Pertama kalinya, secara tak sengaja,
ketika aku hendak mencuci celana kotormu, aku menemukan sebuah koin berkerak di
saku celanamu. Untuk sebuah koin karatan
seperti itu, tentu saja aku tak perlu meminta izinmu untuk mengalihkan hak
kepemilikannya. Itu hanya koin yang mungkin hendak kau berikan pada pengemis
lalu kau lupa (atau barangkali, malah kau yang mengemis koin itu dari
seseorang?). Maka kualihkan saja tempat koin itu, dari saku celanamu ke saku
dasterku. Lumayan, buat kerokan.
Beberapa hari
berikutnya, secara tak sengaja pula, aku menemukan sebuah cincin besi yang
akhirnya kau jelaskan bahwa cincin itu kau temukan di sebuah kamar mandi di
toilet umum, di terminal, tempatmu bekerja sebagai sopir angkot. Aku heran
juga, untuk apa cincin sampah semacam itu kau pungut. Untukku, katamu. Untuk
ganti cincin kawin kita yang ludes kita jual buat kebutuhan dapur. Ah, ada-ada
saja. Siapa yang sudi memakai cincin besi hitam semacam itu. Seperti cincinnya nenek-nenek
sihir.
Pada kesempatan
berikutnya—waktu itu aku memang sengaja meraba-raba—sebelum aku merendam
celanamu dengan air sabun, dan di sana, di saku celanamu, aku temukan lagi,
kali ini selembar puisi. Awalnya, aku mengira bahwa benda itu adalah selembar uang
kertas yang terlupa, eh, ternyata selembar puisi. Puisi cinta. Di atas selembar kertas
berwarna merah muda. Aku hapal betul itu bukan tulisanmu. Seingatku tulisanmu tak
meleset jauh dari tulisan anak kelas satu SD, mencang-mencong. Sedangkan
tulisan itu sangat rapi, seperti tulisan seorang perempuan. Tiba-tiba pikiranku
melayang. Menebak-nebak sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan selembar
puisi cinta itu.
Detik itu, aku
benar-benar direbus cemburu. Seumur-umur kau tak pernah menulis puisi. Aduh,
jangan-jangan kau selingkuh. Pasti ada seorang perempuan—mungkin penumpang
angkotmu, atau siapa—yang kesengsem
padamu, mengingat senyummu masih sangat manis untuk ukuran laki-laki paruh
baya. Pasti perempuan itu duduk di jok paling depan sebelah sopir, sebelahmu.
Lalu kalian bercerita banyak hal yang menjadikan kalian semakin akrab. Lalu apa
lagi? Pasti perempuan itu memberimu sebuah puisi. Puisi itu. Kalau tak begitu,
lalu bagaimana kronologisnya sampai ada puisi romantis dalam saku celanamu?
“Kau bisa menjelaskan ini!?” Kataku ketus,
sambil melemparkan selembar puisi itu ke arahmu. Kau hanya terkekeh.
“Cemburu?” kau malah
menggoda.
Aku melengos.
Kau buru-buru
mengejarku, “Itu puisi, kutulis sendiri, kukarang sendiri. Untuk siapa lagi
kalau bukan untuk istriku tercinta.”
“Kau pikir aku tak
hapal tulisanmu?”
“Mau dicek? Itu
benar-benar tulisanku.”
Aku mulai jinak. Tapi
aku tidak percaya begitu saja, “memangnya sejak kapan kau bisa bikin puisi?”
“Bikin!!! Puisi itu
diciptakan, pake hati, bukan dibikin. Bikin!!! Kue kali.”
Aku meneruskan
cucianku. Berjibaku dengan busa dan rasa gatal di sela jemari kakiku. Kau
berdiri dan bersandar pada kusen pintu kamar mandi. Kau mengawasiku. Aku yakin
sekali. Kalau sudah berdiri di situ. Ceritamu akan berkembang biak sampai
kemana-mana.
“Begini lho…” kau mulai
menjelaskan, “tak pikir gak ada salahnya memanfaatkan waktu luang. Seharian
tadi angkotku sepi penumpang. Mungkin karena hujan. Nah, dari pada bengong aku
nulis puisi saja. Tak pikir-pikir, menikah dengankmu selama hampir empat tahun,
dan belum juga dikaruniai momongan, belum pernah aku menggombalimu dengan
puisi.”
“Apa pula kau singgung
tentang momongan. Lagian siapa yang mau makan puisi.”
“Puisi itu buat hiburan
buakan buat dimakan. Baca saja! Pasti kau suka.”
Aku diam saja.
“Baik, baik. Aku saja
yang bacakan. Simak ya!”
Aku masih tidak
menggubris. Tapi diam-diam aku mulai memperlamban kucekan cucianku ketika kau
mulai mengeluarkan suara. Sebait demi sebait kau baca puisi romantis itu. Aku
menahan tawa, menyimakmu membaca puisi. Tapi, jujur, aku menikmatinya. Aku
kembali memasang wajah tegang ketika kau menyudahi deklamasi puisimu.
“Bagaimana?” kau
bertanya dengan bangga.
“Aku masih belum
percaya puisi itu untukku!”
“Jadi, masih belum
percaya?”
Aku membisu.
“Masih cemburu?”
Aku tak menjawab.
“Tapi aku senang kalau
kamu cemburu. Itu tandanya kamu cinta, cinta mati sama aku. Ya, tho?”
Kudengar kau menghela
napas berat sebelum akhirnya ngeloyor begitu saja meninggalkanku yang masih
mendongkol. Aku melirikmu yang berjalan lunglai, lalu kau menghempaskan tubuhmu
ke sofa kumal di ruang tengah. Kau memejamkan mata. Wajahmu tampak lelah. Tiba-tiba
aku merasa sikapku padamu sangat keterlaluan.
***
Sejak peristiwa puisi
dalam saku celana itu. Aku tak pernah lagi menemukan sesuatu dalam saku
celanamu. Sebenarnya, aku ingin menanyakan hal ini padamu. Tapi rasanya aneh,
menanyakan isi saku celana. Aku takut, malah-malah nanti kau mengira aku suka
geledah-geledah saku celanamu, meski itu benar. Mungkin butuh tenggang waktu,
pikirku. Aku yakin sekali, suatu saat, pasti aku akan menemukan sesuatu dalam
saku celanamu. Mana mungkin gara-gara selembar puisi, kau jadi malas
menfungsikan saku celanamu. Ini hanya kebetulan saja. Kebetulan tak ada sesuatu
yang bisa kau simpan di saku celanamu.
***
Beberapa kali, ketika
mencuci pakaian kotormu, termasuk celana. Aku sengaja tidak menyentuh sakunya.
Walaupun terdengar aneh dan sepele, tapi ini agak sulit bagiku. Seperti menahan
kangen. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali memeriksa setiap pakaianmu
yang hendak kucuci, ataupun yang sudah kulipat rapi dalam lemari. Aku
berdebar-debar, berharap menemukan sesuatu dalam saku celanamu. Dan benar, keajaiban
itu bermula kembali di sini, di dalam saku celanamu, setelah berminggu-minggu
tak kusentuh. Keajaiban yang kumaksud adalah begini: ketika tanganku sudah
menelusup ke saku celanamu. Aku merasakan sesuatu yang begitu nyaman. Seperti
sedang berbaring dalam pelukanmu. Aku seperti terbius. Kau mendekapku sayang.
Lalu cerita-cerita seperti menghambur dari mulutmu.
Kau
tahu, bayak sekali cerita kurekam dari terminal, beberapa hari lalu aku
menjumpai sepasang suami istri yang sudah renta, yang kedua-duanya cacat. Sang
istri lumpuh, dan sang suami buta. Seperti cerita-cerita lawas yang acap kita
dengar, ya? Tentang dua orang sahabat, yang satu lumpuh dan yang satu buta.
Tapi ini lain, ini nyata, dan mereka suami istri. Kau tahu, mereka begitu
mesra. Untuk terus hidup, mereka berjibaku saling melengkapi kekurangan mereka.
Sang istri yang lumpuh sebagai mata, dan sang suami yang buta menjadi kaki.
Mereka
berjalan menyusuri totoar-trotoar, mengitari bus-bus kota yang tengah berhenti.
Sang istri nembang, dan sang suami membawa erat-erat mangkuk kecil yang di
dalamnya dialasi sobekan koran. Mereka terus berjalan dan nembang, hingga receh
mereka penuh. Setelah dirasa cukup, mereka selalu beristirahat di bawah pohon
cerry, di sudut terminal, di dekat gerobak sampah. Mereka menghitung receh satu
persatu dengan aura yang masih sama mesranya. Setelah usai menghitung hasil
kerjanya, mereka seperti bersusjud. Sang isteri mengusap peluh di kening suami,
dengan kebaya lusuhnya yang kebesaran. Sang suami tampak tersenyum. Dan, entah
mengapa, tiba-tiba aku iri pada mereka.
***
Esoknya, setelah kau
berangkat dengan angkot bututmu. Aku mulai merancang agenda. Bersih-bersih
rumah. Masak yang istimewa buatmu, dan istirahat siang sebelum kau datang.
Ketika sedang membersihkan kamar, tiba-tiba pandanganku tertuju kepada lemari
baju yang terbuka separuh. Aku melihat baju-baju dan celanamu terlipat rapi di
sana. Dan aku mulai iseng. Mengambil salah satu celanamu. Menciumnya, masih
terasa wangi semprot setrika di sana. Aku mencari-cari letak sakunya,
merogohnya, dan merasakan kenyamanan itu. Aku memejamkan mata. Aku kembali
terbius. Seperti tengah berbaring di pangkuanmu. Dan kau pun seolah kembali
bercerita.
Cerita
ini agak sadis, apa kau masih mau mendengarya? Beberapa bulan lalu, di terminal
tempatku biasa mangkal, ditemukan mayat tanpa kepala dan kaki, di kolong kursi
sebuah bus. Ya, ia dibunuh dan dimutilasi. Setelah diusut, rupanya pelaku
mutilasi itu tidak lain dan tidak bukan adalah orang terkedat korban. Kau mau
menebak? Ternyata, pelakunya adalah istinya sendiri. Konon, si suami ini memang
urakkan, suka keluyuran, main togel, jajan perempuan, dan sangat kasar terhadap isterinya.
Menurutmu,
apakah perbuatan si istri itu bisa dibenarkan? Ya, tentu tidak. Aku sendiri tak
bisa membayangkan. Mereka suami istri, lalu dimana sesuatu yang mereka sebut
cinta. Bagaimana mereka bisa menjadi suami istri, ya? Dijodohkan seperti Siti
Nurbaya? Atau sekedar nemu di warung remang-remang? Entahlah. Otakku tak sampai
ke sana.
Aku tersadar tiba-tiba.
Dan kamar masih sepi. Cuma ada aku, seorang diri. Aku masih bergidik dengan
cerita yang baru saja masuk ke kepalaku. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku sangat
merindukanmu. Aku cemas menunggumu pulang. Aku melirik jam dinding. Seperempat
jam lagi kau datang. Masih cukup waktu untuk menyiapkan makan siang.
***
Celana demi celana(mu)
telah kujelajahi. Cerita demi cerita telah masuk ke benakku seperti mimpi. Kini
tak ada lagi uang receh kesasar dalam saku celanamu, tak pula cincin berkerak,
apalagi selembar puisi. Semenjak cerita-cerita itu mengisi kepalaku, yang
kudapat dari saku celanamu hanya satu hal: rasa nyaman. Nyaman bisa melayanimu
sepenuh hati. Mencucikan pakaianmu, khususnya celana. Memasak masakan yang kau
suakai. Memijatmu selepas kerja. Dan tentu saja memenjadi pakaianmu di malam
hari. Semua terasa sangat ringan dan menyenangkan. Tapi ada satu hal yang masih
mengganjal di dadaku. Masalah momongan. Sudah jelang empat tahun berkumpul, dan
kita masih utuh. Berdua saja. Memang kau jarang menyinggunya, karena kau tahu,
itu akan menyudutkanku. Tapi tetap saja. Aku merasa tak lega. Pertalian kita
sebagai suami istri terasa belum sempurna. Setiap kali sedih itu datang,
hiburanku hanya satu, saku celanamu.
Kau
mau mendengar sebuah cerita lagi? Ini juga kisah tentang sepasang suami istri.
Kisah yang sederhana. Suami istri ini hidup sederhana, tak pernah ada yang
berlimpah dalam hidup mereka kecuali kelakar dan cinta. Sang suami pekerjaannya
cuma sopir angkot. Seperti pekerjaanku, ya? Dan sang istri, cukup bekerja di
rumah, menunggu suami. Meski mereka hidup sederhana, tetapi hidup mereka penuh
dengan kejutan-kejutan. Sang suami, selalu memberi kejutan pada istrinya. Bukan
uang atau perhiasan, tapi sesuatu yang ia taruh dengan sengaja dalam saku
celananya.
Awalnya,
ia meletakkan barang-barang antik sampai puisi dalam saku celananya. Namun,
setelah dirasainya barang-barang itu tak ada guna, ia mulai meletakkan sebuah
cerita dalam saku celananya. Kau ingin tahu, bagaimana cara si suami ini
meletakkan cerita-cerita dalam saku celananya? Melalui doa. Seperti biasa,
setelah berdoa, sang suami berucap amin lalu memsukkan telapak tangannya ke
dalam saku celana. Dari telapak tangan yang telah dibaluri ‘amin’ itu tadi
cerita-cerita itu berasal. Sebenarnya sederhana, si suami hanya ingin mengajak
istrinya bersyukur atas cinta yang telah dianugerahkan kepada mereka. Itu saja.
Dan tampaknya usahanya berhasil. Beberapa minggu terakhir, sang istri menjadi
lebih lembut dan manis.
Aku terperanjat ketika
mendengar suara pintu depan diketuk-ketuk. Aku ling-lung, masih mendekap
celanamu. Aku berdiri. Bergegas membuka pintu. Kau tampak tersenyum-senyu
ketika melihatku.
“Kenapa celanaku kau
bawa-bawa?” katamu mengejek.
Aku gelagapan tak tahu
harus menjawab apa. Tapi, tiba-tiba kepalaku terasa pening. Perutku terasa mual.
“Kamu kenapa?” tanyamu
khawatir.
“Nggak tahu, tiba-tiba
kepalaku pening. Mau muntah.”
“Istirahat saja…” kau
menuntunku ke dalam. Aku sempat muntah beberapa kali. Tapi anehnya, kau tampak
senang melihatku gelagapan. Wajahmu tampak sumringah.
Aku merebahkan diri.
Celanamu masih utuh dalam dekapanku. Sambil berbaring, aku bertanya-tanya,
kenapa kau malah senang melihatku menderita, muntah-muntah? Apa ada kejutan
baru? Aku kembali merogoh saku celanamu dan kudekap erat-erat.
Cerita
demi cerita telah ia titipkan dalam saku celananya. Hingga ketika ia kehabisan
bahan cerita, ia berinisiatif menceritakan kembali kisah mereka sendiri. Dalam
kehidupan nyata, suami istri itu belum juga dikaruniai seorang putra, meski hampir
empat tahun mereka berkeluarga. Tapi, dalam cerita yang sudah ia masukkan ke
dalam saku celananya, cerita itu ia ubah. Tepat di usia empat tahun pernikahan
mereka. Istrinya mengandung anak pertama.***
Madiun,
2010-2011
0 komentar:
Posting Komentar