L A R O N (dimuat di KOMPAS 6 Maret 2011)

Sedari pagi hujan terus mericis. Hingga menjelang magrib baru liris, menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika langit mulai gelap, dan lampu-lampu rumah dinyalakan, hujan sudah sempurna reda. Satu dua laron mulai muncul dan berputar-putar mengitari lampu di teras rumah. Semakin lama semakin banyak. Bahkan, beberapa sudah mulai menghambur ke dalam rumah, melewati ventilasi dan celah-celah pintu jendela.

Tanpa sepengetahuan bapak, aku membuka pintu depan, sedikit, supaya laron-laron itu bisa masuk ke dalam rumah, dan bisa kuajak bermain dan berbincang-bincang. Tak kurang dari satu menit, laron-laron itu sudah memenuhi ruang tamu, dapur, dan kamar-kamar. Berputar-putar berebut cahaya. Sayap-sayap kecil mereka bertebaran di mana-mana bagai potongan-potongan kertas yang sengaja disemburatkan di pesta ulang tahun atau perayaan-perayaan.

Aku berteriak girang sambil meniupi sayap-sayap laron yang luruh ke lantai. Indah sekali. Aku membayangkan saat itu sedang hujan sayap, sayap peri. Tapi, tiba-tiba bapak muncul dari kamarnya dan berteriak-teriak. Aku mengkerut.

”Dasar bocah gak punya otak, pintunya kok malah dibuka. Laronnya masuk semua, Goblok!” teriak bapak sambil menutup pintu depan yang tadi kubuka sedikit. Ia menutupnya dengan setengah membanting.

”Sayapnya itu sulit disapu. Kamu mau nyapu?” kata bapak lagi sambil mendorong kepalaku dengan kasar.

Dengan sangat cepat, bapak mematikan semua lampu di dalam rumah. Seketika itu semua gelap. Dan aku berteriak ketakutan, memanggil-manggil ibu.

”Ada apa tho ini?” terdengar suara ibu, dan klik, ibu kembali menyalakan lampu.

Dari dalam kamar, bapak berteriak lagi, ”Jangan dinyalakan lampunya! Laronnya biar keluar dulu!”

Ibu tidak menyahut. Ibu segera menggandengku dan membawaku masuk ke dalam kamar. Dari dalam kamarku, aku mendengar bapak mengumpat lagi.

”Kampreeet!! Dibilangin suruh matikan kok….” Dan klik, ruang depan kembali gelap. Hanya lampu kamarku yang menyala. Ibu menutup pintu kamarku rapat-rapat.

”Ditutup, ya, biar laronnya gak masuk,” kata ibu lembut. Aku mengangguk karena di kamarku sudah ada beberapa laron yang beterbangan mengitari lampu, sebagian hinggap di gorden jendela, dan beberapa—yang sayapnya tinggal dua—berpusing-pusing di lantai. Aku tertawa geli melihatnya. Tapi, mendadak aku jadi ingat ketika bapak memusing-musingkan kepalaku dan mengguyuriku dengan air, beberapa waktu lalu, ketika aku asyik bermain keran dan kemudian mematahkannya. Maka, kembali aku bertanya dengan bahasa mata kepada ibu.

”Mengapa bapak suka memarahiku, Bu?”

Ibu tersenyum, diusapnya liur yang hampir menetes dari bibirku yang lebar. Ibu mentapku, ”Bapak tidak marah padamu, bapak cuma tak suka kalau rumah kita ini kotor. Sayap-sayap laron itu bikin kotor. Susah disapu.”

Aku mencerna perkataan ibu, dan memanyunkan bibir sebagai pemakluman. Namun, pemakluman itu masih terasa belum tunai, mengingat perlakuan bapak selama ini padaku. Hati kecilku selalu mengatakan bahwa bapak memang tak pernah suka padaku. Lamat-lamat aku teringat pada sebuah malam, di mana bapak dan ibu bertengkar gara-gara aku tidak menghabiskan makan malam. Malam itu bapak sendiri yang mengambilkan porsiku karena waktu itu ibu belum pulang dari pengajian. Bapak mengambilkan porsiku dua kali lebih banyak dari biasanya—yang diambilkan ibu. Malam itu, bapak terus mengawasiku. Padahal sudah hampir setengah jam aku mendiamkan makananku.

”Habiskan nasinya!” gertakan bapak saat itu membuatku gemetar. Saat itu aku menyesalkan ibu yang tidak pulang-pulang.

”Sekarang beras mahal!” Bapak terus memelototiku sambil sesekali menggebrak meja. Maka, dengan sangat terpaksa nasi itu kumasukkan ke dalam mulutku. Beberapa kali aku ber-”hoek”, hendak muntah.

Bapak semakin geram. Ia mendekatiku dan menjejalkan nasi itu ke mulutku hingga berceceran di lantai. Aku menangis tanpa suara. Saat itulah tiba-tiba ibu datang dan menampik tangan bapak.

”Apa-apaan ini, Pak!?”

Ibu membersihkan nasi yang tumpah di bajuku dan segera membawaku masuk ke dalam kamar. Di luar kudengar bapak berteriak-teriak, ganti memarahi ibu. Agak lirih suara ibu, menuntaskan pembelaan. Namun suara bapak semakin menggelegar, ia mengeluarkan sumpah serapah yang tak kupahami artinya.

”Sudah kubilang, dari dulu, bocah cacat itu dititipkan ke panti asuhan saja. Biar tidak merepotkan kita.” Suara bapak terdengar jelas dari kamarku, disusul suara ibu yang terdengar seperti menangis.

”Gusti Allah menitipkan dia buat kita, Pak! Dia anak kita! Satu-satunya!”

Selanjutnya kudengar bapak meneriakkan namaku dengan sebutan bocah idiot, autis, bisu, gagu, dan seterusnya… yang direnteti ungkapan penyesalan seperti dendam.

Beberapa kali terdengar suara ibu menyela dan meninggi, meminta bapak beristigfar. Kudengar juga ibu mengumpat bapak dengan sebutan ”seperti orang tak tahu agama”. Maka terdengar suara plak, kulit beradu kulit, dan setelah itu sepi.

***

Ibu mengusap rambutku ke belakang. Kemudian ibu bercerita panjang tentang bapak. Kata ibu, sebenarnya bapak sangat sayang padaku. Hanya saja, bapak tak suka bila aku berbuat nakal.

”Maka dari itu, kamu tak boleh nakal lagi, yang nurut sama bapak,” kata ibu kemudian.

Aku jadi sangsi pada perkataan ibu, bukankah selama ini aku selalu menuruti perkataan bapak. Bahkan, ketika bapak memintaku mengambil makanan yang telah kubuang di tempat sampah dan memakannya kembali, aku menurutinya. Tentu waktu itu ibu tidak tahu.

”Janji, ya!” kata ibu lagi. Aku mengangguk saja hingga ibu mengecup keningku dan beringsut meninggalkan kamarku.

Di dalam kamar, aku sudah tidak lagi memikirkan perkataan ibu ataupun perangai bapak padaku. Yang kupikirkan adalah laron-laron itu. Sebenarnya aku berniat membuka jendela kamarku supaya laron-laron di luar bisa turut masuk ke kamarku. Tapi hal itu kuurungkan. Aku takut, kalau membuka jendela kamar termasuk perbuatan nakal yang tidak disukai bapak. Maka aku bermain dengan laron-laron yang ada di kamarku saja. Sebagian besar dari mereka sudah gundul, tanpa sayap. Mereka berjalan beriringan di sudut-sudut lantai. Yang berputar-putar seperti gasing juga masih ada.

Aku mendekati laron-laron itu dan mengajaknya bermain. Tapi, ketika jari telunjukku menyentuh laron-laron itu, mendadak laron-laron itu berhenti bergerak. Kemudian, laron-laron itu mengeluarkan suara.

”Kami sudah gundul, pesta kami sudah usai. Ternyata pesta kami sangat singkat,” katanya.

”Sekarang kalian mau ke mana?” tanyaku.

”Menemui ajal,” jawab mereka.

”Jika kami tahu, pesta kami sangat singkat, dan sayap-sayap kami sangat rapuh, kami akan memilih untuk tetap menjadi rayap,” kata laron yang lainnya.

”Mengapa?” tanyaku lagi.

”Kami tak pernah merasa cukup menjadi rayap tanah, kami ingin punya sayap dan terbang bebas menikmati cahaya. Dan inilah yang terjadi….”

”Apa yang terjadi?”

”Kamu lihat sendiri. Kami hanya berputar-putar menunggu mati. Hidup kami akan berakhir di perut katak atau cicak. Kalau lebih buruk lagi, kami akan mati terinjak-injak manusia, tak bersisa, dan tak pernah berarti apa-apa. Semoga kamu tidak menjadi seperti kami.”

”Menjadi laron?”

”Bukan!”

”Menjadi apa?”

”Menjadi makhluk yang tidak pernah puas menerima pemberian Tuhan, anugerah Tuhan.”

Tiba-tiba aku teringat bapak.

”Sudah! Biarkan kami pergi,” kata laron itu lagi.

”Pergi ke mana?”

”Maut. Kami harus menemui takdir kami.”

”Kalau begitu kalian kupelihara saja.”

”Jangan! Kami sangat bau. Nanti kamu dimarahi bapakmu lagi.”

”Kalian kusembunyikan saja di kamarku.”

***

Diam-diam, aku membuka pintu kamar. Berjingkat ke dapur, mengambil rantang plastik di rak piring. Jika bapak atau ibu memergokiku, aku akan bilang kebelet pipis. Tapi bapak ataupun ibu tak memergokiku. Aku berhasil kembali ke kamarku dengan selamat. Kukunci pintu kamarku rapat-rapat. Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, seperti orang lupa. Saat laron-laron dari luar berhamburan ke dalam kamarku, sama sekali aku lupa soal bapak. Yang kutahu hanya bahwa detik itu—saat laron-laron beterbangan menuju kamarku—adalah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Kubayangkan kamarku penuh oleh peri-peri kecil yang berkerik lirih dan merdu.

***

Aku senang sekali, malam itu, bapak ataupun ibu tidak kembali ke kamarku. Pasti mereka mengira aku sudah tidur. Padahal, malam itu aku begadang sampai larut malam. Memunguti laron-laron itu dan memasukannya ke dalam rantang plastik. Sayap-sayap yang berceceran di lantai kubersihkan dengan kertas basah yang kulumuri ludah. Kutempelkan kertas basah itu perlahan ke sayap-sayap yang berceceran. Ternyata mudah sekali membersihkan sayap laron. Setelah kamarku bersih. Aku membuang kertas-kertas basah yang penuh sayap itu keluar jendela. Kututup kembali jendela kamarku pelan-pelan. Kututup pula rantang plastik yang penuh laron itu dengan sebuah buku tulis tebal sebelum akhirnya kudorong ke bawah ranjang dan kutinggal tidur.

***

Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkanku. ”Kenapa pintunya kok dikunci?” tanya ibu. Aku menatap ibu sambil mengibaskan tangan. Ibu paham yang kumaksudkan supaya laronnya tidak masuk. Hatiku agak tidak enak membohongi ibu. Tapi aku juga kasihan pada laron-laron itu. Ibu menyuruhku segera mandi. Detik itu aku berdoa semoga ibu tidak menggeledah kamarku. Apalagi bapak. Tapi doaku muspra, tak terwujud. Karena tiba-tiba bapak datang dan mengendus bau kamarku.

”Kamar ini kok bau laron busuk, ya?” tukasnya. Hidungnya mengendus seperti tikus.

Hatiku sudah tidak enak. Ibu mengingatkanku kembali untuk lekas-lekas mandi. Aku berjalan ke kamar mandi dengan hati cemas. Aku pun mandi ala kadarnya. Kalau tidak dimandikan ibu, aku memang tak pernah mau mandi memakai sabun. Apalagi gosok gigi. Dan tampaknya, pagi itu ibu masih sibuk membersihkan sayap laron di dapur, kamarnya, dan ruang tamu. Selepas mandi, aku buru-buru ke kamar. Kutengok kolong ranjangku, dan rantang plastik berisi laron yang kututupi dengan buku tulis sudah raib, tak ada di sana. Aku tersentak dan hampir terpeleset ketika tiba-tiba bapak menyeret telingaku dan membawaku ke muka ibu.

”Lihat ini!” bapak melemparkan rantang plastik berisi laron itu ke depan ibu. Laron-laron itu tumpah dan merayap ke mana-mana. Secepat kilat ibu merapikannya dan membawanya ke dapur. Bapak menyusul ibu ke dapur.

”Semalam dia tak tidur; kau lihat pula sana, di bawah jendela kamarnya!” kata bapak lagi. Telingaku terasa nyeri, tapi tangan bapak masih utuh di sana.

”Kau membohongi ibu?” tutur ibu berkabut.

Aku mulai menangis. Air mataku mulai meleleh. Tapi tak seulas suara pun keluar dari mulutku. Ibu meninggalkanku dengan tatapan kecewa, ia berjalan menuju kamarku. Bapak masih menyeret telingaku, menyusul ibu. Di kamar ibu menengok keluar jendela dan menggelengkan kepala beberapa kali. Lantas ibu pergi begitu saja. Tapi matanya merah, seperti mau menangis. Sementara ibu pergi, bapak menghujani pipiku dengan tamparan. Dijambaknya rambutku sebelum akhirnya aku dilempar ke ranjang.

Di dalam kamar, aku sesenggukan menahan nyeri. Hingga akhirnya ibu datang dengan membawa salep dan sapu tangan. Setelah mengusap wajahku. Ibu menidurkan aku di pangkuannya.

***

Aku masih belum berani keluar kamar dan bertemu bapak, hingga akhirnya ibu menuntunku ke ruang tengah untuk makan malam. Di sana kulirik bapak dengan wajahnya yang dingin seperti batu. Ibu mengambilkan aku nasi dan sayur. Perlahan kutilik satu demi satu lauk-pauk yang terhidang di meja. Hingga mataku mendarat pada sebuah toples berisi rempeyek dengan bintik-bintik hitam. Semula, aku mengira rempeyek yang dibuat ibu adalah rempeyek kedelai hitam. Namun, mendadak bapak berkomentar.

”Rempeyek laronnya gurih sekali.”

Aku mengangkat wajah. Memerhatikan bapak yang tengah lahap mengganyang rempeyek laron. Tak henti-henti bapak mengudapnya. Habis satu, ia ambil lagi dari dalam toples hingga rempeyek dalam toples tinggal separuh. Saksama kuperhatikan mulut bapak yang terus bergerak mengunyah rempeyek laron itu. Kuperhatikan mulut itu, bibir itu, gigi itu, lidah itu. Sungguh sangat menjijikkan. Dalam penglihatanku, bapak sudah menjelma menjadi seekor katak raksasa yang mengunyah serangga sampai sayap-sayapnya.

Tanpa sadar, kulemparkan piring berisi nasi dan lauk-pauk ke arah katak raksasa yang sedang mengunyah serangga itu. Dan lemparanku tepat mengenai kepalanya. Nasi berceceran di atas meja. Piring jatuh ke lantai, berdentang serak dan pecah menjadi beberapa keping. Tiba-tiba kulihat bapak memegangi kepalanya yang berdarah-darah. Matanya mendelik ke arahku. Mata yang berkilau dan tajam, seperti hendak menikamku.***

Malang, Desember 2010

0 komentar: