Di dalam rumah kami, tepatnya di dapur, ada sebuah tungku yang terbuat dari batu gunung yang disusun rapi dengan dua tumang—untuk meletekkan periuk, wajan, dan semacamnya… dan satu mulut—tempat menjejalkan kayu. Kami tak ingat kapan dan bagimana tungku itu dibuat, mungkin jauh sebelum kami lahir. Sepengetahuan kami, tungku itu sudah magrong-magrong di sana, di dapur kami, di sebelah sumur, di antara lumbung dan lemari wadah bumbu. Kami menyebutnya tungku ibu. Karena tungku itu memang milik ibu. Dan ibu memang begitu mencintai tungku tua itu. Terlampau cintanya ibu pada tungku itu, sampai-sampai, kami mengira bahwa tungku itu bukanlah sebuah tungku.
Sedari kami kecil, atau mungkin sedari kami belum lahir, ibu sudah mulai memasak di tungku itu. Memasak apa saja, menjerang apa saja. Mulai dari menanak nasi, menumis lauk, memanggang ikan, mengukus jajanan, mengopen kue, sampai menjerang air untuk mandi, ibu melakukannya di tungku itu. Tungku yang kata ibu, adalah tungku paling kuat dan awet di dunia. Kata itu absah benarnya, tungku itu memang tungku paling kuat dan paling awet di dunia. Setiap hari, selama puluhan tahun, ibu menanak di situ, mengobori tungku itu, tapi tetap saja, tungku itu masih mengarca dengan kokohnya. Hanya warnanya saja yang sedikit kusam.
Sebenarnya, kami juga sangat mencintai tungku itu. Dulu, setiap pagi, sehabis sembahyang subuh, kami selalu menghambur ke depan tungku itu—yang sudah menyala-nyala, untuk sekadar menghangatkan tubuh dari gigilnya pagi. Di depan tungku kami duduk tenang, membentangkan telapak tangan dan menghadapkannya ke kobaran api. Sesekali kami berulah, menabur-naburkan sekam ke mulut tungku, meski mulut tungku sudah penuh dengan kayu, atau kalau tidak, kami suka memasukkan apa saja yang kami lihat ke lidah tungku itu: potongan kertas, plastik-plastik, potongan sandal, lidi, hingga kemudian ibu memarahi kami, menyuruh kami pergi dan tidak mengacaunya.
“Kalau mau sarapannya cepat matang, sebaiknya kalian pergi dari depan tungku, atau kalian yang ibu suruh menanak sampai matang,” begitu omelan ibu, hingga kami berhamburan, itu pun ibu belum selesai, ia masih melanjutkan, “supaya hidup kalian lebih berguna, sebaiknya kalian ambil sapu dan cikrak lalu pergilah ke halaman depan.”
Di lain waktu, ibu pernah memanggil kami untuk menemaninya berdiang di depan tungku itu, “Kemarilah kalian, di sini hangat. Kalian mau pisang bakar?” Ibu menusuk tiga buah pisang mentah dengan lidi bambu yang ia sisik sendiri. Satu untuk ibu, satu untukku, dan satu lagi untuk kakakku. Lambat laun, pisang bakar yang aneh itu, bagi kami menjadi salah satu jenis makanan ringan khas ibu yang paling kami sukai—yang tak tepermanai lezatnya.
Ketika kami tengah berdiang di depan tungku itu, ibu pernah berseloroh seperti menggumam, “Dulu, waktu pertama kali dibuat, tungku ini seperti candi mungil yang lucu, sampai-sampai ibu enggan memasak di atasnya, takut kalau tungkunya jadi kotor, terkena jelaga, arang, atau abu.”
“Lalu siapa yang membuat tungku ini?” Tanya kami.
Wajah ibu berkilat- kilat oleh sinaran api dari mulut tungku, “Almarhum bapakmu tentu saja, tungku ini dibuat waktu kalian masih ada di perut,” jawab ibu sedikit gamang.
“Bagimana cara bapak membuatnya?”
“Minggirlah sebentar, biar ibu aduk dulu nasinya,” ibu seperti mengalihkan pembicaraan dan membiarkan kami menghambur dari pendiangan yang hangat itu. Setiap kali kami bertanya perihal sejarah tungku itu, bagaimana tungku itu dibuat, kami tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Persis seperti ketika kami bertanya bagaiamana bapak meninggal. Ibu hanya menjawab, bahwa bapak sakit, tanpa menjelaskan lebih detail sakit apa yang diderita bapak dan bagaimana penyakit itu bisa merenggut nyawanya.
***
Rumah kami telah dibongkar dan direnovasi beberapa kali, tapi ibu tak pernah membiarkan siapapun menyentuh tungku itu, lebih-lebih membongkarnya. Beberapa kali, saudara-saudara ibu menyarankan ibu untuk mengganti tungku itu dengan kompor minyak atau kompor gas, supaya lebih mudah, tapi ibu menolaknya mentah-mentah. Hingga di rumah kami, tak kurang dari empat kompor dan tiga tabung gas kosong meringsek di gudang, tak terpakai.
“Nauzdubillah, jangan sampai ibu pakai kompor begituan, sedikit-sedikit meledak, sedikit-sedikit terbakar. Pakai kompor minyak pun, sekarang minyak mahal, langka malah. Jadi, lebih baik pakai tungku, pakai kayu, murah, aman, dan alami, jadinya masakan juga lebih enak,” demikian dalih ibu.
Jadi, sampai detik ini, di mana kami—dua putra kembar ibu, telah menginjak usia remaja, bahkan jelang dewasa, ibu tetap tak mau menanak dan memasak dengan selain tungku itu. Bahkan ibu juga tak pernah mau menggunakan rice cooker yang kami hadiahkan untuknya.
“Tungku itu sudah mengajarkan ibu banyak hal, pantang menyerah, mau bersusah-payah, mau kotor, dan terutama sabar. Kalian boleh bandingkan, masakan yang tersentuh api tungku dengan masakan hasil listrik atau api kompor, pasti rasanya beda.”
Jadi, sudah sangat jelas, bahwa ibu perlu sedikit waktu lebih banyak untuk menyiapkan sarapan, bahwa ibu butuh waktu sedikit lama untuk menyeduh wedang. Tapi kami menghormati keputusan ibu. Karena kata-kata ibu memang benar adanya, olah masakan ibu memang beda, tak ada duanya. Jadi kami lebih memilih untuk menunggu lebih lama, asalkan masakan itu tersentuh tungku dan tangan ibu.
Bahkan, sampai kini—saat tubuh ibu nyaris uzur, kecintaan ibu masih untuh pada tungku itu. Dan ibu tak pernah berubah, masih dengan telaten memunguti ranting-ranting kering di kebun belakang rumah, masih dengan telaten bangun pagi-pagi, menjejalkan kayu di mulut tungku, menaburinya dengan sekam atau serbuk kayu dan kemudian menyulut sandal karet sebagai sumbu dan meletakkannya di antara jejalan kayu dan taburan sekam. Beberapa detik kemudian api menjalar, berkobar-kobar. Cerek alumunium berwarna cokelat akan segera memekik panjang, dan di meja tengah akan segera terhidang satu teko teh hangat, dan terkadang, berteman beberapa tusuk pisang bakar.
***
Seperti layaknya manusia, berkalang waktu, usia ibu pun semakin uzur. Kondisi tubuhnya tak mampu mengalahkan kondisi tungku yang amat dicintainya, tungku yang usianya telah berpuluh-puluh tahun namun tidak bergeming oleh perjalanan waktu. Nyata sekali bahwa manusia memang sangat kecil dan rapuh, bahkan ia lebih rapuh dari sebuah tungku.
Ketika tubuh ibu terbaring lemas di kasurnya—tak kuasa lagi untuk sekedar berjalan ke dapur dan menyalakan tungku, silih kami yang menanak dan mematangkan aneka macam makanan dengan tungku itu. Dan ternyata, memasak di tungku tak semudah kedengarannya. Butuh perjuangan, lebih-lebih butuh kesabaran. Ketika apinya kebesaran, kami harus menyisihkan sebagian kayunya. Ketika apinya mati, kami harus bersusah payah meniupnya. Asap kerap membuat mata kami sakit, dan abu yang beterbangan itu kerap membuat kami terbatuk-batuk. Merasakan bagaimana rumpilnya berurusan dengan tungku, membuat kami semakin mencintai ibu, ibu yang kini hanya bisa terbaring lemas di kasurnya yang lepek.
Kian hari kondisi ibu kian mengkhawatirkan, saudara-saudara ibu, saudara-saudara jauh pada berdatangan untuk menjenguk. Dan ramainya orang di rumah kami, malah membuat kami semakin khawatir. Hingga ibu memanggil kami berdua untuk ia ajak bicara sesuatu. Hanya kami berdua. Kami merasakan sebuah alamat yang sulit untuk kami terima kebenarannya.
“Semua orang akan menjadi tua, tidak bisa tidak, seperti ibumu sekarang, dan orang yang sudah tua memang begini, sakit-sakitan, ini sudah biasa,” lirih ibu. Kami terdiam menyimak tuturnya.
“Ibu cuma mau berpesan, perihal tungku itu... Jangan pernah kalian membongkarnya. Jika kalian memang ingin memasak menggunakan kompor tak masalah, tapi jangan pernah membongkar tungku itu,” hatta ibu mengisahkan awal mula bagimana tungku itu dibuat.
Untuk membuat tungku itu, bapak harus pergi ke gunung di batas ulayat kampung. Bapak menggali dan memecah sendiri bebatuan gunung itu, mengusungnya pulang, satu demi satu, hingga ketika batu itu terkumpul, kurang beberapa biji, bapak kembali ke gunung itu, untuk melakukan penggaliannya yang terakhir, dan setelah itu bapak tak pernah kembali. Gunung tempat bapak menggali batu ambrol. Longsor. Beberapa orang, termasuk bapak, bernasib nahas, pulang hanya dengan nama dan jasad yang memar. Maka, tanpa bapak, ibu menyusun sendiri bebatuan yang ada, dengan jerih payah, dengan air mata. Hingga bebatuan itu membentuk sebuah tungku. Tungku yang amat dicintai ibu, sampai akhir hayatnya.
“Tungku itu adalah cara ibu mengenang bapakmu, dan ibu mau, suatu saat nanti, tungku itu menjadi cara kalian untuk mengenang ibu.”***
Malang, Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar