Galerry cerpen(Q)












Di Kolong Langit Jeddah yang Pucat
Cerpen Mashdar Z.

Kau rasakan layar kecemasan mengembang di wajahmu yang kuning pucat. Seperti siluet senja yang melesat di antara punggung Gunung Radwa dan Abha yang kelabu. Kau teringat nenekmu yang sebatang kara di negeri seberang. Kau teringat wajahnya yang cekung, atau punggungnya yang membungkuk karna saban hari merangkak mengambah alas Watu Gilang untuk memunguti ranting-ranting kering, atau geguguran dedaunan jati. Nenekmu hanya seorang buruh tani yang ketika menunggu musim panen sama halnya dengan menunggu lebaran tiba. Bila musim tanam selesai, nenekmu selalu merangkak menyisiri hutan-hutan di kaki Gunung Wilis, untuk segendong kayu bakar atau segepok daun jati yang nantinya akan ia tukarkan dengan beras dan minyak curah. Ah, kau benar-benar merindukannya.
Beberapa tahun lalu, sebelum kau melesat terbang untuk meraih serpihan rizqi di bawah langit kota Jeddah yang jauh, kau tak pernah bisa lepas dari nenekmu. Kau hidup berdua saja denganya. Ibumu keracunan ketuban saat melahirkanmu, biaya persalinan yang pas-pasan tidak memungkinkanya untuk memperoleh tindakan cepat, maka setiap nenekmu bercerita perihal kelahiranmu, kau seperti menyayat luka yang terpatri di wajahmu. Tak cuma itu, berselang satu setengah tahun terpaut usiamu, ayahmu mangkat karena sengatan paru-paru basah yang sama sekali tak tersentuh tangan medis, selain kehendak Tuhan tentu saja karena alasan klasik yang klise: biaya. Itulah mengapa kau begitu benci dengan kemiskinan. Kemiskinan telah merenggut orang-orang yang kau cinta sebelum kau sempat mematri raut wajah mereka dalam benakmu.
Kau tahu, nenekmu begitu menyayangimu. Kau layaknya manik permata yang selalu di elu-elukannya. Wajahmu cantik, gerak lakumu jujur dan lugu. Ia tak mau jika kau menjadi lekang dan rapuh hanya karena pengaruh pergaulan di kampungmu yang mulai menyisihkan nilai-nilai ketimuran seorang gadis. Tentu kau masih ingat dengan Eli, teman sekelasmu yang mati bunuh diri gara-gara tak kuasa menanggung aib yang mengembung di perutnya.
Maka, seusai menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas, nenekmu menyarankanmu untuk bertebaran ke negeri jauh, menjemput berkah yang telah di sebar Gusti Allah di muka bumi. Awalnya kau bersikeras untuk tetap tinggal menemani nenekmu, agar tetap bisa menjagainya di usia senja. Namun air mata tua nenekmu telah meluluhkan keras kepalamu. Akhirnya kau pun berangkat.
Ketika itulah, kau rasakan pertama kali betapa birunya warna perpisahan. Pikiranmu bergejolak. Di usiamu yang baru belasan tahun itu, tak pernah kau bayangkan kau akan melayarkan bahtera seorang diri, jauh ke tengah samudera kehidupan yang luas tak beranah tepi.
“Jika perahu telah kukayuh ke tengah, pantang bagiku membalik arah, biarpun besar gelombang, kemudi patah, layar robek, itu lebih baik dari pada memutar haluan pulang.” Bisikmu.
***

Asing sekali ketika kakimu menapak negeri bertanah gurun itu. Di sebuah rumah yang megahnya seperti masjid itu kau bekerja. Merawat perempuan pikun dan balita. Dengan gaji tujuh ratus real yang tak pernah sampai ke tanganmu. Tahun pertama kau bekerja, kau hidup seperti budak tawanan perang. Sayyidah Fatat yang bermata lebar dan bercelak tebal itu selalu mengawasi gerak-gerikmu. Barangkali ia tak mau melihatmu bermalas-malasan. Melihatmu duduk tanpa melakukan sesuatu, baginya adalah sama halnya membuang dirham .
Jaddah Raisyah, perempuan renta yang melata di kursi roda itu pun selalu menyusahkanmu. Kau merawat perempuan pikun itu seperti merawat cicitnya. Menyuapinya saat makan, menyeka tubuhnya yang lemir, mengelap air liurnya, atau kalau lebih buruk lagi menimpal bekas kotorannya. Awalnya kau merasa jijik dan hendak muntah, tapi lama semakin lama kau menjadi sangat terbiasa. Kau bayangkan wanita tua itu nenekmu dan semuanya menjadi lebih mudah kau lakukan.
Tahun berganti tahun kau jalani, dapat kau rasakan lembaran demi lembaran hidupmu yang datar dan buram tanpa warna. Kebosanan yang merestan di kepalamu kini telah lumat oleh ketidakberdayaan. Dekat sekali kau rasakan campur tangan Tuhan atas skenario yang kau perankan sekarang ini. Maka kau bisa apa? Bahkan ketika Sayyid Junaid, suami Sayyidah, mulai berani mencolek-colek pinggulmu, kau pun tak bisa berbuat apa-apa.
Sampai datanglah suatu ketika yang celaka. Sayyidah menggelar sebuah pesta besar-besaran di rumahnya. Seluruh tenagamu dikurasnya. Kakimu gemetar melihat keramaian yang begitu mencekam. Dari balik gorden dapur kau lihat para tamu yang mengangungkan pesta dan kesenangan. Orang-orang berhidung panjang dan bercambang tebal, orang-orang berkulit hitam dan berambut kriting, mereka berkumpul melebur dalam tahniah dan tari-tarian. Mereka menyatap kambing guling dan ikan sadil ‘arab seperti srigala lapar. Nasi samin yang kau tanak semalam suntuk, tandas oleh perut mereka.
Seusai pesta, dan tamu-tamu pulang. Kau merangkak membereskan sisa-sisa pesta yang berantakan. Sayyidah pergi mengantarkan saudara jauhnya dan mungkin kembali esok lusa. Tinggalah kau seorang, bersama nenek pikun dan Sayyid Junaid yang tatapan matanya seperti hendak menerkam.
Malam itulah, ketika tiba-tiba Sayyid Junaid memintamu ke kamarnya untuk memijtnya, kau juga tak bisa menolak. Malam itu bisa kau rasakan, kau seperti ayam kecil yang terperangkap dalam liang musang. Benarlah, Sayyid Junaid mulai merayumu. Kau menolaknya, akibatnya kau pun mendapat satu tamparan keras di pipi kananmu. Kau berontak, hendak berlari dari darinya, dengan cekatan pula lelaki arab bernafsu kuda itu merengkuhmu, melumatmu dalam tarian-tarian menyeramkan. Semenjak itu, malam-malam tua telah menjadi seteru yang menyematkan luka abadi dalam lubuk dadamu. Seperti lolongan rase gunung, setiap malam kau memperpanjang tangismu sambil mencakar wajahmu sendiri. Ngilu.
“Telah tersemat ribuan jarum dalam ketubanku. Aku musafir asing yang kehilangan kaki. Lantas musti bagaimana aku meneruskan mimpi. Luka ini terlampau mendarah daging, rasanya waktu pun tak akan mampu menyembuhkannya. Ini memang tak lebih sakit dari mati, tapi ini lebih buruk dari mati.” Cercaumu, pilu.
***

Petang itu, ketika rumah Sayyidah sepi kau berjingkat meninggalkan perempuan tua yang tergolek di kasur bersama kotorannya sendiri itu. Kau benar-benar sudah tak tahan. Kau berjingkat membawa beberapa helai pakaian yang kau bungkus dalam kain jarit milik nenekmu. Kau cek setiap penjuru pintu. Semua terkunci rapat. Kau berpikir, mereka memang sengaja memasungmu. Kau pun tak pendek akal. Kau turun lewat balkon samping dengan beberapa utas kain yang kau kaitkan jadi temali. Kau sudah seperti buronan yang hendak kabur dari bui. Tak kau pikirkan, kau tak membawa bekal atau uang sepeserpun. Ah, barangkali gejolak badai di bathinmu mengalahkan rasa lapar.
Lihatlah! Di tanah gharib itu kau jadi gelandangan. Ayunan langkahmu selalu gontai musabab lututmu yang selalu gemetar menahan beratnya beban yang kau pikul seorang diri. Perutmu juga terasa melilit dan panas. Kepalamu berat bukan main. Kau mulai suka terbatuk-batuk. Sempurna sudah apa kau cemaskan sejak pertama kali menginjak tanah terik berdebu itu. Kau melanglang serupa orang terusir. Berteman baik dengan trotoar-trotoar dan rasa lapar. Hingga sampailah langkahmu pada bangunan kardus di bawah jembatan Waladhaek yang gagah itu. Di sana kau bertemu dengan Suryani, gadis 17 tahun asal Jombang, yang bernasib sama denganmu atau barangkali lebih buruk. Bisa kau tilik bekas luka memar di jidadnya, juga bekas luka bakar yang menghitam di lengan kirinya. Kabarnya ia kabur karena tak tahan oleh siksaan majikannya. Tak hanya Suryani yang jadi penghuni kolong jembatan angkuh itu. Di sana juga ada Nunung asal Tasikmalaya yang sengaja dibuang majikannya karena memiliki penyakit kulit menjijikan yang konon menular. Ada juga Dwi, Fauziah, dan Jumiati. Semua meiliki kisahnya sendiri-sendiri. Ah, bagimana dengan kisahmu sendiri? Sama mirisnya dengan kisah mereka.
“Mengapa manusia harus lahir ke muka bumi, jika ia tak memiliki hak untuk hidup selayaknya manusia. Dunia memang angkuh.” Bisikmu lembut seperti kabut yang menguapkan aroma racun yang kental.
Begitulah, di kolong jembatan itu kau hidup bersama mereka seperti keluarga. Saling bertukar kata dan saling menghibur. Apa yang mereka makan, itulah yang kau makan. Tapi, selalu saja, ada yang pahit yang membaur bersama hari-harimu, hari-hari kalian. Lihat saja Nunung, tampaknya dia yang paling rapuh menahan beban. Sepanjang siang dan malam yang dilakukanya hanya termenung dan menangis. Badanya kurus karena tak pernah mau makan. Pucat masih tampak di wajahnya meski hampir seluruh kulitnya dipenuhi bintil-bintil merah yang berminyak dan mengelupas. Beberapa kali ia menyalahkan Tuhan yang telah sempurna menyengsarakan hidupnya. Beberapa kali Nunung tampak mengeluhkan rasa perih di ulu hati dan sekujur tubuhnya. Ia menangis tak henti-henti, ingin bertemu dengan ibu-bapak dan sanak keluarganya di kampung halaman. Tapi apa boleh buat. Setelah menangis panjang itu, Nunung tak tampak lagi sampai kau menemukanya terjuntai kaku di tiang rangka jembatan dengan lilitan tambang di lehernya. Ah, haruskah semua ini berakhir memar.
Kau terisak menahan bongkah cadas di dadamu. Kau usap perutmu yang kian hari kian mengembung. Ini salah siapa? Tak ada yang salah. Demi memikirkan semua itu, nyeri di kepalamu kambuh. Badanmu terasa semakin ringkih dan kedinginan.
“Tuhan… kalau memang aku harus mati waktu dekat ini. Jangan biarkan aku mati dalam keterasingan. Izinkan aku mati di pangkuan nenekku, di kampung halamanku.” kau terus terisak sampai suaramu serak dan habis, sampai rasa kantuk yang indah menjemputmu untuk singgah ke alam bawah sadar. Alam di mana mimpi buruk menjadi hal yang lebih indah. Ah, semua mengalir saja seperti air. Kehidupan selalu begitu. Dunia selalu begitu.
***

Kau gagap terbangun di akhir sepertiga malam, kau rasakan badanmu menggigil bukan main, perutmu terasa sangat mual, begitu pula, kepalamu terasa sangat nyeri dan berat. Kau beranjak dari rumah beratap jembatan itu. Kau semakin menggigil. Kedua gigimu bergemeletak menahan dingin. Kau tatap rembulan pucat yang berlayar ke utara menghindari arakan mendung gelap. Sepi. Teman-temanmu masih pada terlelap, terpasung gelap. Sekali lagi kau tengadahkan wajah ke langit lepas. Kau berusaha mengingat seperti apa warna langit di kampung halamanmu. Sama kah? Di kampungmu, pada detik itu, kau akan mendengar alunan tarhim seperti eufoni kramat yang menlengking dari petala langit. Kemudian nenekmu akan membangunkanmu untuk mengambil air wudhu.
Entah mengapa, tiba-tiba dadamu penuh sesak, perasaanmu tidak enak. Mungkin kau terlalu merindukan nenekmu, kampung halamanmu. Rasanya kau ingin tertidur lagi, dan tiba-tiba nenekmu datang dan membenarkan letak selimutmu. Ah, tapi perutmu sangat mual, tenggorokanmu sangat perih dan sesak bagai tercekik, bahkan kau terbatuk-batuk dalam. Ada apa lagi dengan tubuh rapuh ini? Beberapa jenak, kau terbatuk-batuk lagi, semakin dalam. Perlahan kau merasa ada yang meleleh dari lubang hidungmu. Kau menyentuhnya. Kau mendapati cairan kental, warnanya merah pekat. Tak kau pedulikan. Kau merebahkan tubuhmu di atas hamparan rumput kering yang mengembun. Matamu menyimpan cermin yang dapat mengundang kupu-kupu yang terpasung rembulan di atas sana. Kau tersenyum menyapa bintang-gemintang yang kesepian. Tiba-tiba kau merasa seperti tertidur di pangkuan nenekmu.]*

*Malang, 5 September 2009

* Cerpen ini terilhami dari sebuah berita di media yang mengabarkan tentang seorang TKW muda asal Indonesia yang meninggal di bawah kolong jembatan Jeddah, yang diusir majikanya karena mengidap sebuah penyakit. Sampai ajal menjemputnya, permintaannya yang terakhir belum juga terwujud: bertemu ibu bapaknya di kampung halaman.

Zalzalah



Milati masih membisu. Ia tak menentang mata Bu Nyai yang menghunjamnya meminta jawaban, tak juga menunduk. Sebelum ia mendobrak hatinya dan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya, ia haruslah tenang. Karena ia tengah mempertarungkan pikirannya. Haruskah ia mengatakan apa yang sesungguhnya? Apa yang kemudian diputuskan Abah dan Bu Nyai jika ia mengatakan kebenaran hatinya? Sungguh jauh dari bayang benaknya. Betapa banyak mudharat mengintai bila ia mengatakan kebenaran itu. Kebenaran hatinya sebenarnya bukanlah kebenaran yang pahit baginya. Akan tetapi bila ia utarakan juga, maka alangkah banyak orang yang akan terimbas bisanya. Pertunangan antara Misas dan Hurin tentulah sudah matang direncanakan oleh Abah, Bu Nyai tentu juga dari pihak Kyai Syafi’.

Milati tak mau melihat kedua ayah ibu asuhnya itu didera aib yang akan tertinggal di mata kyai dari Pare itu. Meskipun ia seorang kyai, Kyai Syafi’ tetaplah manusia yang dapat merasa perih bila dikecewakan dan menanggung luka bila nadi batinnya diiris-iris. Demi kebahagiaan diri, haruskah ia memenggal hubungan baik antara dua keluarga yang terjalin sejak lama? Belum lagi perasaan seorang gadis salehah yang harus ia rebus hidup-hidup di dalam bejana egonya. Bukankah seseorang yang berkorban itu selalu lebih mulia dibandingkan dengan orang yang mengorbankan orang lain? Akan tetapi, mampukah ia menjinakkan zalzalah di dalam hatinya dan merelakan Misas menjadi milik orang lain?

Milati yang sejak kecil hidup dan mengabdi di panti, kini mengambil jalannya sendiri, dan bersama zalzalah ia pergi.

Aku, Mentari Dan Bulan

Jika malam merayap, aku berbisik:
Surya… surya…
Begitu besarmu kalau malam lenyap pula
Tentu yang menelanmu lebih raya
Atau mungkin terlalu kecilnya aku
Sehingga malam tiba aku tak menjangkaumu
Sudah, biarlah, ada nikmat saat kau sembunyi
Ni'mat menabur benih lelap agar berbunga
Nikmat menghadang berkah agar tak kering
Semua berlalu dengan edarnya
Kalau siang menerang, kukan berdesis lagi :
Bulan… bulan…
Begitu nyaman redup anggunmu
Kalau siang beringsut juga
Tentu ada yang merindumu di seberang sana
Atau mungkin aku saja yang terlampau lemah
Hingga tak kuasa mengejarmu
Sudah, biarlah, ada hajat saat kau pamit
Kalau tidak, semua akan lena saja olehmu
Dan itu bukanlah pilihan jitu
Dalam istirahatmu orang takkan enggan berpeluh
Membangun rumah-rumah di relung cerahnya
Semua memang ada edarnya
Kau dan surya takan berjalan seiring
Seperti aku kini-sepi.

Galerry cerpenQ


Bocah Pasir Brantas


Bila luapan air mulai susut, tepian bengawan itu selalu dipenuhi kerikil dan endapan-endapan pasir basah, yang bila mengering akan tampak menggunduk seperti bukit-bukit kecil di padang gurun. Ia hapal betul, kapan air akan meluap dan surut. Dari rumahnya ia dapat mendengar kemerosak suara air pasang. Sesekian waktu bila ia rasa air telah susut, ia akan menaiki tanggul tepian sungai itu sambil membawa serok dan ciduk pasir yang dibuatnya dari bekas kaleng kotak biskuit.

Ia tinggal di tepian bengawan itu bersama ibu dan kedua adiknya. Ayahnya hilang ditelan bah besar lima tahun lalu, jasadnya juga tak pernah ditemukan. Tak ada yang tahu, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Rumah bambu itulah satu-satunya warisan nenek moyangnya yang turun temurun hidup sebagai penggali pasir. Bengawan dan rumah rapuh itu hanya terpisah oleh tanggul tinggi yang tampak kokoh, yang mungkin telah ada sebelum kakek buyutnya lahir. Tanggul itulah yang setiap hari ia naik-turuni. Dari seberang tanggul itulah ia membantu ibunya yang pincang untuk menghidupi kedua adik perempuannya.

Orang-orang biasa memanggilnya Thekhel. Badanya kecil tapi tegap dan berisi. Kulitnya hitam mengkilat oleh sengatan matahari dan debu-debu pasir. Rambutnya cepak, merah dan kering. Usianya belum genap lima belas tahun. Setamat SMP ia sengaja tidak melanjutkan sekolah. Ia tahu, ibunya tidak mungkin bekerja lebih untuk membiayai sekolahnya. Maka ia putuskan untuk terjun berjibaku dengan pasir dan kerikil, meneruskan pekerjaan warisan moyangnya.

Satu adiknya berumur sepuluh tahun, dan satunya lagi baru masuk SD. Dengan kakinya yang pincang sebelah, ibunya hanya bisa bekerja sebagai buruh cuci dan kadang-kadang sebagai tukang ikat bawang di rumah juragan Warsi. Bila tak ada pekerjaan, sementara dua adiknya masih sekolah, ibunya selalu menyusulnya turun ke sungai untuk sekedar membawakan air putih atau makanan kecil yang bisa ia santap saat beristirahat dari galian pasirnya.

Berapapun hasil yang ia dapat dari menggali pasir, selalu ia serahkan pada ibunnya. Ibunya pun tak pernah banyak bicara keculai mengucapkan terima kasih. Di antara teman-temannya sesama penggali pasir, hanya ia yang tidak berani macam-macam. Sebenarnya bisa saja ia menyimpan sendiri uang hasil jerih payahnya untuk ditukarkannya dengan rokok atau minuman berbotol yang menyengat itu. Setiap kali teman-temanya mengajak pesta kecil-kecilan ia selalu memiliki alasan yang tepat untuk menolaknya. Itu ia lakukan semata karena ia sangat mencintai ibu dan adik-adiknya.

Lamat-lamat ia masih bisa mengingat kata-kata ayahnya lima tahun lalu, kini ia baru bisa betul-betul mencerna kata-kata itu, “Fakir itu dekat sekali dengan kufur, le…, hanya ada dua pilihan bagi orang miskin seperti kita, syukur atau kufur. Kalau kita bersyukur maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orang-orang kaya yang pandai bersyukur. Tapi kalau kita kufur…. Derajat kita akan lebih rendah dari pada orang kaya yang kufur…. ”

***

Di usianya yang masih hijau ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman biru. Hidup serba sederhana, sebagai penggali pasir tak pernah membuatnya mengeluh. Hari melaju dari minggu ke bulan dan tahun. Hari-harinya tak ada yang baru. Pagi-pagi buta sebelum dunia terbangun ia telah bangun. Usai ke surau ia akan cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan dengan kaos oblong panjang yang warnanya sudah tak jelas. Pagi-pagi itu ia akan menaiki tanggul dan turun ke tepian bengawan untuk menepuk-nepuk endapan pasir dengan kakinya. Ia bisa mengira-ngira, mana pasir yang bagus dan mana pasir yang kurang bagus. Bila terdengar suara ‘bug…’ maka bisa ia pastikan, pasir itu bagus dan tidak banyak bercampur kerikil. Setelah itu ia akan mulai membuat tanda galian di situ.

Para tengkulak dan juragan truk pasir selalu tepat waktu mengangkut pasir-pasirnya. Bila pasir yang ia kumpulkan bagus, maka satu baknya bisa dihargai 60 sampai 75 ribu. Namun bila pasir yang ia dapat bercampur lumpur dan kerikil, biasanya para tengkulak hanya akan menghargainya 40 ribu atau terkadang 50 ribu.

Selepas musim penghujan, menjelang kemarau. Ia akan mengumpulkan banyak uang. Sebab, setelah air sungai susut, sepanjang tepian sungai Brantas akan dipenuhi endapan pasir. Para penduduk akan berbondong-bondong, berebut menandai galian. Sebab bila telah ada satu galian, pantang bagi orang lain untuk meneruskan galian di tempat tersebut.

Bila musim hujan kembali, ia akan banyak menganggur. Sebab luapan sungai yang deras tak memungkinkannya untuk membuat galian. Bilam musim hujan tiba, ia akan menghabiskan banyak waktunya di rumah. Menjagai kedua adiknya, ketika ibunya pergi ke desa seberang untuk mengambil dan mengantar cucian.

***

Hujan berinai malam itu. Ia bisa mendengar gemuruh air bah datang. Ia teringat, sedikit pasir yang ia kumpulkan susah payah tadi pagi akan hilang tak bersisa diseret luapan air. Kedua adiknya sudah tertidur pulas di atas gelaran tikar. Ia dan ibunya duduk di bangku panjang sambil mengudap kerupuk layu yang di goreng ibu kemarin sore. Percikan hujan dari luar bisa menerobos celah-celah atap rumah yang tidak rapat itu. Dingin. Ia duduk sambil membuntal tubuhnya dengan kain sarung.

,“Sepertinya, Ramdahan tahun ini kau harus beristirahat dari galian pasirmu. Musim hujan tampaknya akan berlanjut sampai habis lebaran qurban.” Ungkap ibunya.

Iya, bu. Sepertinya begitu.” Balasnya lesu.

Yah, kau tak perlu murung. Rizki sudah ada yang mengatur. Seperti tahun-tahun lalu, meski musim hujan berkepanjangan, kita juga masih bisa makan.”

Iya, berbulan-bulan cuma makan thiwul dengan lauk ikan asin.”

Hush…! kau tak boleh bicara begitu. Apapaun itu, kita harus tetap bersyukur. Toh, setiap bulan Ramadhan tiba, berkah dari Gusti Allah banyak bertebaran.”

Ia tidak menyahut hanya bergeming merapatkan buntalan sarung yang membungkus rapat tubuhnya.

Oh, ya Khel… besok ada santunan di Rumah Haji Syakur. Ibu sudah dapat kuponnya, besok tinggal ambil.” Ibunya coba menghibur.

Alhamdulillah….” kata itu saja yang keluar dari mulutnya.

Yah, sudah. Malam ini kita harus cepat-cepat tidur. Besok, ibu harus berangkat pagi-pagi untuk mengantri. Kau tahu sendiri kan… antrian yang mengambil santunan itu jumlahnya ratusan orang, bahkan bisa ribuan. Ibu harus berangkat pagi supaya dapat urutan lebih awal, supaya bisa pulang lebih cepat.”

Atau biar saya saja yang mengambilnya ke sana.” Tawarnya.

Ah, tak usah. Biar ibu saja. Kamu di rumah saja, jagai adik-adikmu. Tak usah masak. Buat buka, biar nanti ibu beli saja di warung. Ya, semoga ibu bisa pulang sebelum bedug.” jelas ibunya yang kemudian beringsut merebahkan diri di gelaran tikar, di sebelah adik-adiknya terbaring.

Sampai benar-benar malam ia belum juga dapat memejamkan matanya. Ia pandangi ibu dan kedua adiknya yang terbaring pulas. Senyum getir mengembang di antara dua bibirnya. Ricis hujan tak juga reda, seperti nyanyian panjang pengantar tidur. Perutnya terasa keroncongan. Ia beranjak ke dapur, mencari-cari makanan namun tak menemukan apapun. Ia kembali duduk menyandarkan kedua tanganya di punggung meja. Sampai tertidur.

Pagi-pagi buta, sebelum adzan subuh melesat memecah kesepian langit, ia terbangun. Dilihatnya sang ibu telah sibuk menyiapkan tas anyaman dan jarit gendong yang biasa dipakainya untuk mengambil dan mengantar cucian.

Ibu mau berangkat sekarang?” tanyanya dengan suara serak mengantuk.

Iya, setelah shalat ibu langsung berangkat. Kamu jaga adik-adikmu. Kalau butuh apa-apa, ibu tinggalin duit sepuluh ribu, ada di dalam lemari di selempitan sarung bapakmu.” Jawab ibunya.

Ia menguap lalu mengangguk dengan suara tak jelas. Adzan subuh menggelegar. Dalam keadaan masih mengantuk, ia beranjak untuk cuci muka. Ia lihat ibunya telah mengenakan mukena dan menggelar sajadah. Beberapa jenak, ibunya berteriak memanggilnya.

Khel…, ibu berangkat dulu, ya.”

Ya…” sahutnya dari dalam kamar mandi.

Ia menggigil keluar dari kamar mandi. Dingin yang tidak biasanya. Dilihatnya rumah sudah sepi. Kedua adiknya masih lelap meski sesekali menggeliat. Perasaannya terasa ganjil. Entah mengapa, ia ingin berlari menyusul ibunya. Ia berharap-harap supaya ibunya bisa mendapat antrian paling depan dan pulang lebih awal.

***

Sepanjang pagi sampai siang, ia tak keluar rumah. Rupanya udara beku tadi pagi mengendap di sekujur tubuhnya. Ia menggigil. Kepalanya terasa agak berat. Beberapa kali ia mengingatkan kedua adiknya untuk tidak main jauh-jauh apalagi ke sungai. Ia terbaring di atas dipan bambu di ruang tengah, tepat di bawah jendela. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke layar jendela untuk memastikan bahwa kedua adiknya masih bermain di halaman. Dari jendela itu, ia pun bisa mengawasi belokan di ujung gang. Beberapa kali ia melirik ke belokan ujung gang itu, berharap-harap melihat ibunya yang membawa bingkisan sambil jalan bergoyang-goyang karena kakinya panjang sebelah.

Selepas ashar, meriang di badanya mulai terasa. Ibunya belum juga datang. Sudah lima kali kedua adiknya menanyakan kapan ibunya pulang. Ia hanya bisa menjawab nanti dan nanti sambil menghibur kedua adiknya, bahwa ibunya akan datang dengan membawa makanan dan biskuit. Setelah itu, kedua adiknya akan berteriak kegirangan.

“Kalau capek main sebaiknya kalian istirahat dulu. Nanti kalau ibu datang, kalian akan kakak bangunkan.” Katanya pada kedua adiknya yang tampak bosan.

Kedua adiknya mengangguk lalu rebah di gelaran tikar sambil saling jawil dan sesekali cekikikan. Ia tersenyum melihat adik-adiknya. Tak terasa, payah tubuhnya mengantarkannya pada lelap begitu saja. Ia terbangun gagap ketika mendengar bedug maghrib ditalu beberapa kali lalu disusul adzan maghrib. Ia terkejut, tak mendapati kedua adiknya. Ia meloncat dari dipan sambil teriak-teriak memanggil nama kedua adiknya. Ditengoknya kamar yang cuma satu-satunya itu, adiknya tidak ada di sana. Ruang dapur juga ditiliknya, namun sepi. Sama sekali ia tak mendapati tanda-tanda bahwa ibunya sudah datang. Ia bertanya-bertanya. Rasa takut dan cemas menari-nari di benaknya. Ia berlari keluar rumah, tak pula ia melihat dua gadis kecil itu. Langit mulai remang. Dadanya bergejolak ketika didengarnya gemuruh luapan air balik tanggul. Ia berlari menaiki tanggul sungai, air melup-luap. Ia tercekat melihat dua pasang sandal di atas tanggul itu. Dua pasang sandal adiknya.

Ia meraih dua pasang sandal itu sambil menagis menuruni tanggul. Ia tak mau percaya dengan kecemasannya. Sampai di rumah, ibunya belum juga kembali. Ia semakin cemas. Sama sekali ia tak merasakan lapar ataupun haus, meski sedari sahur tak seteguk airpun masuk ke dalam tubuhnya. Ia datangi rumah-rumah tetangga untuk menanyakan, apakah meraka tahu dimana adiknya. Namun ia tak mendapat kabar apapun kecuali kabar tentang terjadinya insiden di tempat pembagian zakat di rumah Haji Syakur. Kabarnya 21 orang tewas terinjak-injak gelombang antrian yang jumlahnya ratusan, atau bahkan ribuan. Ia tak bisa lagi berkata-kata. Pingsan pun tak bisa. Mulunta hanya komat-kamit menyebut nama Tuhan.]*

* Malang 13 Ramadhan 1930 H

* Cerita ini diilhami dari insiden zakat yang terjadi di Pasuruan yang menewaskan 21 orang, pada Ramadhan tahun lalu. Semoga kejadian serupa tidak terulang.




.



Veer Zaara


Tentang Romantika. Film india selalu menduduki nomor wahid (setidaknya bagiku). Ceritanya, saya lagi kena efek film india berjudul Ver-Zara, Subhanallah filmnya bagus banget. Mulai dari aktornya, alur ceritanya sampai sinematografinya. Wah… aku tak sempat melihat cela dalam film ini. Mungkin Cuma air mataku yang pancingnya sampai kering (berlebihan). Ver-Zara, film ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang pecinta demi nama baik kekasihnya. Ia rela dipenjara yang bukan karena kesalahannya. Selama dua puluh dua tahun ia menghabiskan waktunya dalam kesepian yang berkepanjangan. Yah…. Pokoknya ceritanya sangat menarik hanya saja saya tak bisa menceritakannya….. intinya film ini adalah kesetiaan, dan kebahagiaan yang muncul di waktu senja.