Perempuan yang Terbaring Dalam Lukisan, FEMINA, Edisi 37 (22-28 September 2012)


Perempuan itu terbaring lemas di atas ranjangnya. Berbuntal selimut. Wajahnya samar seperti bulan pucat di pagi hari. Beberapa meter di hadapannya, seorang lelaki tengah terduduk di depan kanvas. Tangannya bergerak lembut kesana-kemari. Menorehkan sesuatu di muka kanvas.
“Serius sekali,” perempuan itu bertutur dengan suara serak dan sedikit kering.
“Sssttt… Jangan bergerak. Aku sedang melukis bidadari,” balas lelaki itu dengan sesimpul senyum. Pandangannya berlompatan. Dari perempuan yang terbaring di atas ranjang ke kanvas. Dari kanvas ke perempuan yang terbaring di atas ranjang. Bergantian.
“Sudah, hentikan! Aku sudah bilang, aku tak mau dilukis,” perempuan itu berusaha bangkit dari ranjangnya. Tampak berat. Lekas-lekas lelaki di hadapanya melesat ke ranjang dan membantunya duduk.
“Apa kau ingin minum? Biar kuambilkan,” lelaki itu merapikan bantal untuk sandaran.
“Aku tak mau dilukis,” rajuknya lagi.
“Ayolah! Difoto tak mau, dilukis juga tak mau. Lalu apa yang kau sisakan untukku?”
Perempuan itu terbatuk-batuk, “Kalau ada yang asli, kenapa musti difoto atau dilukis?”
Lelaki itu menunduk beberapa saat dan menatap wajah pucat di hadapannya, “Jadi, kau benar-benar tak mau dilukis?”
“Cukup kau lukis aku dalam ingatanmu saja,” balas perempuan itu singkat.
Lelaki itu menarik ujung bibirnya, tapi tidak membentuk senyum.
***
Perempuan itu benar-benar keras kepala. Apakah dipikirnya ingatanku ini akan tetap utuh dan tak bakal terhapus. Kalau nanti aku beranjak tua dan kemudian pikun bagaimana? Lihatlah! Ia masih saja tersenyum di ranjangnya, seperti gadis kecil yang tak berdosa. Sementara di sini, ada lelaki yang jiwanya mumur, selalu menangis sembunyi-sembunyi.
             Dokter memang tak mengatakan bahwa umurnya tak lagi panjang, dokter hanya mengatakan, bahwa perempuan itu butuh sebuah mukjizat. Hanya mukjizat.
            “Apa kau marah, karena aku melarangmu melukisku?” perempuan itu menatap tajam ke arahku. Aku balas menatapnya. Melihat raut wajahnya yang gersang, membuatku bungkam.
            “Kau benar-benar marah, ya?” perempuan itu mengulang pertanyaanya.
            “Aku hanya tak tahu harus bagaimana,” balasku lirih.
            “Apa kau takut kalau aku mati?” ia melemparkan pertanyaan bodoh itu lagi.
            “Memangnya siapa yang akan mati?”
            “Kupikir, penjelasan dokter sudah cukup mewakili.”
            “Dokter bukan Tuhan yang bisa memutuskan siapa hidup siapa mati.”
“Tapi dokter punya ilmunya.”
Aku tak mau meneruskan percakapan tajam yang seperti belati ini. Aku beranjak keluar kamar, meninggalkannya seorang diri.
***
            Kamar sepi. Kanvas itu teronggok di sudut ruang, kuas dan cat yang bersisa hampir mengering. Di muka kanvas putih itu, tampak sketsa wajah berupa arsiran garis-garis tipis, membentuk raut muka, mata, hidung, bibir, juga rambut yang tergerai. Perempuan itu terdiam di atas ranjang. Terduduk. Menunduk. Dari ranjang tempatnya duduk, ia melirik lukisan itu dan tersenyum. Apakah aku secantik itu, ia membatin.
            Sejurus, ia membaringkan tubuhnya kembali. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih jernih. Ia paham seribu kali, jika akhir-akhir ini suaminya bersikap seperti itu. Apapun dan bagaimanapun, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap tersenyum. Jika redam itu tiba-tiba datang ia akan menengadahkan kepala dan bergumam ‘aku cukup bahagia’.
            Memang, beberapa bulan lalu, ketika dokter mengatakan, bahwa dalam sel darahnya terdapat leukosit yang membabi buta, ia cukup shock. Kata dokter, sudah terlambat, untuk dapat bertahan ia hanya butuh sebuah mukjizat. Hanya mukjizat. Mukjizat? Ia sendiri sebenarnya ngeri, sebab itulah ia tak pernah berani bertanya  pada dokter mengenai sisa usianya. Biar Tuhan saja yang memutuskan. Dan benar, setelah menyerahkan semua pada Tuhan, hatinya bisa sedikit lega. Jika Tuhan mengehendaki ia sembuh, mengapa tidak. Memangnya apa yang bisa dilakukan manusia?
            Lapang sudah hatinya menerima apa-apa yang bakal terjadi. Hanya saja, suaminya, tampak seperti manusia yang tak pernah siap kehilangan sesuatu. Ia memaklumi itu. Ditinggalkan memang sebuah keadaan yang cukup sulit, lebih sulit daripada meninggalkan. Lebih sakit. Maka, pelan-perlahan, ia ingin suaminya belajar menerima, berlapang dada, dengan sebuah cara: tersenyum. Ia berjanji akan mengajarkan suaminya untuk tetap tersenyum.  Di setiap keadaan. Lihatlah! Perempuan itu benar-benar tersenyum.
***
            Aku tak tahu, apakah orang yang mau mati memang sering bertingkah gila. Lihatlah! Perempuan itu tersenyum-senyum sediri di atas ranjangnya. Bahkan, ketika aku memasuki kamar itu dengan wajah batu, senyumnya masih belum putus.
            “Apa kau cukup bahagia?”
            “Aku tak punya alasan untuk bersedih-sedih. Tapi jika kau mau tahu, apa yang bisa membuatku sedih, jawabannya adalah melihatmu sedih. Jadi, apa sekarang kau mau tersenyum?”
            Entah dari mana perempuan itu punya cara, tuturnya selalu bisa membuatku menangis dan tertawa dalam waktu bersamaan.
“Aku tak memintamu tertawa, aku hanya memintamu tersenyum,” ia merajuk lagi.
Aku bungkam, meski akhirnya tersenyum.
“Karena kau sudah tersenyum sekarang kau boleh melukisku.” Perempuan itu memiringkan tubuhnya. Setengah duduk. Ia tersenyum manis. Sangat manis.
“Ayo! Bukankah kau ingin sekali melukisku? Ayo! Sebelum aku berubah pikiran.”
Apa kataku, orang yang ajalnya sudah dekat memang suka bertingkah gila. Beberapa jam lalu ia melarangku melukisnya, sekarang malah memaksaku untuk melukisnya. Aku bangkit perlahan. Mengambil kanvas yang tersandar di dinding, berikut cat dan kuasnya.
“Apa kau keberatan jika aku merebahkan tubuh?” perempuan itu bergeser dari posisinya semula.
“Carilah posisi yang paling nyaman. Sebenarnya yang kubutuhkan hanya izinmu. Bukankah katamu, aku cukup melukismu dalam ingatanku saja. Itu sudah lama sekali kulakukan. Jadi, bagaimanapun posisimu, duduk, berdiri, rebah, atau tengkurap sekalipun, aku tak mungkin keliru melukis wajahmu.”
Perempuan itu merebahkan tubuhnya perlahan, tersenyum dan terbatuk-batuk agak dalam, lalu terpejam.
***
            Lelaki itu masih menorehkan kuasnya di atas kanvas. Detak jarum jam terus mengerang. Jarum-jarumnya seperti berputar cepat sekali. Tak henti-henti. Serta-merta, kamar itu menjadi sunyi. Sangat sunyi. Dan tangan lelaki itu masih saja menari-nari di atas kanvas. Ia masih terus melukis dan melukis. Tak habis-habis. Degup di dadanya berdesiran. Kuas di tangannya gemetaran. Air di matanya berleleran.  Perempuan di hadapannya telah terpejam lama sekali. Tiada gerak. Tiada bunyi. Sepi. Tak hendak bangun lagi.***
Malang, 11 Juni 2012

1 komentar:

Unknown mengatakan...

trus akhirnya perepmuan ituu?? :'(