Di Sini, Udara Dingin Sekali… (Suara Pembaruan, Minggu 2 Oktober 2011)


Sebuah kafe. Rintik hujan. Dan seorang perempuan yang selalu menunggu kekasihnya. Benar-benar sesuatu yang klise untuk diceritakan. Apapun itu, cerita ini akan kubuat berbeda. Karena di sini bukan kafe. Di sini juga tak sedang hujan. Di sini juga tak ada perempuan yang menunggu. Di sini, hanya ada malam yang meringkuk di bawah  udara yang dingin, dingin sekali. Menusuk. Seperti sebilah belati.
Dingin menyeruak. Menjilat tengkuk sampai ke ubun ubun. Kau tahu, rasanya dingin sekali, ceeesss… persis seperti ketika lidah belati kau tempelkan di lehermu. Tapi ini bukan belati, ini hanya udara. Udara yang dingin sekali.
***
Aku seorang penulis, tepatnya penulis cerita, pengarang. Tapi, mungkin aku bukan pengarang yang baik. Karena dalam cerita-ceritaku melulu ada hal yang sama: kafe, hujan, dan perempuan yang selalu menunggu. Kau percaya, bahwa sebenarnya, seorang pencerita selalu menceritakan dirinya ketika bercerita? Kau harus percaya. Setidaknya mengiyakan.
Sekarang akan kumulai dengan isi ceritaku yang pertama: Kafe.
Kafe? Ya, karena aku seorang penulis yang lebih suka berkelyuran di kafe, melamun sana merenung sini, memasak ide ini meramu ide itu. Selebihnya, aku menertawakan pelayan kafe yang selalu menggerutu dengan jam kerjanya, menyimak khusuk sepasang kekasih yang sedang adu mulut, melirik lelaki berdasi yang mampir setiap istirahat jam kantor. Semua bahan cerita itu bisa kudapat lengkap, hanya di kafe.
Dan satu lagi, mengapa aku lebih suka mencari inspirasi di kafe daripada stasiun atau rumah susun. Karena suasana kafe itu sendiri—yang benar-benar elegan seperti namanya, kafe, kopi. Tentu saja, di café ada kopi, dan dalam kopi ada nikotin, dalam nikotin ada pahit, dalam pahit ada racun, dan dari racun itulah segala yang liar-liar muncul.  Ide-ide liar, kata-kata liar, kejutan dan ending yang juga liar.
Dan sebenarnya, yang paling inti, kafe adalah tempat di mana aku menemukan cinta sekaligus luka yang merupakan bumbu kehidupan paling nyata. Di sanalah aku bertemu Dante, lelaki berdasi yang selalu datang setiap istirahat jam kantor. Sebelum kami dekat, diam-diam aku suka meliriknya yang selalu duduk di kursi yang sama. Berhadap-hadapan tepat dengan kursi yang kududuki. Hanya terhalang beberapa meja. Ketika ia sibuk memilih menu, padangan kami sering tertukar secara tidak sengaja. Ia hanya tersenyum diselingi anggukan ringan. Akupun membalas alakadarnya.
Hingga suatu ketika, tiba-tiba Dante menghampiri mejaku.
Maaf, boleh aku duduk, sapanya lembut, dengan secangkir capucino yang masih berguncang di tangan. Aku mempersilahkannya.
Capucino? Ia berbasa-basi menawarkan capucino yang hanya secangkir itu. Terima kasih, balasku. Selanjutnya ia memancingku ngobrol.
Ia menyatakan kekagumannya terhadap tulisan-tulisanku. Ia mengaku sering membaca cerpen-cepenku. Ia mengatakan bahwa ia tidak percaya, seperti mimpi. Ketika kutanya dari mana ia tahu bahwa aku seorang penulis, ia bilang, pelayan kafe yang telah memberitahunya. Artinya, selama ini, diam-diam ia juga memerhatikanku. Aku tahu, pelayan kafe takkan berkabar macam-macam tentangku sebelum ia menyakan dulu, ‘siapa perempuan yang di sana?’. Mungkin.
Sehari dua hari, seminggu dua minggu, sebulan dua bulan, kami bertambah akrab. Keakraban kami pun berlanjut sampai ke ranjang. Entah bagaimana awal mulanya, kami seperti dituntun Amor untuk lupa, sehingga kami berbuat yang iya-iya. Hatiku berkembang-kembang ketika ia beikrar tegas, bahwa ia akan menikahiku beberapa bulan ke depan. Tulisanku pun berlanjut dan melulu tentang asmara yang tengah panen bunga-bunga. Dante akan menikahiku. Oh, cerita-ceritaku pasti kian berseri.
***
Isi ceritaku yang kedua adalah Hujan. Ada apa dengan hujan? Tak ada yang salah dengan hujan. Terkadang hujan datang bukan hanya untuk menumbuhkan tunas belaka, tapi juga menghancurkannya. Hatiku selalu ditumbuhi bunga-bunga yang terus bertunas, seperti tak habis-habis meski tiap hari kupetik dan kusuntingkan dalam cerita-ceritaku. Bunga itu terus bersemai tunas, bertumbuh kuncup. Hingga hujan datang serupa pisau yang memenggal apa saja yang ditimpanya.
Takkan lepas dari ingatan. Pada hujan pertama itulah, Dante tak datang ke Kafe yang sudah seperti rumah kami. Ketika kuhubungi, ia mengatakan sedang dinas di luar kota. Mengapa tak memberitahuku terlebih dulu, aku mendesaknya. Entah kenapa, di situlah benih kekecewaan pertama muncul.
Aku terlalu sibuk dan belum sempat menghubungimu, dalih Dante ringan. Entah mengapa, tiba-tiba aku mengungkit janjinya tentang pernikahan. Kau bilang kau akan menemui orang tuaku, kapan? Buncit di perutku bukan sesuatu yang bisa ditahan, kataku. Ketika kutanyakan itu, suara Dante meninggi. Sekali lagi ia mengatakan, bahwa ia masih sibuk dan sibuk, belum sempat memikirkannya. Ouh, belum sempat memikirkannya? Sebelum ia menuntunku ke atas ranjang, apa ia juga sempat memikirkan sesuatu?
Maaf, nanti kalau sudah lega dari pekerjaan aku akan menemuimu, suatu kali Dante menelpon. Tunggu aku di kafe biasa, katanya. Dan tampaknya di sinilah isi ceritaku yang ketiga bermula: Perempuan yang selalu menunggu.
***
Hujan menjadi raja di musim itu. Setiap kali hujan tiba, kafe selalu sepi, lebih sepi dari biasanya. Hanya beberapa pelayan yang mengeluhkan sepinya pelanggan. Tak ada pelanggan. Sepi. Hanya aku pelanggan satu-stunya. Selalu aku.  Seorang penulis yang terjebak dalam ceritanya sendiri: Perempuan yang duduk sendirian di sebuah kafe, dicibir rintik hujan karena menunggu seseorang yang tak pernah datang.
Musim hujan tak hanya memenggal bunga-bungaku, tapi juga cerita-ceritaku. Saat hujan seharusnya menjadi  saat paling manis untuk menuliskan sesuatu? Tapi, entahlah. Sudah berjam-jam aku metatap layar putih itu. Ketik satu kata, backspace lagi, satu kata lagi, backspace lagi. Kegelisahan memang sangat sulit untuk dilukiskan kecuali dengan air mata dan sumpah serapah yang terpendam.
Genap seminggu Dante tak juga datang. Terpaksa aku menghubunginya kembali. Kepala dan telingaku seperti terbakar, ketika kuhubungi, nomor Dante sudah tidak aktif lagi. Beberapa kali kucoba, tetap sama. Hingga aku memberanikan diri mendatangi kantornya. Jika ini bukan masalah bayi yang kian tumbuh dalam perutku, aku takkan senekat ini.
Pertama kali aku menginjak kantornya. Firasat buruk dalam otakku merajalela. Ingin bertemu siapa, Bu? Ada yang bisa saya bantu? Seorang security menghampiriku.
Saya cuma ingin menanyakan, apakah benar Pak Dante bekerja di sini, dan sekarang sedang dinas keluar kota? Tanyaku sedikit gemetar.
Oh, benar, Pak Dante memang bekerja di sini, tapi sekarang beliau sudah kembali ke kantor pusat.
Maksudnya? Aku mengernyitkan alis.
Beliau adalah orang pusat yang didinas tugaskan beberapa bulan untuk membantu mengelola kantor kami, kantor cabang yang baru saja dibuka. Sekarang beliau sudah kembali ke Jakarta. Keluarganya kan tinggal di sana. Security itu menjelaskan pajang lebar.
Keluarga? Mulutku menganga.
Iya, istri dan anak-anak beliau tinggal di Jakarta.
Kakiku gemetar.
Ahai, apa kubilang, ini seperti sinetron yang klise. Ini seperti cerita-cerita yang sama yang menimpa gadis-gadis yang mudah percaya pada pesona laki-laki. Ahai, bagaimana kisah ini akan berlanjut. Aku berlari kembali ke kafe. Kali ini aku memesan kopi satu mug besar, tanpa gula. Kopi yang sempurna pahitnya. Laptop kubuka, kegelisahan itu meledak tak hanya lewat air mata, tapi juga lewat kata-kata. Jariku terus berayun memetik huruf demi hurup. Hingga tersusun kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Cerita demi cerita. Beberapa lembar. Hanya saja, aku kesulitan menemukan endingnya. Oh, bagaimana cerita ini akan berakhir?
Aku mendorong kursi sedikit kebelakang. Menyandarkan kepala ke bibir meja. Aku harus tenang. Aku harus kembali ke apartement. Aku harus menenagkan diri. Lift merambat lelet seperti seekor cicak yang kekenyangan, menuju lantai sembilan. Sesampai di kamar apartemen, kutenggak bir bergelas-gelas. Aku merebahkan tubuh yang lunglai. Seperti serangga yang terbius racun.
Antara sadar dan tidak, telingaku seperti disaput desisan suara seseorang, seperti berbisik. Tengkukku terasa dingin...
Hei! Kau! Cerita-ceritamu selalu klise. Kafe. Rintik hujan. Perempuan yang selalu menunggu. Kau harus membuat cerita yang berbeda. Cerita-cerita itu takkan pernah menemukan akhirnya sebelum kau sendiri yang memutuskan untuk mengakhirinya. Kau tahu, setiap akhir dari sebuah cerita selalu sama. Dan memang itulah akhir dari semua cerita. Suka, duka, tawa, airmata. Tak peduli apapun kisahnya, endingnya hanya satu, menuju satu. Sebelum cerita itu mengakhirimu, mengapa kau tidak mengakhirinya terlebih dulu. Setidaknya kau tidak dipecundangi cerita-ceritamu sendiri.  
***
Sebuah kafe. Rintik hujan. Dan seorang perempuan yang selalu menunggu kekasihnya. Benar benar sesuatu yang klise untuk diceritakan. Apapun itu, cerita ini akan kubuat berbeda. Karena di sini bukan kafe. Di sini juga tak sedang hujan. Di sini juga tak ada perempuan yang menunggu. Di sini, hanya ada malam yang meringkuk di bawah udara yang dingin, dingin sekali. Menusuk. Seperti sebilah belati.
Puncak apartement, lantai sepuluh. Tampaknya cukup menarik untuk mengakhiri sebuah cerita. Tapi sungguh, malam ini, di sini, udara sangat dingin, dingin sekali…***

0 komentar: