Zalzalah



Milati masih membisu. Ia tak menentang mata Bu Nyai yang menghunjamnya meminta jawaban, tak juga menunduk. Sebelum ia mendobrak hatinya dan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya, ia haruslah tenang. Karena ia tengah mempertarungkan pikirannya. Haruskah ia mengatakan apa yang sesungguhnya? Apa yang kemudian diputuskan Abah dan Bu Nyai jika ia mengatakan kebenaran hatinya? Sungguh jauh dari bayang benaknya. Betapa banyak mudharat mengintai bila ia mengatakan kebenaran itu. Kebenaran hatinya sebenarnya bukanlah kebenaran yang pahit baginya. Akan tetapi bila ia utarakan juga, maka alangkah banyak orang yang akan terimbas bisanya. Pertunangan antara Misas dan Hurin tentulah sudah matang direncanakan oleh Abah, Bu Nyai tentu juga dari pihak Kyai Syafi’.

Milati tak mau melihat kedua ayah ibu asuhnya itu didera aib yang akan tertinggal di mata kyai dari Pare itu. Meskipun ia seorang kyai, Kyai Syafi’ tetaplah manusia yang dapat merasa perih bila dikecewakan dan menanggung luka bila nadi batinnya diiris-iris. Demi kebahagiaan diri, haruskah ia memenggal hubungan baik antara dua keluarga yang terjalin sejak lama? Belum lagi perasaan seorang gadis salehah yang harus ia rebus hidup-hidup di dalam bejana egonya. Bukankah seseorang yang berkorban itu selalu lebih mulia dibandingkan dengan orang yang mengorbankan orang lain? Akan tetapi, mampukah ia menjinakkan zalzalah di dalam hatinya dan merelakan Misas menjadi milik orang lain?

Milati yang sejak kecil hidup dan mengabdi di panti, kini mengambil jalannya sendiri, dan bersama zalzalah ia pergi.

2 komentar:

Bisnis Sukses Arema mengatakan...

Tingkatkan terus kreasinya agar lebih menarik lagi, bila ingin lebih dikenal lagi lihat blog ku

Bisnis Sukses Arema mengatakan...

Tingkatkan kreasinya biar banyak pengunjungnya