Pancaroba. Aku melihat musim yang tak menentu di rambut ibu. Datang dan pergi. Silih berganti. Dan kini, setelah hari-hari ibu terperangkap dalam kasur dan kursi roda, musim-musim itu, kian tampak nyata. Jadi, semenjak itu, di mataku, kepala ibu telah menjelma rupa menjadi hamparan tanah kecil yang penuh misteri.
Ketika kuceritakan itu kepada ayah, ayah melulu tersenyum dan mengatakan, bahwa ibu, hanya sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik. Ayah tak pernah menjelaskan lebih apa nama sakit yang diderita ibu. Ayah hanya mengatakan, bahwa sesuatu yang tidak diinginkan telah bertumbuh di batok kepala ibu. Tepatnya di otak. Agaknya nama sakit itu terlalu sulit untuk ia jelaskan padaku, sehingga ia cukup mengatakan, bahwa ibu sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik. Dan semenjak ibu sakit itulah, aku menyaksikan berbagai musim singgah dan berganti di rambutnya.
***
Musim pdrtama yang kusaksikan di rambut ibu adalah musim semi. Sambil menemani ibu yang terbaring lemah di kasurnya, aku selalu memerhatikan rambutnya yang hitam mengkilat, seperti hamparan rumput di malam pekat.
“Apa yang kau lihat?” Tanya ibu ketika itu, ketika aku memelototi rambutnya seperti menyaksikan pertunjukan sirkus, tanpa berkedip.
“Ada musim semi di rambut ibu,” balasku. Ibu tersenyum.
“Itu bukan musim semi, Nak. Itu rambut ibu yang mulai ditunasi uban.”
“Uban?”
“Iya, uban. Uban itu rambut berwarna putih. Rambut yang akan tumbuh jika seseorang sudah tua. Seperti ibumu. Seperti juga ayahmu. Seperti rambut eyangmu dulu. Ingat, kan? Rambut eyangmu putih semua.”
Aku mengangguk, mengingat-ingat rupa rambut eyang yang berwarna putih seperti serabut bunga dandleon. Kalau sudah demikian, aku akan terdiam di hadapan ibu, menunggu ibu lelah dan kembali memejamkan matanya. Selepas ibu terlelap, aku kembali memelototi rambutnya. Menyaksikan musim semi bertumbuh kembang dengan indah di sana. Tunas-tunas, kuncup-kuncup, begitu sejuk. Rasanya aku ingin menjelma menjadi kutu di rambut ibu, supaya bisa menikmati musim semi di sana.
“Ibumu sudah tidur, kenapa kau tidak ikut tidur,” ayah menghampiriku yang masih membeku di hadapan ibu.
“Aku masih mau di sini, Yah. Aku mau menyaksikan musim semi di rambut ibu.”
“Ha, musim semi? Musim semi apa? Ada-ada saja,” ayah berlalu setelah mengacak-acak rambutku.
***
Aku tak sanggup menghisab berapa lama musim semi bertahan di rambut ibu, hingga tiba-tiba kusaksikan musim penghujan datang berdentangan. Mengguyur rambut ibu. Rambut ibu kuyup seperti mandi. Musim hujan di rambut ibu memang sedikit aneh, tanpa mendung dan tanpa petir. Hujan itu luruh begitu saja. Rambut ibu yang hitam mengkilat tiba-tiba berubah menjadi juntaian air yang mengalir. Membasahi keningnya, matanya, sampai lehernya. Ibu menggigil. Kedinginan. Seperti arca. Tak berkata apa-apa.
“Mengapa kau pelototi ibumu begitu?” Ayah terheran-heran.
“Ibu kedinginan, Yah! Ada hujan lebat di rambutnya.”
“Hus, itu keringat, bukan hujan. Seperti yang Ayah bilang, ibumu berkeringat karena menahan sakit yang sangat di kepalanya.”
“Tapi airnya sampai mata, Yah! Lihatlah!”
“Itu air mata, bukan hujan,” ayah menyeka air di mata ibu dengan mata berkilat, seperti kaca tertempa sinar.
“Tapi kasihan ibu, Yah. Ibu kedinginan.”
“Berdoalah untuk kesembuhan ibumu. Percayalah, doamu akan membuatnya sedikit hangat dan nyaman,” balas ayah.
Aku menatap ibu dan ayah bergantian, sebelum akhirnya terdiam, memejamkan mata. Melabuhkan segala permohonan. Permohonan supaya ibu lekas sembuh seperti sedia kala. Permohonan supaya musim di rambut ibu berganti dengan musim yang lebih indah, untuk waktu yang lama. Beberapa detik kemudian aku ber’amin’. Mengusap wajah dengan telapak tangan yang mulai terasa dingin.
***
Musim di kepala ibu memang sangat aneh dan berubah-ubah semaunya. Selepas musim penghujan, kini, kusaksikan getir air di rambut ibu membeku, menjelma salju. Musim salju telah sampai di rambut ibu. Butiran-butiran putih berserakan di kepala ibu, di antara juntaian rambutnya yang hitam. Acapkali butiran salju itu luruh terkulai di pundak ibu, dan terkadang di bantal tempat kepala ibu bersandar. Tentu saja ibu kedinginan. Salju beku menyelimuti kepalanya. Beberapa kali aku meniupi butiran salju itu supaya lekas luruh dan mencair. Tapi ayah melarangku.
“Mengapa kau tiupi rambut ibumu?” ayah mengernyitkan dahi.
“Ada salju di rambut ibu, Yah!” balasku.
“Itu ketombe, bukan salju.” ayah menatapku dengan tatapan aneh, kepalanya menggeleng beberapa kali. Kulirik ibu yang terpingkal-pingkal dengan bahu berguncang, tanpa suara. Ayah ikut menahan tawa.
“Tapi itu salju, Yah. Lihatlah! Ibu kedinginan.”
“Sakit ibumu memang membuat ibumu kedinginan. Jadi, ibumu bukan kedinginan karena salju, tapi karena ibumu sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik.”
“Tapi butiran putih itu sangat dingin, Yah. Lihatlah! Aku juga menggigil.”
“Baiklah, nanti, kalau ibumu bersedia, ayah akan membersihkan rambutnya dengan air hangat, dengan shampo anti ketombe. Ehm, maksud ayah, shampo anti salju.” Tawa ayah tersedak di tenggorokkan. Ibu kembali terbahak dengan pundak berguncang, tanpa suara. Silih aku yang mengernyitkan dahi. Tapi aku tetap bersikeras. Bahwa itu salju, bukan ketombe.
***
Kini, rambut ibu seperti ditumpahi cahaya. Cerah. Bersiluet. Penuh kilat. Sekilas kutilik, ada pelangi membentang di dahinya. Terkadang di ulas bibirnya, kala tersenyum. Aku senang melihat rambut ibu segar berkilat. Subur. Dengan tunas berkilau di beberapa ujungnya. Beberapa rambut memang sudah ada yang tampak layu, kecoklatan. Sambil menunggui ibu, aku acap bertanya, masih adakah musim baru yang akan bersalam ke rambut ibu. Aku berharap tidak. Aku ingin rambut ibu tetap subur, sejuk. Dengan pelangi yang melingkar di kening dan bibirnya.
Namun, cahaya itu tidak berlangsung lama. Pada waktu yang tak pernah kunyana, musim baru menjalar di rambut ibu. Musim gugur. Dan tampaknya, musim kali ini akan berlangsung lama.
Seiring melesatnya waktu, kusaksikan rambut ibu mulai berguguran satu per satu. Ketika ayah menyisiri rambut ibu, rambut ibu akan menggumpal memenuhi gigi sisir. Terkadang rambut itu pun luruh begitu saja, berserakan di bantal, selimut, dan kasur. Seperti serakan daun kering yang mati. Bahkan, bukan hanya rambutnya yang gugur. Bulu di mata ibu pun tiba-tiba menipis dan habis. Ibu semakin tak berdaya. Seperti arca. Terdiam. Tak berkata apa-apa. Dan musim inilah yang membuat ayah ditimpa lebih banyak gerimis.
“Mengapa Ayah menangis?” dadaku terasa sesak ketika menanyakan itu.
“Ayah cuma takut kehilangan ibumu,” ungkapnya liris.
“Musim gugur telah sampai di rambut ibu, ya, Yah?”
Kali ini ayah mengangguk, tidak menyangkalku.
“Apakah nanti, musim semi akan datang lagi di rambut ibu?”
“Ayah tak tahu, Nak.”
Kulihat mata ayah penuh kabut. Tampaknya ia ingin sendiri. Aku pun berlalu, aku ingin melabuhkan kembali permohonan. Permohonan yang sangat kepada Tuhan. Supaya musim yang indah kembali bercokol di rambut ibuku. Amin.
***
Musim gugur mengaum sedikit panjang. Melunasi rambut ibu satu persatu. Hingga kini, kepala ibu mengkilat. Bersih. Tanpa sehelai rambut pun. Bulu matanya pun habis. Kini, kepala ibu tampak kerontang. Dan aku yakin, musim kemarau telah datang, menjerang kepala ibu. Aku sering menangis sembunyi-sembunyi. Tak sampai hati melihat keadaan ibu yang demikian. Seiring kemarau itu, dokter mulai sering berkunjung ke rumah. Memasukan jarum ke selang kecil yang terhubung ke perban yang tersembunyi di balik baju ibu. Aku tak mau tahu lebih banyak. Karena, aku selalu merinding bila melihat jarum-jarum itu disuntikkan ke ibu. Kata ayah, memang itulah makanan ibu. Itulah yang membuat ibu bertahan.
“Kemarau, Yah, kemarau!”
“Apanya yang kemarau?”
“Rambut ibu habis, Yah, kini musim kemarau mendatangi kepala ibu.”
“Itu bukan kemarau, Nak. Sakit yang diderita ibumu mengharuskan rambut-rambutnya tanggal. Jadi rambut ibumu habis bukan karena kemarau, tapi karena ibumu memang sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik.”
“Tapi itu kemarau, Yah. Lihatlah. Kelopak mata ibu menghitam. Pucat.”
“Orang sakit memang begitu, Nak.”
“Tapi kemarau itu membuat tubuh ibu kering. Lihatlah, ibu semakin kurus.”
Ayah terdiam agak lama, sebelum akhirnya meyakinkanku, “Percayalah, ibumu akan baik-baik saja.”
Dari cara ayah berkata, aku tak yakin bahwa ibu akan baik-baik saja. Itu terbukti. Beberapa hari setelah kemarau menjalari kepala ibuku, ayah melarikan ibu ke rumah sakit. Handai tolan berdatangan menjenguk. Aku semakin khawatir. Akankah kemarau yang singgah di kepala ibu menjadi kemarau panjang. Tampaknya iya. Berhari-hari ibu memejamkan mata. Ayah menyebutnya koma. Ibu terdiam seperti arca. Tak berkata apa-apa. Dan kemarau di kepalanya semakin garang melanda.
Semenjak ibu dirawat di rumah sakit. Ayah menitipkanku pada nenek. Sesekali saja nenek mengajakku menjenguk ibu. Ketika menjenguk ibu, kusaksikan musim kemarau masih bertengger di sana. Musim kemarau yang panjang. Tak berkesudahan.
***
Berkalang waktu, kabar ibu semakin buntu. Hingga suatu ketika, nenek mengajakku ke rumah sakit, dengan wajah panik dan terburu-buru. Ada mendung bergelayutan di wajah nenek kala itu. Ketika kutanya ada apa, nenek hanya menjawab, bahwa ia ingin mengantar ibu. Ketika kutanya lagi, mengantar ibu ke mana, nenek memintaku untuk tidak banyak bertanya. Aku pun diam.
Aku tak sabar untuk berjumpa dengan ibu, untuk menyaksikan musim-musim baru berkuncup di kepalanya, di rambutnya. Musim-musim yang indah. Namun, tampaknya, musim kemarau adalah musim terakhir yang kusaksikan di kepala ibu, di rambut ibu. Karena selepas itu, sesampainya kami di rumah sakit, tubuh ibu telah ditutupi kain berwarna awan. Di hadapan ibu, musim penghujan luruh ke mata ayah dan ke mata nenek.
“Ibu kenapa, Yah?”
Ayah mendekapku erat. Membisikkan sesuatu di telingaku. Hujan di matanya turut membasahiku.
“Ibumu telah memetik musim yang baru. Musim di surga yang tak kutahu namanya. Apa kau ingin melihat wajah ibumu?”
Aku mengangguk. Ayah menyingkap kain awan yang menutupi wajah ibu. Dan di sana, di kepala ibu, aku menyaksikan sebuah musim baru. Musim paling indah yang pernah kusaksikan. Musim paling tenang yang tak pernah kutahu namanya.***
Malang, 7 September 2011
Ketika kuceritakan itu kepada ayah, ayah melulu tersenyum dan mengatakan, bahwa ibu, hanya sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik. Ayah tak pernah menjelaskan lebih apa nama sakit yang diderita ibu. Ayah hanya mengatakan, bahwa sesuatu yang tidak diinginkan telah bertumbuh di batok kepala ibu. Tepatnya di otak. Agaknya nama sakit itu terlalu sulit untuk ia jelaskan padaku, sehingga ia cukup mengatakan, bahwa ibu sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik. Dan semenjak ibu sakit itulah, aku menyaksikan berbagai musim singgah dan berganti di rambutnya.
***
Musim pdrtama yang kusaksikan di rambut ibu adalah musim semi. Sambil menemani ibu yang terbaring lemah di kasurnya, aku selalu memerhatikan rambutnya yang hitam mengkilat, seperti hamparan rumput di malam pekat.
“Apa yang kau lihat?” Tanya ibu ketika itu, ketika aku memelototi rambutnya seperti menyaksikan pertunjukan sirkus, tanpa berkedip.
“Ada musim semi di rambut ibu,” balasku. Ibu tersenyum.
“Itu bukan musim semi, Nak. Itu rambut ibu yang mulai ditunasi uban.”
“Uban?”
“Iya, uban. Uban itu rambut berwarna putih. Rambut yang akan tumbuh jika seseorang sudah tua. Seperti ibumu. Seperti juga ayahmu. Seperti rambut eyangmu dulu. Ingat, kan? Rambut eyangmu putih semua.”
Aku mengangguk, mengingat-ingat rupa rambut eyang yang berwarna putih seperti serabut bunga dandleon. Kalau sudah demikian, aku akan terdiam di hadapan ibu, menunggu ibu lelah dan kembali memejamkan matanya. Selepas ibu terlelap, aku kembali memelototi rambutnya. Menyaksikan musim semi bertumbuh kembang dengan indah di sana. Tunas-tunas, kuncup-kuncup, begitu sejuk. Rasanya aku ingin menjelma menjadi kutu di rambut ibu, supaya bisa menikmati musim semi di sana.
“Ibumu sudah tidur, kenapa kau tidak ikut tidur,” ayah menghampiriku yang masih membeku di hadapan ibu.
“Aku masih mau di sini, Yah. Aku mau menyaksikan musim semi di rambut ibu.”
“Ha, musim semi? Musim semi apa? Ada-ada saja,” ayah berlalu setelah mengacak-acak rambutku.
***
Aku tak sanggup menghisab berapa lama musim semi bertahan di rambut ibu, hingga tiba-tiba kusaksikan musim penghujan datang berdentangan. Mengguyur rambut ibu. Rambut ibu kuyup seperti mandi. Musim hujan di rambut ibu memang sedikit aneh, tanpa mendung dan tanpa petir. Hujan itu luruh begitu saja. Rambut ibu yang hitam mengkilat tiba-tiba berubah menjadi juntaian air yang mengalir. Membasahi keningnya, matanya, sampai lehernya. Ibu menggigil. Kedinginan. Seperti arca. Tak berkata apa-apa.
“Mengapa kau pelototi ibumu begitu?” Ayah terheran-heran.
“Ibu kedinginan, Yah! Ada hujan lebat di rambutnya.”
“Hus, itu keringat, bukan hujan. Seperti yang Ayah bilang, ibumu berkeringat karena menahan sakit yang sangat di kepalanya.”
“Tapi airnya sampai mata, Yah! Lihatlah!”
“Itu air mata, bukan hujan,” ayah menyeka air di mata ibu dengan mata berkilat, seperti kaca tertempa sinar.
“Tapi kasihan ibu, Yah. Ibu kedinginan.”
“Berdoalah untuk kesembuhan ibumu. Percayalah, doamu akan membuatnya sedikit hangat dan nyaman,” balas ayah.
Aku menatap ibu dan ayah bergantian, sebelum akhirnya terdiam, memejamkan mata. Melabuhkan segala permohonan. Permohonan supaya ibu lekas sembuh seperti sedia kala. Permohonan supaya musim di rambut ibu berganti dengan musim yang lebih indah, untuk waktu yang lama. Beberapa detik kemudian aku ber’amin’. Mengusap wajah dengan telapak tangan yang mulai terasa dingin.
***
Musim di kepala ibu memang sangat aneh dan berubah-ubah semaunya. Selepas musim penghujan, kini, kusaksikan getir air di rambut ibu membeku, menjelma salju. Musim salju telah sampai di rambut ibu. Butiran-butiran putih berserakan di kepala ibu, di antara juntaian rambutnya yang hitam. Acapkali butiran salju itu luruh terkulai di pundak ibu, dan terkadang di bantal tempat kepala ibu bersandar. Tentu saja ibu kedinginan. Salju beku menyelimuti kepalanya. Beberapa kali aku meniupi butiran salju itu supaya lekas luruh dan mencair. Tapi ayah melarangku.
“Mengapa kau tiupi rambut ibumu?” ayah mengernyitkan dahi.
“Ada salju di rambut ibu, Yah!” balasku.
“Itu ketombe, bukan salju.” ayah menatapku dengan tatapan aneh, kepalanya menggeleng beberapa kali. Kulirik ibu yang terpingkal-pingkal dengan bahu berguncang, tanpa suara. Ayah ikut menahan tawa.
“Tapi itu salju, Yah. Lihatlah! Ibu kedinginan.”
“Sakit ibumu memang membuat ibumu kedinginan. Jadi, ibumu bukan kedinginan karena salju, tapi karena ibumu sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik.”
“Tapi butiran putih itu sangat dingin, Yah. Lihatlah! Aku juga menggigil.”
“Baiklah, nanti, kalau ibumu bersedia, ayah akan membersihkan rambutnya dengan air hangat, dengan shampo anti ketombe. Ehm, maksud ayah, shampo anti salju.” Tawa ayah tersedak di tenggorokkan. Ibu kembali terbahak dengan pundak berguncang, tanpa suara. Silih aku yang mengernyitkan dahi. Tapi aku tetap bersikeras. Bahwa itu salju, bukan ketombe.
***
Kini, rambut ibu seperti ditumpahi cahaya. Cerah. Bersiluet. Penuh kilat. Sekilas kutilik, ada pelangi membentang di dahinya. Terkadang di ulas bibirnya, kala tersenyum. Aku senang melihat rambut ibu segar berkilat. Subur. Dengan tunas berkilau di beberapa ujungnya. Beberapa rambut memang sudah ada yang tampak layu, kecoklatan. Sambil menunggui ibu, aku acap bertanya, masih adakah musim baru yang akan bersalam ke rambut ibu. Aku berharap tidak. Aku ingin rambut ibu tetap subur, sejuk. Dengan pelangi yang melingkar di kening dan bibirnya.
Namun, cahaya itu tidak berlangsung lama. Pada waktu yang tak pernah kunyana, musim baru menjalar di rambut ibu. Musim gugur. Dan tampaknya, musim kali ini akan berlangsung lama.
Seiring melesatnya waktu, kusaksikan rambut ibu mulai berguguran satu per satu. Ketika ayah menyisiri rambut ibu, rambut ibu akan menggumpal memenuhi gigi sisir. Terkadang rambut itu pun luruh begitu saja, berserakan di bantal, selimut, dan kasur. Seperti serakan daun kering yang mati. Bahkan, bukan hanya rambutnya yang gugur. Bulu di mata ibu pun tiba-tiba menipis dan habis. Ibu semakin tak berdaya. Seperti arca. Terdiam. Tak berkata apa-apa. Dan musim inilah yang membuat ayah ditimpa lebih banyak gerimis.
“Mengapa Ayah menangis?” dadaku terasa sesak ketika menanyakan itu.
“Ayah cuma takut kehilangan ibumu,” ungkapnya liris.
“Musim gugur telah sampai di rambut ibu, ya, Yah?”
Kali ini ayah mengangguk, tidak menyangkalku.
“Apakah nanti, musim semi akan datang lagi di rambut ibu?”
“Ayah tak tahu, Nak.”
Kulihat mata ayah penuh kabut. Tampaknya ia ingin sendiri. Aku pun berlalu, aku ingin melabuhkan kembali permohonan. Permohonan yang sangat kepada Tuhan. Supaya musim yang indah kembali bercokol di rambut ibuku. Amin.
***
Musim gugur mengaum sedikit panjang. Melunasi rambut ibu satu persatu. Hingga kini, kepala ibu mengkilat. Bersih. Tanpa sehelai rambut pun. Bulu matanya pun habis. Kini, kepala ibu tampak kerontang. Dan aku yakin, musim kemarau telah datang, menjerang kepala ibu. Aku sering menangis sembunyi-sembunyi. Tak sampai hati melihat keadaan ibu yang demikian. Seiring kemarau itu, dokter mulai sering berkunjung ke rumah. Memasukan jarum ke selang kecil yang terhubung ke perban yang tersembunyi di balik baju ibu. Aku tak mau tahu lebih banyak. Karena, aku selalu merinding bila melihat jarum-jarum itu disuntikkan ke ibu. Kata ayah, memang itulah makanan ibu. Itulah yang membuat ibu bertahan.
“Kemarau, Yah, kemarau!”
“Apanya yang kemarau?”
“Rambut ibu habis, Yah, kini musim kemarau mendatangi kepala ibu.”
“Itu bukan kemarau, Nak. Sakit yang diderita ibumu mengharuskan rambut-rambutnya tanggal. Jadi rambut ibumu habis bukan karena kemarau, tapi karena ibumu memang sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik.”
“Tapi itu kemarau, Yah. Lihatlah. Kelopak mata ibu menghitam. Pucat.”
“Orang sakit memang begitu, Nak.”
“Tapi kemarau itu membuat tubuh ibu kering. Lihatlah, ibu semakin kurus.”
Ayah terdiam agak lama, sebelum akhirnya meyakinkanku, “Percayalah, ibumu akan baik-baik saja.”
Dari cara ayah berkata, aku tak yakin bahwa ibu akan baik-baik saja. Itu terbukti. Beberapa hari setelah kemarau menjalari kepala ibuku, ayah melarikan ibu ke rumah sakit. Handai tolan berdatangan menjenguk. Aku semakin khawatir. Akankah kemarau yang singgah di kepala ibu menjadi kemarau panjang. Tampaknya iya. Berhari-hari ibu memejamkan mata. Ayah menyebutnya koma. Ibu terdiam seperti arca. Tak berkata apa-apa. Dan kemarau di kepalanya semakin garang melanda.
Semenjak ibu dirawat di rumah sakit. Ayah menitipkanku pada nenek. Sesekali saja nenek mengajakku menjenguk ibu. Ketika menjenguk ibu, kusaksikan musim kemarau masih bertengger di sana. Musim kemarau yang panjang. Tak berkesudahan.
***
Berkalang waktu, kabar ibu semakin buntu. Hingga suatu ketika, nenek mengajakku ke rumah sakit, dengan wajah panik dan terburu-buru. Ada mendung bergelayutan di wajah nenek kala itu. Ketika kutanya ada apa, nenek hanya menjawab, bahwa ia ingin mengantar ibu. Ketika kutanya lagi, mengantar ibu ke mana, nenek memintaku untuk tidak banyak bertanya. Aku pun diam.
Aku tak sabar untuk berjumpa dengan ibu, untuk menyaksikan musim-musim baru berkuncup di kepalanya, di rambutnya. Musim-musim yang indah. Namun, tampaknya, musim kemarau adalah musim terakhir yang kusaksikan di kepala ibu, di rambut ibu. Karena selepas itu, sesampainya kami di rumah sakit, tubuh ibu telah ditutupi kain berwarna awan. Di hadapan ibu, musim penghujan luruh ke mata ayah dan ke mata nenek.
“Ibu kenapa, Yah?”
Ayah mendekapku erat. Membisikkan sesuatu di telingaku. Hujan di matanya turut membasahiku.
“Ibumu telah memetik musim yang baru. Musim di surga yang tak kutahu namanya. Apa kau ingin melihat wajah ibumu?”
Aku mengangguk. Ayah menyingkap kain awan yang menutupi wajah ibu. Dan di sana, di kepala ibu, aku menyaksikan sebuah musim baru. Musim paling indah yang pernah kusaksikan. Musim paling tenang yang tak pernah kutahu namanya.***
Malang, 7 September 2011
5 komentar:
Assalammualaikum. Cerpen amat bagus, maaf ni ya aku boleh mengcopy cerpen dan link nya? Untuk tugas sekolah. Boleh minta biografi kamu? Dan kira-kira apa temanya?
Waalaikum salam, silahkan.. :)
aaaa... keren, rumahku juga dimalang loh kaka.. kita tetanggaan haha.. kak minta izin copy cerpennya ya, mau dibuat tugas sekolah. makasih :))
kebetulan lagi searching cerpen-cerpen, dan ketemu cerpen ini. Sangat terkesan dengan cara penuturan dan ide ceritanya. Semoga bisa lebih banyak menemui cerpen semacam ini, sekalian agar saya punya kesempatan untuk belajar juga. terimakasih inspirasinya:)
Terima kasih sudah mampir, semoga mencerahkan, menginspirasi, atau sekurangnya menghibur :)
Posting Komentar