Di bibir sebuah jalan.
Bila malam menyambar pelan. Setiap pejalan kaki, penjual mie bakso keliling,
para penumpang angkot, atau pengendara sepeda motor yang kebetulan lewat, semua
akan melihatnya. Melihat perempuan itu membeku. Di bawah tiang lampu. Ia
tengadah, memelototi cahaya lampu yang tumpah di wajahnya berlama-lama.
Bibirnya bergerak ringan, seolah tengah berkata-kata pada lampu yang mencorong
di atas kepalanya. Sesekali ia menatap nanar pada trotoar yang ia pijak,
seperti mengenang sebuah jejak.
***
Tepat di tepian jalan.
Di belakang tiang lampu kelabu itu. Teronggok sebuah rumah. Rumah yang tampak
lelah dengan keadaannya sendiri; Gerbang setinggi pinggul, yang sudah miring
dan tak pernah terkunci. Pot-pot tanpa bunga dengan tanah kering yang
menggumpal di dalamnya. Lantai teras yang tertutup debu dan plastik-plastik
kecil yang diterbangkan angin. Genting-genting yang retak dan melorot kesana
kemari. Rumah itu tak ubahnya pesakitan yang dipasung sepi. Tak bisa bergerak.
Dan akhirnya memilih mati.
Tak
siapapun mengerti. Bahwa dulu, puluhan tahun lalu, rumah itu pernah hidup.
Rumah mungil yang elegan di tepi jalan. Gerbang berukir setinggi pinggul, yang
ketika didorong—dibuka ataupun ditutup, akan selalu ada gadis kecil yang
menaikinya sambil berteriak, ‘hore…, terbang, terbang’. Di teras rumah itu,
memaku pot-pot mengkilap yang ditanami anthurium dan bonsai. Lantai teras itu
selalu mengkilap, lantaran akan ada gadis kecil yang rajin menyapunya, dan
bermain bola bekel di atasnya di sore hari.
Ketika
itu, jalanan di depan rumah tak seramai sekarang. Bahkan tiang lampu penerang
jalan belum menjulang dan sesemarak sekarang. Hanya satu dua, di perempatan
besar, atau di tepi pusat jalan raya yang dilewati bus. Hingga suatu ketika, saat
hendak berangkat ke sekolah, gadis kecil itu melihat beberapa orang berdiri di
jalanan, di depan rumahnya. Dan siangnya, sepulang sekolah. Ia sudah melihat
tiang lampu itu berdiri gagah di depan rumahnya. Bersela pagar dan selokan
kecil. Gadis itu berteriak memanggil mamanya.
“Ma,
di depan rumah dipasang lampu besar, Ma. Rumah kita akan menjadi terang,
seperti istana, horeee….,” ungkapnya girang. Mamanya yang sudah mengerti ihwal
tiang lampu itu, cukup tersenyum dan mengangguk.
Selanjutnya,
hari-hari berikutnya gadis kecil itu lebih suka melakukan banyak hal di teras
rumahnya: makan malam, belajar, membaca buku, atau terkadang-kadang ia membawa
kursi plastik ke bawah tiang lampu itu dan berlagak seperti tukang ronda. Tiang
lampu itu sudah seperti sahabat baginya.
Suatu
petang, lampu itu pernah tidak menyala. Dan gadis itu sangat cemas. Ada apa
gerangan? Apakah lampunya rusak? Atau kabelnya putus? Dalam cemasnya, gadis
kecil itupun mendatangi mamanya, “Ma, mengapa malam ini lampunya tidak
menyala?”
“Mungkin kabelnya
sedang konslet, atau lampunya yang rusak,” jawab mama santai.
“Kenapa tidak diganti
atau diperbaiki?”
“Pasti besok sudah
menyala.”
Gadis kecil itu sedikit
kecewa dengan tanggapan mamanya. Malam itu, gadis kecil itu berangkat tidur
dengan keadaan gelisah. Pasti besok sudah menyala, ia menghibur dirinya.
Pada petang berikutnya,
gadis itu hanya termangu di teras rumahnya, tidak menyapu ataupun bermain bola
bekel. Ia hanya termangu, memandangi lampu yang seperti melambai-lambai di
puncak tiang. Hingga akhirnya, mama menegurnya.
“Magrib, ayo masuk,”
tukas mama, yang hanya melongokkan kepala dari balik pintu.
Ia menoleh sebentar,
dan menjawab, “Iya, Ma, bentar lagi, tunggu lampunya nyala.”
Tanpa sepatah kata mama
beringsut meinggalkannya seorang diri. Lampu di teras rumahnya mulai menyala.
Mama menyalakannya. Adzan maghrib pun mulai kumandang. Dan ia masih mematung
menunggu lampu jalan itu menyala.
Ketika adzan maghrib
sudah berhenti cukup lama. Dan lampu jalan itu belum juga menyala, ia mulai
gelisah dan hampir menangis. Untung saja mama segera datang dan berbisik,”Itu
hanya lampu, Sayang. Seperti mesin, lampu adalah sesuatu yang bisa rusak.
Manusia saja bisa lemas dan sakit bila kepayahan, kurang istirahat.”
“Jadi lampu itu terlalu
banyak dinyalakan, ya, Ma.”
Mama mengernyitkan
dahi, “Mungkin saja.”
“Tapi, lampu-lampu yang
lain tidak mati. Hanya lampu di depan rumah kita saja yang mati.”
“Mungkin memang
kebetulan, lampu di depan rumah kita saja yang sedang konslet.”
“Lalu, kapan lampunya akan menyala, Ma?”
“Entahlah, mungkin
besok atau lusa.”
“Jadi, lampunya sedang
sakit, ya, Ma?”
“Iya, lampunya sedang
istirahat, nanti kalau sudah baikan, pasti menyala.”
Gadis kecil itu masih
termangu, menatap tiang lampu yang remang dan mulai didekap gelap.
“Masuk, yuk!” mama
meraih pundah gadis kecil itu dan menuntunnya masuk.
***
Pada
petang hari berikutnya dan berikutnya lagi, lampu itu masih belum juga menyala.
Hingga gadis kecil itu memutuskan untuk turun tangan. Tanpa sepengetahuan
mamanya, gadis kecil itu mendekati tiang lampu di depan rumahnya, diam-diam. Ia
menatap lampu yang menggantung di puncak tiang penuh rindu. Ia seperti
berkata-kata, “Lama sekali kau tidak menyala, aku rindu kau menyala.” Ia terus
menengadahkan kepala. Ia memikirkan sesuatu yang mungkin dapat dilakukannya.
Ia terus tengadah,
menatap tiang yang tingginya hampir tujuh kali lipat dari tubuhnya. Ia
tersenyum. Beringsut ke halaman, mengambil galah panjang yang biasa ia gunakan
untuk memetik buah ceri di depan rumah. Sedikit kurang panjang, pikirnya. Ia
ingin menyambungnya, tapi tak tahu dengan apa. Matanya masih nyalang, menatap
apa saja yang mungkin bisa ia gunakan untuk memperpanjang galahnya. Hingga
tatapannya medarat pada sebuah kursi plastik yang teronggok di teras rumah.
tergopoh-gopoh ia menyeret kursi itu sampai ke bawah tiang lampu.
Tepat
di bawah tiang lampu. Ia meletakkan kursi plastik itu hati-hati dan kemudian
memanjatnya. Dari atas kursi itu, ia mulai mengulurkan galahnya dan
menggoyang-goyangkannya ke arah bola lampu yang bertudung dan menggantung
sendu. Sepi. Gerimis tipis mulai turun. Dari dalam rumah, ia mendengar mamanya
berteriak menyuruhnya masuk. Ia hanya menjawab alakadarnya, “iya, Ma, bentar
lagi…” dan kembali mengayunkan galahnya ke arah lampu di atas kepalanya. Ia
ters mengayun, menjentik-jentikan galahnya. Seperti membangunkan harimau yang
terlelap dalam kandang.
Beberapa waktu lampu
itu berkedip-kedip, hingga ia bersorak “hore”. Tapi lampu itu tidak juga
menyala, hanya berkedip-kedip saja. Baju dan wajah gadis kecil itu sudah kuyup
oleh gerimis. Untung tak ada petir, pikirnya. Ia tak mau menyerah, dalam hati,
ia berjanji, akan membuat lampu itu menyala. Mungkin karena payah, atau kesal,
bergantian ia menghantam kabel yang terjulur dan berpilin di tiang lampu.
“Mengapa tidak
menyala-nyala. Ayo menyala, menyala…” teriaknya.
Semakin keras ia
mengguncangkan galah di tangannya. Bergantian, dari tiang ke lampu, dari lampu
ke kabel, dan begitu seterusnya, berulang-ulang. Hingga ia melihat percikan itu
di ujung tiang, tepat dimana kabel dan lampu itu bertemu. Terdengar suara
‘dap’. Percikan itu berkilat, seperti menjulur merambah dari kabel ke lampu,
dari lampu ke tiang, dari tiang ke galah, dan akhirnya ia merasa seperti ada
kekuatan besar yang mendorong tangannya, mengguncangkan tubuhnya. Detik itu ia
hampir tak bisa memikirkan apa pun, kecuali, “mungkin lampunya marah.”
Hampir satu menit
tubuhn gadis kecil itu mengejang. Hingga kursi plastik tempat ia bersandar
roboh ke tanah. Kepala gadis kecil itu membentur tiang sebelum akhirnya sungkur
di pangkuan trotoar.
“Ayo masuk, hujan,”
dari dalam rumah mama berteriak.
Karena tak mendapati
jawaban, mama memutuskan untuk menyusul gadis itu. Mama terhenyak ketika tak
mendapati siapapun di teras rumah.
“Mira! Miraaa!”
Mama melirik lampu padam
yang masih bergoyang di puncak tiang. Perlahan mama membuka pagar depan. Belum
sempurna pagar itu terbuka, mama sudah kembali berteriak. Teriakan yang
menyerupai rauangan. Ia menemukan anak gadisnya tengah terkapar di bawah tiang
lampu, dengan kening memar dan wajah putih, pucat seperti mayat.
Mama berteriak meminta
tolong. Beberapa tetangga yang mendengar jerita itu terhuyung-huyung keluar
rumah. Mereka membopong tubuh gadis kecil itu ke teras.
“Ke rumah sakit, ke
rumah sakit, panggil taksi,” seru salah seorang.
“Sudah terlambat,”
seorang yang lain menyahut.
Mama terduduk lumpuh.
Menatap lampu yang masih bergoyang di ujung tiang.
***
Di bibir sebuah jalan.
Bila malam menyambar pelan. Setiap pejalan kaki, penjual mie bakso keliling,
para penumpang angkot, atau pengendara sepeda motor yang kebetulan lewat, semua
akan melihatnya. Melihat perempuan itu membeku. Di bawah tiang lampu. Ia
tengadah, memelototi cahaya lampu yang tumpah di wajahnya berlama-lama. Bibirnya
bergerak ringan, seolah tengah berkata-kata pada lampu yang mencorong di atas
kepalanya. Sesekali ia menatap nanar pada trotoar yang ia pijak, seperti
mengenang sebuah jejak. ***
Malang,
2012
0 komentar:
Posting Komentar