Ini adalah sebuah ladang
di mana rumput-rumput liar mencuat di antara pagar hidup, di
antara semak ubi jalar dan bonggol-bonggol jagung yang siap panen. Udara dingin
dan lembab. Lima ekor kambing menunduk, seperti mesin penyedot ajaib yang dengan
cepat menipiskan rumput-rumput yang tebal.
Gadis itu duduk di bawah pohon Ki Hujan yang
batangnya licin berlumut. Ia menyelempangkan jarit motif batik di lehernya
seperti mengenakan sebuah syal. Sementara tangannya tak henti-henti mengetukkan
sebatang bambu kurus sepanjang satu
meter ke sebuah batu yang meringkuk mirip cangkang penyu. Tanpa sebatang bambu
kurus itu, tangannya seperti kehilangan daya. Sebatang bambu itu biasa ia gunakan untuk menghalau kambing-kambing
yang serampangan meyerobot ladang orang.
“Sudah lama?” suara berat seorang lelaki mengagetkannya.
Lelaki itu mengenakan celana panjang yang dipotong serampangan sebatas lutut, kepalanya
tertutup topi polos berwarna cokelat—mungkin warna aslinya putih. Satu
tangannya menggenggam alat penyabit rumput dan satu tangannya yang lain mencangking
karung kosong.
“Lumayan,” gadis itu menoleh sebelum pandangannya
kembali ke kambing-kambing.
Lelaki itu duduk di sebelah si gadis. Terdiam di
situ. Angin awal musim hujan berhembus sekilas, menggugurkan daun-daun Ki Hujan
yang mungil mirip potongan-potongan kertas yang disemburatkan di pesta-pesta.
Bagi gadis itu, sejak awal, tempat ini sudah sangat
asing. Namun, ia bertekad untuk tetap bernapas, meski hari-harinya terperangkap
di antara ladang dan kandang, di antara basah rumput dan udara dingin yang
terus memagut.
Ketika usianya menapak tujuh tahun, ketika ia tak
mengerti akan banyak hal, seorang kerabat jauh yang tak punya anak membawanya
ke tempat ini. Ibunya menyerahkannya begitu saja, seperti menyerahkan baju usang
yang tak dipakai. Ketika ia mengingat kejadian itu, ia selalu menyalahkan
ibunya, ia membenci ibunya, meski di relung hatinya yang lain, ia sangat merindui
ibunya. Juga adik-adiknya. Juga kampung halaman yang pelan-pelan mulai lenyap
dari ingatannya. Kerabat jauh itu mengatakan, bahwa ia akan disekolahkan dan
dianggap sebagai anak sendiri. Bocah perempuan istimewa yang akan selalu ia
jaga. Si kerabat jauh bersumpah atas itu. Hingga ibunya melepasnya. Namun,
tahun-tahun dan kejadian berkata lain. Si kerabat jauh malah pergi, menyusul
mati dua lelaki yang pernah ia nikahi dan tak pernah memberinya bayi. Dan
meninggalkan gadis itu untuk hidup sendiri.
Terkadang, gadis itu berpikir, kerbat jauh datang
dan mengambilnya hanya untuk satu: memasukannya ke dalam lubang kutukan.
Semenjak kematian si kerabat jauh, gadis itu hidup menumpang dan jadi benalu di
rumah kerabat dari kerabat jauh. Bertahun-tahun ia menjadi babu kecil yang
harus mengerjakan ini itu, sementara bocah-bocah lain pergi untuk belajar di
sekolah. Dan beberapa tahun terakhir ini, ia malah beralih menjadi pengurus
ternak. Ia harus menerima itu, sebagai balas budi karena ia telah diberi makan
dan tempat tidur.
Kini usianya telah 16 tahun. Betapa banyak hal-hal
tak lumrah yang ia lewati di tanah asing ini. Rasanya, tak seorang pun peduli
padanya. Hanya beberapa lelaki yang meliriknya lantaran tubuh yang mulai mekar
dan paras yang menumbuhkan bibit-bibit jelita. Satu-satunya orang yang peduli
padanya, melakukan banyak hal dengan tulus padanya, hanya lelaki itu. Lelaki
yang kini duduk di sampingnya. Sama-sama pengurus ternak.
“Bukankah seharusnya kau mulai merumput, keranjangmu
masih kosong,” bisik gadis itu tanpa mengalihkan tatapannya dari kambing-kambing.
“Entah kenapa, hari ini aku malas sekali,” balas
lelaki itu.
“Kalau kau malas, kambing-kambingmu akan mati
kelaparan.”
“Tidak juga, rumput kemarin masih separuh lebih.”
“Lalu kenapa mau repot-repot pergi ke lading?.”
“Menemanimu.”
“Kambing-kambing itu sudah menemaniku. Mereka
lumayan setia dan tak macam-macam.”
Lelaki itu tak menimpali, matanya turut menerawang
ke kambing-kambing yang bagai tak pernah kenyang itu. Keduanya hening sejenak.
Di kejauhan, di cakrawala yang hening, mendung berakak.
“Entah kenapa pagi ini begitu murung?” gumam lelaki
itu seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku sudah terbiasa, aku sudah banyak melewati tahun-tahun
yang murung.” Tak usah diceritakan, lelaki itu tahu dengan baik.
Kambing-kambing berjalan bergeser mendekati ladang
ubi, mereka mulai mencokot daun-daun ubi muda itu dengan tergesa.
“Kambingmu!” pekik lelaki itu.
Dengan sigap, gadis itu berdiri dan menghalau
kambing-kambing itu dengan tongkat bambu kurus di tangannya, “syuh... syuh...
jangan makan yang bukan hakmu.”
“Itu yang kau bilang teman setia, suka menyerobot
ladang orang,” pekik lelaki itu lagi.
“Mereka hanya kambing,” balas gadis itu sambari
berjalan kembali ke bawah pokok kaki Ki Hujan, “mereka kan cuma kambing,”
ulangnya, “lagipula mereka mudah diatur kok!”
“Kau memang ahlinya mengatur kambing.”
“Sayangnya, bahkan aku tak bisa mengatur hidupku sendiri,”
ujar gadis itu tiba-tiba tampak sedih.
“Eh, di lereng jalan menuju sungai, kulihat rumputnya
gemuk-gemuk, sebaiknya kau ke sana,” ujar gadis itu lagi.
“Sudah kubilang aku sedang malas merumput.”
“Ya sudah, terserah.”
Keduanya hening sejenak.
“Mmm… apa suatu saat nanti kau akan pergi dari
kampung ini?” Tiba-tiba lelaki itu bertanya, membuat si gadis mengernyitkan
dahi.
“Tentu saja, aku harus. Aku sudah mulai menabung
untuk mencari jalan pulang. Aku tak sekolah, aku tak pandai membaca. Dan karena
itu, aku butuh uang yang banyak untuk sampai ke kampong halamanku.”
Lelaki itu tampak semakin murung.
“Kenapa kau tanyakan itu?” gadis itu balik bertanya.
“Tidak. Aku hanya ingin mendatangi tempat lain.
Meski aku lahir di kampung ini, tapi menurutku kampung ini terlalu terpencil,
terlalu sunyi, dan terlalu dingin.”
“Kau aneh,” timpal si gadis.
“Aneh kenapa?”
“Ya, aneh, Orang kan harusnya merasa tenang kalau
berada di kampung lahir mereka. Kampung lahir itu seperti ibu. Seperti rumah.
Orang-orang ingin pulang ke pangkuan ibu, ingin balik ke rumah, dan kau malah
ingin pergi. Kan aneh?”
Betapa tak ada yang memahami. Tak pula ada yang
ingin menyampaikan, bahwa lelaki itu hanya tak ingin jauh dari gadis itu.
Lelaki itu tahu betul, semenjak mengenal gadis itu, gadis itu tak pernah
bahagia. Ia hidup seperti sebuah mesin yang tak henti-henti bekerja. Ia seperti
bukan manusia. Sampai-sampai, hatinya seperti kebas dari getar-getar dan
perasaan yang hangat Lelaki itu hanya ingin membuatnya bahagia. Ia hanya ingin
membawanya pergi dari kampung ini. Kampung asing yang tak penah ingin didatangi
gadis itu. Ia rela membahagiakan gadis itu, bahkan jika ia harus pergi
meninggalkan kampung ibu. Lelaki itu hanya, tak bisa mengutarakannya.
“Apa kau pernah jatuh cinta?” lirih lelaki itu lagi.
Gadis itu seperti tak mendengar apapun, ia hanya
terus memandangi kambing-kambing. Dunia gadis itu hanya ladang dan kandang,
hanya rumput dan udara dingin yang memagut. Baginya, ‘jatuh cinta’ adalah kata-kata yang datang
dari dunia lain. Jauh. Asing. Serupa kampung yang mendekam dan terhimpit bukit ini.***
Malang, 2016