KEMARAU mengaum berkepanjangan. Tanah-tanah rekah kehausan. Rumput-rumput beruban. Angin dan debu bersiul-siul sepanjang siang. Sedikit jinak menjelang petang.
Di tepi lapangan, pohon randu lekang menjulang. Tanpa daunan. Telanjang. Dahan dan ranting-rantingnya kurus mengangkang, serupa lengan yang tinggal tulang. Buah-buahnya retak bergoyang-goyang. Seperti puluhan botol kecap yang digantung dengan benang. Kapas-kapasnya berhamburan. Di dahan dan ranting, puluhan layang-layang meregang nyawa, melupakan impian mereka: terbang.
***
Pagi menjelang siang. Di depan tungku berjejal kayu, dua bocah lelaki gelisah, menunggui ibunya menanak. Perut mereka bertabuh gendang. Nasi yang dimasak ibunya, sedari pagi, tak matang-matang. Di sebelahnya, ibunya menumbuk sambal dengan keringat bercucuran.
“Sudah matang?” ia bertanya untuk yang kelima kalinya.
“Sebentar,” jawaban ibunya masih sama, “kau ajaklah adikmu ke lapangan, kau petikkan dia layang-layang. Nanti kalau nasi sudah matang, kalian akan ibu undang,” lanjut ibunya.
Senyum mereka mengembang. Seperti menemukan ide cemerlang untuk menangkis lapar perut yang menendang-nendang. Ibunya memang punya kebiasaan buruk: kalau masak tak matang-matang. Bapaknya punya kebiasaan lebih buruk lagi: kalau ngeluyur tak pulang-pulang.
“Ayooo!” ia beranjak dari depan tungku, menjawil kuping adiknya.
Ia menghambur ke dapan rumah, meraih gulungan benang dan galah panjang. Ia berlari kecil menuju lapangan. Adiknya tertinggal di belakang. Ia terus berlari. Terpincang-pincang. Kaus oblongnya yang kedodoran berguncang-guncang. Satu tanganya mencengkram gulungan benang, satu tangannya menyeret galah panjang. Deru langkahnya menerbangkan debu-debu. Seringai wajahnya mengembang, seperti layang-layang yang mengudara. Seolah akan terus terbang, tak kenal kekang, tak kenal tumbang.
Layang-layangku sayang, akan kupetik kalian, akan kuterbangkan hingga jauh ke langit lapang.
Ia melangkah girang, menuju pohon randu ranggas yang dihinggapi puluhan layang-layang yang dihianati angin dan benang. Di belakangnya, adiknya, dengan ingus berleleran, berlari kecil, busaha mengejarnya, celananya melorot, separuh pantatnya kelihatan.
“Ituuuuut!” teriak adiknya sambil menangis, suaranya berguncang seperti langkahnya yang belum sempurna.
“Diem! Abang kan petikkan kau layang-layang.” Ia meneriaki adiknya dengan suara lantang. Tapi suaranya sayup dan hampir hilang ditelan suara galah yang diseretnya—yang berderak-derak beradu tanah, menyisakan goresan panjang. Si adik terus berlari, sambil terus menangis, menyusul kakaknya yang tertatih-tatih menyeret galah. Beberapa goresan di tanah terhapus kaki adiknya yang terlunta-lunta mengejarnya.
Sampai di bawah pohon randu, bocah itu meletakkan gulungan benangnya, menegakkan galahnya—yang panjangnya empat kali lipat dari tinggi tubuhnya. Ia mengempaskan napas. Kepalanya tengadah. Satu tanganya ia tempelkan di dahi, seperti posisi hormat dalam upacara bendera. Kuning matahari meraup sebagian wajahnya. Matanya menyipit. Silau. Galah di tangannya hampir roboh waktu adiknya datang dan tiba-tiba menubruk pahanya.
“Kau duduk di sana, ya!” ia meminta adiknya untuk duduk di bawah dadap, di pagar perdu yang sedikit teduh. Adiknya merengek. Ia pun menjatuhkan galahnya ke tanah. Menyahut gulungan benang dan mengangkat tubuh adiknya lalu membawanya ke bawah dadap yang sedikit lebih teduh.
Ia menurunkan adiknya, “Tunggu sini saja. Ini, kau bawa benangnya dulu. Sebentar, Abang kan petikkan kau layang-layang. Tunggu di sini, ya!”
Si adik mengangguk. Ia kembali ke bawah randu. Kembali menegakkan galah. Ia mencari-cari layang-layang yang tersangkut di dahan paling rendah. Tapi ia tak menemukannya, “Sial! tinggi-tinggi semua,” gerutunya sambil mengusap keringat yang mulai mengembun di jidat.
Sekilas ia melirik adiknya yang duduk dan terus mengawasinya, di mata adiknya ia melihat sebuah harapan yang siap dijabar terbangkan, seperti sebuah layang-layang.
“Sebentar, ya, pasti Abang bisa petikkan layang-layang itu buatmu,” ia meyakinkan adiknya.
Ia kembali melirik dahan-dahan randu yang renggang di atasnya. Ha mencoba menghitung. Ada puluhan layang-layang. Tiga puluhan. O, tidak, ada empat puluhan. Yang masih utuh, tepatnya ada dua puluh empat. O, bukan, tapi ada dua puluh lima. Lima sisa di antaranya koyak-moyak dicabik angin. Sisanya tinggal rangka. O, pohon randu itu tampak seperti tiang pembantaian.
Ia mengerjapkan mata. Menatap layang-layang itu satu persatu. Tatapan sendu. Tiba-tiba, di sela tiupan angin, puluhan layang-layang itu seperti berbisik, “Kami mohon, selamatkan kami, lepaskan kami dari jeratan ini. Biarkan kami terbang. Biarkan kami kembali kepada angin, kekasih kami. Kau tahu, betapa pohon ini kejam, ia menyandera kami, ia membujuk angin untuk memusuhi kami. Tolong kami. Selamatkan kami.”
Ia mengerjapkan mata. Ganti menatap adiknya.
“Ayang ayang…, tebang tebang…, ayang ayang…, meyayang yayang…,” adiknya meracau dengan irama tak jelas sambil mengulurkan gulungan benang.
Ia kembali menatap layang-layang yang tertampar-tampar angin.
Layang-layangku sayang, layang-layangku malang. Akan kubebaskan kalian. Sebelum dikoyak angin jalang. Layang-layangku sayang, layang-layangku malang. Akan kuterbangkan kalian, hingga jauh ke langit lapang.
Ia berjalan mundur, menjauhi pohon itu beberapa langkah. Dari kejauhan, ia bisa menilik lebih jelas, mana layang-layang yang tersangkut di dahan paling rendah, dan mana layang-layang yang meregang di dahan paling pucuk. Ia kembali melangkah maju. Galah kembali ia tegakkan. Ia acung-acungkan ke dahan paling rendah, tempat layang-layang terjerat. Tapi sial, galahnya tidak menjangkau. Pelan-pelan ia menurunkan galahnya. Ia mencari-cari kayu untuk memanjangkan galahnya.
“Galahnya kurang panjang, Abang sambung dulu, nanti pasti dapat.” Ia mendekati adiknya yang duduk di pagar perdu, di bawah dadap. Selintas ia mematahkan kayu semak pagar dan menyambungkan dengan galahnya. Galahnya sudah sedikit lebih panjang. Ia menegakkannya kembali. Mengacung-acungkannya ke jeratan. Menghentak-hentakkannya ke dahan. Buah randu berguncang-guncang. Kapas berhamburan. Ranting-ranting kecil berguguran.
“Sebentar, ya, Abang hampir dapat!”
Beberapa sabetan telah mematahkan ranting, melonggarkan jeratan. Dahan dan ranting bercompang-camping. Satu layang-layang terbebas dari jeratan. Terbang melayang-layang dan terkulai di tanah.
“Hoyeeee!” adiknya bersorak girang, berlari ke arahnya, menyambut sang layang-layang. Ia pun tersenyum, menyunggingkan kemenangan.
Dahinya banjir peluh. Ia mengempaskan napas umpama lenguh.
“Sudah, ayo kita pulang! Mungkin nasinya sudah matang. Nanti layang-layangnya biar Abang talikan, nanti kalau angin besar datang, kita terbangkan.”
Si adik melompat-lompat sambil mengepakkan layang-layangnya. Girangnya belum hilang.
Ketika ia berbalik dan mulai melangkah. Bahunya tertimpa ranting kecil. Rasanya seperti ada yang menjawil dari belakang, “mau ke mana? Jangan pergi dulu! Kau bilang mau menyelamatkan mereka.”
Ia menoleh. Wajahnya menegadah, mengawasi layang-layang yang terombang-ambing angin. Menyedihkan. Layang-layang itu tampak seperti tawanan yang pasrah pada tiang gantungan. Angin kecil meniupi wajahnya. Ia memutuskan memutar haluan. Adiknya membuntuti di belakang. Seperti anak monyet yang menempel di pantat induknya.
“Tapi, tinggi sekali…” ia menggumam sendiri.
Ia tahu, galahnya tak mungkin lagi menjangkau. Ia menatap lekat pohon randu di hadapannya. Dari bonggol sampai ke atas. Ia mengira-ngira, besar batang pohon itu sebesar pelukan tangan orang dewasa. Duri-duri tumpul menyembul di kulit batang paling rendah. Ia tak mungkin memanjatnya. Tapi ia tidak menyerah. Duri-duri itu ia patahkan satu persatu dengan batu. Setelah bersih, baru ia merangkul pohon itu. Berusaha memanjatnya. Dengan kakinya yang kecil sebelah, urusan memanjat adalah urusan keajaiban.
Berkali-kali ia menunggangi pohon itu, berkali-kali pula pohon itu melorotkan tubuhnya ke tanah. Tapi ia belum menyerah. Ia terus memanjat dan memanjat. Hingga ia berhasil meraih cabang paling rendah. Kaki dan tangannya bergelantungan di dahan seperti siamang. Adiknya berteriak girang sambil bertepuk tangan. Ia tersengal-sengal. Napasnya berkempis-kembang.
Dahan tempatnya duduk ibarat tangga pertama yang akan mengantarkan ke tangga selanjutnya. Pelan-pelan ia merangkaki tangga demi tangga, dahan demi dahan. Satu dua layang-layang berhasil ia tarik dan luncurkan ke bawah. Ia memanjat lebih tinggi. Tiga, empat, lima, sepuluh, tiga belas, lima belas… Kali ini ia benar-benar panen layang-layang.
“Aciiiiiiiik!” di bawah, adiknya melompat girang sambil memunguti layang-layang.
Seperti ada yang membisiki. Ia memanjat lebih tinggi lagi. Tangannya melingkar di dahan, erat-erat, seperti memeluk guling.
Di sini indah sekali, di sini sejuk sekali, di sini nyaman sekali.
Tak ada salahnya. Ia memejamkan mata. Membentangkan kedua tangan. Membayangkan dirinya menjadi layang-layang yang terbang ke langit lapang. Ia melupakan lapar yang menendang-nendang. Ia melupakan nasi yang tak matang-matang. Ia melupakan kakinya yang pincang. Ia melupakan bapaknya yang tak pulang-pulang. Ia terbang. Seperti layang-layang. Bahkan ketika cabang yang menumpu tubuhnya patah dan tumbang, matanya masih terpejam. Ia terperosok. Tubuhnya menghantam dahan. Ia terpental. Tubuhnya meluncur ke tanah. Adiknya melolong, melepaskan jeritan. Ia tetap terpejam. Tenang. Seperti layang-layang yang terbebas dari jeratan.
***
Kemarau mengaum berkepanjangan. Tanah-tanah rekah kehausan. Rumput-rumput beruban. Angin dan debu bersiul-siul sepanjang siang. Sedikit jinak menjelang petang.
Di tepi lapangan, pohon randu lekang menjulang. Tanpa daunan. Telanjang. Dahan dan ranting-rantingnya kurus mengangkang, serupa lengan yang tinggal tulang. Buah-buahnya retak bergoyang-goyang. Seperti puluhan botol kecap yang digantung dengan benang. Kapas-kapasnya berhamburan. Di dahan dan ranting, puluhan layang-layang meregang nyawa, melupakan impian mereka: terbang.***
Malang, 17 Juli 2011
1 komentar:
Assalamualaikum wr.wb.
Saya sangat hobi menulis;walaupun karya2 saya masih jauh dari kata bagus dan cuma bisa saya tempel di mading sekolah.saya sangat ingin menjadi seorang penulis yg konsisten dan mempunyai ciri khas/gaya penulisan yg berbeda dari penulis lainnya.mohon kiranya anda memberikan beberapa tips supaya saya bisa mewujudkan keinginan saya tersebut dan menjadi penulis ulung seperti yg saya cita citakan.amin.wassalam
dari:muksalmina
di :kota sabang,prov.Aceh
email:muksalscorp@gmail.com
Posting Komentar