Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih
mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’
tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita
yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan seorang saja,
yang seperti ibuku.’
Semenjak kejadian itu, kami
mulai pisah ranjang, rumah sederhana yang kami kontrak lengang, ia pulang ke
ibunya, dan aku kembali ke ibuku. Dan entah mengapa aku tidak menyesal
sedikitpun. Aku tak tahu, mengapa ia selalu cemburu setiap kali aku
mengistimewakan ibuku. Sebelum meminangnya, aku sudah mengatakan, menjadi
istriku artinya menjadi wanita kedua dalam hatiku, setelah ibuku, dan ia setuju.
Ia memang gadis yang baik pada awalnya. Ketika itu ia kupinang dengan uang dua
ratus ribu dan seperangkat kitab tafsir terjemah, ia cukup menerima.
Selama menjadi suami, aku
selalu berusaha untuk menjalankan kewajibanku sebagai suami. Meski belum
dikarunia putra, keluarga kami cukup tentram. Hingga suatu ketika, tiba-tiba
ibu jatuh sakit. Dari rumah kontrakan kami yang sederhana, aku mengajaknya
pindah ke rumah ibu, untuk sementara waktu, untuk dapat menjaga beliau,
setidaknya sampai beliau sembuh. Meski terlihat agak menggerundal, akhirnya ia
setuju. Karena aku seorang anak tunggal, ibu pun tinggal seorang diri di sebuah
rumah kecil yang cukup nyaman, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah
kontrakan kami, tapi juga tidak bisa dibilang dekat. Aku dan ibu tinggal di dua
kecamatan yang berbeda, dari rumah kontrakanku, aku butuh waktu hampir dua jam
untuk sampai di rumah tempat ibu tinggal.
Berkali-kali aku membujuk
ibu untuk tinggal satu rumah dengan kami, tapi ibu tetap tak mau. Alasannya
tidak lain adalah, beliau ingin merawat rumah peninggalan kakek. Demi alasan
pekerjaan, aku dan istri pun tak bisa tinggal satu rumah dengan ibu. Maka, aku
dan istri memutuskan untuk mengontrak rumah yang letaknya tidak jauh dari
kantor tempat kami bekerja. Ketika kami meminta restu dari ibu, dengan hati
lapang beliau mempersilahkan. Bahkan beliau bilang, supaya aku tidak terlalu
mengkhawatirkannya.
“Apa menurutmu ibumu ini
sudah terlalu tua, sehingga seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa lagi sendiri,”
demikian tutur ibu.
“Bukan begitu, Bu. Hanya saja,
hati saya tidak tenang kalau harus jauh dari ibu,” balasku.
“Ah, kau ini seperti
anak-anak. Ingat, kau sudah punya istri. Prioritaskan itu. Justru ibu yang jadi
tidak tenang, kalau kamu terus-terusan memikirkan ibu. Sekarang pikirkan
keluargamu. Kamu sudah berkeluarga,” nasehat ibu meluncur.
Melihat ibu begitu
bersikeras, akhirnya aku dan istri memutuskan untuk mencari rumah kontrakan
sendiri.
“Baiklah, seminggu sekali
kami akan menjenguk ibu,” lafasku kemudian. Ibu tersenyum mendengarnya.
***
Aku
sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku
mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab
‘aku masih bisa menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi
aku tak yakin bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
Pertengkaran
itu dimulai dari percakapan ringan. Ketika kami mulai tinggal satu atap dengan
ibuku. Ibu terbaring lemas di ranjang lepek, dalam kamarnya. Aku duduk di tikar
pandan yang terjabar di lantai. Wajah ibu kian pucat. Sudah tiga kali aku
berusaha membujuknya, supaya ia mau kubawa ke rumah sakit atau setidaknya puskesmas.
Tapi tetap saja, ibu menolak. Dalihnya, ia hanya demam biasa dan akan segera
sembuh. Dalam sakitnya, ibu malah mengkhawatirkan keadaan kami, aku dan istri.
Barangkali ibu memerhatikan wajah istriku yang melulu tirus semenjak aku
mengajaknya pindah.
“Tidak apa-apa, Bu, mungkin
Hasna kecapekan, pulang pergi dari tempat kerja yang jaraknya lumayan jauh,”
aku tak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada ibu.
“Dari itu, sebaiknya kalian
kembali ke rumah kontrakan kalian saja. Sudah kubilang, aku hanya demam biasa.
Lagi pula di sini juga banyak tetangga-tetangga yang bisa ibu mintai
bantuannya, kalau ibu perlu sesuatu,” balas ibu lemas.
“Mana masuk akal kami
meninggalkan ibu sendirian dalam keadaan begini. PP dari rumah ke kantor juga
tidak sejauh yang ibu bayangkan. Jadi biarkan kami tetap tinggal di sini,
setidaknya sampai ibu sehat kembali. Makanya, ayo ke dokter, supaya ketahuan,
ibu sakit apa. Supaya ibu bisa lekas sehat seperti sedia kala.”
Ibu tak menggubris, tapi ia
tersenyum menatapku.
Selepas ibu lelap, aku
melangkah ke dapur dengan piring dan gelas kotor sisa makan ibu. Dan
kecemburuan istriku mulai tampak di sini. Ketika aku meletakkan piring dan
gelas sisa makan ibu, istriku tak mau mencucinya, ia hanya mencuci gelas dan
piring bekas makan kami saja. Maka aku mencucinya sendiri. Ketika masuk ke
dalam kamar, aku mendapati istriku tidur memeluk guling, menghadap tembok. Dari
gerak lakunya, ia tak bisa menyembunyikan, bahwa ia sedang kesal.
“Kau baik-baik saja?”
kusentuh pundaknya perlahan.
Ia tak menjawab.
“Sayang, apa kau baik-baik
saja?” aku megulang pertanyaan yang sama.
“Tidak!” jawabnya ketus,
tanpa memalingkan muka sedikit pun.
“Ibuku ibumu juga,” aku
mencoba menghaluskan tutur.
Ia membisu.
“Jangan begitu lah…”
“Aku capek! Mau tidur.”
balasnya masih jutek.
Aku memilih diam,
membiarkannya diam, agar segala kekesalan dalam dirinya turut redam. Dan esok
akan menjadi hari yang berbeda bagi kami.
***
Aku sangat mencintai istriku. Tapi aku lebih
mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau pilih aku atau ibumu?’
tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa menemukan puluhan
wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin bisa menemukan
seorang saja, yang seperti ibuku.’
Pagi-pagi buta, sekitar
pukul setengah enam, selepas menyeduhkan teh hangat untukku, istriku berangkat
kerja terlebih dahulu. Ia mencium
tanganku dengan air muka yang datar. Biasanya kami berangkat bersamaan. Tapi,
karena ia tidak sabar menungguku yang masih sibuk mengurusi segala keperluan
ibu, ia memilih berangkat sendiri. Aku tak mau hal-hal kecil seperti itu
menjadi sumber cek-cok, maka aku membiarkannya berbuat apa saja yang ia mau,
selama itu masih di dalam batas-batas kewajaran.
Sepulang kerja, silih aku
yang mengalah, menyiapkan segala keperluan untuk makan siang. Wajah istriku
tampak kepayahan dan sangat tirus. Selepas makan siang—setelah beberapa hari
saling mendiamkan satu sama lain—aku mencoba mendekatinya, mengajaknya bicara,
dari hati ke hati.
“Alhamdulillah, kondisi ibu
sudah mulai membaik,” selorohku santai.
“Syukurlah,” balasnya tanpa
menatapku.
Kami diam beberapa jenak.
“Jadi, kapan kita bisa balik
ke rumah?” tanyanya kemudian.
“Besok, atau mungkin lusa.”
“Lebih cepat lebih baik.
Mungkin rumah yang kita tinggal sekarang sudah jadi kapal pecah.”
“Iya,” aku merendahkan
suara, agar terdengar lembut dan sependapat.
Kami sama-sama terdiam lagi,
beberapa saat.
“Oh, ya, aku ingin bertanya
sesuatu padamu,” aku memulai percakapan baru.
“Apa?” sahutnya singkat.
“Misalnya aku membagi seperempat
jatah gajiku untuk ibu, bagaimana?”
Serta-merta ia menatapku,
tatapan kejut yang berkabut.
“Apakah hasil paroan sawah
itu masih kurang untuk ibumu?” balasnya terdengar nyelekit di telingaku. Aku berusaha untuk menahan diri.
“Bukan begitu maksudku. Ibu
kan belum tentu pegang uang tiap hari. Jadi, ketika kita tidak ada di sisi
beliau, dan beliau membutuhkan sesuatu, untuk beli obat, atau keperluan
sehari-hari misalnya, beliau sudah punya pegangan.”
“Bagaimana dengan keperluan
kita? Keperluan kita lebih banyak. Ngurus rumah, belanja, listrik, tabungan, kalau kita punya anak
nanti, belum lagi kebutuhan-kebutuhan tak terduga lainya. Semua itu butuh
uang,” uangkapnya berapi-api.
Tak ingin persilatan lidah
itu berlanjut, aku segera berigsut keluar kamar. Aku tak mau ibu menguping
pembicaraan kami yang terasa sangat jauh ujungnya.
***
Aku sangat mencintai
istriku. Tapi aku lebih mencintai ibuku. Maka, ketika istriku mengatakan ‘kau
pilih aku atau ibumu?’ tanpa keraguan sedikit pun aku menjawab ‘aku masih bisa
menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin
bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.’
Setelah keadaan ibu
benar-benar pulih, kami pamit. Aku senang melihat istriku sudi mencium tangan
ibu dengan wajah cerah. Namun, sesampainya di rumah, setelah melihat kondisi
rumah yang benar-benar amburadul, wajah istriku kembali keruh.
“Kalau kau capek, kau
istirahat saja, biar aku yang membereskan semuanya,” tuturku pelan. Ia tak
menghiraukan kata-kataku. Setelah meletakkan tas dan mengganti pakaiannya
dengan daster kumal, ia mulai menyahut sapu dan penebah. Ketika aku hendak
membantunya, dengan raut culas, ia mengatakan, “Kau istirahat saja. Aku tahu
kau capek.” Dengan senang hati aku menurutinya.
Malam harinya, ketika
keadaan rumah menjadi nyaman, kami duduk berdua di depan tivi sambil menyantap
makanan kecil alakadarnya. Aku memulai obrolan.
“Sayang, bolehkah aku
menyampaikan sesuatu?” aku berusaha menggenggam jemarinya.
“Apa lagi?” ia berusaha
mengelak.
“Mohon maaf sebelumnya,
setelah berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk membagi
seperempat gajiku buat ibu.”
Ia menatapku, wajahnya
tiba-tiba memerah. “Maksudmu?”
“Pasti Allah akan
menggantinya dengan rizki yang berlipat,” kata-kataku mungkin terdengar seperti
ceramah, di telinganya.
“Tapi aku istrimu. Aku yang
berhak. Dan ketika aku tidak mengizinkan kau melakukan itu, seharusnya kau
tidak melakukannya,” ia meledak.
“Tapi beliau ibuku, ibumu
juga, ibu kita. Dan beliau membutuhkan itu,” aku masih berusaha lembut.
“Kalau begitu hiduplah
dengan ibumu, biarkan dia yang membuatkan sarapan untukmu, yang mencucikan
bajumu, yang memijat punggungmu kalau kau pegal. Laukan saja semaumu, kau
lelaki, kepala rumah tangga… apa pentingnya pendapat istri,” ia menjelma naga,
yang meluncurkan api dari mulutnya.
“Kau tak boleh bicara
begitu, Sayang,” nada suaraku mulai tinggi.
“Lalu?”
“Kau tahu, mengapa di dunia
ini tak ada istilah ‘mantan ibu’, karena, seperti apapun, seburuk apapun, seculas
apapun, ibu tetaplah ibu, tak mungkin tergantikan oleh siapapun. Dan istri, mantan
istri, tak terhitung jumlahnya di dunia ini. Itu artinya, seorang istri tak pernah
lebih berarti dari seorang ibu.” Meski nada bicaraku terdengar santai, namun emosiku
turut meledak ketika mengatakan itu. Seperti magma di perut bumi yang lama
sekali tertahan dan butuh dimuntahkan. Sama sekali aku tak berniat menyakiti
hati istriku, aku hanya ingin ia mendapat sebuah pelajaran.
Tapi sungguh di luar dugaan,
dengan air mata berurai dan wajah yang masih merah, istriku menggumam pelan,
“Kalau begitu, kau pilih aku atau ibumu?”
Mendengar kata-katanya yang
menusuk seperti jarum, tanpa berpikir panjang aku pun membalas, “aku masih bisa
menemukan puluhan wanita yang mungkin lebih baik darimu, tapi aku tak yakin
bisa menemukan seorang saja, yang seperti ibuku.”
Istriku beringsut ke dalam
kamar dan mengunci pintu dari dalam. Aku masih tercenung, menjelma patung. Mengingat
bagaimana ibu, raut lembutnya, jerih payahnya, membuatku berpikir, bahwa
istriku berhak untuk mendapatkan pelajaran yang lebih dari itu. Karena, suatu
ketika, ia juga akan menjadi seorang ibu.***
Malang,
31 Maret 2012