HUJAN turun deras sekali. Namun, seperti apa pun cuacanya, kau selalu datang tepat waktu. Kini, kubayangkan, kau sedang duduk gelisah di kafe itu, seorang diri. Menatap layar HP yang sinyalnya nyala-mati, sambil menyeruput jus alpokat susu kesukaanmu. Dan kini, mungkin jus alpokatmu sudah tandas. Sudah satu jam lebih dari waktu yang kita sepakati. Dan aku masih meringkuk di kamarku. Sudah tiga kali kau menelepon, tapi selalu putus. Sinyalnya pasti sedang buruk oleh cuaca.
Dari balik jendela kamarku, aku hanya membeku, menatap ruahan air langit yang seperti ditumpahkan dari bejana raksasa. Jalan-jalan tertutup genangan. Rumput-rumput terendam. Daun-daun kering mengambang terbawa arus. Bunga-bunga di halaman, dahannya bergoyang-goyang, seolah tak kuasa menahan tikaman air yang begitu runcing. Jendela kaca di mukaku sedikit buram, berembun. Beberapa kali aku menyekanya. Dan wajahmu yang gelisah seperti terbayang di sana.
Karena itu harus kukatakan: maaf, petang ini aku tak bisa menepati janji—untuk bertemu denganmu. Aku yakin kau maklum. Di sini, hujan turun deras sekali. Aku tak mungkin menerobosnya. Demamku baru enyah beberapa hari lalu. Tak mungkin aku mengundangnya lagi. Tubuhku masih terlalu rapuh untuk melawan dingin. Jadi maaf, aku tak bisa memetik seikat pertemuan yang telah kujanjikan untukmu. Sekali lagi, maaf.
***
KAFE sepi. Beberapa meja paling tepi tampak basah oleh embun hujan. Aku duduk menggigil di meja paling tengah. Ada empat kursi, dua kosong, satu kuisi dengan tas dan kado yang ingin kuberikan untukmu. Tapi kau belum datang. Apa pun cuacanya, kau memang jarang tepat waktu. Tapi itu yang aku suka darimu. Kau selalu membuatku gelisah, gelisah yang sangat mengasyikkan. Karena meskipun kau terlambat, kau tak pernah lupa pada janji.
Hujan terus mericis. Satu gelas jus alpokat susu tanpa es sudah karam di lambungku. Dua potong pisang keju, tinggal separuh. Aku memang sedikit gelisah. Gelisah yang mengasyikkan. Sudah satu jam lebih aku menunggumu. Dan kau belum muncul.
Di sini, hujan turun deras sekali. Barangkali di tempatmu juga. Mungkin sebab itu kau tak bisa (atau belum) datang. Beberapa kali kukirim sms, tapi tidak terkirim. Kutelpon juga putus-putus terus. Hujan begini sinyalnya pasti buruk. Tapi tak apa. Aku akan menunggumu hingga hujan reda. Pun jika hari ini kau tak bisa datang juga tidak apa-apa. Beberapa hari lalu kau baru diizinkan pulang dari rumah sakit. Dan tentu fisikmu belum pulih sempurna. Salahku juga, memintamu bertemu pada musim hujan begini. Ini benar-benar bukan masalah. Tak apa. Aku hanya merindukanmu. Sudah sekitar tiga minggu kita tidak bertemu. Dan tenggang waktu itu cukup membuatku berdebar-debar menahan rindu. Apa kau juga merasakan?
***
MEMANG (rasanya) cukup lama kita tidak bertemu. Terakhir kali kita bertatap muka ialah saat aku terbaring di rumah sakit tiga minggu lalu. Selepas menjengukku dengan separcel buah, kita sempat ngobrol-ngobrol sebentar, setelah saling terdiam agak lama.
“Sudah berapa hari kau opname?” tanyamu lembut.
“Tiga hari.”
“Kata dokter, apa sakitmu?”
“Katanya gejala tipus.”
“Itulah. Pasti makanmu sembarangan dan tidak teratur. Sudah kubilang, jaga kesehatan. Jaga makan.”
Aku hanya terdiam mendengar petuahmu yang lebih terdengar sebagai petuah ibu-ibu.
“Maaf, aku tak bisa berlama-lama. Aku harus kembali ke kantor. Kalau keadaanmu membaik. Tolong SMS aku.”
Aku tersenyum dan berterima kasih, sebelum kau pergi dan mengusap tanganku.
Entahlah! Hubungan kita memang aneh. Barangkali itu karena perbedaan usia di antara kita. Kau perempuan, dan kau tujuh tahun lebih tua dariku. Dan mungkin karena itu pula, terkadang aku merasa, bahwa hubungan kita bukan seperti hubungan sepasang kekasih, melainkan hubungan antara ibu dan anak.
Dalam dirimu selalu terselip jiwa-jiwa keibuan: selalu perhatian, ingin melindungi, mengalah. Dan aku sebaliknya: ceroboh, sesuka hati, manja, dan sifat-sifat kekakanak-kanakan lain. Kau selalu pandai bersikap dewasa, sehingga aku merasa nyaman untuk terus bersikap kekanak-kanakan. Tapi masalahnya, aku seorang lelaki dan kau seorang perempuan. Terasa janggal jika seorang lelaki merengek di bahu kekasihnya, berceloteh manja, meminta ini-itu. Tapi ini sudah seperti diatur. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain satu: mencintaimu dengan caraku—yang mungkin membuatmu nyaman.
***
HUJAN belum juga reda. Dari gelapnya, sepertinya langit telah menyiapkan debit air yang cukup banyak untuk memenggal pertemuan kita. Ini benar-benar seperti tangisan gadis patah hati, terus merinai, tak usai-usai. Suasana beginilah yang acap membuatku melamunkanmu. Melamunkan hubungan kita yang terus mengalir, lancar, tapi bagai tak bermuara.
Kata cinta telah tunai kau ucapkan, namun, tampaknya tanganmu masih gemetar untuk memasangkan selingkar cincin di jariku. Kau masih tampak kanak-kanak untuk melantunkan ikrar sakral itu. Sedangkan usiaku terus merangkak bagai sesosok hantu yang terus menerorkan ancaman.
Hubungan kita pun masih rahasia. Setahu orang tuamu, aku hanya seorang kakak bagimu. Kakak perempuan yang penuh perhatian. Tak lebih. Jadi mereka tak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang kita. Entahlah, bagaimana cerita ini nanti akan berakhir. Seolah-olah, sebuah alamat buruk jika seorang perawan tua jatuh hati pada pemuda kencur. Ah, tidak juga. Sebenarnya kau pun bisa bersikap dewasa. Kau sudah hampir 25. Banyak juga pemuda seusiamu yang sudah menimang momongan. Dan mereka baik-baik saja. Barangkali masalahnya, hanya, aku jauh lebih tua.
***
HUJAN masih berdebaman. Apa kau masih di sana? Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah padamu. Aku tahu, selama ini, diam-diam kau tersiksa. Selalu kau yang mengalah. Selalu kau yang berkata iya. Lambat laun kusadari juga. Ini tidak sepantasnya. Umurku sudah hampir 25. Aku sudah—sangat—bukan anak-anak. Aku tertawa sendiri menahan malu mengingat sikapku selama ini padamu. Dan satu hal lagi. Hal yang sebenarnya juga mengganggu pikiranku. Ya, tentang muara hubungan kita.
Kau tak akan mungkin bertanya, “Kapan kita menikah?” atau “Kapan kau nikahi aku?” Tapi aku benar-benar tahu, selama ini kau menunggu. Menunggu kata manis itu menyembul dari bibirku. Aku benar-benar tahu itu. Dan lagi-lagi, apa boleh buat, aku pun tak bisa membayangkan bagaimana reaksi bapak-ibuku jika aku berkabar pada mereka, “Pak, Bu, aku ingin menikah.”
Meski usiaku sudah mendekati 25, tapi aku masih pemuda yang belum layak untuk disebut dewasa. Pemuda yang belum bisa memakai kakinya sendiri untuk berdiri, pemuda yang masih “meminta gendhong” orang tua. Semua kebutuhanku mulai dari biaya kuliah, kebutuhan sehari-hari, makan, hiburan… semua masih murni, dari orang tua. Tak sedikit pun ada pautnya dengan keringatku. Maka bagaimana mungkin aku mengucapkan ikrar itu padamu. Begini-begini, aku juga tahu apa kewajiban suami terhadap istri. Karena itulah alasan mengapa aku menunda. Sekali lagi maaf.
***
LAMBAT laun, hujan ini terasa seperti tangisan. Ngilu dan panjang. Apa mungkin kau akan datang, sedangkan hujan sederas ini? Ah, kau. Selalu aku bertanya begini: bagaimana bisa aku jatuh hati padamu? Jujur, terkadang aku merasa sangat bersalah padamu. Aku bagai belati yang sesuka hati memenggal masa mudamu. Kau lelaki, masih muda. Belum habis waktumu menikmati kebebasan sebagai seorang lelaki, pemuda. Tapi tiba-tiba aku menuntutmu untuk turut memperhitungkan kebahagiaanku. Meski tidak secara langsung, aku tahu, itu mengganggu pikiranmu.
Apa boleh buat. Ini masalah perasaan. Apa iya, aku harus melepasmu. Sedangkan hatiku sudah benar-benar matang dalam genggamanmu. Tak apa, sungguh tak apa. Kenapa pula aku harus takut pada usia. Kau menikahiku pada usiamu yang ke tiga puluh pun aku tak apa-apa. Aku terima, asal kau sanggup mempertahankanku. Bagaimana pun aku perempuan—meski kini usiaku lebih matang. Jadi, aku juga punya perasaan ingin dilindungi, didekap, dimanja, seperti layaknya perempuan. Dan rasanya, hanya kau seorang dari sekian banyak lelaki, yang mampu memberikan itu, meski mungkin dalam bentuk berbeda.
***
HUJAN ini seolah tak akan berhenti. Entah sampai kapan. Barangkali, sericis inilah perasaanku padamu, hanya saja, aku tak pandai melukiskannya. Apa pun yang akan terjadi, sepertinya perasaan yang kupikul ini takkan mungkin goyah. Jadi mana mungkin aku melepaskanmu hanya karena masalah usia. Dalam kamus percintaan, tak pernah mencantumkan usia sebagai syaratnya. Jadi semua sah-sah saja. Jikalau pun kau benar-benar memaksaku untuk menikahimu sekarang juga, aku akan melakukannya. Tapi aku senang, kau tidak menuntut itu. Kau memang perempuan paling pengertian setelah ibuku. Tapi apa imbalku?
Selama perjalanan kita, rasanya semua berjalan lancar. Kita tak pernah ada masalah dengan keputusan. Setiap kali aku memutuskan sesuatu kau selalu berkata iya, entah bagaimana hatimu, apa berkata iya juga, aku tak tahu. Lagi-lagi, itu sebuah bukti nyata bahwa aku belum pantas untuk disebut sebagai lelaki. Mengapa begitu? Tentu saja. Lelaki yang selalu ingin menang sendiri dan segala arahnya dituruti, ia bukan lelaki. Karena ia lemah. Dan yang kurasakan selama ini, itulah aku. Karena itu, sesungguhnya aku perlu sesuatu yang baru untuk menyegarkan hubungan kita yang selama ini baik-baik saja (sebenarnya lebih layak untuk disebut datar-datar saja). Bagaimana jika tiba-tiba aku memberikan kejutan untukmu?
***
HUJAN ini sebuah kejutan bagi kemarau panjang. Hei, aku berpikir tentang kejutan. Selama ini, kau tak pernah menciptakan sebuah kejutan pun untukku. Kado ulang tahun? Itu bukan kejutan yang kumaksud. Entahlah, tiba-tiba aku membayangkan jika dirimu menjadi lelaki yang lebih dewasa, lelaki yang sebenar-benarnya lelaki. Meski selama ini aku cukup nyaman dengan perangaimu yang kekanak-kanakan itu, tapi jujur, sebenarnya, sesekali, aku juga ingin merengek padamu. Bersandar di bahumu dan merajuk ini-itu. Seperti yang kukatakkan, aku masih seperti kebanyakan perempuan, yang sebenarnya lebih suka dicumbu-manja, daripada memanjakan.
Kau tahu, kenapa selama ini aku selalu menjadi ekormu? Karena aku tak mau kehilanganmu. Usiamu adalah usia labil, dan aku harus mengimbangi itu, meski diam-diam terkadang aku harus berkorban perasaan. Karena itu, sekali lagi, jujur, aku benar-benar tak mau kehilanganmu. Apa kau juga begitu?
***
SEDERAS apa pun, nanti, hujan ini pasti akan berhenti. Meski seolah tak bisa berhenti. Bicara soal henti-berhenti, aku yakin, aku pun bisa berhenti dari citra lelaki cemeng, yang selama ini kubangun sendiri. Ya, kenapa tidak? Aku lelaki murni, yang seharusnya memiliki sikap-sikap sebagai lelaki murni: tegas, melindungi, perhatian, mengalah… dan sifat-sifat lelaki lain. Benarkah, hanya karena berhadapan dengan perempuan dewasa lantas aku menjelma menjadi anak-anak? Tidak. Akan kubuktikan itu padamu.
Ahai, hujan deras begini membuat darah lelakiku mengalir lancar. Hujan deras ini menjadikan pikiran-pikiran yang selama ini tersumbat menjadi plong, menjadi lebih jernih. Baik, baik, setelah hujan yang deras ini. Aku harus menemuimu dalam keadaan yang sudah berbeda. Tunggu, tunggu, mengapa harus menunggu hujan berhenti?
“Ah, ini hanya hujan!” gumamku, seperti baru tersadar dari sebuah percakapan. Aku berdiri, mengambil jaket kulit yang tergantung di belakang pintu. Semoga kau masih menungguku di sana.
***
LANGIT sudah gelap dan hujan masih mendendam. Menambah langit semakin gelap. Aku menjadi bingung, sebenarnya aku menunggumu datang atau menunggu hujan berhenti. Rasanya tak mungkin kau datang. Jadi? Aku menunggu hujan berhenti? Aih, ini hanya hujan. Mengapa aku tidak pulang saja. Ya, sebaiknya aku pulang saja. Tapi, bagaimana kalau nanti kau datang. Karena, selama ini kau tak pernah melupakan janji, seberapa pun kau terlambat, kau selalu datang. Aduh, kenapa aku jadi gamang begini?
Di sini, hujan turun deras sekali. Kau pun baru pulih dari perawatan. Jadi tak mungkin kau datang. Aku pun tak mengizinkanmu datang kalau tahu hujan begini. Ya, ya, sebaiknya aku pulang saja.
“Huft…!” aku berdiri, menghela napas panjang, seperti baru saja usai dari perbincangan panjang. Aku bergegas menuju kasir. Membayar bon.
“Hujannya masih deras lho, Mbak. Nggak nunggu reda dulu.” Perempuan yang berdiri di depan mesin kasir mengingatkanku. Aku hanya tersenyum, lalu melenggang.
***
HUJAN sedikit lebih jinak. Kukenakan jas hujan ala kadarnya, aku jalan berjingkat menuju teras rumah supaya tidak ketahuan ibu. Dengan degup memburu aku mulai melajukan sepeda motorku. Hujan ini tak seburuk yang kukira, meski hawa dingin mulai menjalar ke kuduk dan pori-pori. Sepanjang jalan aku terus berdoa, semoga kau masih di sana.
Hujan kembali menjadi gerimis ketika aku sampai di depan kafe itu. Bahkan nyaris reda. Namun, kini, detak jantungku yang menderas. Aku menggigil. Gemetar. Apa karena dingin? Bukan. Tapi lihatlah, kafe tampak sepi. Sepi sekali. Tak seorang pun tampak di sana kecuali para pelayan—dengan seragamnya—yang sibuk mengelap meja. Aku lumat dalam sekelumit kekecewaan. Apa kau sudah pulang?
“Aku tahu kau akan datang. Jadi, aku masih menunggumu di sini.” Tiba-tiba suaramu mendekam di telingaku.
Kau sudah berdiri di belakangku. Tersenyum. Kau benar-benar seperti sebuah kejutan. Aku tak bisa berkata lagi. Aku hanya ingin melafaskan sepatah maaf. Tapi bress, tiba-tiba hujan kembali mendendam. Kita berlarian. Kembali ke kafe itu. Kita duduk dan sama-sama terdiam. Agak lama. Seperti tengah sibuk, memilah kata-kata yang ingin kita ucapkan.
“Di sini, hujan turun deras sekali…,” celetuk kita hampir bersamaan. Kita saling tatap sebelum akhirnya tertawa panjang. (*)
Malang, 23 Oktober 2010
– PEMENTASAN “TANGIS” TEATER GANDRIK
9 tahun yang lalu