulullah sangat menarik bukan untuk kita baca?”
Aku hanya mengangguk.
“Saya yakin Tuan punya
banyak buku Siroh Nabawiyah.” Katanya lagi.
“Oh, tentu.” Aku
berbohong.
“Beliau teladan kita.
Nabi kita. Namnya kita agung-agungkan, bagai seorang idola. Alangkah lucu jika
kita tidak tahu menahu bagaimana kisah hidupnya. Betul bukan?” uangkapnya lagi.
Sungguh, kata-katanya bagai sebilah tombak yang menusuk ke ulu hatiku. Aku
hanya gemetar.
“Oh. Di mana rak buku-buku
Sirohnya?” lelaki itu langsung ke point pertanyaan.
“Sungguh maaf, buku-buku
Siroh koleksi saya dipinjam seorang teman untuk refrensi tugas kuliah, dan
belum dikembalikan.”
“Ooo… Kalau kitab
hadits, tentu Tuan punya.”
“Kitab Hadits?” aku
seperti orang bodoh.
“Iya. Shahih Bukhori
atau Shohih Muslim. Tuan punya, kan? Hadits adalah sumber hukum ke 2 setelah Al-Quran.
Tentu Tuan punya. Saya yakin.”
“Iya. Termasuk kitab
hadits, juga dipinjam teman saya. Ada Riyadhus Sholihin. Jami’us Shaghir juga
ada. Tapi ya itu, semua ada pada teman saya.” Kilahku lagi. Dalam hati aku
berdoa, semoga nama-nama kitab hadist yang kusebutkan tidak ada yang salah.
“Ooo…” kembali lelaki
itu ber’o’ panjang.
Aku sangat lega, lelaki
itu memakluminya. Namun, kebohongan yang telah melesat dari mulutku beberapa
saat yang lalu bagai sebilah cambuk yang terus melecutkan rasa bersalah dan
tidak nyaman. Kami masih berjibaku dengan bukubuku. Membacanya sekilas dan
mengembalikannya ke rak. Hingga beberapa saat kemudian, lelaki itu berpamitan
untuk beristirahat. Aku mengantarnya sampai kamar tamu. Namun sampai di ruang
keluarga mendadak ia berhenti di depan tivi.
“Ini apa? Besar sekali.
Cermin, ya?” kembali ia melontarkan pertanyaan aneh.
“Oh, ini tivi. Biasa
buat hiburan anak-anak.” Kataku.
“Kalau ini?”
“Ini PS, game. Buat
hiburan anak-anak juga.”
“Sangat berguna, ya,
untuk hiburan anak-anak.” Komentarnya bagai sebuah sindiran. Dan aku menelanya
mentah-mentah. Rasanya sepat. Mushola saja tak ada, al-quran usang tak terbaca,
kitab siroh dan hadits tak pernah terpikirkan untuk mengoleksinya, sedangkan
tivi terpajang di ruang keluarga bagai benda kebanggaan yang sangat berharga.
Oo... bagaimana kuhadapi ini?
***
Selepas kuantarkan
lelaki itu ke kamar tamu. Aku ngeloyor ke kamar. Pikranku berkecamuk tidak
karuan. Sekali lagi kutengok istriku yang masih tertidur dengan mulut menganga.
Kali ini, dengkuranya terdengar sangat menjijikan. Aku kembali berjalan keluar
kamar. Kutilik kamar tamu tempat lelaki itu beristirahat, sudah tertutup. Aku
berjalan menuju kamar anak-anak. Mereka juga masih pulas. Maka kuputuskan untuk
keluar rumah. Aku duduk di bangku taman depan. Dingin sekali. Kutilik langit.
Bintang-bintang berpendar bagai hendak menjatuhkan diri. Siapa gerangan lelaki itu?
Aku kembali masuk ke
dalam, ke perpustakaan. Kugeledah satu demi satu buku-buku di sana. Aku sendiri
tak percaya kalau aku tidak punya buku-buku tentang Rasulullah. Nyatanya,
memang tak satupun kudapatkan buku tentang Rasulullah di sana, apalagi kitab
hadits. Aku ingat, aku memang tak pernah membeli kitab hadits, sama sekali. Aku
menggelengkan kepala. Ada yang salah
denganku.
Tiba-tiba aku teringat
buku-buku anakku. Mereka semua kusekolahkan di sekolah islam terpadu. Tentu di
sana ada pelajaran Siroh. Segera aku menghambur ke kamar anakku. Kegeledah meja
belajar mereka. Dan di sana kutemukan buku modul tipis: Siroh Nabawiyah. Serta
merta kupeluk buku itu. Kubuka satu persatu buku itu. Di halaman-halaman awal
kutemukan bab pertama tentang Masyarakat Islam Sebelum Rasulullah, kubaca
sekilas. Kubuka halaman berikutnya, tentang Kelahiran dan Masa Kecil
Rasulullah. Kubaca dengan saksama, tak terasa mataku berair. Kubaca lagi
halaman demi halaman, hingga aku tertidur di kamar anakku sambil mendekap buku
itu.
***
Aku terbangun oleh
suara tarhim yang bagai menyilet telinga. Aku tergeragap. Pertama kali yang
singgah dalam kepalaku adalah lelaki itu. Lelaki berwajah cahaya yang datang
tengah malam tadi. Kutengok kamar tamu tempatnya beristirahat. Masih tertutup
rapat. Barangkali ia kelelahan, pikirku.
Kulihat Nani,
pembantuku, sudah menyiapkan teh hangat di ruang keluarga.
“Sudah bangun, Pak.”
Sapanya.
“Iya. Alhamdulillah, bisa
bangun pagi. Mmm… Nani?”
“Ya, Pak?”
“Tolong tamunya
dibikinkan juga, ya, tehnya!”
“Tamu?” Nani balas
bertanya seperti orang bingung.
“Iya. Semalam bapak ada
tamu. Sekarang masih istrirahat di kamar tamu.”
“Di kamar tamu?” Nani
masih seperti orang ling-lung. “Tapi, barusan saya dari kamar tamu, di sana
tidak ada siapa-siapa.” Jelasnya.
“Ha? Bercanda kamu. Wong semalam saya sendiri kok yang ngater dia ke kamar.”
“Lho? Bener, Pak.
Barusan saya beresin kamar tamu, dan tidak ada siapa-siapa. Tak ada juga bekas-bekas
orang tidur di sana.”
Aku mengernyitkan dahi.
Daripada berdebat kuputuskan untuk langsung beringsut ke kamar tamu, dan Nani benar,
di sana tidak ada siapa-siapa. Buru-buru kutengok kamar mandi, barangkali ia
sedang ke kamar mandi. Tapi di kamar mandi juga tidak ada siapa-siapa. Aku
semakin bingung dan heran. Apa semalam
aku mimpi?
Hingga matahari
meninggi, otakku masih kacau dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Bahkan ketika
anak-anak berpamitan hendak berangkat ke sekolah. Aku masih seperti orang ling-lung.
Hingga anakku yang paling kecil mengguncang-guncangkan tanganku. Ia berisyarat
ingin membisikkan sesuatu. Maka telingaku kudekatkan pada mulutnya yang mungil.
“Abi,
Abi! Semalam ada tamu, ya?” ia mendesis bagai membisikkan sebuah rahasia. Aku
terhenyak. Kepalaku kembali pada sosok lelaki yang semalam kuakrabi.
“Memangnya adik tahu,
kalau semalam ada tamu?” aku menanggapi pertanyaan itu sambil mengusap wajahnya
yang polos. Ia mengedip-ngedipkan matanya.
Detak jantungku kian
memburu, “Memangnya, adik kenal sama tamu kita semalam?”
“Memangnya Abi gak
kenal?” Ia balik bertanya. Sebelum bibirku bergerak untuk menjawab
pertanyaanya, ia sudah kembali bersuara, “Kalau Abi baca buku sirohku, pasti
Abi kenal…”, sambungnya singkat, sebelum mengecup tanganku, mengucap salam,
lalu melesat berangkat.***
Dengan sebilah paku di tangannya yang selalu gemetar, ia mengukir kebahagiaan yang miris pada dinding-dinding pengap yang mengurungnya sejak belasan tahun lalu. Ia membuat goresan-goresan dalam pada muka-muka dinding angkuh itu. Dibayangkannya seorang pemuda tampan yang berpakaian mengkilap seperti pangeran-pangeran dalam legenda Dinasti Ming yang selalu ia dengar dari mulut ibunya sewaktu ia kecil. Ah, itu terlalu maya. Nyatanya, semua terjadi dan berlalu begitu cepat. Mungkin juga begitu lama. Beribu alam telah ia selam, berjuta bentuk telah ia ketuk. Dan ia tahu, tak satu pun jengkal nafasnya akan memberinya kesembuhan. Memar di hatinya terlalu pekat. Membaur dengan darahnya yang telah menjadi gulita.
***
Bertahun-tahun, Sin Han—lelaki kekar yang ia panggil bapak itu—memperlakukanya seperti binatang piaraan, hingga tubuh kecilnya tak pernah bisa merekah seperti gadis-gadis seusianya. Perjalanan hidupnya seolah hanya setapak pematang yang kelam berkepanjangan. Lelaki kekar itu telah leluasa memenggal haknya untuk hidup sebagaimana layaknya manusia. Meski begitu ia belum juga paham. Baginya, hidup atau mati barangkali sudah tak ada pembatasnya. Bahkan ia tak juga mengerti kalau yang sedang dijalaninya itu adalah kehidupan.
Belasan tahun ia hidup dalam liang pengap di lantai dasar, di perut tanah. Sesekali lelaki kekar itu datang mencekokinya beraneka makanan lalu memainkannya layaknya barang murah yang bisa dijadikan hiburan kapanpun dibutuhkan. Lelaki kekar itu selalu datang dan pergi seperti musim-musim yang congkak. Ia pun tak bisa berbuat banyak, alam tak pernah mengajarinya melawan keterpurukan. Hari-hari, ia hanya bisa meringkuk seperti angin yang letih memikul musim-musim yang selalu datang dan pergi.
Barangkali, lambat laun, rasa sakit akan membuatnya paham, bahwa lelaki kekar itu hanya mengumbar kesumat yang disemai oleh isterinya yang pergi dengan lelaki lain, beberapa tahun silam. Tepatnya dua belas tahun silam. Ketika usianya masih enam tahun. Lamat-lamat ia masih mengingat kejadian itu. Ketika ia di seret lelaki kekar itu ke sebuah rumah penginapan di pinggiran kota. Di sebuah kamar yang remang tiba-tiba lelaki kekar itu menunjukan sebuah pemandangan yang sulit untuk ia cerna. Lelaki kekar itu mendobrak pintu kamar sampai roboh. Dalam kamar itu ia bisa melihat jelas wajah ibunya yang masih berkeringat dengan tubuhnya yang tanpa sehelai benang. Ia menduga-duga permainan apa yang sudah dilakukan ibunya dengan lelaki muda di sampingnya, dalam kamar remang itu.
“Biar… biar Mei Ling, anakmu yang hijau ini tahu apa saja yang dilakukan ibunya di luar rumah….!” Pekik lelaki kekar itu.
Ibunya terperanjak dan segera menutup tubuhnya dengan selimut. Tanpa ampun lelaki kekar itu menjambak rambut ibunya, menyeretnya, dan meludahinya sepanjang jalan pulang. Ia hanya bisa melihat dengan tubuh gemetar sambil menyeru nama ibunya berkali-kali. Sampai di rumah ia menyimak kembali silat mulut antara ibunya dan lelaki kekar itu. Dari balik jendela kamarnya ia mengawasi ibunya yang tersungkur beberapa kali akibat hantaman tangan kekar lelaki itu. Malam-malam berikutnya ia dan ibunya dikurung dalam sebuah kamar. Semenjak itulah ibunya bersikap sangat dingin padanya. Dalam kamar itu, ibunya hanya diam dan sesekali merintih. Entah menahan sakit, entah menahan geram. Beberapa kali ia mendekati ibunya yang layu. Beberapa kali pula ibunya mendorongnya, memintanya menjauh.
“Kau anak bapakmu… ikut saja bapakmu.” Sentak ibunya. Ia benar-benar tak mengerti apa maksud kata-kata itu.
Ketika lelaki kekar itu pergi, ketika rumah sepi, ia melihat ibunya mencongkel pintu kamar lalu menyeret sebuah tas koper yang berisi pakaian.
“Ibu mau kemana?” tanyannya.
“Sudah... jangan nyiyir terus!” ibu menyentaknya.
“Mei Ling mau ikut ibu.” rengeknya.
“Sudah… kau sama sialnya dengan bapakmu. Sudah kubilang… ikut bapakmu saja.”
“Mei Ling takut sama bapak, bu.”
“Kau tak takut sama ibu!?”
Ia menunduk tak berani melawan tatapan ibunya yang dingin dan beraroma kekecewaan. Ia terlalu polos untuk menerima tiap lecutan kata itu. Ia menggelendoti langkah ibunya sambil menangis. Ibunya merengkuh tangan kecilnya dan melemparnya seperti kucing, sampai kepalanya terbentur dinding. Ia beranjak lagi mengejar ibunya sambil masih menangis. Ibunya yang geram menyeretnya ke kamar mandi dan mengurungnya di dalam. Ia tersedu-sedu. Tak ada yang peduli.
***
Ia menangis sampai tertidur, bersandar dinding dingin yang tak ramah. Sampai lelaki kekar itu menemukannya menggigil dan lemas dalam kamar dingin itu. Lelaki kekar itu menyentaknya berkali-kali. Menanyakan dimana ibunya. Ia lemas tak bisa mejawab. Lelaki kekar itu berteriak-teriak, membanting pintu dan vas bunga. Ia bersimpuh. Berusaha memahami ketidakberdayaan yang melumatnya.
“Aku akan membuat ibumu menyesal, menangis darah karena telah meninggalkanmu sendiri. Dipikirnya aku mau mengurusmu. Heh!?” lelaki kekar itu menguncang-guncangkan kepalannya. Lalu berpaling sambil menangis agak dalam.
“Aku sangat mencintai ibumu. Hh… Barangkali aku memang bodoh. Ah, tidak. Aku tidak bodoh. Wanita lacur itu yang bodoh. Ibumu itu yang tolol. Ah, kenapa? Ia pikir aku akan diam saja setelah dilemparnya pisau membara ke mukaku. Huh! dia salah. Aku takkan diam menerima kekalahan ini. Ha…ha…. Akan kubuatkan neraka untukmu agar di seberang sana ibumu bisa menggelepar merasakan panasnya. Heh!”
Lelaki kekar itu kemudian mendekatinya. Langkahnya seperti malaikat pencabut nyawa. Ia tercekat, melihat dua liang menyala pada wajah lelaki itu, mata membara yang menatapnya tanpa jeda. Seolah ada gelegak panas yang hendak meluap dan menghanguskan tubuhnya yang rapuh. Dengan cekatan lelaki kekar itu menyambar tubuhnya yang kecil dan menyangkingnya seperti segepok kayu kering.
Malam itulah, pertama kalinya ia merasakan lentik jari neraka yang disematkan lelaki kekar itu di hara jantungnya. Bahkan saat itu ia masih belum dapat mencerna goresan apa yang telah tertoreh pada lembar awal hidupnya yang masih putih dan polos. Malam itulah, malam pertama ia menghuni liang pengap di lantai bawah tanah itu. Lelaki kekar itu menyeretnya menuruni anak tangga usang yang lembab dan berjamur. Pengap, lembab dan gelap. Di sana ia dilempar. Meringkuk berteman dengan tikus-tikus tanah dan barang-barang rongsokan penghuni gudang.
“Ini tempatmu! Kau takkan pernah bisa pergi dari sini sebelum ibumu kembali dan bersujud di kakiku.” Lelaki itu melempar kasur tipis ke arahnya. Lalu merengkuhnya dan membaringkanya di sana. Agak lama lelaki kekar itu memperhatikan wajahnya yang manis, lalu tubuhnya yang kecil dan terbaring lemah. Itulah pertama kalinya lelaki kekar itu melucuti pakaianya dan menindihnya erat-erat. Ia hanya bisa menjerit tak mengerti.
“Apa bedanya kau dan ibumu. Kalian sama-sama perempuan.” Erang lelaki itu.
Setelah selesai mengoyak tubuh kecilnya, lelaki kekar itu pergi menaiki tangga, meninggalkannya dalam gua kelam itu seorang diri. Ia meringis, bagian tubuhnya ada yang terasa sangat ngilu. Tubuhnya terasa remuk. Ia berteriak dan menangis tak karuan. Lelaki itu tak mempedulikannya. Ia berlari menyusuri anak tangga, mengikuti langkah lelaki itu. Tapi terlambat. Pintu di puncak tangga terkunci dari luar. Ia tak berkutik.
***
Seharian ia menangis karena takut gelap dan sepi. Tapi rupanya lelaki kekar itu selalu menjenguknya untuk mengantarkan sepiring makan dan seteko air. Sesudah itu mengusap tubuhnya, merangkulnya, melumatnya lalu pergi. Setiap kali perutnya mual dan berasa ingin muntah, lelaki itu selalu mencekokinya nanas muda. Sampai ia benar-benar muntah. Begitulah hari-harinya berlanjut sampai belasan tahun. Sampai ia benar-benar sadar bahwa ia ada dalam lingkar kehidupan. Kehidupan yang nyata. Kenyataan yang ganjil. Keganjilan yang sangat berat untuk ia tuntaskan.
***
Setiap kali lelaki kekar itu pergi. Ia akan melukiskan banyak hal yang ia inginkan di muka dinding itu. Lalu meraba-raba goresan dalam pada dinding itu dan membenturkan kepalanya keras-keras pada goresan di dinding itu, sampai kepalanya terasa berat dan tidur yang indah menjemputnya, mengantarkannya pada bunga-bunga, menemui pangeran tampan yang menunggang kuda putih. Di sana pangeran tampan itu mengajaknya naik kuda, memboncengnya di belakang. Lalu mereka jalan-jalan mengelilingi perkampungan bunga atau kadang berbaring di gelaran rumput yang membentang seperti permadani hijau. Lalu pangeran tampan itu tersenyum dan menyematkan bunga-bunga rumput di rambutnya. Hahh… indah bukan?
Dulu ia pernah bercita-cita menjadi gadis korek api yang menemukan kebahagiaanya pada batang-batang korek api. Tapi sayang sekali. Ruang yang ia huni tak pernah mengizinkannya untuk mencari sebatang korek api, bahkan untuk sekedar bergerak. Liang itu telah menjadi pasungan sempurna. Liang itu hanya bisa memberikan sedikit celah udara untuk bernafas dan berbongkah-bongkah gulita untuk menjadi kawan baiknya.
Maka ketika ia mulai gelisah, diam-diam tangannya meraba-raba sesuatu di bawah kasurnya yang lembab. Sebilah paku itu ia simpan di sana. Setelah ia rasa cukup tenang. Ia kembali membuat goresan-goresan tak jelas di dinding hitam itu. Sudah tak terhitung jumlahnya goresan-goresan di dinding-dinding liang itu. Hanya saja, lelaki kekar itu tak menyadarinya. Atau mungkin tak mempedulikanya. Lelaki itu hanya sangat tidak suka melihat wajahnya yang lebam akibat benturan.
***
Dengan sebilah paku di tanganya, ia mulai melukis lagi. Kali ini bunga-bunga, atau mungkin wajah Dewi Kwan Im. Ia tak pernah lelah menggoreskan sesuatu yang tak pernah bisa ia lihat dengan mata kasatnya. Ia hanya merabanya, dan membayangkan sesuatu atas apa yang mungkin ditangkap oleh indera perabanya. Sejurus kemudian, ia akan membenturkan kepalanya keras-keras sampai batok kepalanya terasa berat dan ia terjerembab. Dalam nyeri itu, ia selalu mendapati sosok yang sama yang selalu terpatri dalam mimpinya. Sosok yang selalu ia temukan di dunia yang penuh bunga-bunga. Sosok pemuda tampan yang menunggang kuda putih dengan pakaian berkilau.
“Bangunlah, cantik! Akan kupenggalkan setangkai seruni untukmu!” tuturnya merdu, mengulurkan kedua tangannya yang putih.
Ia berlari menyambutnya. Menyongsong dunia yang tak pernah menyimpan malam di dalamnya. Dunia yang luas, yang sejauh mata memandang akan ia temukan hamparan bunga. Dunia yang tak pernah lelah melantunkan puisi dan gesekan biola. Di sana, dengan pangeran tampan itu, ia akan membangun istana kecil di seberang sungai. Memelihara itik dan ikan koi. Ia juga akan membangun sebuah kuil dan di dalamnya akan ia pajang patung Dewi Kwan Im dari pahatan emas. Ia berharap, agar Dewi Kwan Im selalu menjenguknya diam-diam dan menaburkan kebahagian yang tak berkesudahan dari guci ajaibnya. Agar ia dan sang pangeran bisa hidup rukun berdampingan, membesarkan anak-anak sampai renta menjemputnya dalam ketenangan.
***
Ah! Selalu saja. Mimpi-mimpinya tak pernah tuntas. Lelaki kekar itu selalu mengusiknya.
Kreet…..
Ia tersentak. Pintu di puncak tangga berderit. Terbuka. Sebelum lelaki itu menutupnya kembali, berkas cahaya dari balik pintu ia rasakan seperti tombak tajam yang terhunus memanah kedua matanya yang kelam. Lantas ia mendengar suara pantofel, kemeletak menuruni anak tangga. Seperti biasanya. Anehnya, ia masih saja gemetar.
“Ini… makan!!” bentak lelaki itu sambil melempar nasi bungkus dari tangannya.
“Makanlah! Aku akan menyiapkan air untuk minum dan membersihkan tubuhmu. Cepat kau makan!” gertaknya lagi.
Ia bergegas mengambil bungkusan itu. Kalau tidak, lelaki itu akan marah dan menjejalkan apa saja ke mulutnya.
Usai ia makan, lelaki itu mengelap tubuhnya yang kurus dengan sehelai handuk kecil.
“Aku benar-benar merindukan ibumu…” cercau lelaki itu sambil terus memandanginya. Ia tak pernah peduli dengan kata-kata lelaki itu. Ia tahu, apa yang akan dilakukan lelaki itu selanjutnya.
“Untuk mengobati rinduku pada perempuan tolol itu, malam ini aku membutuhkanmu… kau harus bisa menggantikan tugas ibumu.” Tuntut lelaki kekar itu mulai merayunya. Ia diam saja menahan dingin. Selanjutnya lelaki kekar itu menerkamnya dengan beringas. Mencabik segala apa yang ada pada tubuhnya. Tak peduli pada tubuh ringkihnya yang terkulai dalam keadaan memar dan berdarah. Selalu saja begitu. Lelaki itu baru akan pergi, setelah kenikmatan memanen dendamnya ia rasa cukup. Lelaki itu terhuyung menaiki tangga.
Kreet….
Pintu di puncak tangga berderit. Terbuka lalu tertutup lagi. Semua kembali seperti semula. Gulita yang lebih membuatnya nyaman. Ia meringkuk lemas. Sekai-kali, sebenarnya ia ingin berteriak keras-keras. Tapi napasnya selalu tersengal-sengal setiap kali lelaki itu pergi seusai menuntaskan racun dendamnya.
Lelaki itu pergi. Gulita yang indah kembali. Ia ingin sekali menuntaskan mimpi-mimpinya. Dengan sebilah paku di tanganya. Tapi entah mengapa, ia benar-benar geram. Tubuhnya terasa lengket. Lambat laun, ia rasakan sosok lelaki kekar itu seperti srigala raksasa yang menyeramkan. Hitam, berbulu lebat, bertaring dan sangat suka menerkam. Diam-diam ia merinding mengingat sosok lelaki kekar itu.
***
Ia kembali meraba-raba dinding, memahat seraut wajah yang tersenyum dalam benaknya. Dalam dan perlahan. Ia merabanya, perlahan pula. Setelah agak lama. Ia membenturkan kembali kepalanya ke dinding-dinding bisu itu. Beberapa kali. Ia tersungkur. Tapi aneh sekali, suara merdu itu tidak muncul. Ia beranjak lagi, membenturkan kepalanya lebih keras lagi. Tapi wajah tampan itu tak juga muncul. Ia berdiri lagi dan membenturkan kepalanya seperti orang kesetanan. Ia mengguncang-guncangkan kepalanya, beberapa kali sampai akhirnya ia roboh mencium tanah yang pekat. Ia tak percaya, masih sepi.
Ia merasakan nyeri yang sangat di tengkorak kepalanya. Mulutnya menggumam sesuatu yang tak terdengar, seperti keluhan kekecewaan yang tak terukur dalamnya. Matanya terpicing seperti menantikan sesuatu. Tidak. Pangeran tampan yang ditunggunya tak juga datang. Ia berusaha memejamkan mata, tapi matanya becek oleh sesuatu yang merah, pekat. Sekilas ia melihat lesatan cahaya. Di dengarnya derap langkah yang tergesa. Pangeran itukah? Ia mengerjapkan matanya. Sesosok srigala raksasa mengaum, menangis di hadapanya. ]*
Neal percaya, bagi kenangan waktu tak pernah berarti apa-apa. Semenjak kepergian Pearce empat puluh tahun lalu, Neal berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia takkan membiarkan kenangan tentang Pearce luntur oleh kehadiran orang lain. Dalam benaknya, di sebuah tempat yang jauh (barangkali di surga) Pearce senantiasa mengawasinya. Sebab itulah, Neal lebih memilih untuk merawat kesendiriannya. Ia tahu, Pearce telah menunggunya di sana, ia hanya butuh waktu sedikit lama dan menjadi tua.
***
Di San Marina, Pearce meninggalkan sebuah rumah mewah dua lantai. Rumah besar yang dikelilingi puluhan pohon maple. Kata Pearce, rumah itu sengaja ia siapkan sebagai hadiah istimewa untuk pernikahan mereka. Di rumah itu, mereka sempat menikmati Honey Moon paling indah di dunia. Tepat dua minggu setelah mereka menempati rumah itu, Pearce berpamitan, ia harus segera terbang ke Madrid untuk sebuah pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Selama kepergian Pearce, Neal dirundung kegelisahan tanpa sebab. Saat berpamitan, Pearce mengatakan, ia hanya butuh waktu dua hari untuk pekerjaannya dan ia akan kembali pada Neal dalam keadaan utuh. Tepat hari kedua, kegelisahan Neal mendidih, Pearce tidak pulang, yang pulang hanya sebuah kabar bahwa pesawat yang ditumpangi Pearce terjatuh di lautan Tyrrhenian. Berhari-hari Neal terdiam seperti mayat dengan air mata membabi buta. Ia tak percaya Pearce tak kembali. Pearce sudah berjanji akan kembali dalam keadaan utuh.
Dalam keadaan limbung Neal masih tetap menunggu kabar ditemukannya mayat Pearce. Dan penantian paling menyedihkan itu ia akhiri setelah hampir tiga bulan ia dikutuk kesendirian. Akhirnya Neal memutuskan untuk kembali ke rumah peninggalan orang tuannya di Florence dan menyimpan memori tentang Pearce hanya dalam kepalanya dan rumah besar itu. Kepedihan Neal sebenarnya sudah sedikit terobati dengan kehadiran janin di rahimnya. Terkadang Neal berpikir bahwa hidup itu memang aneh. Semua datang dan pergi melewati sebuah pintu bernama misteri. Lambat laun Neal mulai benar-benar paham apa itu hidup, cinta, dan kepedihan.
***
Seorang diri, Neal merawat bayi laki-lakinya yang manis. Neal menamai bayinya dengan Pearce Jr, memang benar-benar mirip, matanya, hidungnya, bibirnya, barangkali begitulah wajah Pearce semasa bayi, pikirnya. Ketika usia Pearce Jr memasuki tujuh tahun, ia mulai bertanya: Mom, apa aku tidak punya Dad? Neal tidak menjawab langsung pertanyaan putranya, ia akan menjawab dengan mengajak Pearce Jr mengunjungi rumah itu. Rumah yang ia rindukan selama bertahun-tahun namun tak bisa ia kunjungi karena usia Pearce Jr yang memang tak memungkinkan untuk ditinggal bepergian jauh. Tapi Neal tak perlu khawatir, ia sudah membayar orang untuk mengurus rumah itu.
Pertama kali mengunjungi rumah kenangan itu, dada Neal disergap sesak. Semua tentang Pearce benar-benar tampak nyata di depan matanya. Neal bisa menghabiskan waktu berjam-jam dalam rumah tua itu. Sebenarnya ia tak melakukan apapun, ia hanya berkeliling dari kamar ke kamar. Memandangi benda-benda yang pernah disentuh Perace berlama-lama. Beberapa kali ia mengusap benda-benda itu seperti mengusap air matanya yang tiba-tiba merembes. Baginya, rumah itu adalah Pearce dalam bentuk yang lain.
Dari itulah Neal berjanji pada dirinya, ia akan selalu mengunjungi rumah itu, paling sedikit sebulan sekali. Ia tak perlu membayar orang lagi untuk merawat rumahnya, relikui dari suaminya. San Marina dan Florence memang tidak dekat, tapi jarak tak pernah berarti apa-apa dibanding kerinduan.
*** Neal sadar, ia tak muda lagi. Tubuhnya juga semakin rapuh. Rambutnya yang dulu kecoklatan luntur dan berwarna perak. Kulit wajahnya yang dulu kencang sudah mulai lembek. Tapi itu bukan masalah, bukankah itu berarti perjumpaanya dengan Pearce tidak akan lama lagi? Entahlah. Ia senang dengan keadaan itu, tapi di sisi lain ia merasa masih memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan Pearce Jr menjadi manusia dewasa.
Dari itulah, Neal senang bukan kepalang ketika Pearce Jr menemuinya dengan membawa seorang gadis. “Ini Shopie, Mom. My girlfriend. Dia tinggal di Arezzo. Dia juga bekerja di hotel tempatku bekerja.” Ungkap Pearce Jr, Neal tersenyum menyalamai gadis itu.
“Sophie. Senang bertemu Anda, Mom. Perace banyak bercerita tentang Anda.” Gadis itu balas tersenyum. Neal bisa melihat bahwa gadis yang dibawa putranya adalah gadis baik-baik. Neal melihat itu dari mata dan caranya berbicara.
“Kalau kau memang suka dengan gadis itu, kau tidak perlu menunggu berlama-lama, Pearce. Bulan ini kau genap dua puluh lima.” Neal mengemukakan pendapatnya selepas gadis itu berpamitan.
“Tentu, Mom. Tapi…” Pearce menggantungkan kata.
“Tapi apa?”
“Sophie anak tunggal, Mom. Ibunya di rumah tinggal sendiri dan sering sakit-sakitan. Ia tak bisa meninggalkan ibunya.”
Neal tertegun, ia paham, ia akan kembali sendiri. Dua puluh lima tahun jiwanya sepi, satu-satunya penghibur adalah Pearce Jr. Akankah ia pergi juga.
“Mom!” seruan Pearce Jr membuatnya terantuk. “Tentu saya tidak akan meninggalkan Mom seorang diri. Mom lebih berarti bagi saya.” Lanjutnya.
Neal cukup terharu mendengar pernyataan putranya, tapi tidak, ia tidak akan memotong pertalian hati itu. “Temui dia, Pearce. Katakan padanya, kau akan segera menikahinya.” Ungkap Neal kemudian.
“Tapi, Mom.”
“Arezzo tidak terlalu jauh dari sini. Kau bisa menjenguk Mom kapan pun kau mau, right?”
Pearce Jr terdiam lalu mencium tangan ibunya dalam-dalam. Matanya basah.
***
Ketika Pearce Jr mengemasi pakaiannya dalam koper, dada tua Neal bagai terhimpit sesuatu. Sudah lama sekali Neal tidak merasakan sesak semacam itu. Sesak yang sama ketika ia mendengar kabar bahwa jenazah suaminya tak pernah ditemukan. Pearce Jr dan istrinya memeluk Neal erat-erat setelah berpamitan.
“Kami akan sering-sering menjenguk Mom. Mom jangan bersedih.” Pearce Jr mengusap air mata ibunya. Matanya juga gerimis.
Neal tak bisa menguasai air matanya ketika Pearce Jr dan istrinya melangkah menjauh meninggalkannya. Neal sendiri tak paham mengapa ia menangis. Apa ia takut kesepian? Atau kehilangan? Tidak. Entahlah.
***
Semenjak Perace tinggal bersama istrinya, Neal hanya akan menghabiskan waktunya untuk merajut dan merawat kaktus-kaktus kecil di teras rumahnya. Beberapa bulan setelah kepergian Pearce Jr, Neal paham, ia hanya butuh membiasakan diri, dari kesendirian, dari kesepian, dari ditinggalkan, dan tentu saja, dari kehilangan.
Setiap senja naik, Neal selalu berdiri di depan jendela rumahnya yang menghadap ke barat. Di situ ia berdiri dengan mata berkilat seperti patung lilin. Ia mengamati musim yang berganti. Ia mengamati pucuk-pucuk daun Oak yang menghijau, lalu menguning, dan berguguran. Ia juga tak pernah alpa mengamati ranting-ranting pohon Oak yang kesepian dan kemudian ditumbuhi salju yang bergelantungan.
Tahun demi tahun seperti hidup dan merangkak di depan matanya. Sendi-sendinya benar-benar rapuh. Rambutnya pun sempurna seperti tebaran salju. Keriput di wajahnya menggelambir. Hingga ia sendiri tak bisa membedakan gerak bibirnya tengah menangis atau tertawa. Melihat kondisi tubuhnya yang demikian Neal sadar, ia takkan mampu lagi mengunjungi rumah kenangan yang ditinggalkan suminya di San Marina. Semua benar-benar akan hilang, kecuali yang ada dalam kepalanya.
Neal juga tak mungkin meminta Pearce Jr supaya sesekali menjenguk rumah peninggalan bapaknya itu. Semenjak mempunyai bayi lima tahun lalu, Pearce Jr jarang sekali menjenguknya. Sebulan sekali. Tiga bulan sekali. Setahun sekali. Atau hanya sesekali saja menelpon. Neal paham putranya sangat sibuk, dan ia takkan membebaninya.
***
Suatu hari ketika kerinduan Neal memuncak, Neal merasakan kepalanya sangat berat. Tubuhnya menggigil. Kesepian yang bertahun-tahun memeluknya kini menindihnya. Ia mulai sulit bernapas. Saat itulah ia memberanikan diri untuk menelpon Pearce Jr. Ia meminta Pearce Jr datang ke Florence untuk mengantarkannya ke San Marina, ke rumah peninggalan suaminya. Entah kenapa, Neal merasa harus ke sana. Namun, di luar dugaannya, karena urusan pekerjaan, Pearce Jr meminta maaf, ia tidak bisa mengantar ibunya. Namun Pearce berjanji minggu depan ia akan pergi ke Florence dan mengantar ibunya ke San Marina.
Sesak di dada Neal datang bertubi-tubi. Hingga ia putuskan untuk pergi sendiri ke San Marina dengan tubuh tuanya. Tentu saja ia tak memberi tahu Pearce Jr. Dan ajaib sekali, ketika kakinya yang gemetar menapaki kabin kereta, Neal merasakan tubuhnya sangat ringan. Mungkin kerinduan yang sangat telah membantunya. Neal tak percaya ia bisa sampai di depan rumah besar itu dengan kaki rapuhnya.
Sudah berapa tahun ia tak menjamah rumah kenangan itu. Lima tahun? Tujuh tahun? Sepuluh Tahun? Entahlah. Neal menjejakkan langkahnya. Ia memperhatikan pohon-pohon Maple yang menjulang di sekitarnya. Merah kemuning yang menyilaukan matanya. Ia terus melangkah. Beberapa kali langkahnya menyaruk guguran daun Maple yang kering dan tampak kesepian. Di jendela lantai dua, Neal bagai melihat bayangan berkelebat. Sosok yang sangat ia kenal. Ia semakin tak sabar untuk memasuki rumah itu, memasuki kenangan itu dan melebur di dalamnya.
Di depan pintu utama, dari saku jaket wolnya, Neal mengeluarkan kunci kecil. Ia memasukkan kunci itu ke lubangnya dan memutarnya. Tanganya gemetar. Perlahan ia mendorong pintu itu. Deritan panjang menyambutnya. Mata Neal memandang jauh ke dalam rumah itu. Ia melangkah masuk dan menutup pintu.
Perlahan ia memperhatikan tangannya. Otot-otot tua yang menujulur di sana mengencang. Ia meraba wajahnya. Ia menemukan kulit yang mulus dan bibir yang masih basah. Ia menilik rambutnya yang memutih—yang tiba-tiba tersepuh warna cokelat mengkilat. Ia kembali muda. Ia berjalan dengan sangat tegap. Sangat anggun.
Setiap jejak langkah dipacunya, lilin-lilin yang menggantung di dinding perlahan menyala. Lampu utama yang jatuh berantakan perlahan kembali menyatu dan menempel di tempatnya. Kursi dan meja yang ambruk kembali berdiri dan utuh seperti baru. Daun-daun maple yang berserakan perlahan terbang melewati atap yang berlubang—yang perlahan merapat kembali seperti semula. Piano tua yang dihinggapi sarang laba-laba tiba-tiba berdenting dan menyanyikan irama yang biasa dimainkan Pearce, suaminya. Dadaya berdesir.
***
Neal terus mengambah ruang demi ruang, kenangan demi kenangan. Hingga ia sampai di kamar utama. Kamar tempat ia dan Pearce memanjakan cinta. Di dalam kamar itu, Neal berdiri di depan sebuah cermin berdebu. Di depan cermin itu, Neal menitikkan air mata. Hingga tiba-tiba sebuah tangan mendekapnya dari belakang, menghapus air matanya. Dari cermin itu Neal melihat Pearce memeluk tubuhnya erat-erat dan tersenyum menatapnya. Dalam hati, Neal berjanji, takkan pernah meninggalkan rumah itu lagi. Ia ingin melebur di dalamnya.***
Malang, 2011
*Cerpen ini terilhami oleh lagu karya Within Temptation: Memories.
MENURUTKU, gelar dan nama adalah dua hal yang tak boleh dipisah-pisahkan. Seperti tubuh dan pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa aku sangat mengutuk orang-orang—terutama mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, aku telah menerapkan beberapa pantangan bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku. Salah satu di antaranya adalah mengenai gelar itu sendiri.
Mereka—para mahasiswaku—yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku, kujamin akan bernasib buruk. Seperti yang sudah kukatakan, gelar dan nama adalah sesuatu yang sakral bagiku, jadi tak boleh diotak-atik oleh siapa pun.
Sebenarnya, untuk mengantisipasi hal itu, aku selalu berbaik hati. Pada setiap awal semester, di perkuliahan, aku selalu berpanjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut. Jabatanku di kampus adalah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.
Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada acara perkenalan dengan mahasiswa baru, aku selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskannya begini: Prof Dr H M Kibari MA.
Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, dengan semangat aku akan menjelaskan pada mereka, bahwa kata prof, dari namaku itu berarti profesor, yakni seorang ahli dalam suatu bidang, bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, aku selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non-akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang aku terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.
Adapun mengenai huruf Dr, dari namaku ialah singkatan dari kata doktor yang aku peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula aku menjelaskan tentang huruf H, yang bertengger pada namaku. Huruf H di sana tentu saja singkatan dari kata haji, itu karena memang sudah berkali-kali aku ke Makkah. Dan untuk huruf M, aku takkan menjelaskan panjang lebar karena M di sana ialah singkatan dari nama depanku, Muhammad.
Dan yang terakhir, huruf MA, master of art, merupakan oleh-oleh dari S2-ku dari negeri yang punya ibu Menara Eifel, Prancis. Hebat bukan?
Tak ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang aku ini seorang multitalent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, aku menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa diam-diam aku ini berbakat menggesek biola, itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya aku sombong, karena sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu, justru aku mengagungkan kebenaran, semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain, mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa aku memang ada di atas mereka, dalam banyak hal.
***
Pada akhir semester seperti ini biasanya aku akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah, mengemis-ngemis agar aku dapat menerima konsultasinya lalu mengasese skripsinya yang amburadul itu.
Seminggu terakhir ini, sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa aku depak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.
Awal pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, aku yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya dia lebih pandai mengobral alasan daripada menekuni tugas akhirnya. Kali ini dia datang malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakannya masuk. Terpaksa aku meladeninya.
“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa-basi.
“Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya menyelesaikan bab terakhir ini. Dan, waktu saya ke kampus bapak tidak ada.” Dalihnya enteng.
“Walah… itu alasan kamu saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya selesaikan di kampus. Lha, mengapa kamu berani menemui saya tanpa membuat janji terlebih dahulu. Sudah…, sebaiknya kamu pulang saja, saya mau istirahat….” Tukasku santai.
“Tapi Pak, minggu depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimabangan lagi dari bapak supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.
“Entah besok ujian, entah minggu depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaannya, selama satu semester ini kamu ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kedaluwarsa?”
“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yang harus saya utamakan.”
“Lebih penting dari skripsimu?” tandasku.
Wanita itu tak bergeming, tapi matanya mengilat seperti kaca.
“Sudah, terserah draf itu mau kamu apakan. Yang jelas malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, lalu beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu. Entah dengan cara apa dia enyah, lagi-lagi aku takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.
Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita. Ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya karena ia repot mengurus balitanya. Bagiku, itu risiko yang harus ia tanggung. Maka, baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu.
Yang ketiga ialah seorang pemuda kumal. Dia seorang aktivis organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya itu akan mengubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan, terang-terangan aku memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan datang kembali semester depan dengan pilihan yang tepat.
Setelah para mahasiswa error itu, malam ini datang lagi seorang pemuda dengan potongan alim. Kalau tidak salah dia adalah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, aku lupa namanya siapa. Sebenarnya dia itu rajin, tapi untuk soal skripsi dia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya aku masih menangkap kemuakkannya terhadapku. Mungkin dia teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku menegurnya karena kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya. Pada khutbah Jumat waktu itu aku mendapat jadwal khatib dan dia sebagai bilal. Sebelum aku naik ke mimbar, dia menyebutkan namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”
Bukankah seharusnya dia menyebut namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof Dr HM Kibari, MA.”
Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Untung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, kalau tidak pasti aku sudah melabraknya. Tapi sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya. Dan, malam ini aku menerima konsultasinya yang terakhir, tentu setelah dia membuat janji denganku.
“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yang tebal. Dengan malas aku meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dengan saksama.
“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang.” Pekikku setelah mencoret beberapa kata yang salah redaksi.
“Maaf Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Iya, akan segera saya perbaiki.” balasnya. Belum selesai ia bicara aku sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.
“Ini apa lagi. Rupanya kamu benar-benar tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada tulisan: “Dosen Pembimbing: Prof H Kibari, MA.”
“Ini doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali. Kalau kamu masih salah-salah lagi, saya sarankan kamu ujian semester depan saja! Kamu belajar ngetik dulu sambil menghafalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah seperti terbakar.
Esoknya pemuda itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan print out yang baru, tapi dasar penyakit, dia membuat kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang aku menyuruhkannya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres aku segera mengasesenya, aku tak ingin lama-lama berhadapan dengannya, bisa-bisa darah tinggiku kumat.
***
Usai sidang skripsi, aku bisa bernapas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan: yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun, aku lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kamu lulus.
Biasanya, setelah nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terima kasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang aku terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding, bahkan sampai sepatu made in Italy.
Dan, malam ini aku menerima lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, aku yakin isinya bukan barang biasa.
“Dapat lagi, Bu!” kataku sambil memamerkan paket kotak itu pada istriku.
“Wah, sepertinya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.
“Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku kalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung.” Balasku girang.
“Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, ibu bikinin teh dulu buat bapak.”
“Iya, ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak,” ujarnya sambil beranjak ke dapur.
Istriku pasti akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini pasti sengaja membuat saya penasaran dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.
Maka, dengan tidak sabar aku membuka kardus itu. Satu per satu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengilat itu pelan-pelan agar tidak sampai sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu aku tercekat, kaget bukan main. Dua papan batu nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu batu nisan itu terukir tulisan yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini:
Alm Prof Dr H M Kibari, MA.
Jidatku terasa dihantan pendulum satu ton saat kusadari apa yang baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan batu nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi, kubaca tulisan itu perlahan:
.
Bapak Prof Dr H M Kibari, MA. yang ter(gila) hormat. Mohon maaf sebelumnya.
Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada batu itu.
Oh ya, saya juga telah menuliskan satu lagi Gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat.
Salam
Mahasiswamu.
.
Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu per satu menggelayuti dinding kepalaku. Aku seperti menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang batu kuburan itu. Aku tak mau siapa pun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali batu itu ke dalam kardus lalu membungkusnya kembali rapat-rapat.
“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat?” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tangannya.
“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan batu berukir biasa.” Balasku kecut. Sesuatu yang tidak enak mulai menggeliat di kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku. (*)
Malam berkawin dengan hitam. Angin berpeluk dengan sepi. Larut dan gigil. Jarum jam terus berdetak. Detaknya menyerupai suara mesin ketik tua yang terbata-bata. Lampu masih menyala. Buku-buku masih terbuka. Kulirik jam dinding yang terus berkemeletik, mengetikkan waktu: jarum panjang di angka dua belas, jarum pendek mendekati angka enam. Mataku mengerjap-ngerjap. Berat. Aku harus pergi tidur.
DUA
Lampu kamar kumatikan. Separuh korden jendela kusingkap tepikan. Paku pandangku menembus langsung ke wajah bulan. Ketika tubuh mulai kurebahkan. Selimut kubentangkan. Dan kelopak mata siap-siap kupejamkan. Tiba-tiba, hape di sebelah bantal bergetar, layarnya berkedip-kedip. Diterima sebuah pesan. Maaf, malam-malam menganggu. Ini aku. Masih ingat?
Menyebalkan. Seperti orang tak punya nama saja. Tak kuacuhkan. Aku yakin, itu hanya ulah seorang teman. Beberapa menit kemudian. Sebuah pesan masuk lagi. Dari nomor yang sama.
Sungguh, Kawan. Aku butuh bantuan.
Aneh sekali. Setelah mengajak main tebak-tebakkan, tiba-tiba minta bantuan. Masih tak kuhiraukan. Namun tak lama kemudian, hape memekik lagi.
Aku sungguh-sungguh. Untuk membuatmu percaya, apakah aku harus bersumpah atas nama tuhan?
Mengapa harus membawa-bawa nama Tuhan. Berlebihan sekali kata-katanya. Namun, setelah pesan itu. Tiba-tiba aku menjadi gugup. Dalam remang, kupencet tombol-tombol huruf yang menyala di sana.
Tak lama, satu pesan diterima. Memangnya kamu kenal berapa Lilla?
Hatta perbincangan berlanjut panjang
Hehehe… btw apa kabar nih?
Btw? Btw apaan maksudnya? Buwat?
Hih, tell me banget. Btw singakatan dari By The Way: ngomong-ngomong.
Oh… sekarang ngomongmu pake bahasa ingrris, ya.
Ya, dong. Hari gini, gak bisa bahasa inggris… eh, nomormu kok gonta-gonti terus, kayak orang pacaran aja.
Iya, HP yang dulu ilang. Nomornya ikut ilang.
Kabarmu bagaimana?
Kabarku buruk.
Buruk? Buruk bagaimana?
Buruk sekali. Makanya aku sms. Aku butuh bantuanmu.
Bantuan? Bantuan apa?
Maaf, ya, belum-belum sudah merepotkan.
Walah, kayak orang baru kenalan aja. Denger-denger kamu kerja di Hongkong, ya?
Iya, lebaran lalu saya pulang.
Mudik?
He’eh.
Kok gak kabar-kabar.
Habis denger-denger kamu sibuk. Sudah jadi penulis, novelis. Sudah jadi sastrawan.
Ah, siapa bilang. Saya juga babu kok! Babu tinta. Hahaha
Ikut seneng, kamu sukses.
Amiiin. Jadi, bagaimana?
Apanya yang bagaimana?
Katanya kamu mau minta bantuan.
Oh, iya aku lupa.
Dari dulu penyakit lupamu gak sembuh-sembuh, ya.
Hehe…
Belum nikah kok sudah punya penyakit pikun?
Hehe…
Kamu belum nikah, tho?
Hehe…
Kok hehe hehe terus?
Mana ada laki-laki yang mau sama babu lulusan SMA?
Ada. Laki-laki yang babu yang lulusan SMA juga. Hahaha…
Gak lucu…
Maap. Control Z, deh.
Control Z?
Maksudnya kembali ke laptop. Jadi bagaimana?
Apanya yang bagaimana?
Aduuuh, tak jitak gundulmu. Katanya mau minta bantuan.
Hehehe, iya, aku mau minta bantuan. To the point aja, yah… Kamu bisa, gak, mengantarkan sesuatu ke alamat rumahku?
Lho, memangnya kamu sekarang gak di rumah?
Enggak. Sekarang saya berada di tempat yang sangat jauh. Jauuuuh sekali.
Di luar negeri?
Bukan. Lebih jauh dari itu.
Di luar angkasa. Hahaha…
Di alam baka… Hahahaha…
Kalau begitu, aku sedang ngobrol dengan hantu, dong!
Kalau hantunya cantik tak masalah, kan?
Sssst… aku sudah ada yang punya.
Iya, aku tahu. Lagian mana mungkin cowok keren sepertimu mau sama aku.
Baru tahu, ya, kalau aku keren. Hahaha…
Iih Narsis. Control Z, ya. Kembali ke permasalahan.
Yups. So?
Langsung saja. Di sebuah gardu kosong, deket lapangan bola, deket rumahmu, ada sebuah kardus. Aku minta, kamu mengantarkan kardus itu ke keluargaku.
Ih, kayak recidivis, aja. Kenapa gak langsung dianter ke rumahku aja.
Kalau bisa, ngapain aku minta tolong kamu. Mendingan tak bawa pulang sendiri. Tapi, ya, itu. Aku benar-benar gak bisa. Makanya aku minta tolong sama kamu. Toloooooong banget. Ya? Pliiis!
Lalu siapa yang naruh kardus itu di gardu? Aneh-aneh saja, atau jangan-jangan isinya narkoba, atau malah bom.
Gak kok! Tak jamin, isinya bukan narkoba, apalagi bom.
Lalu apa, dong?
Nanti setelah sampai rumahku, kamu akan tahu.
Walah, malah main teka-teki. Ogah, ah, kalau nggak jelas.
Ini jelas. Jelas sekali. Ayolah! Pliiis! Ini yang terakhir kali. Benar-benar yang terakhir kali. Ya? Oke?
Ya lah… tapi masa harus sekarang?
Gak. Besok pagi atau siang juga gak papa. Sekarang kalau mau istirahat, silahkan istirahat. Teima kasih, ya. Dadaaaa…
Lho? Jadi ceritanya sudah bosen nih ngobrol sama teman lama?
Takut ganggu istirahatmu aja.
Dari tadi sudah ganggu. Ganggu sekalian aja. Terlanjur basah, ya sudah, mandi sekali. Terlanjur malu ya sudah, malu sekali… (dangdutan.com)
Tidak tersambung. Tiba-tiba perasaanku kacau. Aku teringat tentang kardus di gardu usang yang ia pesankan. Rasanya ingin kuambil kardus itu sekarang juga. Namun, malam begitu menyeramkan. Maka kuurungkan. Kutengok angka di layar HP: 01.45. Tubuh kembali kurebahkan. Selimut kembali kubentangkan. Kelopak mata siap-siap kupejamkan.
Malam terus merangkak. Tubuhku terbuntal rapat seperti molen pisang. Lensa mataku menangkap remang bulan yang tiba-tiba ditutupi arakkan awan. Mendadak aku teringat film-film vampire. Tepat saat adegan serigala mengaum di puncak malam. Bayangannya menyatu dengan wajah bulan. Aku merinding. Tubuh kumiringkan. Bantal dan selimut kurapatkan. Mata kupejamkan. Aku harus pergi tidur. TIGA
Pagi buta, saat pertama kali kelopak mata tersingkap, tanganku sudah meraba-raba ke bawah bantal, ke sebelah bantal. Hape di mana? Klik. Panggilan terakhir: Lilla Kalideres. Klik dial.
Tut… tut… tut… tut…
Tidak aktif. Ke mana anak ini? Semalam berbalas pesan. Sekarang hape gak diaktifkan. Apa dia kehabisan pulsa? Atau low bateray?
Setelah metahari meninggi, aku segera menghambur ke gardu usang yang ia maksudkan. Ada di tepian gang yang sangat sepi. Gang yang terapit lapangan becek dan tanah kosong. Diantara rongsok kayu dan tumpukan karung-karung bekas, teronggok sebuah kardus yang terbungkus sangat rapi. Rapi sekali. Dilakban di sisi-sisinya, dan dililit rafia tebal sebagai tali pegangan. Kuedarkan pandangan ke kiri dan ke kanan. Sepi. Aku mendekati gardu using itu. Tapi tiba-tiba ada bau menyengat. Seperti ikan busuk. Tapi tak ada lalat. Segera kuambil kardus itu dan kubawa pulang.
EMPAT
Menjelang siang, dengan sepeda motor, aku melaju dari Kramatjati ke Kalideres. Kardus bau itu kuikat karet ban dan kubonceng di jok belakang. Sepanjang perjalanan aku memutar otak, mengingat-ingat jalan yang benar menuju rumah itu. Aku pernah ke sana dua kali, waktu masih SMA, dan bertahun-tahun, setelah lulus dari SMA, kami tenggelam dalam kesibukkan masing-masing, kehidupan masing-masing. Kami putus kontak, hingga semalam, tiba-tiba dia menghubungiku lewat sebuah pesan pendek.
Bakda dhuhur, akhirnya aku sampai di depan rumah itu. Masih sama seperti dulu. Hanya cat temboknya berganti warna. Rumah itu pintunya terbuka. Beberapa orang tampak berkerumun di dalamnya. Kuketuk pintu, kulepas salam. Orang-orang yang berkerumun di dalam menoleh ke arahku. Lelaki paruh baya—yang kuingat sebagai bapaknya—segera berdiri dan mempersilahkanku masuk. Tanpa basa-basi, segera kuutarakan maksud kedatanganku, “Semalam Lilla sms saya, Pak, dia minta tolong saya untuk mengantarkan kardus ini.”
“Lilla sms kamu? Semalam?” Seorang lelaki memekik. Semua pandangan terlempar ke arahku. Pertanyaan di kepalaku berkecambah. Semua terdiam. Tak bisa menjelaskan. Hingga seseorang berdiri dan mengambil sebuah koran, telunjuknya terarah pada sebuah kolom tulisan, ada foto Lilla di sana: Gadis korban perkosaan dan pembunuhan. Mayatnya dimutilasi dan dibuang di beberapa tempat yang berbeda. Sampai sekarang, potongan tangan dan kepala belum ditemukan.
LIMA
Mataku tak berkedip menatap kardus itu. Membayangkan isinya.***