LELAKI itu kembali membuka gorden, mengintip bingar hujan di luar jendela. Langit
hampir gelap, dan hujan masih saja berdebaman menikam apa saja. Lelaki
itu menghela napas, ia benar-benar cemas, cemas pada istrinya yang sudah hampir
empat jam belum juga sampai di rumah. Mungkin ia takkan secemas itu jika
isterinya tidak dalam keadaan hamil tua. Ia menyesal sudah menyuruh istrinya
naik taksi seorang diri. Ia memang tak punya pilihan lain, hujan turun deras
sekali dan ia lupa membawa jas hujan—yang biasanya ia siapkan di jok motor.
Lelaki itu membayangkan kemungkinan-kemungkinan
buruk yang akan terjadi jika ia nekat membonceng istrinya pulang dalam keadaan
hujan sederas itu, dengan motor telanjang. Jalan menuju rumahnya begitu
berkelok dan sangat licin bila hujan turun. Beberapa hari lalu seorang
pengendara motor terjungkal dan terluka parah di tikungan jalan itu. Sebab
itulah ia menyuruh istrinya untuk naik taksi. Sedangkan ia sendiri memilih
nekat untuk menembus guyuran hujan yang begitu parah.
“Tolong kau bawakan tasku, handphoneku ada di dalam,” tuturnya sebelum melesat pergi
meninggalkan istrinya seorang diri di teras swalayan, tempat ia berbelanja
kebutuhan persiapan lahiran.
“Iya, hati-hati, Mas, jalannya licin lho,” sambut
istrinya singkat. Dan lelaki itu segera meluncur tanpa menoleh ke belakang
lagi. Hujan turun deras sekali.
***
Lelaki itu sampai di rumah dalam keadaan kuyup
sekuyup-kuyupnya. Selepas berganti pakaian dan mandi ia duduk di teras rumah
dengan sebuah payung yang ia siapkan untuk menyongsong istrinya supaya tidak
kehujanan ketika turun dari taksi. Menunggu taksi bukanlah pekerjaan yang
memakan waktu, lagi pula, tempat itu tidak terlalu jauh dari sini, beberapa
menit lagi pasti istriku datang, pikirnya. Ia mulai panik ketika satu jam
istrinya belum juga datang. Ia ingin menghubungi istrinya—sudah sampai di mana
sekarang, namun ia baru ingat bahwa handphone
miliknya ada di dalam tas yang sekarang di bawa istrinya.
Lelaki itu memilih untuk masuk ke dalam rumah. Pasti
sebentar lagi taksinya datang. Tak masalah ia berada di dalam rumah, toh kalau
ada suara mobil berhenti di depan rumah pasti kedengaran. Tapi, hujan kali itu
benar-benar berisik hingga kepanikannya bertambah-tambah. Untuk menenangkan
diri, lelaki itu beranjak ke dapur dan menyeduh dua cangkir teh hangat, satu
untuknya, dan satu lagi untuk istrinya. Sebentar lagi pasti istriku sampai.
Dingin-dingin begini pasti akan sangat nyaman menyeruput teh hangat berdua-duan.
***
Lelaki itu kembali
meyingkap gorden jendela. Hujan mereda sejenak dan kembali menderas. Dua cangkir
teh mendingin, menguap di atas meja, yang satu masih utuh, yang satu tinggal
separuh. Lelaki itu masih berdiri di balik jendela. Menatap ruahan hujan yang
seperti ditumpahkan begitu saja dari bejana raksasa. Ia menatap nanar dua pohon
kelengkeng yang berayun-ayun di depan rumah karena kibasan
angin. Ia bertanya-tanya, sedang apakah istrinya sekarang. Apa ia baik-baik
saja?
Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan, ketika
istrinya tengah menunggu taksi, tiba-tiba istrinya merasakan kontraksi pada
janinnya. Lantas, sebelum taksi datang, beberapa orang membawa istrinya ke
rumah sakit. Ia membayangkan, di sebuah ruang, di sebuah rumah sakit, istrinya
sedang berjuang mati-matian untuk melahirkan bayi pertamanya. Ia membayangkan
istrinya mengejan, bersimbah peluh, ketubannya pecah, bergumul darah, dan ia
tidak ada di sana, di samping istrinya. Pasti itu sangat sulit, melahirkan
tanpa seorang suami di sebelahnya, tanpa seorang suami yang menghibur payahnya,
menyemangatinya.
Ia tersadar dari lamunan jauh itu ketika sebuah
mobil menderum, melintasi depan rumahnya, hanya melintas, tidak berhenti. Ia
baru sadar kalau ia terlampau khawatir, matanya sedikit berair. Tidak, itu tidak
akan terjadi. Kata dokter, HPL istriku masih awal bulan depan, sekitar dua
pekan lagi. Ia menghela napas berat dan kembali ke sofa. Merebahkan tubuh dan
pikiran yang cemas.
***
Sekali lagi, lelaki itu
menengok jam yang membeku di pusat dinding. Sudah hampir tiga jam lebih dan
istrinya belum juga kembali. Langit sudah sempurna didekap gelap. Ia semakin
khawatir. Sebenarnya ia sudah menyiapkan jas hujan dan bersiap untuk menyusul
istrinya kembali. Namun hujan di luar semakin parah, deras sekali, lebih deras
dari sebelumnya. Ia juga khawatir, jika istrinya sudah terlanjur naik taksi,
perjalananya yang susah payah itu hanya akan berbuntut sia-sia.
Saya akan menunggu sampai setengah jam lagi, jika setengah jam ke depan istriku
belum datang, aku akan benar-benar menyusulnya. Tak peduli gelap, tak peduli
hujan, aku akan menyusulnya, pikirnya berapi-api.
Sekilas ia mendengar deruman mobil melintas di jalan
depan rumah. Itu dia, pikirnya. Maka, segeralah ia berlari menyosong deruman
itu. Namun sayang, itu hanya deruman mobil tetangga yang lewat sepulang kerja.
Ia kembali mengempaskan napas berat dan terduduk di sofa dengan tubuh lemas.
Teh di atas meja sudah tandas. Ia berjanji tidak akan menyeruput teh milik
istrinya yang ia buat sendiri. Ia ingin istrinya tahu, bahwa ia sangat peduli,
bahwa ia sangat khawatir.
Sekali lagi, sayup-sayup ia mendengar suara deruman
mobil. Entahlah, ia tidak yakin, apakah itu suara deruman mobil atau hanya
suara hujan yang tak henti-henti. Dengan langkah terhuyung ia berjalan
mendekati jendela. Membuka gorden yang bergoyang-goyang. Dan lihatlah! Di luar
tidak apa pun kecuali hujan yang menambah kepanikannya. Mengapa hujan ini tidak
juga berhenti, ia mulai menyalahkan hujan. Harusnya aku membawa sendiri handphoneku, ia mulai menyalahkan handphone. Seharusnya aku membawa jas
hujan, ia menyalahkan jas hujan. Ah, suami macam apa aku ini, ia menyalahkan
dirinya sendiri.
***
Lelaki itu masih berdiri di muka jendela. Ia
menyaksikan dua pohon kelengkeng di depan rumah menjadi buram seperti bayang-bayang.
Hujan kali ini benar-benar parah. Serupa kabut-kabut air yang menyusun sebuah
rencana tak terduga.
Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan istrinya
memanggil taksi yang salah. Ia membayangkan istrinya duduk kedinginan di jok
belakang, sementara sopir taksi itu sesekali meliriknya dari kaca spion. Ia
membayangkan, sopir taksi itu tidak membawa istrinya pulang, tapi membawa
istrinya ke tempat sepi dan kemudian meminta uang dan perhiasan yang ada.
Lantas istrinya diturunkan di sebuah tempat yang sepi pula. Istrinya menangis
tak karuan karena takut. Terlebih-lebih ia membobot janin yang beratnya hampir
tiga kilogram di perut. Pasti itu akan sangat sulit sekali. Ah, suami macam apa
aku ini.
Ia terbuyar dari lamunan yang tidak-tidak itu ketika
kilat di luar jendela menyambar tiba-tiba. Hatinya sesak. Ia ingin menangis. Ia
benar-benar menyesal tidak membawa handphonenya
sendiri. Jika ia membawa handphone
itu, ia takkan secemas ini. Ia bisa menghubungi istrinya kapan saja ia mau. Ia mengusap wajah tergesa-gesa
dan kembali menyeruput teh yang tandas di atas meja. Ia ingin menghilangkan
pikiran-pikiran buruk itu tentang istrinya, semua itu hanya ada di sinetron. Ia
juga menyesal sudah terlalu banyak menonton sinetron. Ah.
***
Ini sudah terlalu lama. Aku tak akan menunggu lagi. Lelaki
itu menyahut jas hujan yang sudah terlipat rapi di atas meja. Hampir empat jam
sudah. Menunggu taksi tak mungkin selama itu. Ia harus segera menyusul istrinya
kembali. Ia bergegas, mengenakan jas hujan, megeluarkan motor yang masih kuyup.
Ia mengunci pintu dan melesat menembus hujan. Hujan yang sangat deras, sederas
rasa khawatir yang meluap-luap di dadanya. Hujan bukanlah apa-apa. Sederas
apapun, ia akan tetap menembusnya.
Secepat kilat lelaki itu meluncur dengan motornya, berseliut
dari tikungan ke tikungan, melesat dari jalan ke jalan, menembus hujan yang
seperti tak peduli pada apa-apa. Dalam perjalanan yang kuyup dan gigil itu,
lelaki itu terus menggumam do’a, ia terus memikirkan nasib istrinya yang juga
belum kembali. Beberapa menit, ia telah sampai di swalayan tempat semula
istrinya menunggu. Dan di sana, ia tidak melihat siapa-siapa. Ia bertanya pada
beberapa orang yang melintas, kepada satpam yang berdiri di depan gerbang, dan
tak seorangpun memberikan jawaban yang bisa membuatnya lega.
Tanpa banyak kata, bergegaslah lelaki itu ke rumah
sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, ia segera menemui resepsionis dan
menanyakan apakah ada wanita hamil yang mungkin datang beberapa jam lalu, dan
resepsionis itu menjawab tidak ada. Lelaki itu lemas. Ia meraih motornya dan
segera kembali rumah. Hujan yang deras mendedas sudah liris menjadi gerimis-gerimis
tipis. Ketika lelaki itu sampai di depan rumah, hujan sudah hampir reda.
Di teras rumah ia melihat sesosok perempuan tengah berdiri
mematung, mengelus perutnya yang buncit. Tanpa sepatah kata, lelaki itu segera menghambur,
memeluk perempuan itu erat-erat, seolah mereka telah terpisah begitu lama. Dan
hujan pun kembali turun dengan derasnya.***
Ketika
hujan turun berlarat-larat,
Malang,
akhir November 2012
*Cerita
untuk istriku tercinta yang telah bersusah payah menanak cinta dalam berbagai
bentuk.