Kisah Kelam tentang Bangu Taman (dimuat di Surabaya Post 30 Januari 2011)

















Cerpen Mashdar Zainal


31 Desember, Pukul 20.00

Aku menggigil saat melewati gerbang taman ini. Aku berkeliling. Dan semua masih sama persis dengan tahun lalu. Setiap malam pergantian tahun, taman ini selalu tampak lebih cantik. Di seantero taman lilin-lilin dinyalakan. Air mancur di jantung taman bergemericik bagai memilihkan iramanya sendiri.

Setiap malam pergantian tahun, taman Hyde memang selalu ramai dan akan selalu ramai. Penjual kembang api dan trompet keliling. Penjual coklat kacang dan popcorn. Perempuan-perempuan yang tengah sibuk menggelar tikar dan menyiapkan berbagai hidangan. Anak-anak kecil dengan segenggam kembang api di tangan. Sepasang kekasih yang saling berpelukan di sebuah bangku panjang dan tak henti-henti menatap langit. Dan pendar bintang yang selalu berkeriap, seperti percikan kembang api yang menyebar dan tak pernah padam.

Tak terasa satu tahun berlalu. Dari Greenwich aku menyengaja datang malam ini, untuk sebuah kejutan. Aku tahu, malam ini pasti kau akan datang. Dengan jaket woll dan syal merah di leher yang sama seperti kau kenakan tahun lalu. Aku masih ingat, setahun lalu kita duduk berpeluk di sebuah bangku panjang yang terletak paling ujung. Di bawah pohon Maple yang batangnya sangat kurus. Lihatlah, pohon itu sekarang sudah menjulang. Daunya merimbun seperti ribuan telapak tangan yang sedang melambai. Indah sekaligus misterius. Tapi sayang, bangku itu sudah ditempati orang. Dua muda-mudi yang sepertinya tengah di mabuk cinta. Tak apa, di sini masih banyak tempat bukan?



31 Desember, Pukul 21.00

Aku terus berkeliling. Udara dingin membuat kudukku meremang. Aku berjalan pelan. Menyedekapkan tangan. Mengamati sekeliling taman. Aku juga membeli dua terompet panjang, satu pak kembang api dan cokelat batang yang paling besar. Nanti puklul 00.00 kita akan menyalakan kembang api itu bersama. Meiup terompet. Dan setelah itu kita bisa duduk berhadap-hadapan sambil mengulum cokelat kacang batangan kesukaanmu. Dan aku akan menceritakan semuanya padamu. Kemana saja aku selama ini, kenapa pula aku jarang menghubungimu dan hanya menelponmu sesekali saja… Setelah lama berpisah, kupikir, komunikasi yang terlalu intim akan mengurangi manisnya sebuah pertemuan.

Aku memutar langkah menuju sudut taman. Aku ingin memastikan, apakah dua muda-mudi yang duduk di tempat yang biasa kita duduki itu sudah pergi atau belum. Kurasa mereka takkan betah duduk disitu berlama-lama. Karena tempat itu berada di paling ujung, paling sudut dan berpapasan langsung dengan Danau Serpentine yang sunyinya seperti menyimpan misteri. Tempatnya agak menyeramkan. Kukira, hanya penyendiri saja yang suka duduk di tempat itu. Tapi sungguh, tempat itu sangat istimewa bagi kita. Barangkali hanya kita yang tahu keistimewaannya.

Ah, dua mudi-mudi itu merebut bangku kenangan kita.



31 Desember, Pukul 22.00

Malam bertamba malam. Tapi kenapa kau belum datang. Aku yakin malam ini kau datang. Aku masih ingat, tahun lalu, di taman ini kau mengatakan, hanya orang-orang bodoh yang melewatkan malam pergantian tahun di taman Hyde begitu saja. Katamu, perayaan akhir tahun (barangkali maksudmu awal tahun) adalah masih serangkaian dengan perayaan natal.

“Kau dapat dari mana teori semacam itu?” aku menyelamu.

“Setiap orang, ketika mengucapkan Happy Cristmast selalu diakhiri dengan ucapan Happy New Years, ya, kan?”

Aku manggut-manggut.

“Menurutmu, apa hubunganya Natal dan Tahun baru? Kupikir, itu hanya kebetulan saja. Waktunya hampir bersamaan.”

“Oh, kau salah. Sebentar, sebentar… apa kau percaya bahwa sinterklas itu ada.”

“Sewaktu kecil aku percaya.”

“Sekarang?”

“Sekarang aku bukan anak kecil lagi.”

“Meski bukan anak kecil, aku tetap percaya kalau Sinterklas itu ada.”

“Buktinya?”

“Perayaan akhir tahun ini. Setiap akhir tahun.”

“Apa hubunganya?”

“Ini kado susulan dari Sinterklas. Untuk semua orang yang belum mendapatkan hadiah darinya. Kau senang, kan, dengan kado ini.”

“Berarti sinterklas tidak adil, dong!?”p

“Apanya yang tidak adil?”

“Mereka yang sudah dapat hadiah juga merayakan perayaan akhir tahun. Berarti hadiah mereka dobel dong!”

“Tidak masalah, kan?”

Aku memilih diam. Menghentikan perdebatan kita. Aku tahu, jika ini kita lanjutkan, takkan ada habisnya.

“Kenapa kau diam?” kau balas bertanya.

“Oh, tidak apa-apa. Barangkali kau benar.”

Aku kembali mendekapmu. Kuacungkan telunjukku ke langit. Di sana, satu dua kembang api mulai dinyalakan.

Suara letusan kembang api membuatku terantuk dari lamunan. Waktu terus berjalan. Baru kusadari kau tak ada di sampingku. Kau belum datang. Tidak apa, masih ada waktu satu jam lebih. Pasti kau datang. Bukankah hanya orang bodoh saja yang melewatkan perayaan malam pergantian tahun di taman ini. Dan aku sangat tahu, kau bukan tipe orang semacam itu.





31 Desember, Pukul 23.00

Kutengok alrojiku sudah menunjukkan pukul 23.00 . Aku mulai gelisah. Aku berjalan mengelilingi taman. Seperti orang hilang (atau kehilangan?). Beberapa kali aku melirik bangku itu. Dua mudi-mudi itu masih di sana. Ah, jangan-jangan kau sudah datang, dan karena bangku itu telah ditempati orang, lalu kau pergi mencari tempat lain, bangku lain. Ya, aku yakin sekali, pasti kau sudah datang, sudah ada di taman ini. Tapi di mana?

Orang di taman ini jumlahnya ada ratusan, bahkan ribuan. Satu-satunya tempat yang bisa mempertemukan kita adalah bangku itu. Tapi bangku itu telah di tempati orang. Ini tempat umum, rasanya tidak lucu jika aku mengusir muda-mudi itu hanya karena bangku yang mereka tempati adalah bangku yang biasanya kita tempati. Ini hampir pukul 00.00. Apakah aku harus menghubungimu? Baiklah, tak ada salahnya aku memastikan apakah kau sudah berada di taman ini atau belum. Sebaris pesan pendek akhirnya kukirimkan.

“Apa kabarmu malam ini, Sayang? Sekarang kau di mana?”

Lima menit, sepuluh menit, belum ada balasan. Kutelpon, tak kau angkat. Aku mulai khawatir. Apa kau sedang sakit? Jam sudah menunjukan pukul 23.30. Aku menelpon ke HP ibumu. Kata ibumu kau berangkat ke taman sejak sore tadi. Kutanyakan, kau berangkat dengan siapa. Kata ibumu, kau berangkat seorang diri.

“Dia bilang, dia menunggu seseorang yang akan datang dari Greenwich, di sana.” Kata ibumu lagi. Aku yakin, orang yang kau maksud adalah aku.

Segera kututup teleponku setelah mengucapkan terima kasih. Aku kembali mengelilingi taman selebar puluhan hektar itu. Beberapa menit lagi, hari akan berganti nama baru. Bulan akan kembali ke satu. Tahun akan berganti dengan tahun yang baru. Dan kita harus merayakannya bersama. Seperti tahuntahun sebelumnya.

Aku terus mengayunkan kaki. Memperhatikan gadis-gadis yang duduk seorang diri. Gadis-gadis yang berjalan seorang diri. Dan aku tak menemukanmu. Menit berjalan semakin cepat. Detik-detik pergantian tahun sudah di depan mata. Kulihat orang-orang di sekelilingku sudah bersiap-siap meniup terompet dan menyalakan kembang api. Aku masih sibuk mencarimu. Dan aku hampir putus asa. Maka kuputuskan untuk kembali ke bangku paling ujung, bangku yang biasa kita tempati. Barangkali muda-mudi pengacau itu sudah pergi. Dan kau sudah duduk di sana seorang diri, menungguku.



1 Januari, Pukul 00.00

Tepat lima menit sebelum pukul 00.00, aku sudah sampai di sudut taman, beberapa meter dari bangku itu. Dua mudi-mudi itu masih di sana. Mereka melepaskan pelukannya satu sama lain, lalu berdiri dengan terompet yang masih di apit di ketiak masing-masing. Mereka berdiri berhadap-hadapan. Yang laki-laki memegang beberapa kembang api yang siap dilesatkan. Yang perempuan, mulai menyalakan api dari korek api kecil. Hari, bulan, dan tahun akan segera berganti dalam hitungan detik. Aku masih tersengal-sengal. Lumat dalam kekecewaan yang menyergap begitu saja.

Sepuluh...

Sembilan....

Delapan...

Tujuh...

Enam...

Lima...

Empat...

Tiga...

Dua... dan

Jentik api mulai menyala dari korek api kecil itu, menyulut kembang api yang mulai memercikkan api-api kecil. Beberapa saat sebelum kembang api itu melesat ke langit. Tampak jelas wajah gadis itu oleh cahaya kembang api. Gadis itu sangat cantik. Tawanya, picing matanya, garit lesung pipinya, benar-benar mirip denganmu. Tentu saja, karena gadis itu bukan orang lain. Gadis itu kau. Benar benar kau.

Aneka rupa kembang api mulai memenuhi langit. Taman Hyde terasa riuh. Suara terompet, letusan kembang api, orang-orang berteriak. Semua melebur. Bersatu untuk mempecundangiku. Kembang api, terompet, cokelat, satu-persatu luruh dari genggamanku. Aku masih berdiri di tempatku. Membeku. Kaku. ***<



*Madiun, akhir Desember 2010

2 komentar:

Petualang dari Barat mengatakan...

ceritanya bagus... keren.
bisa gak jelaskan buat saya konflik dan inti dari ide cerita ini seperti apa???
alnya saya baru blajar menulis... trima kasih

Petualang dari Barat mengatakan...

menurut saya ceritanya keren...
saya baru belajar menulis, bisa jelaskan konflik dan amanat atau ide dari cerpen ini tidak??