Tas plastik putih bertuliskan
nama toko roti itu tergeletak lunglai di tepi trotoar. Ada bekas goresan tipis
yang cukup membuat tas plastik itu nyaris koyak menjadi dua. Di dalam tas
plastik yang bagai tercabik itu ada sebuah kardus mungil yang sudah penyok.
Dalam kardus penyok itu ada sepotong pai. Sepotong pai kacang—yang
juga sudah bonyok. Tak berbentuk lagi. Kardus
penyok itu sedikit basah di bagian atas. Mungkin karena lelehan saus atau gula
atau mentega.
Sepotong pai yang
tersesat dan tak lagi memiliki tuan. Sepotong pai yang kehilangan takdirnya
sebagai pai lezat yang seharusnya karam dengan bahagia di lambung seorang bocah.
Sepotong pai yang menyedihkan.
Dan aku tahu persis
bagaimana perjalanan sepotong pai yang pada akhirnya bertakdir menjadi sepotong
pai yang menyedihkan itu. Apa kau ingin mendengarnya? Jika kau memang ingin
mendengarnya, maka simaklah kisahku ini baik-baik…
Ia adalah seorang lelaki
paruh baya. Seorang suami yang setia. Seorang ayah yang begitu mencintai dan
dicintai anak-anaknya. Lelaki itu tidak gemuk. Nyaris kerempeng. Sebagian rambutnya sudah
beruban. Dan seragam batiknya kedodoroan. Ia adalah seorang guru SD. Bukan PNS,
mungkin semacam guru honorer, atau entah apa sebutan yang tepat. Tapi kalau kau
ingin tahu, gajinya lima ratus ribu sebulan. Dengan tunjangan-tunjangan
entah yang diberikan setiap akhir tahun. Baginya itu sudah lumayan, sekitar lima belas tahun lalu, saat
pertama kali mengajar, gajinya cuma tujuh puluh lima ribu. Tapi zaman memang
berbeda, tujuh puluh lima ribu barangkali cukup banyak lima belas tahun lalu.
Lagi pula, waktu itu ia masih bujangan. Jadi, cukup-cukup
saja untuk hidup sehari-hari.
Siang, sepulang mengajar,
atau pada hari libur, ia membuka lapak tambal ban di depan rumah sambil berjualan
bensin eceran. Lumayan untuk menambal kekurangan ini-itu dari gaji lima ratus ribu sebulan. Kau pasti
tahu, uang lima ratus ribu sebulan tak akan cukup untuk memenuhi tetek bengek
kebutuhan empat kepala, dirinya sendiri, istrinya, dan dua bocah yang sudah
mulai masuk playgroup dan SD. Jadi, lapak tambal ban itu harus tetap buka
sebagai penambal kebutuhan ini-itu yang masih lubang-lubang.
Bagaimanapun ia satu-satunya tulang punggung. Istrinya tidak bekerja, hanya
seorang ibu rumah tangga yang manut nunut kata suami. Tidak suka neko-neko. Cukup
di rumah, mengurus rumah, mengurus anak, dan tersenyum sambil menyuguhkan teh
tubruk saat suami pulang kerja.
Lalu, apa
hubungan pak guru nyaris kerempeng dengan perjalanan sepotong pai yang
menyedihkan itu? Percayalah, kisah ini masih belum selesai. Jadi, tetaplah kau
simak baik-baik…
Sudah lima hari ini, bocah bungsu lelaki itu
terbaring di dipan. Badannya panas. Tidak mau makan apa pun. Setiap kali perutnya
dimasuki makanan, setiap kali itu pula akan dikeluarkan lagi. Hingga badan
bocah tiga tahun itu tampak semakin kurus. Kalau bergerak tangannya gemetar
hebat. Kalau siang hanya terbaring di dipan dengan tatapan kosong. Kalau malam
suhu badannya semakin tinggi sehingga ia merengek dan mengigau sepanjang malam.
Dua hari lalu ia sudah membawa bocah itu periksa ke puskesmas. Kata Pak Mantri,
bocah itu hanya menderita demam biasa. Disuruh banyak istirahat, harus mau
makan nasi meski sesuap, juga banyak makan buah sebagai asupan vitamin. Serta
jangan lupa minum obat tiga kali sehari sesudah makan. Hampir semua perintah
Pak Mantri sudah dilakukan, tapi demam bocah itu tak juga turun.
Lelaki itu sudah membelikan aneka buah, supaya perut
bocah itu terisi sesuatu. Bahkan lelaki itu sudah membeli buah yang jarang ia
beli seperti pir dan apel. Harganya
memang sedikit mahal, tapi tak masalah asalkan bocah itu mau makan. Sayangnya,
bocah itu lebih memilih menangis ketimbang memakan sesuatu. Tetangga bilang, sepertinya
bocah itu terkena tifus. Mereka menyarankan membawa bocah itu ke dokter anak
yang praktik di rumah sakit anu dan buka pada pukul anu. Tapi konon, sekali
periksa biayanya di atas seratus ribu, belum termasuk obat yang harus ditebus
di apotek. Para tetangga bilang, dokter itu memang sudah sangat berpengalaman.
Banyak yang cocok. Tapi begitulah, bagi lelaki itu, biaya periksanya sama
sekali tidak cocok.
Istrinya bilang, uang bulanan tinggal seratus lima
puluh ribu. Lelaki itu pun memeriksa dompetnya, tinggal selembar lima puluh
ribuan dengan beberapa lembar uang dua ribuan kumal. Sekarang masih tanggal 20,
gajian masih sepuluh hari lagi. Sudah hampir seminggu pula ia tidak buka lapak
lantaran bocah sakit itu. Duit semakin tipis, dan kebutuhan terus membukit.
Buat beli lauk pauk, kulakan bensin, pulsa, bahkan listrik bulan ini belum
sempat dibayar. Meski demikian, setiap kali mendekati bocah yang tengah
terbaring itu, lelaki itu selalu bertanya, Adik
mau makan apa? Mau soto ayam? Mau sate kambing? Anggur? Atau dibikinkan mie goreng?
dan bocah itu hanya menggeleng dan menggeleng, membuat lelaki itu semakin
cemas. Hingga siang tadi, di sekolah, ia melihat salah seorang muridnya tengah
lahap menyantap sepotong pai bekal dari rumah. Ia ingat, anaknya yang kedua itu
suka sekali dengan pai. Tanpa ragu sedikitpun, ia berjanji, sepulang sekolah ia
akan mampir ke toko kue untuk membeli satu atau dua potong pai istimema. Bocah
itu pasti mau memakannya. Bocah itu pasti akan suka.
Maka, sepulang mengajar, ia tidak langsung pulang. Ia
memutar haluan menuju pasar kecamatan. Kata temannya, di sana ada toko roti
yang buka sampai malam. Katanya pula, di
sana ada aneka macam pai. Tak kurang dari dua puluh menit, lelaki sampai di
toko roti yang dimaksud. Di sana memang menjual aneka macam kue dan roti.
Termasuk pai. Ada berbagai macam pai di sana. Ada pai susu, pai apel, kismis,
serta pai kacang. Ia pun berpikir, pai yang mana kira-kira yang paling disukai
anaknya. Selama ini ia tak tahu kalau kue pai itu banyak macamnya. Dan semuanya
kelihatan lezat, sampai ia harus menlan ludah beberapa kali.
Maka, setelah berpikir beberapa jenak, ia pun
memutuskan untuk membeli sepotong pai pai kacang. Ia hanya membeli sepotong
setelah tahu harganya lumayan mahal. Sepotong pai kacang dengan aroma gurih
kacang serta mentega yang menggugah selera. Bocah itu pasti akan menyukainya,
pikirnya.
Sepotong pai itu pun diletakkan pelan-pelan ke dalam
kardus oleh pelayan toko, sebelum dimasukkan ke dalam tas plastik putih yang
baru diambil dari lipatan. Lelaki itu membayarnya. Dua belas ribu untuk sepotong
pai. Ia tak ingat pernah membeli sepotong kue dengan harga seperti itu. Tapi
harga itu tentu tidak seberapa dibanding kelegaan yang akan ia dapat saat ia
melihat bocahnya menggigit pai itu dengan gegas sebelum minum obat nanti.
Lelaki itu menggantungkan tas plastik putih itu
dengan hati-hati di gantungan bawah setang motornya. Dalam perjalanan pulang,
tak henti-henti ia tersenyum sambil memandangi tas plastik yang bergoyang-goyang
di setang motornya karena jalanan berlubang dan polisi tidur. Sedikit saja tas
plastik itu miring, ia akan membenarkan letaknya. Ia tak mau sepotong pai cantik
itu rusak oleh guncangan-guncangan. Sepanjang perjalanan pulang, wajah bocahnya
yang sedang menggigit pai terus membayang. Hmm.
Makan yang lahap, ya, Nak. Minum obat
yang teratur. Biar lekas sembuh. Biar bisa tersenyum lagi. Biar bisa main lagi.
Saat bayangan bocah yang menggigit pai itu tampak
begitu nyata, berkelebat di pelupuk matanya, tiba-tiba suara klakson memekik
nyaring. Seolah menombak kedua telinganya. Ada suara decitan. Ada suara
benturan. Ada suara sesuatu yang roboh dengan hebat. Dan ada sebuah tas plastik
putih yang terlempar dari gantungan lalu terseret lalu terbentur, sebelum
akhirnya tergeletak lunglai di tepi trotoar. Sebuah kardus penyok. Sepotong pai
di dalamnya bonyok.
Dadaku sesak dan aku hampir menangis ketika melihat
tas plastik itu, kardus penyok itu, serta sepotong pai yang sudah pasti tak
lagi berbentuk itu. Bayangan wajah bocah yang menggigit pai itu berkelebat.
Wajah itu berubah menjadi wajah bocah yang menangis. Aku pun ikut menangis,
lebih-lebih ketika menatap seonggok tubuh tergeletak tak bergerak, tak jauh
dari tas plastik koyak itu. Seonggok tubuh itu tergeletak begitu pasrah. Begitu
lelah. Tubuh dan wajahnya berlumur merah. Dan begitulah pada akhirnya sepotong
pai itu harus menerima takdirnya sebagai sepotong pai yang menyedihkan.
Demikianlah kisah sepotong
pai yang menyedihkan itu. Aku sudah menceritakannya dengan jelas. Dan aku harus
segera pulang, anak keduaku sedang sakit di rumah. Sudah lima hari ini. Dia susah
sekali disuruh makan. Sebab itu aku membawakan makanan
kesukaanya: sepotong pai. Pai kacang.***
Malang, 2016
0 komentar:
Posting Komentar