Malam-malam, saat aku
sedang asyik menyelesaikan tulisanku, aku terlonjak kaget oleh jeritan histeris
istriku, “Idiiiiiiih, ya ampuuun…, apa-apaan ini, sepatu kayak gini harganya
satu juta enam ratus. Lihat deh, Mas, masa sepatu kayak gini harganya satu juta
enam ratus. Iiih, najis.”
Ia menunjuk-nunjuk
majalah bekas yang dibacanya, yang ia beli pagi tadi dari pasar loak. Melihat
tingkah polah dan kata-katanya yang naïf, aku hanya bisa menarik bibir, “Ada
sepatu yang harganya ratusan juta, jadi jangan kaget.”
“Tapi lihat deh, sepatu
kaya gitu harganya satu juta enam ratus. Itu, di pasar loak cuma dua puluh ribu
dan masih bisa ditawar. Heran deh, kok bisa, ya, sepatu harganya semahal itu. Jangan-jangan
ini sepatu di pakainya di kepala bukan di kaki.”
Ada-ada saja. Aku
meringis, menahan tawa, dan kembali menekuni tuts-tuts keyboard yang ada di
hadapanku.
“Lha iya, barang mau
diinjak-ijak di kaki saja harganya bikin orang pingsan. Memangnya, begitu itu
siapa yang mau beli?”
“Ya mungkin para istri
pejabat, para konglomerat, atau para artis…” aku menyahut alakadarnya.
“Oooh, pantesan para
pejabat banyak yang korupsi, lha wong
istrinya suka beli-beli barang yang
harganya gak masuk akal. Jangan-jangan memang itu, ya, Mas, salah satu penyebab
terjadinya korupsi. ”
Aku sedikit tergelak,
melirik istriku yang masih asyik ngomel sendiri sambil membolak balik halaman
majalah bekas itu. Bagaimana mungkin perempuan lugu yang sehari-hari mencuci
dan memasak bisa berbicara dan memikirkan hal-hal semacam itu.
“Mas, mas, lihat ini
lagi, kalung kayak tasbih begini saja harganya dua ratus lima puluh ribu. Hmm,
heran, gitu itu kok ada yang mau
beli, ya.”
“Itu namanya fashion,
dunia fashion ya begitu itu. Gelamor. Serba mengkilap. Mahal-mahal. Kamu saja
yang nggak tahu,” terpaksa aku menimpalinya.
“Emang penting, ya?”
“Ya sebagian wanita,
mungkin merasa, fashion, penampilan, itu penting. Para istri pejabat, orang-orang
berduit, artis… apa kata orang kalau penampilan mereka acak-acakan sedangkan
mereka punya duit.”
“Memangnya penampilan
bagus itu harus mahal dan bermerek, ya?”
“Nggak juga sih, tapi kan
mereka punya duit. Why not?”
Istriku bengong beberapa
saat, “Lha iya, begitu itu, waktu
mereka beli, yang ada di pikiran mereka apa, ya?”
Aku tak membalas. Cukup
tersenyum simpul sambil mengerjapkankan mata dan menarik ujung bibir, lalu
kembali pada tuts-tuts di hadapanku.
“Padahal, begitu itu
nggak ada yang nanya lho, ‘Ini beli di mana? Ini mereknya apa? Ini harganya
berapa?’”
“Ya itu tadi, gengsi,”
aku tak tahan untuk tidak membalas ocehannya.
“Edan, edan, harga
sepatunya saja lebih banyak dari gaji Mas sebulan,” istriku menggeleng-gelengkan
kepalanya, sambil terus membolak balik majalah bekas itu.
Keadaan menjadi hening
beberapa saat. Hanya riuh suara majalah yang dibolak-balik istriku. Setelah
hening beberapa jenak itu, istriku kembali memekik dan beristighfar panjang,
seperti memergoki setan.
“Astagfirullah…. Apa ini,
ediaaan, lihat Mas, lihat. Lihat ini, lihat,” tergopoh-gopoh ia menunjukkan
gambar tas kulit berhias manik berlian dengan harga tiga puluh juta.
“Haduuuuh, pingsan aku,
pingsaaan. Tas begini harganya tiga puluh juta. Ini beneran apa salah tulis?
Duh Gusti kok ada… Tas kok harganya segitu amat. Memangnya itu
tas buat wadah apa sih, kok sampai
semahal itu? Yang bikin itu loh… orang apa malaikat? Haduh, yang beli ini pasti
orangnya guoblok.”
Melihat istriku ngedumel
sendiri—marah-marah dengan harga tas di dipikirnya tak masuk akal itu—aku jadi
tak kuasa menahan tawa. Tawaku pun akhirnya pecah melihat tingkah dan kata-katanya
yang begitu lugu.
“Lho, kenapa Mas malah
tertawa. Lihat ini, tiga puluh juta, dan itu uang semua” ia menekankan intonasi
suaranya pada kalimat ‘tiga puluh juta’.
“Sudah kubilang, gak usah
kaget. Gak lihat gosip, ya? Kemarin ada artis yang punya tas seharga lima ratus
juta. Lima ratus juta.”
Gantian istriku yang
bengong. Tiba-tiba ia terduduk lemas, seperti djatuhi vonis hukuman mati.
“Gak usah kaget, lagi
pula ngapain kamu heboh mikirin harga barang-barang mewah itu. Gak ada
manfaatnya buat kita. Memangnya kamu kepingin? Kepingin beli?”
“Iiiih, najis,” sahutnya
spontan.
“Ya udah.”
“Aku cuma mikir, kok bisa ya orang beli barang-barang,
tas, baju, sepatu semahal itu. Buat apa, ya?”
“Waduh, kamu tanya lagi
buat apa. Sudah, itu urusan mereka, bukan urusan kita.”
“Tapi, duit sebanyak itu,
dari pada di hambur-hamburin buat sepatu, yang tempatnya cuma di kaki, ya
mendingan di sumbangkan ke orang-orang kere seperti kita ini. Lebih manfaat. Atau
mungkin mereka terlalu sibuk belanja dan nggak pernah lihat berita, ratusan
anak terserang busung lapar, kekurangan gizi, putus sekolah, jadi gelandangan,
bayi-bayi dibuang di tempat sampah, dan itu semua, kebanyakan, terjadi karena
desakkan ekonomi, alias gak punya duit.”
Aku terdiam menyimak
istriku menyampaikan berita sekilasnya.
“Aku jadi geregetan,”
lanjutnya lagi, “Gila, gila, penjual gorengan di pinggir sana menunggu
dagangannya sampai siang, sampai terkantuk-kantuk untuk uang lima ratus perak,
sementara para istri bejabat membuang uang jutaan rupiah hanya untuk sepatu sepatu
yang ditempatkan di kaki. Lucu, lucu.”
Aku mendongakkan kepala
memerhatikan wajah istriku yang bersungut-sungut. Pemikirannya kali ini memang cukup
realistis.
“Sudah, kamu ngomel-ngomel
di sini juga nggak ada artinya,” iseng-iseng aku menimpali.
“Bagimana nggak ngomel-ngomel,
melihat sepatu lebih berharga dari pada nyawa.”
“Maksudnya?”
“Ya sepatu, tas, yang
harganya jutaan rupiah itu. Itu kan sama saja lebih berharga daripada nyawa.
Nyawa anak-anak yang terkena busung lapar itu. Nyawa orang-orang miskin yang
mati karena tak bisa beli obat. Bagimana bisa beli makanan bergizi, beli obat,
wong duitnya sudah dibelikan sepatu, tas, sama istri para koruptor itu. ”
“Sudah, nggak usah ngedumel sendiri. Aspirasimu itu sudah
basi, sudah klise.”
“Tetep saja saya heran,
jengkel, apa mereka itu sudah pada buta, ya?”
“Hus!”
“Apanya yang tidak buta.
Setiap hari ada saja berita miris di tivi, dan mereka, yang katanya pelayan
rakyat, wakil rakyat, masih saja sempat berbelanja. Bahkan kadang-kadang
berlibur ke luar negeri. Iya, tho?”
“Ya, sudah, kamu jadi
presiden sana. Nanti bikin aturan, setiap pejabat, atau keluarga pejabat, tak
boleh beli barang mahal. Mereka harus menyisihkan gaji mereka buat rakyat.
Mobil dinasnya juga gak usah yang mewah, kalau perlu satu mobil buat rombongan
saja. Bla bla bla bla bla…”
Istriku masih bersungut-sungut.
Aku tak tahu kalau ia bisa menjadi sejengkel itu gara-gara harga sepatu dan
harga tas di majalah bekas. Aku jadi berpikir bahwa sebenarnya, istriku ini
memang punya bakat jadi seorang pemimpin yang baik, paling tidak jadi ibu rumah
tangga yang baik, yang bisa mengurus keuangan keluarga dengan baik. Tidak boros.
Tidak suka menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu. Diam-diam aku
bangga padanya.
“Mas kenapa? Kok cengar-cengir.”
“Nggak papa.”
Dan ia kembali menekuni
majalah bekasnya. Selama berumah tangga, istriku memang tak pernah minta macam-macam.
Tak seperti ibu-ibu arisan yang selalu kepingin tiap lihat piring dan gelas
cantik, yang selalu gatal lihat daster kinyis-kinyis,
yang selalu mendelik lihat kalung blink-blink.
“Mas, Mas?”
“Ya?”
“Mas kan penulis?”
“Terus?”
“Tulis dong! Ide kayak
gini ini kan cukup bagus untuk ditulis.”
“Ide yang mana maksudmu?”
“Ya ini, tentang sepatu
dan tas yang lebih berharga daripada nyawa manusia.”
“Isu sosial semacam itu
sudah sangat klise buat ditulis. Dan itu tidak bisa mengubah apapun.”
“Ya setidaknya, kalau
kita tidak bisa mengubah keadaan sosial yang salah kaprah ini, paling tidak
kita tidak membenarkannya,” istriku kembali menekuni majalah bekasnya.
“Aku tidak membenarkan.”
“Tapi apa yang sudah Mas
lalukan sebagai penulis, orang yang berhubungan langsung dengan publik, pembaca,
khalayak luas. Apa ada sesuatu yang sudah Mas ubah menjadi lebih baik lewat
tulisan-tulisan Mas itu.”
“Lho kok jadi saya yang kena semprot.”
“Ya, Mas kan penulis. Tulis
dong isu-isu yang begini. Jangan cuma kisah cinta melulu yang ditulis. Setidaknya
Mas ikut menolak kondisi sosial yang jungkir balik semacam ini, meski lewat
tulisan.”
Serta-merta mulutku
tercekat, tak bisa membalas kata-katanya. Jari-jemariku pun turut kaku. Silih
aku yang tercenung.***
Malang, September 2012
1 komentar:
itu kayakny dialog nyata yaa..he he
Posting Komentar