RUMAH
itu menggigil. Perempuan tua itu tersesat di dalamnya. Kedinginan. Jika malam
tiba, rumah itu tampak seperti gadis kecil yang terkurung dalam kamar mandi,
dengan keran air yang terus menyala, mengguyur kepala.
Konon, dalam rumah itu,
musim hujan memang tak pernah berhenti. Siutan angin menyambar-nyambar. Petir
dan kilat bersahut-sahutan. Jika tengah malam tiba, suara-suara gemuruh dari
dalam rumah itu kian menjadi. Konon lagi, hujan itu bermula pada sebuah malam celaka.
Malam selepas pemakaman suaminya.
***
Dia hartaku
satu-satunya, bagaimana aku tidak gila kehilangannya. Selepas anak semata
wayang kami pergi ke luar negeri, mencari kerja katanya, dan puluhan tahun
tidak kembali, aku tak punya apa-apa lagi selain dia. Barangkali dia tampak
menyusahkan dan tidak istimewa sama sekali. Namun, dialah bejana emas yang
selama ini menampung curah hujan yang terus menderas dalam kepalaku. Mengguyur mataku.
Menguyupkan hatiku.
Semenjak divonis
stroke, dia telah menjelma bayi. Setiap hari hanya terbaring di ranjang tidur
yang kasurnya kian hari kian lepek dan menggumpal. Makan harus aku yang menyuapinya.
Mandi harus aku yang memandikannya. Bahkan, buang air pun harus aku yang
menimpal dan mencebokinya. Barangkali memang di situ mukimnya cinta. Tak ada keluh.
Tak ada kesah. Semua kujalani dengan debaran yang masih sama. Debaran ketika
pertama kali bertemu denganya. Debaran ketika ia mendatangi bapak-emakku untuk
memintaku. Debaran ketika dia mulai mengenakanku menjadi pakaiannya. Semua
masih sama. Hingga detik ini. Detik ketika dia terlihat sangat bodoh dan tidak
berdaya.
***
Suaminya meninggal
tepat ketika adzan subuh berhenti. Pagi hari rumahnya ramai oleh handai tolan
yang melawat dan mengikrarkan bela sungkawa. Menjelang siang, jenazah
dimandikan dan dikafani, menjelang sore pemakaman baru usai. Petang merembang.
Satu persatu tetangga dan handai tolan berpamitan dan pulang ke rumah
masing-masing. Petang itu mereka sempat menyaksikan mendung hitam yang sangat
tebal, bergulung-gulung di pelupuk mata perempuan itu. Mendung hitam yang
mereka yakini akan menjadi pertanda musim hujan yang panjang.
Tepat selepas isya’
para tetangga dikagetkan oleh raungan panjang dari dalam rumah itu. Raungan
panjang yang sesekali diikuti geletar seperti suara petir. Juga desah napas
yang terdengar seperti angin yang marah. Dari celah-celah pintu para tetangga
juga sempat menilik lampu neon yang nyala-mati, yang mereka yakini sebagai
kilat yang berkedip-kedip. Beberapa saat kemudian, orang-orang mulai mendengar
titik gerimis yang bergemeletak menikam lantai, dan mungkin meja, juga kursi.
Semakin lama titik gerimis itu bergemericik dan menderas. Beberapa orang yang
penasaran, berjingkat mendekati rumah itu. Dan dari balik pintu yang terkunci,
mereka bersumpah, bahwa mereka mendengar gemericik air yang sangat nyata.
Seperti ricik hujan yang sangat deras. Sejak saat itu, rumah limas itu tampak
muram. Pintunya tak pernah lagi terbuka.
***
Aku percaya, bahwa
kehilangan adalah ibu dari semua duka. Bahkan aku tak bisa melukiskan bagaimana
perasaanku ketika dia benar-benar pergi dan tak akan pernah kembali. Sungguh,
ditinggalkan selalu lebih miris daripada meninggalkan.
Malam itu, dia
mengeluhkan uadara yang sangat dingin. Dia mengatakkan bahwa tulang-tulangnya
seperti membeku dan diremukkan. Jahe
hangat kuseduhkan, berlapis-lapis selimut kubalutkan. Dia masih saja menggigil.
Matanya mendelik. Tubuhnya gemetar. Bibirnya yang kering mengelupas, selapis
demi selapis. Semalam suntuk aku mencari sesuatu yang bisa menghangatkannya. Di
sebelahnya, kubuatkan perapian kecil dari kayu-kayu yang kucabut satu persatu
dari papan dan dinding. Dia masih saja menggigil.
Kutanyakan padanya, apa
yang sekarang dia rasakan? Dia tak menjawab. Tubuhnya masih gemetaran. Tiba-tiba
aku sangat takut. Sangat khawatir. Maka, aku tak perlu melakukan yang lain.
Kehangatan yang masih tersisa di tubuhku pun kuberikan. Aku memeluknya
erat-erat. Seolah dia akan hilang. Malam terus merangkak. Sangat pelan. Sangat
pekat. Sangat dingin.
Di akhir sepertiga
malam, suara tartil memenuhi udara di luar sana. Dia masih menggigil. Diikuti
suara tarhim yang melengking seperti tangisan yang sangat syahdu. Ia masih
gemetar. Adzan subuh pun memulai kalimat pertamanya. Ketika itu gemetar badanya
sedikit sudah berkurang. Namun dari matanya, air terus mengucur seperti hujan.
Tepat ketika adzan subuh berhenti. Dia tidak menggigil lagi. Tidak gemetar.
Tidak bergerak. Tubuhnya sangat dingin. Sedingin besi terendam hujan.
Aku turut kaku. Menatap
lelehan yang masih tampak hangat di matanya. Menatap kedua matanya yang
mendelik dan penuh kabut. Menatap mulutnya yang menganga, seperti ingin
mengatakan sesuatu namun tak pernah sampai. Kurasakan, mendung hitam mulai
berarak menutupi pengelihatanku. Dari subuh hingga maghrib. Menjelang isya’
mendung hitam itu kian merajalela, membutakan mataku. Aku tak bisa melihat
kecuali dunia yang remang, dingin, dan sangat tidak ramah. Detik itu desah
napasku gusar. Aku meraung panjang. Sekeras-kerasnya. Setelah itu, hujan mulai turun
berdebam dalam kepalaku. Mengguyur hatiku. Mengguyur mataku. Mengguyur rumahku.
***
Setiap kali menatap
rumah itu, kami selalu merasa iba. Membayangkan perempuan tua itu duduk sendiri
di sudut kamar. Memeluk lutut. Menggigil kedinginan. Perempuan tua itu memang terlampau
larut dalam kesedihan. Sehingga sesuatu dalam kepalanya rusak, terendam
kesedihan yang sangat hitam dan kental. Kami tak pernah bisa menyelami
kesedihan yang berkedung dalam kepalanya itu. Bagaimana mungkin kami bisa. Ia
sendiri tak mau membagi kesedihan itu pada kami. Ia tak pernah mengizinkan kami
masuk ke dalam rumahnya, ke dalam dunianya, lubuk kesedihannya.
Semenjak malam itu—malam
ketika hujan pertama turun dalam rumah itu—pada malam selepas pemakaman
suaminya. Perempuan tua itu memang tak pernah lagi keluar rumah, kecuali untuk membuang
sampah.
Kami tak pernah tahu
apa yang kemudian ia makan. Tubuhnya kian susut. Ia telah menyerahkan dirinya
dalam kesedihan yang paripurna, hingga ia bagai tak punya waktu untuk
memikirkan dirinya. Musabab itulah, sebagai tetangga, kami merasa perlu untuk pura-pura
bertamu ke rumahnya, entah untuk mengantarkan sedikit makanan, entah bertanya
keadaan. Kami rasa, sebagai tetangga, kami pantas melakukan itu. Ketika itu,
kami berharap, ia mau membuka diri dan membagikan sedikit kesedihannya pada
kami. Namun sungguh di luar dugaan, perempuan tua itu malah melempar kami
dengan sandal sambil berteriak-teriak mengusir kami pergi.
Perempuan tua itu telah
sempurna menjadi hantu. Rambutnya yang pecah memutih tak lagi ia gelung—ia urai
seperti rambut nenek Lampir. Pakaian yang melekat di tubuhnya adalah pakaian
terakhir yang ia kenakan, yang kami lihat ketika jenzah suaminya dikebumikan.
Sangat kumal dan bau. Kami tahu, kami sudah tak bisa berbuat banyak. Perempuan
tua itu telah menyerahkan dirinya pada kesedihan yang tak beranah tepi. Hingga
ia tersesat di sana dan tak pernah bisa kembali.
***
Hujan terus mengamuk
dalam kepalaku. Tak kenal jeda. Tak kenal reda. Berkali-kali airnya merembes
melalui sudut mataku. Terkadang meleleh dari lubang hidungku. Aku menggigil
karena hujan itu. Hujan kelam yang terus menerus mengguyurku. Mengguyur hatiku.
Mengguyur mataku. Mengguyur rumahku. Aku sendiri tak tahu bagaimana cara
menghentikan hujan itu. Hujan itu hanya akan sejenak reda bilamana aku
tertidur. Bilamana dunia kasat mata lenyap dari pandanganku. Dan digantikan
mimpi-mimpi yang hangat dan beraneka rasa.
Tubuhku gemetar. Aku menggigil.
Aku takkan mampu bertahan jika hujan ini terus menghakimiku, mengguyurku
sedemikian rupa. Tanpa jeda. Tanpa reda. Aku harus segera tidur. Tidur. Supaya
hujan ini berhenti. Tidak membasahi hatiku. Tidak membecekkan mataku. Tidak
menguyupkan rumahku. Ya, aku harus segera tidur. Tidur yang panjang. Meski
dengan cara paling mengerikan.
***
Pada sebuah malam, kami
terheran-heran ketika mendapati rumah itu tiba-tiba sunyi. Tidak ada raungan panjang
seperti geletar suara petir. Tidak ada kilat yang berkedip-kedip. Tidak ada pula
suara gemericik yang menikam lantai, meja, dan kursi. Kata para tukang ronda,
suara gemuruh itu telah reda sejak malam lalu.
Maka, seperti pertama
kali kami mengintip bagaimana hujan itu bermula, kami pun ingin tahu bagimana
hujan itu reda. Kami berjingkat mendekati rumah itu. Rumah yang tidak lagi
menggigil namun tampak lebih muram dan menyedihkan. Rumah itu hening. Sangat
hening. Seperti penyusup, kami mengintai dari luar pintu yang bergeming dan
kusam. Kami mencari celah lubang pintu untuk mengetahui rahasia rumah itu.
Kami mulai mengintip
satu pesatu. Dan kami tak mendapati apa-apa selain keheningan. Keheningan yang
menyelimuti seonggok tubuh kaku yang berayun-ayun di balik pintu. Di antara
mata yang mendelik dan lidah yang menjulur, kami masih melihat sisa-sisa hujan
itu. Dan ketika kami menatap mata itu, tiba-tiba mendung hitam bergulung-gulung
mendatangi kepala kami. Seperti hendak mendatangkan musim hujan yang baru.***
Malang, Agustus 2011
0 komentar:
Posting Komentar