Butir-butir kesunyian
itu berceceran di balik apa-apa yang pernah disentuhnya. Di antara apa-apa yang
telah disisakannya: lantai-lantai, dinding-dinding, pakaian-pakaian, piring-piring,
kasur, bantal, selimut, buku-buku, sandal, sepatu, kaset-kaset, parfum… Butir-butir
itu tak terhisab jumlahnya. Aku memungutinya setiap hari, satu persatu, seperti
memunguti buah ceri yang terjatuh dari pohonnya. Namun butir-butir itu tak
pernah ada habisnya, seperti terlahir dari rahim udara yang tak terlihat
wujudnya, yang tak tersentuh kasatnya, dan muncul begitu saja.
Seperti seorang
pemulung, tak kenal lelah, tak urus payah, butir-butir kesunyian itu terus saja
kupunguti. Tak terkira banyaknya. Tak terhisab jumlahnya. Butir-butir kesunyian
itu kemudian kusimpan dalam toples-toples bening termazkur kenangan. Ya, kenangan.
Hingga berjajar-jajar menjadi ornamen kepedihan. Berkilat-kilau menjadi hiasan
keheningan.
***
Tatkala
malam melata, butir-butir itu selalu menguapkan suara gemerincing. Cahayanya
kian berkilau. Seperti kristal. Cahaya yang selalu membuaiku ke masa lalu. Masa-masa
ketika harum parfummu masih utuh melekat di bajuku, di kasur, dan di setiap
sudut ruang di mana kita pernah bersitatap, bersisentuh, bersibincang, bersicinta.
“Suatu
ketika kita akan berpisah, Sayang, itu wajib lantaran kita manusia. Manusia
yang sangat rapuh. Rapuh sekali…”
Betapa
kata-katamu itu kemudian menjelma mantra. Mantra yanga membakarmu tanpa sisa.
Ya, membakar. Sebenar-benarnya membakar. Membakar dalam arti yang sesungguhnya.
Seperti api mengganyang kayu. Seperti api melahap kertas. Membakar. Menyambar.
Menjilat. Dan api itu pula yang telah meremas tubuhmu menjadi abu. Jangankan
tubuhmu (tubuh manusia yang sangat rapuh, seperti katamu), gedung berlantai-lantai,
bersisi beton, berurat besi, tempatmu bekerja pun lunas oleh api yang sama. Kau
shahih, manusia memang makhluk yang sangat rapuh. Rapuh penuh seluruh.
Kini, satu saja yang
kusesali dari perpisahan kita: tidak adakah cara berpisah yang lebih lembut
dari ini?
Nahas
tak kunjung lepas. Peristiwa kebarakan itu masih menyala dalam kepalaku. Ingin
rasanya aku mengutuk mobil pemadam yang terlambat datang. Ingin rasanya aku
menghabisi siapa atau apa yang memusababkan api itu memercik melata. Ingin
rasanya aku meludahi cara perpisahan kita. Ah, namun tidak ada yang salah.
Tidak ada yang perlu dikutuk, dihabisi, atau diludahi. Semua hanya, lantaran
kita manusia. Manusia yang sangat rapuh. Dan sangat lalai. Ya, lalai. Aku
menambahkannya satu lagi: lalai. Rapuh dan lalai.
Lunas. Masa lalu itu
kini membeku, menjadi kristal, menjadi butir-butir kesunyian yang tak terkira banyaknya.
Yang tak terhisab jumlahnya. Berceceran di mana saja. Puluhan toples bening
telah terpajang di dinding-dinding hati. Termazkur kenangan. Berjajar-jajar
menjadi ornamen kepedihan. Berkilat-kilau menjadi hiasan keheningan.
***
Sepi mencekikku,
menamparku, menghantamku. Aku babak belur menjadi -bulanan sepi. Katakan! Apa
yang harus kulakukan terhadap butir-butir kesunyian yang bergemirncing ini.
Membuangnya? Memang siapa yang mampu membuang kenangan, dengan cara apa. Membakarnya?
Aku tahu kenangan jauh lebih kuat dari manusia. Api takkan mampu mengabukannya.
Atau mungkin, aku harus menguburkannya? Ya. Aku memang harus menguburkannya. Menimbunya
dengan masa depan yang tampak buram, tanpa warna.
***
Simaklah! Tepat, ketika
siang memejam, dan pekat menyambar-nyambar malam. Kesunyian itu mulai hidup,
bergemerincing dan membabi buta. Toples bening termazkur kenangan itu mulai
kusingkap satirnya. Kulepas penutupnya. Butir-butir kesunyian yang serupa
kristal itu semakin nyaring gemerincingnya.
Lihatlah! Aku berlari pontang-panting.
Seperti gangsing. Menutup mata. Menutup telinga. Gemerincing itu semakin nyata.
Merambat ke ulu dada. Menelusup ke cuping telinga. Memekakkannya. Mengguncangkannya.
Menghamburkannya. Hingga rumahku seperti porak poranda. Sejauh jangka pandang
yang kutatap hanya lapang. Lapang yang buram. Lapang yang remang. Tapi toples-toples
termazkur kenangan itu masih utuh. Berjajar-jajar menjadi ornamen kepedihan.
Berkilat-kilau menjadi hiasan keheningan.
Seperti tersumat
dendam, aku mencakar-cakar tanah. Membuat galian. Satu toples berikut isinya
kutumpahkan ke dalam liang. Kutimbun. Kukuburkan. Aku terus menggali dan
menggali. Puluhan liang. Ratusan liang. Jari-jariku berdarah. Perih. Tapi aku
terus menggali, mengubur, menimbun. Toples demi toples berikut isinya
kutumpahkan. Kutimbun. Kukuburkan.
Aku terengah-engah. Aku
terus memunguti butir-butir kesunyian itu. Butir-butir kesunyian yang seperti
terlahir dari rahim udara. Tak ada habisnya. Aku memungutinya dan menyimpanya
dalam toples bening termazkur kenangan. Lalu menguburkannya. Terus begitu. Berputar-putar.
Seperti komidi putar. Tak henti-henti. Tak ada henti. Tak ujung-ujung. Tak ada
ujung. Hingga tiba-tiba kudapati rambutku pecah menjadi putih. Kulitku menggelambir
menjadi keriput. Mataku buram menjadi keruh. Tulang dan sendi-sendiku karam menjadi
lumpuh.
Maka, kini, sempurnalah
jasad sepiku menjadi seorang pengubur yang abadi. Pengubur butir-butir
kesunyian yang tak terkira banyaknya. Pengubur kenangan yang tak terhisab jumlahnya,
yang tak pernah ada habisnya.
***
Sudah. Lepas. Rasanya
semua menjadi begitu sia-sia untuk dipertahankan. Aku lelah. Aku pasrah. Aku
menyerah. Kalah. Aku terlampau uzur untuk memedulikan masa yang kabur. Aku
terlewat layu untuk menggubris masa lalu. Saatnya berdiam. Tak lagi memedulikan
apa-apa. Tak lagi memikirkan apa-apa.
Lantaran itulah, aku
tetap membeku di dipan sunyiku, ketika menyaksikan tanah-tanah di halaman
rumahku retak. Menumbukan kecambah-kecambah yang subur. Kecambah-kecambah sunyi
yang bertumbuh kembang dengan cepat. Merambati lantai, dinding, kursi, kasur,
dan atap-atap rumah.
Aku tetap berdiam membiarkan
cabang-cabang kesunyian itu terus menjulur. Daunnya kian melebar. Tunas-tunasnya
kian menjulur. Kuncup-kuncupnya kian mekar. Menjadi bunga yang menyimpan serbuk
kesunyian yang amat berbisa. Tak butuh waktu lama, bunga-bunga itu akan terus
mekar, bertumbuh kembang menjadi buah. Buah kesunyian yang akan melahirkan
butir-butir kesunyian yang baru. Kesunyian yang lebih mencekam.
Lihatlah! Pohon
kesunyian itu kini mendekatiku. Melilit tubuhku. Mencekik leherku. Meremukkan
tulang-tulangku. Tapi aku takkan melawan. Karena, aku tahu, sampai kapan pun
takkan pernah ada manusia yang mampu mengubur masa lalu. Takkan pernah ada
manusia yang sanggup mengalahkan kenangan. Takkan ada.***
Malang, VBT 22911
0 komentar:
Posting Komentar