Nyawa dan Harga Sepatu, (Tribun Jabar, Minggu 2 Desember 2012)

Malam-malam, saat aku sedang asyik menyelesaikan tulisanku, aku terlonjak kaget oleh jeritan histeris istriku, “Idiiiiiiih, ya ampuuun…, apa-apaan ini, sepatu kayak gini harganya satu juta enam ratus. Lihat deh, Mas, masa sepatu kayak gini harganya satu juta enam ratus. Iiih, najis.”
Ia menunjuk-nunjuk majalah bekas yang dibacanya, yang ia beli pagi tadi dari pasar loak. Melihat tingkah polah dan kata-katanya yang naïf, aku hanya bisa menarik bibir, “Ada sepatu yang harganya ratusan juta, jadi jangan kaget.”
“Tapi lihat deh, sepatu kaya gitu harganya satu juta enam ratus. Itu, di pasar loak cuma dua puluh ribu dan masih bisa ditawar. Heran deh, kok bisa, ya, sepatu harganya semahal itu. Jangan-jangan ini sepatu di pakainya di kepala bukan di kaki.”
Ada-ada saja. Aku meringis, menahan tawa, dan kembali menekuni tuts-tuts keyboard yang ada di hadapanku.
“Lha iya, barang mau diinjak-ijak di kaki saja harganya bikin orang pingsan. Memangnya, begitu itu siapa yang mau beli?”
“Ya mungkin para istri pejabat, para konglomerat, atau para artis…” aku menyahut alakadarnya.
“Oooh, pantesan para pejabat banyak yang korupsi, lha wong istrinya suka beli-beli  barang yang harganya gak masuk akal. Jangan-jangan memang itu, ya, Mas, salah satu penyebab terjadinya korupsi. ”
Aku sedikit tergelak, melirik istriku yang masih asyik ngomel sendiri sambil membolak balik halaman majalah bekas itu. Bagaimana mungkin perempuan lugu yang sehari-hari mencuci dan memasak bisa berbicara dan memikirkan hal-hal semacam itu.
“Mas, mas, lihat ini lagi, kalung kayak tasbih begini saja harganya dua ratus lima puluh ribu. Hmm, heran, gitu itu kok ada yang mau beli, ya.”
“Itu namanya fashion, dunia fashion ya begitu itu. Gelamor. Serba mengkilap. Mahal-mahal. Kamu saja yang nggak tahu,” terpaksa aku menimpalinya.
“Emang penting, ya?”
“Ya sebagian wanita, mungkin merasa, fashion, penampilan, itu penting. Para istri pejabat, orang-orang berduit, artis… apa kata orang kalau penampilan mereka acak-acakan sedangkan mereka punya duit.”
“Memangnya penampilan bagus itu harus mahal dan bermerek, ya?”
“Nggak juga sih, tapi kan mereka punya duit. Why not?
Istriku bengong beberapa saat, “Lha iya, begitu itu, waktu mereka beli, yang ada di pikiran mereka apa, ya?”
Aku tak membalas. Cukup tersenyum simpul sambil mengerjapkankan mata dan menarik ujung bibir, lalu kembali pada tuts-tuts di hadapanku.
“Padahal, begitu itu nggak ada yang nanya lho, ‘Ini beli di mana? Ini mereknya apa? Ini harganya berapa?’”
“Ya itu tadi, gengsi,” aku tak tahan untuk tidak membalas ocehannya.
“Edan, edan, harga sepatunya saja lebih banyak dari gaji Mas sebulan,” istriku menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil terus membolak balik majalah bekas itu.
Keadaan menjadi hening beberapa saat. Hanya riuh suara majalah yang dibolak-balik istriku. Setelah hening beberapa jenak itu, istriku kembali memekik dan beristighfar panjang, seperti memergoki setan.
“Astagfirullah…. Apa ini, ediaaan, lihat Mas, lihat. Lihat ini, lihat,” tergopoh-gopoh ia menunjukkan gambar tas kulit berhias manik berlian dengan harga tiga puluh juta.
“Haduuuuh, pingsan aku, pingsaaan. Tas begini harganya tiga puluh juta. Ini beneran apa salah tulis? Duh Gusti kok ada… Tas kok harganya segitu amat. Memangnya itu tas buat wadah apa sih, kok sampai semahal itu? Yang bikin itu loh… orang apa malaikat? Haduh, yang beli ini pasti orangnya guoblok.”
Melihat istriku ngedumel sendiri—marah-marah dengan harga tas di dipikirnya tak masuk akal itu—aku jadi tak kuasa menahan tawa. Tawaku pun akhirnya pecah melihat tingkah dan kata-katanya yang begitu lugu.
“Lho, kenapa Mas malah tertawa. Lihat ini, tiga puluh juta, dan itu uang semua” ia menekankan intonasi suaranya pada kalimat ‘tiga puluh juta’.
“Sudah kubilang, gak usah kaget. Gak lihat gosip, ya? Kemarin ada artis yang punya tas seharga lima ratus juta. Lima ratus juta.”
Gantian istriku yang bengong. Tiba-tiba ia terduduk lemas, seperti djatuhi vonis hukuman mati.
“Gak usah kaget, lagi pula ngapain kamu heboh mikirin harga barang-barang mewah itu. Gak ada manfaatnya buat kita. Memangnya kamu kepingin? Kepingin beli?”
“Iiiih, najis,” sahutnya spontan.
 “Ya udah.”
“Aku cuma mikir, kok bisa ya orang beli barang-barang, tas, baju, sepatu semahal itu. Buat apa, ya?”
“Waduh, kamu tanya lagi buat apa. Sudah, itu urusan mereka, bukan urusan kita.”
“Tapi, duit sebanyak itu, dari pada di hambur-hamburin buat sepatu, yang tempatnya cuma di kaki, ya mendingan di sumbangkan ke orang-orang kere seperti kita ini. Lebih manfaat. Atau mungkin mereka terlalu sibuk belanja dan nggak pernah lihat berita, ratusan anak terserang busung lapar, kekurangan gizi, putus sekolah, jadi gelandangan, bayi-bayi dibuang di tempat sampah, dan itu semua, kebanyakan, terjadi karena desakkan ekonomi, alias gak punya duit.”
Aku terdiam menyimak istriku menyampaikan berita sekilasnya.
“Aku jadi geregetan,” lanjutnya lagi, “Gila, gila, penjual gorengan di pinggir sana menunggu dagangannya sampai siang, sampai terkantuk-kantuk untuk uang lima ratus perak, sementara para istri bejabat membuang uang jutaan rupiah hanya untuk sepatu sepatu yang ditempatkan di kaki. Lucu, lucu.”
Aku mendongakkan kepala memerhatikan wajah istriku yang bersungut-sungut. Pemikirannya kali ini memang cukup realistis.
“Sudah, kamu ngomel-ngomel di sini juga nggak ada artinya,” iseng-iseng aku menimpali.
“Bagimana nggak ngomel-ngomel, melihat sepatu lebih berharga dari pada nyawa.”
“Maksudnya?”
“Ya sepatu, tas, yang harganya jutaan rupiah itu. Itu kan sama saja lebih berharga daripada nyawa. Nyawa anak-anak yang terkena busung lapar itu. Nyawa orang-orang miskin yang mati karena tak bisa beli obat. Bagimana bisa beli makanan bergizi, beli obat, wong duitnya sudah dibelikan sepatu, tas, sama istri para koruptor itu. ”
“Sudah, nggak usah ngedumel sendiri. Aspirasimu itu sudah basi, sudah klise.”
“Tetep saja saya heran, jengkel, apa mereka itu sudah pada buta, ya?”
“Hus!”
“Apanya yang tidak buta. Setiap hari ada saja berita miris di tivi, dan mereka, yang katanya pelayan rakyat, wakil rakyat, masih saja sempat berbelanja. Bahkan kadang-kadang berlibur ke luar negeri. Iya, tho?
“Ya, sudah, kamu jadi presiden sana. Nanti bikin aturan, setiap pejabat, atau keluarga pejabat, tak boleh beli barang mahal. Mereka harus menyisihkan gaji mereka buat rakyat. Mobil dinasnya juga gak usah yang mewah, kalau perlu satu mobil buat rombongan saja. Bla bla bla bla bla…”
Istriku masih bersungut-sungut. Aku tak tahu kalau ia bisa menjadi sejengkel itu gara-gara harga sepatu dan harga tas di majalah bekas. Aku jadi berpikir bahwa sebenarnya, istriku ini memang punya bakat jadi seorang pemimpin yang baik, paling tidak jadi ibu rumah tangga yang baik, yang bisa mengurus keuangan keluarga dengan baik. Tidak boros. Tidak suka menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu. Diam-diam aku bangga padanya.
“Mas kenapa? Kok cengar-cengir.”
“Nggak papa.”
Dan ia kembali menekuni majalah bekasnya. Selama berumah tangga, istriku memang tak pernah minta macam-macam. Tak seperti ibu-ibu arisan yang selalu kepingin tiap lihat piring dan gelas cantik, yang selalu gatal lihat daster kinyis-kinyis, yang selalu mendelik lihat kalung blink-blink.
“Mas, Mas?”
“Ya?”
“Mas kan penulis?”
“Terus?”
“Tulis dong! Ide kayak gini ini kan cukup bagus untuk ditulis.”
“Ide yang mana maksudmu?”
“Ya ini, tentang sepatu dan tas yang lebih berharga daripada nyawa manusia.”
“Isu sosial semacam itu sudah sangat klise buat ditulis. Dan itu tidak bisa mengubah apapun.”
“Ya setidaknya, kalau kita tidak bisa mengubah keadaan sosial yang salah kaprah ini, paling tidak kita tidak membenarkannya,” istriku kembali menekuni majalah bekasnya.
“Aku tidak membenarkan.”
“Tapi apa yang sudah Mas lalukan sebagai penulis, orang yang berhubungan langsung dengan publik, pembaca, khalayak luas. Apa ada sesuatu yang sudah Mas ubah menjadi lebih baik lewat tulisan-tulisan Mas itu.”
“Lho kok jadi saya yang kena semprot.”
“Ya, Mas kan penulis. Tulis dong isu-isu yang begini. Jangan cuma kisah cinta melulu yang ditulis. Setidaknya Mas ikut menolak kondisi sosial yang jungkir balik semacam ini, meski lewat tulisan.”
Serta-merta mulutku tercekat, tak bisa membalas kata-katanya. Jari-jemariku pun turut kaku. Silih aku yang tercenung.***
Malang, September 2012

1 komentar:

Unknown mengatakan...

itu kayakny dialog nyata yaa..he he