Pohon Kesunyian (KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 15 Juli 2012)

-->
Butir-butir kesunyian itu berceceran di balik apa-apa yang pernah disentuhnya. Di antara apa-apa yang telah disisakannya: lantai-lantai, dinding-dinding, pakaian-pakaian, piring-piring, kasur, bantal, selimut, buku-buku, sandal, sepatu, kaset-kaset, parfum… Butir-butir itu tak terhisab jumlahnya. Aku memungutinya setiap hari, satu persatu, seperti memunguti buah ceri yang terjatuh dari pohonnya. Namun butir-butir itu tak pernah ada habisnya, seperti terlahir dari rahim udara yang tak terlihat wujudnya, yang tak tersentuh kasatnya, dan muncul begitu saja.
Seperti seorang pemulung, tak kenal lelah, tak urus payah, butir-butir kesunyian itu terus saja kupunguti. Tak terkira banyaknya. Tak terhisab jumlahnya. Butir-butir kesunyian itu kemudian kusimpan dalam toples-toples bening termazkur kenangan. Ya, kenangan. Hingga berjajar-jajar menjadi ornamen kepedihan. Berkilat-kilau menjadi hiasan keheningan. 
***
            Tatkala malam melata, butir-butir itu selalu menguapkan suara gemerincing. Cahayanya kian berkilau. Seperti kristal. Cahaya yang selalu membuaiku ke masa lalu. Masa-masa ketika harum parfummu masih utuh melekat di bajuku, di kasur, dan di setiap sudut ruang di mana kita pernah bersitatap, bersisentuh, bersibincang, bersicinta.  
            “Suatu ketika kita akan berpisah, Sayang, itu wajib lantaran kita manusia. Manusia yang sangat rapuh. Rapuh sekali…”
            Betapa kata-katamu itu kemudian menjelma mantra. Mantra yanga membakarmu tanpa sisa. Ya, membakar. Sebenar-benarnya membakar. Membakar dalam arti yang sesungguhnya. Seperti api mengganyang kayu. Seperti api melahap kertas. Membakar. Menyambar. Menjilat. Dan api itu pula yang telah meremas tubuhmu menjadi abu. Jangankan tubuhmu (tubuh manusia yang sangat rapuh, seperti katamu), gedung berlantai-lantai, bersisi beton, berurat besi, tempatmu bekerja pun lunas oleh api yang sama. Kau shahih, manusia memang makhluk yang sangat rapuh. Rapuh penuh seluruh.
Kini, satu saja yang kusesali dari perpisahan kita: tidak adakah cara berpisah yang lebih lembut dari ini?
            Nahas tak kunjung lepas. Peristiwa kebarakan itu masih menyala dalam kepalaku. Ingin rasanya aku mengutuk mobil pemadam yang terlambat datang. Ingin rasanya aku menghabisi siapa atau apa yang memusababkan api itu memercik melata. Ingin rasanya aku meludahi cara perpisahan kita. Ah, namun tidak ada yang salah. Tidak ada yang perlu dikutuk, dihabisi, atau diludahi. Semua hanya, lantaran kita manusia. Manusia yang sangat rapuh. Dan sangat lalai. Ya, lalai. Aku menambahkannya satu lagi: lalai. Rapuh dan lalai.
Lunas. Masa lalu itu kini membeku, menjadi kristal, menjadi butir-butir kesunyian yang tak terkira banyaknya. Yang tak terhisab jumlahnya. Berceceran di mana saja. Puluhan toples bening telah terpajang di dinding-dinding hati. Termazkur kenangan. Berjajar-jajar menjadi ornamen kepedihan. Berkilat-kilau menjadi hiasan keheningan. 
***
Sepi mencekikku, menamparku, menghantamku. Aku babak belur menjadi -bulanan sepi. Katakan! Apa yang harus kulakukan terhadap butir-butir kesunyian yang bergemirncing ini. Membuangnya? Memang siapa yang mampu membuang kenangan, dengan cara apa. Membakarnya? Aku tahu kenangan jauh lebih kuat dari manusia. Api takkan mampu mengabukannya. Atau mungkin, aku harus menguburkannya? Ya. Aku memang harus menguburkannya. Menimbunya dengan masa depan yang tampak buram, tanpa warna.
***
Simaklah! Tepat, ketika siang memejam, dan pekat menyambar-nyambar malam. Kesunyian itu mulai hidup, bergemerincing dan membabi buta. Toples bening termazkur kenangan itu mulai kusingkap satirnya. Kulepas penutupnya. Butir-butir kesunyian yang serupa kristal itu semakin nyaring gemerincingnya.
Lihatlah! Aku berlari pontang-panting. Seperti gangsing. Menutup mata. Menutup telinga. Gemerincing itu semakin nyata. Merambat ke ulu dada. Menelusup ke cuping telinga. Memekakkannya. Mengguncangkannya. Menghamburkannya. Hingga rumahku seperti porak poranda. Sejauh jangka pandang yang kutatap hanya lapang. Lapang yang buram. Lapang yang remang. Tapi toples-toples termazkur kenangan itu masih utuh. Berjajar-jajar menjadi ornamen kepedihan. Berkilat-kilau menjadi hiasan keheningan. 
Seperti tersumat dendam, aku mencakar-cakar tanah. Membuat galian. Satu toples berikut isinya kutumpahkan ke dalam liang. Kutimbun. Kukuburkan. Aku terus menggali dan menggali. Puluhan liang. Ratusan liang. Jari-jariku berdarah. Perih. Tapi aku terus menggali, mengubur, menimbun. Toples demi toples berikut isinya kutumpahkan. Kutimbun. Kukuburkan.
Aku terengah-engah. Aku terus memunguti butir-butir kesunyian itu. Butir-butir kesunyian yang seperti terlahir dari rahim udara. Tak ada habisnya. Aku memungutinya dan menyimpanya dalam toples bening termazkur kenangan. Lalu menguburkannya. Terus begitu. Berputar-putar. Seperti komidi putar. Tak henti-henti. Tak ada henti. Tak ujung-ujung. Tak ada ujung. Hingga tiba-tiba kudapati rambutku pecah menjadi putih. Kulitku menggelambir menjadi keriput. Mataku buram menjadi keruh. Tulang dan sendi-sendiku karam menjadi lumpuh.
Maka, kini, sempurnalah jasad sepiku menjadi seorang pengubur yang abadi. Pengubur butir-butir kesunyian yang tak terkira banyaknya. Pengubur kenangan yang tak terhisab jumlahnya, yang tak pernah ada habisnya.
***
Sudah. Lepas. Rasanya semua menjadi begitu sia-sia untuk dipertahankan. Aku lelah. Aku pasrah. Aku menyerah. Kalah. Aku terlampau uzur untuk memedulikan masa yang kabur. Aku terlewat layu untuk menggubris masa lalu. Saatnya berdiam. Tak lagi memedulikan apa-apa. Tak lagi memikirkan apa-apa.
Lantaran itulah, aku tetap membeku di dipan sunyiku, ketika menyaksikan tanah-tanah di halaman rumahku retak. Menumbukan kecambah-kecambah yang subur. Kecambah-kecambah sunyi yang bertumbuh kembang dengan cepat. Merambati lantai, dinding, kursi, kasur, dan atap-atap rumah.
Aku tetap berdiam membiarkan cabang-cabang kesunyian itu terus menjulur. Daunnya kian melebar. Tunas-tunasnya kian menjulur. Kuncup-kuncupnya kian mekar. Menjadi bunga yang menyimpan serbuk kesunyian yang amat berbisa. Tak butuh waktu lama, bunga-bunga itu akan terus mekar, bertumbuh kembang menjadi buah. Buah kesunyian yang akan melahirkan butir-butir kesunyian yang baru. Kesunyian yang lebih mencekam.
Lihatlah! Pohon kesunyian itu kini mendekatiku. Melilit tubuhku. Mencekik leherku. Meremukkan tulang-tulangku. Tapi aku takkan melawan. Karena, aku tahu, sampai kapan pun takkan pernah ada manusia yang mampu mengubur masa lalu. Takkan pernah ada manusia yang sanggup mengalahkan kenangan. Takkan ada.***
Malang, VBT 22911

0 komentar: