Cerpen Mashdar Zainal
Dengan sebilah paku di tangannya yang selalu gemetar, ia mengukir kebahagiaan yang miris pada dinding-dinding pengap yang mengurungnya sejak belasan tahun lalu. Ia membuat goresan-goresan dalam pada muka-muka dinding angkuh itu. Dibayangkannya seorang pemuda tampan yang berpakaian mengkilap seperti pangeran-pangeran dalam legenda Dinasti Ming yang selalu ia dengar dari mulut ibunya sewaktu ia kecil. Ah, itu terlalu maya. Nyatanya, semua terjadi dan berlalu begitu cepat. Mungkin juga begitu lama. Beribu alam telah ia selam, berjuta bentuk telah ia ketuk. Dan ia tahu, tak satu pun jengkal nafasnya akan memberinya kesembuhan. Memar di hatinya terlalu pekat. Membaur dengan darahnya yang telah menjadi gulita.
***
Bertahun-tahun, Sin Han—lelaki kekar yang ia panggil bapak itu—memperlakukanya seperti binatang piaraan, hingga tubuh kecilnya tak pernah bisa merekah seperti gadis-gadis seusianya. Perjalanan hidupnya seolah hanya setapak pematang yang kelam berkepanjangan. Lelaki kekar itu telah leluasa memenggal haknya untuk hidup sebagaimana layaknya manusia. Meski begitu ia belum juga paham. Baginya, hidup atau mati barangkali sudah tak ada pembatasnya. Bahkan ia tak juga mengerti kalau yang sedang dijalaninya itu adalah kehidupan.
Belasan tahun ia hidup dalam liang pengap di lantai dasar, di perut tanah. Sesekali lelaki kekar itu datang mencekokinya beraneka makanan lalu memainkannya layaknya barang murah yang bisa dijadikan hiburan kapanpun dibutuhkan. Lelaki kekar itu selalu datang dan pergi seperti musim-musim yang congkak. Ia pun tak bisa berbuat banyak, alam tak pernah mengajarinya melawan keterpurukan. Hari-hari, ia hanya bisa meringkuk seperti angin yang letih memikul musim-musim yang selalu datang dan pergi.
Barangkali, lambat laun, rasa sakit akan membuatnya paham, bahwa lelaki kekar itu hanya mengumbar kesumat yang disemai oleh isterinya yang pergi dengan lelaki lain, beberapa tahun silam. Tepatnya dua belas tahun silam. Ketika usianya masih enam tahun. Lamat-lamat ia masih mengingat kejadian itu. Ketika ia di seret lelaki kekar itu ke sebuah rumah penginapan di pinggiran kota. Di sebuah kamar yang remang tiba-tiba lelaki kekar itu menunjukan sebuah pemandangan yang sulit untuk ia cerna. Lelaki kekar itu mendobrak pintu kamar sampai roboh. Dalam kamar itu ia bisa melihat jelas wajah ibunya yang masih berkeringat dengan tubuhnya yang tanpa sehelai benang. Ia menduga-duga permainan apa yang sudah dilakukan ibunya dengan lelaki muda di sampingnya, dalam kamar remang itu.
“Biar… biar Mei Ling, anakmu yang hijau ini tahu apa saja yang dilakukan ibunya di luar rumah….!” Pekik lelaki kekar itu.
Ibunya terperanjak dan segera menutup tubuhnya dengan selimut. Tanpa ampun lelaki kekar itu menjambak rambut ibunya, menyeretnya, dan meludahinya sepanjang jalan pulang. Ia hanya bisa melihat dengan tubuh gemetar sambil menyeru nama ibunya berkali-kali. Sampai di rumah ia menyimak kembali silat mulut antara ibunya dan lelaki kekar itu. Dari balik jendela kamarnya ia mengawasi ibunya yang tersungkur beberapa kali akibat hantaman tangan kekar lelaki itu. Malam-malam berikutnya ia dan ibunya dikurung dalam sebuah kamar. Semenjak itulah ibunya bersikap sangat dingin padanya. Dalam kamar itu, ibunya hanya diam dan sesekali merintih. Entah menahan sakit, entah menahan geram. Beberapa kali ia mendekati ibunya yang layu. Beberapa kali pula ibunya mendorongnya, memintanya menjauh.
“Kau anak bapakmu… ikut saja bapakmu.” Sentak ibunya. Ia benar-benar tak mengerti apa maksud kata-kata itu.
Ketika lelaki kekar itu pergi, ketika rumah sepi, ia melihat ibunya mencongkel pintu kamar lalu menyeret sebuah tas koper yang berisi pakaian.
“Ibu mau kemana?” tanyannya.
“Sudah... jangan nyiyir terus!” ibu menyentaknya.
“Mei Ling mau ikut ibu.” rengeknya.
“Sudah… kau sama sialnya dengan bapakmu. Sudah kubilang… ikut bapakmu saja.”
“Mei Ling takut sama bapak, bu.”
“Kau tak takut sama ibu!?”
Ia menunduk tak berani melawan tatapan ibunya yang dingin dan beraroma kekecewaan. Ia terlalu polos untuk menerima tiap lecutan kata itu. Ia menggelendoti langkah ibunya sambil menangis. Ibunya merengkuh tangan kecilnya dan melemparnya seperti kucing, sampai kepalanya terbentur dinding. Ia beranjak lagi mengejar ibunya sambil masih menangis. Ibunya yang geram menyeretnya ke kamar mandi dan mengurungnya di dalam. Ia tersedu-sedu. Tak ada yang peduli.
***
Ia menangis sampai tertidur, bersandar dinding dingin yang tak ramah. Sampai lelaki kekar itu menemukannya menggigil dan lemas dalam kamar dingin itu. Lelaki kekar itu menyentaknya berkali-kali. Menanyakan dimana ibunya. Ia lemas tak bisa mejawab. Lelaki kekar itu berteriak-teriak, membanting pintu dan vas bunga. Ia bersimpuh. Berusaha memahami ketidakberdayaan yang melumatnya.
“Aku akan membuat ibumu menyesal, menangis darah karena telah meninggalkanmu sendiri. Dipikirnya aku mau mengurusmu. Heh!?” lelaki kekar itu menguncang-guncangkan kepalannya. Lalu berpaling sambil menangis agak dalam.
“Aku sangat mencintai ibumu. Hh… Barangkali aku memang bodoh. Ah, tidak. Aku tidak bodoh. Wanita lacur itu yang bodoh. Ibumu itu yang tolol. Ah, kenapa? Ia pikir aku akan diam saja setelah dilemparnya pisau membara ke mukaku. Huh! dia salah. Aku takkan diam menerima kekalahan ini. Ha…ha…. Akan kubuatkan neraka untukmu agar di seberang sana ibumu bisa menggelepar merasakan panasnya. Heh!”
Lelaki kekar itu kemudian mendekatinya. Langkahnya seperti malaikat pencabut nyawa. Ia tercekat, melihat dua liang menyala pada wajah lelaki itu, mata membara yang menatapnya tanpa jeda. Seolah ada gelegak panas yang hendak meluap dan menghanguskan tubuhnya yang rapuh. Dengan cekatan lelaki kekar itu menyambar tubuhnya yang kecil dan menyangkingnya seperti segepok kayu kering.
Malam itulah, pertama kalinya ia merasakan lentik jari neraka yang disematkan lelaki kekar itu di hara jantungnya. Bahkan saat itu ia masih belum dapat mencerna goresan apa yang telah tertoreh pada lembar awal hidupnya yang masih putih dan polos. Malam itulah, malam pertama ia menghuni liang pengap di lantai bawah tanah itu. Lelaki kekar itu menyeretnya menuruni anak tangga usang yang lembab dan berjamur. Pengap, lembab dan gelap. Di sana ia dilempar. Meringkuk berteman dengan tikus-tikus tanah dan barang-barang rongsokan penghuni gudang.
“Ini tempatmu! Kau takkan pernah bisa pergi dari sini sebelum ibumu kembali dan bersujud di kakiku.” Lelaki itu melempar kasur tipis ke arahnya. Lalu merengkuhnya dan membaringkanya di sana. Agak lama lelaki kekar itu memperhatikan wajahnya yang manis, lalu tubuhnya yang kecil dan terbaring lemah. Itulah pertama kalinya lelaki kekar itu melucuti pakaianya dan menindihnya erat-erat. Ia hanya bisa menjerit tak mengerti.
“Apa bedanya kau dan ibumu. Kalian sama-sama perempuan.” Erang lelaki itu.
Setelah selesai mengoyak tubuh kecilnya, lelaki kekar itu pergi menaiki tangga, meninggalkannya dalam gua kelam itu seorang diri. Ia meringis, bagian tubuhnya ada yang terasa sangat ngilu. Tubuhnya terasa remuk. Ia berteriak dan menangis tak karuan. Lelaki itu tak mempedulikannya. Ia berlari menyusuri anak tangga, mengikuti langkah lelaki itu. Tapi terlambat. Pintu di puncak tangga terkunci dari luar. Ia tak berkutik.
***
Seharian ia menangis karena takut gelap dan sepi. Tapi rupanya lelaki kekar itu selalu menjenguknya untuk mengantarkan sepiring makan dan seteko air. Sesudah itu mengusap tubuhnya, merangkulnya, melumatnya lalu pergi. Setiap kali perutnya mual dan berasa ingin muntah, lelaki itu selalu mencekokinya nanas muda. Sampai ia benar-benar muntah. Begitulah hari-harinya berlanjut sampai belasan tahun. Sampai ia benar-benar sadar bahwa ia ada dalam lingkar kehidupan. Kehidupan yang nyata. Kenyataan yang ganjil. Keganjilan yang sangat berat untuk ia tuntaskan.
***
Setiap kali lelaki kekar itu pergi. Ia akan melukiskan banyak hal yang ia inginkan di muka dinding itu. Lalu meraba-raba goresan dalam pada dinding itu dan membenturkan kepalanya keras-keras pada goresan di dinding itu, sampai kepalanya terasa berat dan tidur yang indah menjemputnya, mengantarkannya pada bunga-bunga, menemui pangeran tampan yang menunggang kuda putih. Di sana pangeran tampan itu mengajaknya naik kuda, memboncengnya di belakang. Lalu mereka jalan-jalan mengelilingi perkampungan bunga atau kadang berbaring di gelaran rumput yang membentang seperti permadani hijau. Lalu pangeran tampan itu tersenyum dan menyematkan bunga-bunga rumput di rambutnya. Hahh… indah bukan?
Dulu ia pernah bercita-cita menjadi gadis korek api yang menemukan kebahagiaanya pada batang-batang korek api. Tapi sayang sekali. Ruang yang ia huni tak pernah mengizinkannya untuk mencari sebatang korek api, bahkan untuk sekedar bergerak. Liang itu telah menjadi pasungan sempurna. Liang itu hanya bisa memberikan sedikit celah udara untuk bernafas dan berbongkah-bongkah gulita untuk menjadi kawan baiknya.
Maka ketika ia mulai gelisah, diam-diam tangannya meraba-raba sesuatu di bawah kasurnya yang lembab. Sebilah paku itu ia simpan di sana. Setelah ia rasa cukup tenang. Ia kembali membuat goresan-goresan tak jelas di dinding hitam itu. Sudah tak terhitung jumlahnya goresan-goresan di dinding-dinding liang itu. Hanya saja, lelaki kekar itu tak menyadarinya. Atau mungkin tak mempedulikanya. Lelaki itu hanya sangat tidak suka melihat wajahnya yang lebam akibat benturan.
***
Dengan sebilah paku di tanganya, ia mulai melukis lagi. Kali ini bunga-bunga, atau mungkin wajah Dewi Kwan Im. Ia tak pernah lelah menggoreskan sesuatu yang tak pernah bisa ia lihat dengan mata kasatnya. Ia hanya merabanya, dan membayangkan sesuatu atas apa yang mungkin ditangkap oleh indera perabanya. Sejurus kemudian, ia akan membenturkan kepalanya keras-keras sampai batok kepalanya terasa berat dan ia terjerembab. Dalam nyeri itu, ia selalu mendapati sosok yang sama yang selalu terpatri dalam mimpinya. Sosok yang selalu ia temukan di dunia yang penuh bunga-bunga. Sosok pemuda tampan yang menunggang kuda putih dengan pakaian berkilau.
“Bangunlah, cantik! Akan kupenggalkan setangkai seruni untukmu!” tuturnya merdu, mengulurkan kedua tangannya yang putih.
Ia berlari menyambutnya. Menyongsong dunia yang tak pernah menyimpan malam di dalamnya. Dunia yang luas, yang sejauh mata memandang akan ia temukan hamparan bunga. Dunia yang tak pernah lelah melantunkan puisi dan gesekan biola. Di sana, dengan pangeran tampan itu, ia akan membangun istana kecil di seberang sungai. Memelihara itik dan ikan koi. Ia juga akan membangun sebuah kuil dan di dalamnya akan ia pajang patung Dewi Kwan Im dari pahatan emas. Ia berharap, agar Dewi Kwan Im selalu menjenguknya diam-diam dan menaburkan kebahagian yang tak berkesudahan dari guci ajaibnya. Agar ia dan sang pangeran bisa hidup rukun berdampingan, membesarkan anak-anak sampai renta menjemputnya dalam ketenangan.
***
Ah! Selalu saja. Mimpi-mimpinya tak pernah tuntas. Lelaki kekar itu selalu mengusiknya.
Kreet…..
Ia tersentak. Pintu di puncak tangga berderit. Terbuka. Sebelum lelaki itu menutupnya kembali, berkas cahaya dari balik pintu ia rasakan seperti tombak tajam yang terhunus memanah kedua matanya yang kelam. Lantas ia mendengar suara pantofel, kemeletak menuruni anak tangga. Seperti biasanya. Anehnya, ia masih saja gemetar.
“Ini… makan!!” bentak lelaki itu sambil melempar nasi bungkus dari tangannya.
“Makanlah! Aku akan menyiapkan air untuk minum dan membersihkan tubuhmu. Cepat kau makan!” gertaknya lagi.
Ia bergegas mengambil bungkusan itu. Kalau tidak, lelaki itu akan marah dan menjejalkan apa saja ke mulutnya.
Usai ia makan, lelaki itu mengelap tubuhnya yang kurus dengan sehelai handuk kecil.
“Aku benar-benar merindukan ibumu…” cercau lelaki itu sambil terus memandanginya. Ia tak pernah peduli dengan kata-kata lelaki itu. Ia tahu, apa yang akan dilakukan lelaki itu selanjutnya.
“Untuk mengobati rinduku pada perempuan tolol itu, malam ini aku membutuhkanmu… kau harus bisa menggantikan tugas ibumu.” Tuntut lelaki kekar itu mulai merayunya. Ia diam saja menahan dingin. Selanjutnya lelaki kekar itu menerkamnya dengan beringas. Mencabik segala apa yang ada pada tubuhnya. Tak peduli pada tubuh ringkihnya yang terkulai dalam keadaan memar dan berdarah. Selalu saja begitu. Lelaki itu baru akan pergi, setelah kenikmatan memanen dendamnya ia rasa cukup. Lelaki itu terhuyung menaiki tangga.
Kreet….
Pintu di puncak tangga berderit. Terbuka lalu tertutup lagi. Semua kembali seperti semula. Gulita yang lebih membuatnya nyaman. Ia meringkuk lemas. Sekai-kali, sebenarnya ia ingin berteriak keras-keras. Tapi napasnya selalu tersengal-sengal setiap kali lelaki itu pergi seusai menuntaskan racun dendamnya.
Lelaki itu pergi. Gulita yang indah kembali. Ia ingin sekali menuntaskan mimpi-mimpinya. Dengan sebilah paku di tanganya. Tapi entah mengapa, ia benar-benar geram. Tubuhnya terasa lengket. Lambat laun, ia rasakan sosok lelaki kekar itu seperti srigala raksasa yang menyeramkan. Hitam, berbulu lebat, bertaring dan sangat suka menerkam. Diam-diam ia merinding mengingat sosok lelaki kekar itu.
***
Ia kembali meraba-raba dinding, memahat seraut wajah yang tersenyum dalam benaknya. Dalam dan perlahan. Ia merabanya, perlahan pula. Setelah agak lama. Ia membenturkan kembali kepalanya ke dinding-dinding bisu itu. Beberapa kali. Ia tersungkur. Tapi aneh sekali, suara merdu itu tidak muncul. Ia beranjak lagi, membenturkan kepalanya lebih keras lagi. Tapi wajah tampan itu tak juga muncul. Ia berdiri lagi dan membenturkan kepalanya seperti orang kesetanan. Ia mengguncang-guncangkan kepalanya, beberapa kali sampai akhirnya ia roboh mencium tanah yang pekat. Ia tak percaya, masih sepi.
Ia merasakan nyeri yang sangat di tengkorak kepalanya. Mulutnya menggumam sesuatu yang tak terdengar, seperti keluhan kekecewaan yang tak terukur dalamnya. Matanya terpicing seperti menantikan sesuatu. Tidak. Pangeran tampan yang ditunggunya tak juga datang. Ia berusaha memejamkan mata, tapi matanya becek oleh sesuatu yang merah, pekat. Sekilas ia melihat lesatan cahaya. Di dengarnya derap langkah yang tergesa. Pangeran itukah? Ia mengerjapkan matanya. Sesosok srigala raksasa mengaum, menangis di hadapanya. ]*
* Madiun, September 2009-Februari 2011
– PEMENTASAN “TANGIS” TEATER GANDRIK
9 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar