Perempuan itu terbaring
lemas di atas ranjangnya. Berbuntal selimut. Wajahnya samar seperti bulan pucat
di pagi hari. Beberapa meter di hadapannya, seorang lelaki tengah terduduk di
depan kanvas. Tangannya bergerak lembut kesana-kemari. Menorehkan sesuatu di
muka kanvas.
“Serius sekali,”
perempuan itu bertutur dengan suara serak dan sedikit kering.
“Sssttt… Jangan
bergerak. Aku sedang melukis bidadari,” balas lelaki itu dengan sesimpul
senyum. Pandangannya berlompatan. Dari perempuan yang terbaring di atas ranjang
ke kanvas. Dari kanvas ke perempuan yang terbaring di atas ranjang. Bergantian.
“Sudah, hentikan! Aku sudah
bilang, aku tak mau dilukis,” perempuan itu berusaha bangkit dari ranjangnya. Tampak
berat. Lekas-lekas lelaki di hadapanya melesat ke ranjang dan membantunya
duduk.
“Apa kau ingin minum?
Biar kuambilkan,” lelaki itu merapikan bantal untuk sandaran.
“Aku tak mau dilukis,”
rajuknya lagi.
“Ayolah! Difoto tak
mau, dilukis juga tak mau. Lalu apa yang kau sisakan untukku?”
Perempuan itu
terbatuk-batuk, “Kalau ada yang asli, kenapa musti difoto atau dilukis?”
Lelaki itu menunduk
beberapa saat dan menatap wajah pucat di hadapannya, “Jadi, kau benar-benar tak
mau dilukis?”
“Cukup kau lukis aku dalam
ingatanmu saja,” balas perempuan itu singkat.
Lelaki itu menarik
ujung bibirnya, tapi tidak membentuk senyum.
***
Perempuan itu
benar-benar keras kepala. Apakah dipikirnya ingatanku ini akan tetap utuh dan
tak bakal terhapus. Kalau nanti aku beranjak tua dan kemudian pikun bagaimana?
Lihatlah! Ia masih saja tersenyum di ranjangnya, seperti gadis kecil yang tak
berdosa. Sementara di sini, ada lelaki yang jiwanya mumur, selalu menangis
sembunyi-sembunyi.
Dokter memang tak mengatakan bahwa umurnya tak
lagi panjang, dokter hanya mengatakan, bahwa perempuan itu butuh sebuah
mukjizat. Hanya mukjizat.
“Apa
kau marah, karena aku melarangmu melukisku?” perempuan itu menatap tajam ke
arahku. Aku balas menatapnya. Melihat raut wajahnya yang gersang, membuatku bungkam.
“Kau
benar-benar marah, ya?” perempuan itu mengulang pertanyaanya.
“Aku
hanya tak tahu harus bagaimana,” balasku lirih.
“Apa
kau takut kalau aku mati?” ia melemparkan pertanyaan bodoh itu lagi.
“Memangnya
siapa yang akan mati?”
“Kupikir,
penjelasan dokter sudah cukup mewakili.”
“Dokter
bukan Tuhan yang bisa memutuskan siapa hidup siapa mati.”
“Tapi dokter punya
ilmunya.”
Aku tak mau meneruskan
percakapan tajam yang seperti belati ini. Aku beranjak keluar kamar,
meninggalkannya seorang diri.
***
Kamar
sepi. Kanvas itu teronggok di sudut ruang, kuas dan cat yang bersisa hampir
mengering. Di muka kanvas putih itu, tampak sketsa wajah berupa arsiran
garis-garis tipis, membentuk raut muka, mata, hidung, bibir, juga rambut yang
tergerai. Perempuan itu terdiam di atas ranjang. Terduduk. Menunduk. Dari
ranjang tempatnya duduk, ia melirik lukisan itu dan tersenyum. Apakah aku
secantik itu, ia membatin.
Sejurus,
ia membaringkan tubuhnya kembali. Menatap langit-langit kamar yang berwarna
putih jernih. Ia paham seribu kali, jika akhir-akhir ini suaminya bersikap
seperti itu. Apapun dan bagaimanapun, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk
tetap tersenyum. Jika redam itu tiba-tiba datang ia akan menengadahkan kepala
dan bergumam ‘aku cukup bahagia’.
Memang,
beberapa bulan lalu, ketika dokter mengatakan, bahwa dalam sel darahnya
terdapat leukosit yang membabi buta, ia cukup shock. Kata dokter, sudah terlambat, untuk dapat bertahan ia hanya butuh
sebuah mukjizat. Hanya mukjizat. Mukjizat? Ia sendiri sebenarnya ngeri, sebab itulah
ia tak pernah berani bertanya pada
dokter mengenai sisa usianya. Biar Tuhan saja yang memutuskan. Dan benar,
setelah menyerahkan semua pada Tuhan, hatinya bisa sedikit lega. Jika Tuhan
mengehendaki ia sembuh, mengapa tidak. Memangnya apa yang bisa dilakukan
manusia?
Lapang
sudah hatinya menerima apa-apa yang bakal terjadi. Hanya saja, suaminya, tampak
seperti manusia yang tak pernah siap kehilangan sesuatu. Ia memaklumi itu.
Ditinggalkan memang sebuah keadaan yang cukup sulit, lebih sulit daripada
meninggalkan. Lebih sakit. Maka, pelan-perlahan, ia ingin suaminya belajar
menerima, berlapang dada, dengan sebuah cara: tersenyum. Ia berjanji akan
mengajarkan suaminya untuk tetap tersenyum.
Di setiap keadaan. Lihatlah! Perempuan itu benar-benar tersenyum.
***
Aku
tak tahu, apakah orang yang mau mati memang sering bertingkah gila. Lihatlah!
Perempuan itu tersenyum-senyum sediri di atas ranjangnya. Bahkan, ketika aku
memasuki kamar itu dengan wajah batu, senyumnya masih belum putus.
“Apa
kau cukup bahagia?”
“Aku
tak punya alasan untuk bersedih-sedih. Tapi jika kau mau tahu, apa yang bisa membuatku
sedih, jawabannya adalah melihatmu sedih. Jadi, apa sekarang kau mau
tersenyum?”
Entah
dari mana perempuan itu punya cara, tuturnya selalu bisa membuatku menangis dan
tertawa dalam waktu bersamaan.
“Aku tak memintamu
tertawa, aku hanya memintamu tersenyum,” ia merajuk lagi.
Aku bungkam, meski
akhirnya tersenyum.
“Karena kau sudah
tersenyum sekarang kau boleh melukisku.” Perempuan itu memiringkan tubuhnya.
Setengah duduk. Ia tersenyum manis. Sangat manis.
“Ayo! Bukankah kau ingin
sekali melukisku? Ayo! Sebelum aku berubah pikiran.”
Apa kataku, orang yang
ajalnya sudah dekat memang suka bertingkah gila. Beberapa jam lalu ia
melarangku melukisnya, sekarang malah memaksaku untuk melukisnya. Aku bangkit perlahan.
Mengambil kanvas yang tersandar di dinding, berikut cat dan kuasnya.
“Apa kau keberatan jika
aku merebahkan tubuh?” perempuan itu bergeser dari posisinya semula.
“Carilah posisi yang paling
nyaman. Sebenarnya yang kubutuhkan hanya izinmu. Bukankah katamu, aku cukup
melukismu dalam ingatanku saja. Itu sudah lama sekali kulakukan. Jadi,
bagaimanapun posisimu, duduk, berdiri, rebah, atau tengkurap sekalipun, aku tak
mungkin keliru melukis wajahmu.”
Perempuan itu
merebahkan tubuhnya perlahan, tersenyum dan terbatuk-batuk agak dalam, lalu
terpejam.
***
Lelaki
itu masih menorehkan kuasnya di atas kanvas. Detak jarum jam terus mengerang.
Jarum-jarumnya seperti berputar cepat sekali. Tak henti-henti. Serta-merta,
kamar itu menjadi sunyi. Sangat sunyi. Dan tangan lelaki itu masih saja
menari-nari di atas kanvas. Ia masih terus melukis dan melukis. Tak
habis-habis. Degup di dadanya berdesiran. Kuas di tangannya gemetaran. Air di
matanya berleleran. Perempuan di
hadapannya telah terpejam lama sekali. Tiada gerak. Tiada bunyi. Sepi. Tak
hendak bangun lagi.***
Malang,
11 Juni 2012
1 komentar:
trus akhirnya perepmuan ituu?? :'(
Posting Komentar