Solilokui Sunyi (Majalah Sabili, edisi 23 oktober – 10 November 2011)

I
PAGI menguap bagai seorang bayi yang terbangun dalam dekapan ibunya. Seorang wanita menyalakan kompor dan menyiapkan segelas kopi panas untuk suaminya. Dua bocah lelaki menggeliat tersaput tangan dingin ibunya. Bagun, bangun. Subuh, subuh. Saat matahari perlahan meninggi, susu murni dan sarapan pagi telah tertata rapi di meja hidang. Mereka siap melanjutkan sarapan. Anak-anak berangkat ke sekolah setelah mencium tangan ibu-bapaknya. Pun sang suami berangkat ke tempat kerjanya, setelah mengecup kening isterinya.
Rumah sepi. Wanita itu mulai menyingkap korden satu persatu, mebuka jendela dan pintu lebar-lebar serta memutar musik biola. Dicengkramnya sebilah sapu dan penebah. Ia menggulung karpet dan membersihkan lantai dengan sapu di tangannya. Disekanya debu-debu tipis di muka meja dan kaca jendela. Daun-daun kering yang berserakan di halaman, di atas rumput, ia kumpulkan dan ia bakar di halaman belakang. Anggrek dan anthurium di teras rumah ia semprot dengan cairan pupuk. Perempuan renta yang menawarkan kepedihan di gerbang depan, ia persilahkan masuk untuk menerima sedikit hibah kebahagiaan yang rasanya tak pernah habis. Perempuan renta itu tak akan pergi sehingga seulas senyum tersungging di bibirnya yang kering.
Ia menanak nasi dan memasak masakan kesukaan anak-anak dan suaminya. Sambil menunggu siang, ia membaca berita-berita koran hari ini. Berita kriminal selalu terpampang di halaman muka. Ia mengelus dada.
II
Aku berdiri dalam kesederhanaan yang kokoh. Kakiku mencengkram tanah kuat-kuat, bertahan dari badai dan pergolakan musim. Mengemban sebuah kepercayaan dari mereka adalah sebuah kesejukan. Mereka tahu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Aku selalu ingin mendekap mereka sampai tanah yang mereka pijak membangunkan istana baru yang lebih nyaman untuk mereka. Karena, bagaimanapun aku hanya sebuah sinergi yang rapuh. Aku bisa meneduhi mereka dari terik dan hujan, pun aku bisa menyimpan rahasia-rahasia mereka dibalik pintu yang terkunci rapat. Hanya saja, teka-teki kehidupan selalu lebih kuat dari banyak hal. Maka, malam itu, ketika lima orang bercadar menaiki pagar dan mencongkel pintu, aku hanya bisa membisu.
Aku menyaksikan sendiri, orang-orang bercadar itu menidurkan mereka dengan cara paling mengerikan. Orang-orang bercadar itu mengalungi mereka dengan celurit setelah mengacak-acak isi lemari dan brangkas. Anak-anak kecil menggigil di bawah meja dengan air mata yang membabi buta. Mereka juga menyaksikan sendiri, darah ayah-ibu mereka menggenang di lantai. Sang kakak membekap mulut adiknya dengan tangan gemetar. Malam itu berlalu sangat cepat, sangat laknat.
Pagi harinya, sebuah koran ibu kota memberitakan sebuah perampokan sadis yang menewaskan dua korbannya.
III
Setelah hari berkabut itu, anak-anak dibawa oleh neneknya. Maka, kesunyian mulai tumbuh subur di sudut-sudut ruang dan halaman rumah. Garis kuning polisi terselip di pagar depan, seperti hiasan yang menimang kebinasaan. Perempuan renta yang acap datang menawarkan kepedihan, selalu kembali dengan kepedihan yang semakin menggunung.
Debu mulai menebal di sembarang tempat. Laba-laba betina mulai menyulam jaringnya. Tikus dan kecoak berpesta pora di dapur dan beranda. Rumput-rumput di halaman menjulang, meski ia tak sesubur kesunyian yang tumbuh dan merambat dengan sangat cepat, di mana saja: di pagar, tembok-tembok, lantai, pot bunga, tiang-tiang meja, bahkan atap.
IV
Tahun yang baru membentangkan lenganya yang panjang menawarkan masa depan. Tahun-tahun yang lama mengerdil tak terurus, seperti bonsai berlumut di taman belakang. Aku benar-benar tak berarti tanpa mereka. Bahkan aku menjadi sosok yang ditakuti ketika petang mulai merembang. Pohon-pohon di halaman semakin membesar, akar-akarnya menerobos tanah dan mulai meretakkan lantai teras. Bila malam memuncak, pohon itu akan tampak seperti monster raksasa. Batangnya yang menjulang ke kiri dan ke kanan seperti dua lengan yang penuh benjolan. Pangkal akar tampak seperti kaki yang membengkak. Dedaunan yang lebat akan tampak seperti rambut yang menutupi wajah. Dalam kegelapan semua tampak sempurna, menyeramkan.
Penjual somay dan mie bakso keliling selalu terburu-buru ketika melewati depan gerbang rumah. Desas-desus telah menyebar seperti penyakit yang terbawa angin dari negeri asing.
“Rumah itu kelihatanya angker banget ya,Neng.” Ujar si penjual somay yang kebetulan lewat dan berhenti di seberang jalan, melayani beberapa pembeli.
“Denger-denger, dulu pernah terjadi pembantaian di situ.”
“Iya, sudah bertahun-tahun rumah besar itu kosong. Kabarnya, rumah itu sudah dijual murah. Tapi tak ada yang mau beli.”
“Yah, siapa yang mau beli rumah menyeramkan begitu. Ngeliat dari luar aja sudah merinding. Hiii…!”
“Buruan Bang, somay-nya dibungkus aja! Bulu kudukku berdiri semua nih.”
V
Bertahun-tahun menjadi usang bukanlah pilihan siapapun. Tetapi ini adalah potongan dari petak kehidupan. Semua datang dan pergi silih berganti. Semua yang hadir di sini tampak murung dan menyedihkan. Atap-atap berputus asa untuk mempertahankan diri. Satu per satu plavon dan kayu penyangganya roboh.
“Tanpa tuan, kita adalah jasad yang membusuk dalam kesunyian. Aku lelah menopang getting-getting yang terus menangis dan memelorotkan diri ke tanah menjadi keping-keping yang menyedihkan.” Dengusnya.
Kaca-kaca jendelapun menjadi buram oleh debu yang mengerat. Dulu, dari balik kaca jendela itu anak-anak sering mengintip kupu-kupu yang berterbangan di taman.
“Aku akan lekang tanpa sentuhan-sentuhan. Aku tahu, aku kini menjadi tak berarti. Kita sama-sama tahu, ujung kepedihan adalah ketika kita menjadi tak berarti.” Gerutunya.
Kursi-kursi, meja, dan lemari sudah tak berdaya untuk berkata-kata. Mereka lelah oleh diam yang merapuhkan. Lantai dan tiang-tiang yang menjadikan semuanya tampak tegar, kini pun mulai memejamkan mata.
“Andai aku berkaki, aku akan merangkak dan mengungsi ke masjid-masjid atau gereja. Kesepian di sana lebih berarti.” Bisiknya, pilu.
“Panas dan terik tak kunjung lelah memberangus kita. Badai dan hujan berulang kali hendak merobohkan kita. Dan lihatlah! Kita tetap berdiri meski di sana-sini, tubuh kita bercamping luka. Dan kita akan selalu bertahan menanti tuan.” Seruku, mengguncangkan dahan-dahan kesunyian yang kokoh.
VI
Kami terus tertidur dalam pelukan waktu yang panjang. Hingga datanglah seseorang mengahmpiri kami. Ia menerawang dari balik kaca mobilnya. Ia turun sebentar, menilik kami dari kejauhan lalu mencatat nomor telphon yang tertera di papan kayu—yang setiap tahun terus diganti. Beberapa hari berikutnya, dua orang remaja menghentikan mobilnya di depan gerbang. Mereka membuka gembok gerbang yang sudah berkarat. Beberapa lelaki kumal ikut turun dari mobil itu. Sebelum membukanya seorang lelaki berpakaian kumal melumuri lubang gembok dengan minyak goreng, supaya licin.
Tentu saja aku mengenal mereka—dua remaja itu. Mereka adalah dua orang anak yang dulu sangat suka mengintip kupu-kupu dari balik jendela. Mereka adalah anak-anak yang suka memangkas kesunyian setiap kali ia tumbuh seperti rumput-rumput liar. Dan tak sesiapa bersyakwaduga bahwa pada akhirnya, rumah ini menjadi kenangan terburuk yang ingin mereka buang jauh-jauh. Rumah ini adalah prasasti luka yang mengabadi di lubuk hati kecil mereka. Bagaimana mungkin mereka lupa. Genangan darah di lantai waktu itu.
Ketika dua kakak beradik itu membuka pintu utama, tikus dan kecoak berlarian masuk ke kolong meja dan lemari.
Mereka tercengang dan bersitatap satu sama lain.
“Apa kau ingat, kapan terakhir kali kita menginjak lantai ini?” Tanya sang kakak.
“Aku lupa.” Sang adik menjawab.
Mereka terus berjalan menyusuri satu ruang ke ruang yang lain. Beberapa kali mereka mencolek debu yang menebal di atas meja atau kaca lemari.
“Kotor sekali.” Mereka menggumam.
Mereka sampai di sebuah ruang. Sang kakak menatap penjuru langit-langit, sang adik menatap beku lantai di ruang itu, “Kau ingat…”
“Tak ada yang perlu kita ingat lagi dari rumah ini.” Sahut sang kakak.
“Aku rindu ibu, ayah.” Bibir sang adik gemetar, matanya mulai mengkilat.
“Sebentar lagi, kita akan mengubur masa lalu rumah ini. Menguburnya dalam-dalam. Rumah ini takkan lagi menjadi milik kita. Barangkali, ini kali terakhir kita menjejak lantai ini.”
“Semoga semua menjadi lebih baik, juga luka yang mengabadi ini.”
“Ya…!”
Mereka beranjak meninggalkan luka yang tercecer dari jejak kaki mereka yang melangkah menjauh. Mereka menghampiri beberapa lelaki yang berpakaian kumal, yang masih berdiri di depan gerbang.
“Pak, tolong ya! Halamanya juga dibersihkan sekalian. Biar enak dilihatnya.”
“Iya, Den!” Jawab salah seorang dari mereka.
Dua remaja itupun kembali memasuki mobil. “Pak, nanti kalau sudah selesai, bapak telepon saja ke HP saya. Biar nanti saya jemput.” Teriaknya sebelum menutup kaca mobil.
“Iya, Den! Beres!”
Para lelaki itu mulai berpencar dengan alat-alat yang mereka bawa. Satu ke halaman, satu ke ruang tengah, satu ke dapur, dan satu ke halaman belakang.
Dihelanya debu-debu yang meringkuk di sembarang tempat. Dirusaknya sarang laba-laba dengan ijuk panjang. Disikatnya lantai dan kaca jendela. Dibasuhnya meja, kursi, dan lemari. Dibetulkannya atap-atap yang berlubang. Dimasukkanya ke dalam karung, barang-barang yang usang dan tak terpakai. Diputarnya keran PDAM yang berdecit oleh tahi karat. Ditebasnya batang-batang pohon yang menjulang. Dibabatnya rumput-rumput yang menusuk. Dipangkasnya habis kesunyian yang merimbun di halaman rumah.
Atap kembali rapi. Kaca jendela kembali bening. Lantai kembali licin. Bak mandi dan kloset kembali basah. Taman kembali terang. Tak tampak lagi kesunyian. Tak nyata lagi kesendirian.
“Saatnya menyambut sang tuan!” Kami bersorak.
VII
Tuan baru kami datang dengan hingar bingar. Sehari-dua hari ia mulai menjejak lantai dengan tarian yang tak henti-henti. Disulapnya ruang tamu menjadi café bernuansa luar negeri. Dipasangnya lampu warna-warni di langit-langit dan sudut-sudut. Dipasangnya pula plang besar di depan gerbang dengan tulisan warna-warni yang menyala di malam hari. Mobil-mobil mewah mulai mampir. Tuan-puan mulai datang bertandang. Muda-mudi hilir mudik silih berganti. Siang menjadi malam, malam menjadi siang. Tak ada khusyuk. Tak jumpa tenang. Bahkan suara azdan maghrib pun mulai sayup oleh decak disko koplo.
Kini mulai terasa, kesunyian menjadi sedikit lebih berarti.
Betapa mudah Sang Hidup membolak-balikkan kehidupan. Beberapa waktu lalu, menjelang petang, rumah ini menjelma kuburan, dan kini menjadi pasar malam. Ruang-ruang menjadi keruh oleh asap rokok dan bau alkohol. Ketika kamar-kamar penuh, di sembarang sudut, di sembarang ruang, muda-mudi membaur, saling berpaut menikmati keremangan lampu. Gelas bertangkai adu-beradu dalam dedentingan tajam. Bila malam bertambah malam, Amor yang bertahta dalam birahi mereka menjelma menjadi asap merah yang mengepul ke udara. Baunya menyengat. Hawanya seperti bara. Atap-atap, jendela, lantai, tiang-tiang, dinding, meja-kursi, semuanya tampak bergeming mengenaskan.
VII
Ketika musik disko itu bertalu membabi buta, azdan maghrib telah berhenti lama. Lampu-lampu menyala dalam kerlapnya. Seorang pemuda bersama gadisnya berlalu ke ruang belakang. Seorang waria menyulut batang rokoknya yang telah teracung di bibir. Laki-laki berperut buncit menuang anggur ke dalam gelas bertangkai. Gadis cantik disebelahnya, duduk mengangkat rok-nya semakin ke atas. Beberapa muda-mudi yang lain berdansa tanpa memedulikan irama, beberapa yang lain menyantap makanan ringan di atas meja.
Dan saatnya…!
Tak seorang pun akan menduga, langit-langit atap yang tampaknya kokoh, menyerah, melumatkan diri. Bola lampu kaca yang tergantung di sana jatuh berdebam ke atas meja, menimpa gelas dan botol-botol minuman. Semua hancur berkeping. Cairan alkohol menggenangi lantai. Orang-orang berteriak. Seorang waria tersentak, putung rokok yang ada di tanganya terlempar ke puing-puing yang menggenang di atas meja. Di situlah api pertama menyala, mulai memberangus meja.
“Kebakaran! Kebakaran!” teriak seseorang.
“Cepat calling 113.” Teriak yang lain.
Cairan keras yang menggenang di mana-mana mempercepat rambatan api. Api pun mulai melalap sofa dan kursi. Ruang menjadi riuh oleh teriakan-teriakan membahana. Orang-orang berlari keluar rumah. Sang tuan tercengang tak percaya.
Kobaran api mulai menjalar ke sembarang tempat, sembarang ruang. Mobil pemadam tak juga datang. Ruang depan sudah terberangus habis. Api menjalar ke ruang belakang. Sang tuan teriangat gudang minuman di ruang belakang. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa kali terdengar ledakan, dan api semakin riang menari sampai ke udara. Mobil pemadam belum juga datang. Sang tuan semakin gelisah. Beberapa jam kemudian, dua mobil pemadam datang berbondong. Selang-selang besar dijulurkan. Air mulai menyembur. Orang-orang berjubal seperti menonton sebuah pertunjukan. Lepas tengah malam, setelah semuanya habis, api baru bisa dijinakkan. Sang tuan menangis berkali-kali sampai pingsan.
IX
Malam bertambah malam. Satu-persatu, orang-orang beranjak memperjauh langkah mereka sambil sesekali menoleh ke belakang dengan mata ngeri. Sisa-sisa asap mengepul ke langit yang semakin larut dalam hitam. Perlahan, benih kesunyian mulai berkecambah, menjalar, merambati sisa-sisa dinding, atap, tiang, dan jendela yang menghitam.****
Malang , 2010-2011

0 komentar: