Malam
malam. Sayup suara timbul tenggelam. Di langit dan di kolam, bulan kembar bersalam.
Di beranda, kesunyian terselam. Di ruang ingatan, masa lalu tersulam. Malam
Malam.
“Sayang,” sayup suara
kakek terdengar centil.
“Ya?”
“Rasanya baru kemarin
kita dipertemukan, lalu jatuh cinta dan menikah,” lanjut kakek.
Masih sepi. Krik krik krik
“Iya, rasanya seperti
nonton film bagus, durasi waktunya berjalan cepat tapi tak terasa, tiba-tiba
film sudah berakhir,” sambut nenek, lirih.
“Apakah kau
membicarakan kerentaan kita?”
“Kata Marquez, kerentaan
adalah keadaan yang tidak layak untuk dilanjutkan sehingga harus diakhiri
sebelum terlambat.”
“Apa kau percaya itu?”
“Apa kau gila, tentu
saja tidak, kerentaan tidaklah seburuk itu.”
“Tapi bukankah kita memang
sudah sama-sama renta,”
“Apa kau tidak bahagia
dengan keadaan ini?”
“Tentu saja aku bahagia.
Selama kau di dekatku, kerentaan tak pernah berarti apa-apa.”
Sepi lagi. Beberapa
menit. Krik krik krik…
“Sayang,” suara kakek
terdengar parau.
“Ya?”
“Tidak apa-apa, aku
hanya ingin memanggilmu saja, agar kau menolehkan wajahmu ke arahku.”
***
Malam benar. Sayup suara
nyaris tak terdengar. Di langit dan di
kolam, bulan kembar berlayar. Di beranda, kesunyian menjalar. Di ruang ingatan,
masa lalu terkapar. Malam benar.
“Sayang,” lirih kakek.
“Hem?”
“Seperti apakah kau
memandang kehidupan ini?”
“Kehidupan kita
maksudmu?”
“Ya.”
“Sempurna.”
“Meski penuh luka.”
“Justru luka adalah
resep paling mujarab untuk kehidupan yang sempurna.”
“Sempurna seperti apa
yang kau maksud?”
“Seperti kita.”
“Ha?”
“Siapa yang akan
mengira, seorang gadis manis lulusan S2 dipinang seorang pemuda yang bahkan
hampir tidak lulus SMA.”
“Hei, tapi aku seorang
penyair.”
“Tentu saja, aku takkan
lupa pada racun yang kau ramu dan kau sodorkan padaku.”
“Racun? Racun apa
maksudmu?”
“Aduh, katamu kau
seorang penyair, tapi mengapa begitu sulit mengartikan bahasa kiasan.”
“Ya, ya, aku paham.”
Sepi. Krik krik krik…
“Sebentar, mendekatlah,”
suara nenek terdengar parau.
“Apa?”
“Ada yang mengkilat di
rambutmu. Sepertinya itu uban.”
“Biar saja, jangan
dicabut, itu bukan uban. Itu musim, sebentar lagi akan ada yang gugur dari
tubuhku, dan kau tahu, musim yang baru telah menanti.”
“Mana mungkin aku
mencabutnya, semua rambutmu uban, eh, maksudku musim.”
“Lalu mengapa kau
memintaku mendekat?”
“Tidak apa-apa, aku
hanya ingin kita merapat saja supaya hangat.”
***
Malam larut. Sayup
suara pasang surut. Di langit dan di
kolam, bulan kembar bersambut. Di beranda, kesunyian melangut. Di ruang
ingatan, masa lalu merunut, bertaut. Malam larut.
“Sayang,” kakek membuka
percakapan baru.
“Kenapa?”
“Ini sudah sangat
larut. Apa kau tidak mengantuk?”
“Mengantuk dalam
suasana romantis seperti ini adalah perbuatan tidak sopan.”
“Lucu sekali, kita sudah
setua ini masih saja butuh dengan hal-hal romantis.”
“Memangnya kau pikir
apa yang membuat pasangan suami istri bisa awet sampai tua seperti kita ini?”
“Duit, bukan?”
“Itu termasuk, tapi itu
tidak terlalu penting. Cinta itu ibarat tanaman, romantis itu ibarat pupuk.
Jadi, supaya cinta bisa bertumbuh kembang dengan subur, kita butuh pupuk yang
cukup.”
“Amboy, bahasamu…”
“Begini-begini istrimu lulusan
sarjana sastra.”
“Meskipun tak pernah
menciptakan karya sastra. Hahaha.”
“Aku tak mau
menyaingimu, tentu saja. Cukup lelaki saja yang jadi sastrawan berkibar, wanita
cukup jadi sastrawan di balik layar.”
“Sastrawan di balik
layar? Istilah apa lagi itu?”
“Mendidik anak dengan
baik, mengasuh cucu dengan baik, menjadikan mereka manusia yang bisa
menempatkan sesuatu pada tempatnya, apakah itu bukan karya sastra?”
“Aku benar-benar bangga
memiliki seorang sastrawan di balik layar.”
“Hahaha…”
Sepi. Krik krik krik…
“Sebentar, ada sesuatu
di keningmu,” lirih kakek.
“Ha?”
“Tidak apa-apa, aku
hanya melihat cahaya di keningmu, dan kurasa aku harus mengecupnya, agar cahaya
itu juga menjalar ke bibirku, ke wajahku.”
***
Malam
pekat. Sayup suara menjauh dan mendekat.
Di langit dan di kolam, bulan kembar berkilat. Di beranda, kesunyian berkarat.
Di ruang ingatan, masa lalu berjingkat. Malam pekat.
“Sayang,” kakek memulai
lagi.
“Sudah, jangan pakai
sayang-sayangan, nanti cucu kita dengar,” balas nenek.
“Dia sudah tidur.”
“Bagaimana kalau dia
menguping pembicaraan kita?”
“Tidak masalah, kan.
Justru supaya ia tahu, bahwa orang dewasa tak selalu bermusuhan seperti ibu-bapaknya.”
“Kita sudah bukan
dewasa lagi. Kita sudah tua. Kau tahu artinya tua? T-u-a!”
“Tua ya tua.”
“Tua itu artinya, kita
akan kembali menjadi bayi. Gigi kita akan ranggas satu persatu, tak bisa makan
rempeyek, seperti bayi. Kita juga akan pikun, tak tahu apa-apa, seperti bayi.
Bahkan mungkin, kita juga harus mengenakan pempres.”
“Apa itu berarti, kita
akan menyusahkan anak-anak kita?”
“Tentu saja, itu akan
menjadi semacam ujian imbal balik bagi anak-anak.”
“Maksudnya?”
“Ya… mereka harus
merawat orang tua mereka sebagimana orang tua mereka merawat mereka sewaktu
bayi.”
“Pasti itu akan sangat
sulit.”
“Ya, bahkan
menjijikkan. Kau tahu kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa orang tua yang
menjadi bayi jauh lebih menjijikkan.”
“Kenapa?”
“Karena mereka pernah
melakukan dosa. Dan itulah satu-satunya hal membedakan mereka dengan bayi,
meski mereka sama-sama tak berdaya.”
Sepi. Krik krik krik
“Apa kau menangis?”
suara nenek terdengar sayup, lembut.
“Aku tak menangis, aku hanya
takut. Takut akan kerentaan kita. Aku takut akan menyusahkan banyak orang, anak-anak
kita, cucu-cucu kita.”
“Apa kau ingin aku
merapat?”
Sepi. Krik krik krik
***
Malam
jelita. Sayup suara bersilih bagai soneta.
Di langit dan di kolam, bulan kembar melata. Di beranda, kesunyian
bertahta. Di ruang ingatan, masa lalu merenta. Malam jelita.
“Sayang,” sayup suara
kakek terdengar lemas.
“Sudah kubilang, gak
usah pake sayang-sayangan.”
“Apa salahnya memanggil
‘sayang’?”
“Umur. Inget umur.”
“Tak masalah, kan. Kau
tahu, mengapa banyak sekali suami atau istri tidak puas dengan pasangannya?
Karena mereka enggan untuk bersikap romantis. Menyatakan cinta pada pasangan
mereka terasa seperti perbuatan konyol, padahal justru itu yang membuat
pasangan kita merasa berharga dan terus dicintai.”
“Apakah cinta musti
diungkapkan dengan kata-kata?”
“Tetu saja, cinta akan
menjadi sempurna jika terucap oleh lisan, terealisasi oleh tindakan. Bukan
dalam hati semata.”
“Oh, jadi itu alsanmu
menjadi centil.”
“Tapi kau suka, kan?”
Sepi. Krik krik krik
“Ini sudah terlalu
malam, apa tak sebaiknya kita berangkat tidur,” nenek seperti menggumam
sendiri.
“Apa kau sudah
mengatuk?”
“Kalau mengantuk,
tidak.”
“Lalu?”
“Kita tak sadar, kalau
sedari tadi ada telinga menguping pembicaraan kita dari balik jendela.”
***
Malam
lepas. Sayup suara meranggas. Di langit
dan di kolam, bulan kembar berhias. Di beranda, kesunyian menderas. Di ruang
ingatan, masa lalu mengelupas. Malam lepas.***
Malang,
13 Maret 2012
1 komentar:
SO SWEET :)
Posting Komentar