Percakapan Tengah Malam, (Tabloid Nova, edisi 27 Agustus -2 September 2012)

Malam malam. Sayup suara timbul tenggelam. Di langit dan di kolam, bulan kembar bersalam. Di beranda, kesunyian terselam. Di ruang ingatan, masa lalu tersulam. Malam Malam.
“Sayang,” sayup suara kakek terdengar centil.
“Ya?”
“Rasanya baru kemarin kita dipertemukan, lalu jatuh cinta dan menikah,” lanjut kakek.
Masih sepi. Krik krik krik
“Iya, rasanya seperti nonton film bagus, durasi waktunya berjalan cepat tapi tak terasa, tiba-tiba film sudah berakhir,” sambut nenek, lirih.
“Apakah kau membicarakan kerentaan kita?”
“Kata Marquez, kerentaan adalah keadaan yang tidak layak untuk dilanjutkan sehingga harus diakhiri sebelum terlambat.”
“Apa kau percaya itu?”
“Apa kau gila, tentu saja tidak, kerentaan tidaklah seburuk itu.”
“Tapi bukankah kita memang sudah sama-sama renta,”
“Apa kau tidak bahagia dengan keadaan ini?”
“Tentu saja aku bahagia. Selama kau di dekatku, kerentaan tak pernah berarti apa-apa.”
Sepi lagi. Beberapa menit. Krik krik krik…
“Sayang,” suara kakek terdengar parau.
“Ya?”
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin memanggilmu saja, agar kau menolehkan wajahmu ke arahku.”
***
Malam benar. Sayup suara nyaris tak terdengar.  Di langit dan di kolam, bulan kembar berlayar. Di beranda, kesunyian menjalar. Di ruang ingatan, masa lalu terkapar. Malam benar.
“Sayang,” lirih kakek.
“Hem?”
“Seperti apakah kau memandang kehidupan ini?”
“Kehidupan kita maksudmu?”
“Ya.”
“Sempurna.”
“Meski penuh luka.”
“Justru luka adalah resep paling mujarab untuk kehidupan yang sempurna.”
“Sempurna seperti apa yang kau maksud?”
“Seperti kita.”
“Ha?”
“Siapa yang akan mengira, seorang gadis manis lulusan S2 dipinang seorang pemuda yang bahkan hampir tidak lulus SMA.”
“Hei, tapi aku seorang penyair.”
“Tentu saja, aku takkan lupa pada racun yang kau ramu dan kau sodorkan padaku.”
“Racun? Racun apa maksudmu?”
“Aduh, katamu kau seorang penyair, tapi mengapa begitu sulit mengartikan bahasa kiasan.”
“Ya, ya, aku paham.”
Sepi. Krik krik krik…
“Sebentar, mendekatlah,” suara nenek terdengar parau.
“Apa?”
“Ada yang mengkilat di rambutmu. Sepertinya itu uban.”
“Biar saja, jangan dicabut, itu bukan uban. Itu musim, sebentar lagi akan ada yang gugur dari tubuhku, dan kau tahu, musim yang baru telah menanti.”
“Mana mungkin aku mencabutnya, semua rambutmu uban, eh, maksudku musim.”
“Lalu mengapa kau memintaku mendekat?”
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin kita merapat saja supaya hangat.”
***
Malam larut. Sayup suara pasang surut.  Di langit dan di kolam, bulan kembar bersambut. Di beranda, kesunyian melangut. Di ruang ingatan, masa lalu merunut, bertaut. Malam larut.
“Sayang,” kakek membuka percakapan baru.
“Kenapa?”
“Ini sudah sangat larut. Apa kau tidak mengantuk?”
“Mengantuk dalam suasana romantis seperti ini adalah perbuatan tidak sopan.”
“Lucu sekali, kita sudah setua ini masih saja butuh dengan hal-hal romantis.”
“Memangnya kau pikir apa yang membuat pasangan suami istri bisa awet sampai tua seperti kita ini?”
“Duit, bukan?”
“Itu termasuk, tapi itu tidak terlalu penting. Cinta itu ibarat tanaman, romantis itu ibarat pupuk. Jadi, supaya cinta bisa bertumbuh kembang dengan subur, kita butuh pupuk yang cukup.”
“Amboy, bahasamu…”
“Begini-begini istrimu lulusan sarjana sastra.”
“Meskipun tak pernah menciptakan karya sastra. Hahaha.”
“Aku tak mau menyaingimu, tentu saja. Cukup lelaki saja yang jadi sastrawan berkibar, wanita cukup jadi sastrawan di balik layar.”
“Sastrawan di balik layar? Istilah apa lagi itu?”
“Mendidik anak dengan baik, mengasuh cucu dengan baik, menjadikan mereka manusia yang bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya, apakah itu bukan karya sastra?”
“Aku benar-benar bangga memiliki seorang sastrawan di balik layar.”
“Hahaha…”
Sepi. Krik krik krik…
“Sebentar, ada sesuatu di keningmu,” lirih kakek.
“Ha?”
“Tidak apa-apa, aku hanya melihat cahaya di keningmu, dan kurasa aku harus mengecupnya, agar cahaya itu juga menjalar ke bibirku, ke wajahku.”
***
Malam pekat. Sayup suara menjauh dan mendekat.  Di langit dan di kolam, bulan kembar berkilat. Di beranda, kesunyian berkarat. Di ruang ingatan, masa lalu berjingkat. Malam pekat.
“Sayang,” kakek memulai lagi.
“Sudah, jangan pakai sayang-sayangan, nanti cucu kita dengar,” balas nenek.
“Dia sudah tidur.”
“Bagaimana kalau dia menguping pembicaraan kita?”
“Tidak masalah, kan. Justru supaya ia tahu, bahwa orang dewasa tak selalu bermusuhan seperti ibu-bapaknya.”
“Kita sudah bukan dewasa lagi. Kita sudah tua. Kau tahu artinya tua? T-u-a!”
“Tua ya tua.”
“Tua itu artinya, kita akan kembali menjadi bayi. Gigi kita akan ranggas satu persatu, tak bisa makan rempeyek, seperti bayi. Kita juga akan pikun, tak tahu apa-apa, seperti bayi. Bahkan mungkin, kita juga harus mengenakan pempres.”
“Apa itu berarti, kita akan menyusahkan anak-anak kita?”
“Tentu saja, itu akan menjadi semacam ujian imbal balik bagi anak-anak.”
“Maksudnya?”
“Ya… mereka harus merawat orang tua mereka sebagimana orang tua mereka merawat mereka sewaktu bayi.”
“Pasti itu akan sangat sulit.”
“Ya, bahkan menjijikkan. Kau tahu kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa orang tua yang menjadi bayi jauh lebih menjijikkan.”
“Kenapa?”
“Karena mereka pernah melakukan dosa. Dan itulah satu-satunya hal membedakan mereka dengan bayi, meski mereka sama-sama tak berdaya.”
Sepi. Krik krik krik
“Apa kau menangis?” suara nenek terdengar sayup, lembut.
“Aku tak menangis, aku hanya takut. Takut akan kerentaan kita. Aku takut akan menyusahkan banyak orang, anak-anak kita, cucu-cucu kita.”
“Apa kau ingin aku merapat?”
Sepi. Krik krik krik
***
Malam jelita. Sayup suara bersilih bagai soneta.  Di langit dan di kolam, bulan kembar melata. Di beranda, kesunyian bertahta. Di ruang ingatan, masa lalu merenta. Malam jelita.
“Sayang,” sayup suara kakek terdengar lemas.
“Sudah kubilang, gak usah pake sayang-sayangan.”
“Apa salahnya memanggil ‘sayang’?”
“Umur. Inget umur.”
“Tak masalah, kan. Kau tahu, mengapa banyak sekali suami atau istri tidak puas dengan pasangannya? Karena mereka enggan untuk bersikap romantis. Menyatakan cinta pada pasangan mereka terasa seperti perbuatan konyol, padahal justru itu yang membuat pasangan kita merasa berharga dan terus dicintai.”
“Apakah cinta musti diungkapkan dengan kata-kata?”
“Tetu saja, cinta akan menjadi sempurna jika terucap oleh lisan, terealisasi oleh tindakan. Bukan dalam hati semata.”
“Oh, jadi itu alsanmu menjadi centil.”
“Tapi kau suka, kan?”
Sepi. Krik krik krik
“Ini sudah terlalu malam, apa tak sebaiknya kita berangkat tidur,” nenek seperti menggumam sendiri.
“Apa kau sudah mengatuk?”
“Kalau mengantuk, tidak.”
“Lalu?”
“Kita tak sadar, kalau sedari tadi ada telinga menguping pembicaraan kita dari balik jendela.”
***
Malam lepas. Sayup suara meranggas.  Di langit dan di kolam, bulan kembar berhias. Di beranda, kesunyian menderas. Di ruang ingatan, masa lalu mengelupas. Malam lepas.***

Malang, 13 Maret 2012

1 komentar:

Unknown mengatakan...

SO SWEET :)