Memeluk Ibu, (SUARA KARYA, Sabtu 15 September 2012)

Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
Semenjak kejadian itu, kami mulai pisah ranjang, rumah sederhana yang kami kontrak lengang, ia pulang ke ibunya, dan aku kembali ke ibuku. Dan entah mengapa aku tidak menyesal sedikitpun. Aku tak tahu, mengapa ia selalu cemburu setiap kali aku mengistimewakan ibuku. Sebelum meminangnya, aku sudah mengatakan, menjadi istriku artinya menjadi wanita kedua dalam hatiku, setelah ibuku, dan ia setuju. Ia memang gadis yang baik pada awalnya. Ketika itu ia kupinang dengan uang dua ratus ribu dan seperangkat kitab tafsir terjemah, ia cukup menerima.
Selama menjadi suami, aku selalu berusaha untuk menjalankan kewajibanku sebagai suami. Meski belum dikarunia putra, keluarga kami cukup tentram. Hingga suatu ketika, tiba-tiba ibu jatuh sakit. Dari rumah kontrakan kami yang sederhana, aku mengajaknya pindah ke rumah ibu, untuk sementara waktu, untuk dapat menjaga beliau, setidaknya sampai beliau sembuh. Meski terlihat agak menggerundal, akhirnya ia setuju. Karena aku seorang anak tunggal, ibu pun tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil yang cukup nyaman, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kontrakan kami, tapi juga tidak bisa dibilang dekat. Aku dan ibu tinggal di dua kecamatan yang berbeda, dari rumah kontrakanku, aku butuh waktu hampir dua jam untuk sampai di rumah tempat ibu tinggal.
Berkali-kali aku membujuk ibu untuk tinggal satu rumah dengan kami, tapi ibu tetap tak mau. Alasannya tidak lain adalah, beliau ingin merawat rumah peninggalan kakek. Demi alasan pekerjaan, aku dan istri pun tak bisa tinggal satu rumah dengan ibu. Maka, aku dan istri memutuskan untuk mengontrak rumah yang letaknya tidak jauh dari kantor tempat kami bekerja. Ketika kami meminta restu dari ibu, dengan hati lapang beliau mempersilahkan. Bahkan beliau bilang, supaya aku tidak terlalu mengkhawatirkannya.
“Apa menurutmu ibumu ini sudah terlalu tua, sehingga seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa lagi sendiri,” demikian tutur ibu.
“Bukan begitu, Bu. Hanya saja, hati saya tidak tenang kalau harus jauh dari ibu,” balasku.
“Ah, kau ini seperti anak-anak. Ingat, kau sudah punya istri. Prioritaskan itu. Justru ibu yang jadi tidak tenang, kalau kamu terus-terusan memikirkan ibu. Sekarang pikirkan keluargamu. Kamu sudah berkeluarga,” nasehat ibu meluncur.
Melihat ibu begitu bersikeras, akhirnya aku dan istri memutuskan untuk mencari rumah kontrakan sendiri.
“Baiklah, seminggu sekali kami akan menjenguk ibu,” lafasku kemudian. Ibu tersenyum mendengarnya.
***
            Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
            Pertengkaran itu dimulai dari percakapan ringan. Ketika kami mulai tinggal satu atap dengan ibuku. Ibu terbaring lemas di ranjang lepek, dalam kamarnya. Aku duduk di tikar pandan yang terjabar di lantai. Wajah ibu kian pucat. Sudah tiga kali aku berusaha membujuknya, supaya ia mau kubawa ke rumah sakit atau setidaknya puskesmas. Tapi tetap saja, ibu menolak. Dalihnya, ia hanya demam biasa dan akan segera sembuh. Dalam sakitnya, ibu malah mengkhawatirkan keadaan kami, aku dan istri. Barangkali ibu memerhatikan wajah istriku yang melulu tirus semenjak aku mengajaknya pindah.
“Tidak apa-apa, Bu, mungkin Hasna kecapekan, pulang pergi dari tempat kerja yang jaraknya lumayan jauh,” aku tak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada ibu.
“Dari itu, sebaiknya kalian kembali ke rumah kontrakan kalian saja. Sudah kubilang, aku hanya demam biasa. Lagi pula di sini juga banyak tetangga-tetangga yang bisa ibu mintai bantuannya, kalau ibu perlu sesuatu,” balas ibu lemas.
“Mana masuk akal kami meninggalkan ibu sendirian dalam keadaan begini. PP dari rumah ke kantor juga tidak sejauh yang ibu bayangkan. Jadi biarkan kami tetap tinggal di sini, setidaknya sampai ibu sehat kembali. Makanya, ayo ke dokter, supaya ketahuan, ibu sakit apa. Supaya ibu bisa lekas sehat seperti sedia kala.”
Ibu tak menggubris, tapi ia tersenyum menatapku.
Selepas ibu lelap, aku melangkah ke dapur dengan piring dan gelas kotor sisa makan ibu. Dan kecemburuan istriku mulai tampak di sini. Ketika aku meletakkan piring dan gelas sisa makan ibu, istriku tak mau mencucinya, ia hanya mencuci gelas dan piring bekas makan kami saja. Maka aku mencucinya sendiri. Ketika masuk ke dalam kamar, aku mendapati istriku tidur memeluk guling, menghadap tembok. Dari gerak lakunya, ia tak bisa menyembunyikan, bahwa ia sedang kesal.
“Kau baik-baik saja?” kusentuh pundaknya perlahan.
Ia tak menjawab.
“Sayang, apa kau baik-baik saja?” aku megulang pertanyaan yang sama.
“Tidak!” jawabnya ketus, tanpa memalingkan muka sedikit pun.
“Ibuku ibumu juga,” aku mencoba menghaluskan tutur.
Ia membisu.
“Jangan begitu lah…”
“Aku capek! Mau tidur.” balasnya masih jutek.
Aku memilih diam, membiarkannya diam, agar segala kekesalan dalam dirinya turut redam. Dan esok akan menjadi hari yang berbeda bagi kami.
***
 Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
Pagi-pagi buta, sekitar pukul setengah enam, selepas menyeduhkan teh hangat untukku, istriku berangkat kerja terlebih dahulu.  Ia mencium tanganku dengan air muka yang datar. Biasanya kami berangkat bersamaan. Tapi, karena ia tidak sabar menungguku yang masih sibuk mengurusi segala keperluan ibu, ia memilih berangkat sendiri. Aku tak mau hal-hal kecil seperti itu menjadi sumber cek-cok, maka aku membiarkannya berbuat apa saja yang ia mau, selama itu masih di dalam batas-batas kewajaran.
Sepulang kerja, silih aku yang mengalah, menyiapkan segala keperluan untuk makan siang. Wajah istriku tampak kepayahan dan sangat tirus. Selepas makan siang—setelah beberapa hari saling mendiamkan satu sama lain—aku mencoba mendekatinya, mengajaknya bicara, dari hati ke hati.
“Alhamdulillah, kondisi ibu sudah mulai membaik,” selorohku santai.
“Syukurlah,” balasnya tanpa menatapku.
Kami diam beberapa jenak.
“Jadi, kapan kita bisa balik ke rumah?” tanyanya kemudian.
“Besok, atau mungkin lusa.”
“Lebih cepat lebih baik. Mungkin rumah yang kita tinggal sekarang sudah jadi kapal pecah.”
“Iya,” aku merendahkan suara, agar terdengar lembut dan sependapat.
Kami sama-sama terdiam lagi, beberapa saat.
“Oh, ya, aku ingin bertanya sesuatu padamu,” aku memulai percakapan baru.
“Apa?” sahutnya singkat.
“Misalnya aku membagi seperempat jatah gajiku untuk ibu, bagaimana?”
Serta-merta ia menatapku, tatapan kejut yang berkabut.
“Apakah hasil paroan sawah itu masih kurang untuk ibumu?” balasnya terdengar nyelekit di telingaku. Aku berusaha untuk menahan diri.
“Bukan begitu maksudku. Ibu kan belum tentu pegang uang tiap hari. Jadi, ketika kita tidak ada di sisi beliau, dan beliau membutuhkan sesuatu, untuk beli obat, atau keperluan sehari-hari misalnya, beliau sudah punya pegangan.”
“Bagaimana dengan keperluan kita? Keperluan kita lebih banyak. Ngurus rumah, belanja,  listrik, tabungan, kalau kita punya anak nanti, belum lagi kebutuhan-kebutuhan tak terduga lainya. Semua itu butuh uang,” uangkapnya berapi-api.
Tak ingin persilatan lidah itu berlanjut, aku segera berigsut keluar kamar. Aku tak mau ibu menguping pembicaraan kami yang terasa sangat jauh ujungnya.
***
Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
Setelah keadaan ibu benar-benar pulih, kami pamit. Aku senang melihat istriku sudi mencium tangan ibu dengan wajah cerah. Namun, sesampainya di rumah, setelah melihat kondisi rumah yang benar-benar amburadul, wajah istriku kembali keruh.
“Kalau kau capek, kau istirahat saja, biar aku yang membereskan semuanya,” tuturku pelan. Ia tak menghiraukan kata-kataku. Setelah meletakkan tas dan mengganti pakaiannya dengan daster kumal, ia mulai menyahut sapu dan penebah. Ketika aku hendak membantunya, dengan raut culas, ia mengatakan, “Kau istirahat saja. Aku tahu kau capek.” Dengan senang hati aku menurutinya.
Malam harinya, ketika keadaan rumah menjadi nyaman, kami duduk berdua di depan tivi sambil menyantap makanan kecil alakadarnya. Aku memulai obrolan.
“Sayang, bolehkah aku menyampaikan sesuatu?” aku berusaha menggenggam jemarinya.
“Apa lagi?” ia berusaha mengelak.
“Mohon maaf sebelumnya, setelah berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk membagi seperempat gajiku buat ibu.”
Ia menatapku, wajahnya tiba-tiba memerah. “Maksudmu?”
“Pasti Allah akan menggantinya dengan rizki yang berlipat,” kata-kataku mungkin terdengar seperti ceramah, di telinganya.
“Tapi aku istrimu. Aku yang berhak. Dan ketika aku tidak mengizinkan kau melakukan itu, seharusnya kau tidak melakukannya,” ia meledak.
“Tapi beliau ibuku, ibumu juga, ibu kita. Dan beliau membutuhkan itu,” aku masih berusaha lembut.
“Kalau begitu hiduplah dengan ibumu, biarkan dia yang membuatkan sarapan untukmu, yang mencucikan bajumu, yang memijat punggungmu kalau kau pegal. Laukan saja semaumu, kau lelaki, kepala rumah tangga… apa pentingnya pendapat istri,” ia menjelma naga, yang meluncurkan api dari mulutnya.
“Kau tak boleh bicara begitu, Sayang,” nada suaraku mulai tinggi.
“Lalu?”
“Kau tahu, mengapa di dunia ini tak ada istilah ‘mantan ibu’, karena, seperti apapun, seburuk apapun, seculas apapun, ibu tetaplah ibu, tak mungkin tergantikan oleh siapapun. Dan istri, mantan istri, tak terhitung jumlahnya di dunia ini. Itu artinya, seorang istri tak pernah lebih berarti dari seorang ibu.” Meski nada bicaraku terdengar santai, namun emosiku turut meledak ketika mengatakan itu. Seperti magma di perut bumi yang lama sekali tertahan dan butuh dimuntahkan. Sama sekali aku tak berniat menyakiti hati istriku, aku hanya ingin ia mendapat sebuah pelajaran.
Tapi sungguh di luar dugaan, dengan air mata berurai dan wajah yang masih merah, istriku menggumam pelan, “Kalau begitu, kau pilih aku atau ibumu?”
Mendengar kata-katanya yang menusuk seperti jarum, tanpa berpikir panjang aku pun membalas, “aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.”
Istriku beringsut ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam. Aku masih tercenung, menjelma patung. Mengingat bagaimana ibu, raut lembutnya, jerih payahnya, membuatku berpikir, bahwa istriku berhak untuk mendapatkan pelajaran yang lebih dari itu. Karena, suatu ketika, ia juga akan menjadi seorang ibu.***
Malang, 31 Maret 2012

1 komentar:

Unknown mengatakan...

emm...bener juga..