Benny Bear (Tribun Jabar, 11 Maret 2012)


LIMA tahun lalu, pada hari ulang tahunnya yang ke 20, sebelum kekasihnya berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan studi, kekasihnya menghadiahinya sebuah boneka beruang. Sebagai kenang-kenangan dan pelipur rindu, kata kekasihnya.
Boneka beruang yang lucu. Warnanya cokelat muda, dengan pita marun terikat di leher. Bulu-bulunya lembut, teramat lembut. Sangking lembutnya, ia membayangkan bulu-bulu itu seperti permukaan awan yang bisa ia kecup. Boneka yang amat menawan. Matanya cerlang bak sepasang bulan dengan gerhana hitam di tengah. Hidungnya menyembul, bulat, pekat, seperti bola meriam kecil yang ditempelkan. Lucu sekali. Sangat lucu. Selanjutnya, ia menamai boneka beruang itu dengan Benny Bear, seperti nama orang yang memberinya, Benny, kekasihnya.
***
Lelaki memang (selalu) punya cara tersendiri untuk meracuni hati wanita. Sambil menyerahkan boneka itu, kekasihnya juga mempersembahkan sekuntum kamboja merah muda untuknya.
“Kok kamboja? Kenapa bukan mawar atau gladiol? Atau setidaknya, dahlia.” ia menolak pada awalnya.
“Karena aku ingin yang beda,” sang kekasih mengerjapkan mata dengan genit, “kamboja adalah simbol keabadian. Aku ingin kisah kita menjadi kisah yang abadi, sampai kita menjadi kakek-nenek yang renta,” lanjutnya.
“Gombaaal! Lagi pula, sejak kapan bunga kamboja jadi simbol keabadian? Bukannya bunga yang terkenal menjadi simbol keabadian itu bunga edelweiss? Kau ini, terlalu memaksakan diri.”
“Sudah kukatakan, bukan. Aku ingin yang beda! Biarkan mereka memakai edelweis untuk simbol keabadian, tapi, bagiku kamboja jauh lebih cantik dan abadi.”
“Jangan-jangan, itu karena, kamboja banyak ditanam di kuburan-kuburan.”
“Haha. Tepat sekali.”
“Iih, kau ingin aku cepat-cepat mati.”
“Tak usah berlebihan.”
“Habis… kau ada-ada saja. Kamboja.”
“Kau cemburu karena bunga itu lebih cantik darimu, kan.”
“Terserah!”
“Ayolah, aku cuma bercanda. Tak ada satu bunga pun yang mampu menandingi kecantikanmu, kau tahu itu, kan.”
“Gombaaaaaaaal!”
“Sudahlah! Kita tak perlu membahas perbungaan.”
“Lalu?”
“Kau tahu, boneka beruang ini kudapat dari mana?”
Ia tak menjawab. Karena, menurutnya, pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban.
“Boneka beruang ini kudapat turun temurun dari keluargaku,” kali ini penuturan kekasihnya terdengar jelas, mengada-ada.
“Kedengarannya aneh, ada sebuah keluarga yang turun temurun mewariskan boneka beruang.”
“Ini bukan boneka beruang biasa.”
“Apa bedanya? Aku sering melihat boneka semacam itu di kios-kios boneka.”
“Secara fisik, boneka ini memang sangat mudah didapat, tapi…”
“Tapi apa?”
“Ada sesuatu yang menyatu dengan boneka itu, semacam ruh. Kau pernah mendengarnya?”
“Ruh?”
“Ada sebagian dari diriku yang menyatu dengan boneka itu.”
“Maksudmu?”
“Dulu, kakek buyutku yang memulai pertama kali. Semacam mantra pengasih.”
“Mantra pengasih? Aku tak paham, tapi kedengarannya menarik.”
“Dulu, kakek buyutku, memikat hati nenek buyutku dengan mantra yang sama. Mantra pengasih yang telah disemayamkan dalam sebuah boneka.”
“Kau serius?”
“Apa aku tampak seperti bercanda.”
“Boneka ini?”
“Tentu saja bukan. Jasad bonekanya bisa diganti-ganti, tapi, sebenarnya, yang kumaksud dengan warisan turun temurun itu adalah jiwanya, mantranya.”
“Jadi, intinya, kau ingin memikatku dengan boneka ini?”
“Melihat tipemu yang mudah terpikat, dan mengingat diriku yang sangat memikat, rasanya aku tak perlu melakukan itu.”
“Sial! Kalau begitu, kubuang saja boneka ini.”
“Eit, jangan! Haram! Membuang boneka itu sama halnya dengan membuangku. Memangnya kau tega membuangku?”
“Kenapa tidak?”
“Aku serius, kalau perlu aku akan memohon. Boneka itu kuberikan dengan cinta, untuk cinta. Dari hati, untuk hati.”
“Mulai deh…”
“Aku sungguh-sungguh. Anggaplah boneka itu seperti aku. Rawat ia dengan baik, jangan kau sia-siakan, apalagi kau sakiti. Menyakiti boneka itu sama artinya dengan menyakitiku, kau tahu?”
“Lalu, apa yang harus kulakukan pada boneka itu? Apa aku harus memajangnya di kamarku? Atau di ruang tamu, di dapur, di kamar mandi…”
“Seperti juga aku, Sayang. Boneka itu pun bukan pajangan.”
“Lalu?”
“Kau bisa memeluknya sepanjang malam dan menciuminya. Kau juga bisa membawanya ke mana saja kau mau, bahkan kau bisa mengajaknya bercerita.”
“Kau gila! Aku jadi berpikir, jangan-jangan boneka ini memang sudah dijampi-jampi.”
“Jampi-jampi apa?”
“Mantra pengasih. Seperti katamu.”
“Tidak ada apa-apa dalam boneka ini kecuali aku. Dalam boneka ini ada akunya.”
“Ada akunya bagaimana?”
“Ya, aku ada di dalam boneka itu. Boneka itu adalah aku. Aku adalah boneka itu. Jadi jika kau macam-macam, aku akan tahu.”
“Emm, sekarang aku tahu, pasti di salah satu bagian tubuh boneka ini ada kameranya.”
“Kamera apa?”
“Kamera pengintai seperti yang di film film…”
“Kenapa aku musti repot-repot melakukannya?”
“Untuk mengintaiku.”
“Aku tak butuh kamera untuk itu. Aku hanya butuh kepercayaan.”
“So sweeeeet…”
“Aku serius, Sayang.”
“Bagaimana kalau kau yang macam-macam di belakangku.”
“Kau tak percaya padaku?”
“Pada prinsipnya, lelaki punya intuisi lebih untuk berbuat yang macam-macam.”
“Tidak semua lelaki.”
“Semua lelaki sama.”
“Kau pernah membaca Romeo and Juliet? Atau Laila Majnun? Atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijkc? Emm, atau kau pernah nonton Veer-Zaraa? Atau Love in The Time of Cholerra?”
“Belum! Apa itu?”
“Jiaaaah, pantas saja. Musabab itulah kau tak tahu, bahwa kesetiaan lelaki adalah cadik kecil yang terombang-ambing di tengah samudera hati wanita yang begitu buas. Dan kau tahu, cadik kecil itulah yang nantinya akan menjadi bahtera yang akan mengantar sepasang cinta menuju pantai keabadian.”
“Kau ini bicara apa?”
“Kau tak menyimaknya?”
“Apa?”
“Tidak semua lelaki sama seperti yang kau pikirkan.”
“Kalau begitu, kau termasuk yang mana?”
“Kau cukup memberiku selingkar cincin bernama kepercayaan, dan aku akan menyematkannya di jari-jari kehidupan, sampai aku renta, sampai rambutku memutih.”
“Kali ini aku harus mengakui bahwa kau memang benar-benar romantis.”
“Sayang sekali, kau baru menyadarinya.”
Ia tersenyum dengan mata berkilat-kilat sebelum akhirnya menundukkan kepala.
“Kau baik-baik saja?”
“Kau akan benar-benar pergi?”
“Ayolah, aku pergi takkan lama. Aku pasti kembali. Baiklah, aku akan berjanji, aku akan rajin menelponmu, setidaknya seminggu sekali.”
“Aku mau setiap hari,” rajuknya manja.
“Oke, oke. Kemon, jangan sedih begitu.”
“Kau melarangku bersedih, tapi kau pergi juga.”
“Jika kau merindukanku kau bisa memeluk boneka itu sepanjang malam, bukan? Kau boleh menciuminya sepanjang tidur. Kau boleh menjadikannya bantal, menjadikannya guling. Dan kujamin, rindumu pasti akan terobati.”
“Tapi ini hanya boneka.”
“Berapa kali harus kubilang, bahwa boneka itu aku. Aku adalah boneka itu. Sama saja. Tidakkah kau perhatikan, betapa boneka itu selucu aku.”
Sang kekasih menghapus lelehan kecil di sudut matanya, sebelum akhirnya mereka tertawa bersama.
***
Pada minggu dan bulan-bulan pertama, kekasihnya sangat rajin menelpon. Namun, lantaran waktu dan kesibukan, kekasihnya mulai meminta maaf, tak bisa menelpon setiap hari atau setiap minggu. Ia pun memaklumi.
Berseberang bulan, kekasihnya hanya menelponnya sebulan sekali. Waktu kian berlari. Jarak kian tak bertepi. Lambat laun, ia pun bisa menerima, jika kekasihnya harus menelponnya sesekali saja. Lagi pula, ia mulai insyaf bahwa sudah tidak pada tempatnya ia merajuk dan bermanja-manja. Namun, setiap hari, sepanjang malam, ia selalu memeluk boneka beruang itu, seperti memeluk kenangan yang hendak terbang.
Bulan demi bulan tertelan. Tahun demi tahun berhalimun. Boneka beruang itu kian hari kian kumal. Bulu-bulunya mulai berguguran. Kerling matanya mulai buram. Kecantikannya mulai kusam. Ia pun merasakan nada bicara yang mulai goyah ketika terakhir kali kekasihnya menelpon, beberapa bulan lalu. Namun, ia tetap memeluk erat boneka itu. Ia selalu merangkai alternatif-alternatif yang mampu menenangkan hatinya. Sambil memandangi boneka itu, rol film di kepalanya kembali berputar, menayangkan percakapan yang penuh kenangan. Menayangan adegan-adegan yang akan selalu ia kenang. Namun entah kenapa, cambah kekhawatiran itu mulai menjulang di hatinya.
Kekhawatiran wanita memang nyata, layaknya sebuah pertanda yang tak bisa ditutup-tutupi. Akhirnya kabar itu sampai juga ke telinganya. Kabar bahwa sang kekasih telah menikah dengan wanita luar negeri yang biru matanya, yang bangir hidungnya, yang bening kulitnya, yang sempurna jasad jisimnya.
Ia teringat kata-kata kekasihnya, bahwa kesetiaan lelaki adalah cadik kecil yang terombang-ambing di tengah samudera hati wanita yang begitu buas. Tiba-tiba ia membayangkan, cadik kecil itu roboh dan terjungkir balik oleh hempasan gelombang dahsyat, sebelum akhirnya karam ke dasar samudera yang tak beranah.
Detik itu, dengan hati membara, ia melemparkan boneka beruang pemberian kekasihnya ke dalam perapian. Ia tertawa, air matanya membabi buta. Hatinya carut, menyaksikan kobaran api menjilat-jilat boneka beruang itu sampai kisut. Mengabu. Menyerpih debu.
Esoknya, ia mendapati kabar, bahwa kekasihnya tewas terbakar.***
Malang, 16 Oktober 2011

0 komentar: